Anda di halaman 1dari 3

BAB IX

AKTUALISASI PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA


KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA DI LINGKUNGAN KAMPUS

A. Tri Darma Perguruan Tinggi


Perguruan tinggi diselenggarakan dengan tujuan untuk:
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian
serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan
memperkaya kebudayaan nasional.
Penyelenggaraan kegiatan untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud berpedoman
pada:
1. Tujuan pendidikan nasional;
2. Kaidah, moral, dan etika ilmu pengetahuan;
3. Kepentingan masyarakat, serta
4. Memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa pribadi.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut perguruan tinggi menyelenggarakan kegiatan
yang disebut dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni kegiatan yang terdiri dari:
1. Pendidikan, merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik yang
memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan/atau menciptakan IPTEK, dan seni.
2. Penelitian, merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan pengetahuan empirik, teori,
konsep, metodologi, model, atau informasi baru guna memperkaya IPTEK dan seni.
3. Pengabdian kepada masyarakat, merupakan kegiatan yang memanfaatkan IPTEK dalam
upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.
B. Penumbuhan Moral Etika Pancasila
Akhir-akhir ini di berbagai tempat sering timbul kerusuhan massa yang cenderung brutal
karena dipicu oleh kekecewaan yang sangat dalam kesenjangan antara daerah dan pusat
akibat tidak diberikannya otonomi daerah maupun APBD menimbulkan gejolak berupa gerakan-
gerakan pengacau keamanan bahkan tuntutan untuk melepaskan diri misalnya Aceh dan Irian
Barat. Gejala ini apabila tidak segera diatasi bisa menimbulkan bahaya disintegrasi bangsa.
Disini pula karena hubungan sosial lainnya, kebebasan berkumpul sangat dibatasi, kesadaran
pemeliharaan lingkungan sangat kurang, kerjasama antar agama kurang dipupuk, penyadaran
sosial juga kurang, sentimen selalu ditutup-tutupi dengan isu SARA. Sekarang justru akibatnya
meledak dalam berbagai kerusuhan-kerusuhan di beberapa tempat, maka revitalisasi nilai-nilai
Pancasila serta moral etika Pancasila terus-menerus harus ditumbuh kembangkan. Kita harus
sadar, bahwa kerusakan dan keterpurukan bangsa kita dalam berbagai bidang kehidupan
sekarang ini bukannya karena jelek atau salahnya ideologi dan dasar negara Pancasila,
melainkan orang- orangnya, para pemimpin bangsa yang kurang atau tidak melaksanakan
secara konsekuen nilai-nilai moral dan etika sila-sila Pancasila.
C. Tradisi Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik,
dan Otonomi
1. Tradisi Kebebasan Akademik
Dari apa yang telah dicapai oleh para pemikir (ilmuwan dan filosof) pada abad
pertengahan dapat diamati suatu fenomena (gejala) empirik tentang kebebasan untuk
mencapai kebenaran berikut ini.
a. Bahwa masyarakat ilmiah (situasi ilmiah = atmosphere academic) perlu dikembangkan
dalam lingkungan perguruan tinggi (kampus).
b. Sikap averroisme (kelompok ilmuwan nasionalis yang berusaha melepaskan diri dari
gereja) semakin jelas dikalangan perguruan tinggi, mereka semakin otonom dalam
mencapai kebenaran.
c. Otonomi perguruan tinggi berhubungan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Kondisi
itu bersifat conditio sinequanon  bagi kemajuan peradaban ilmu. Dalam hal ini segala
pengertian tentang kebebasan kampus dan kebebasan akademis adalah pngertian yang
setara bagi kemajuan.
Kebebasan akademik dalam hal ini lebih berciri aktivitas wahana pengembangan ilmu
pengetahuan yang dapat diikuti oleh sivitas akademika (dosen + mahasiswa). Dosen dan
mahasiswa dalam menjalankan kebebasan akademik akan menempuh jalur norma-norma
akademik. Jalur ini mencakupi serangkaian langkah metodologis; yaitu penemuan masalah,
tujuan, manfaat, cara mencapai kebenaran, analisis, dan simpulan.
2. Kebebasan Mimbar Akademik
Perkembangan ilmu di perguruan tinggi di Indonesia memang tidak dapat lepas dari
tradisi Barat. Perguruan tinggi tetap memiliki otonomi yang menghendaki adanya kebebasan
akademik (academic freedom) yaitu serangkaian kegiatan akademik untuk mencari kebenaran
ilmiah. Dalam perkembangan dan dalam penyelenggaraan otonomi kampus bagi
perkembangan ilmu pengetahuan timbul istilah kebebasan mimbar akademik. Istilah itu
mengandung pengertian proses pengembangan ilmu lewat kegiatan perkuliahan (mimbar
akademik).Kebebasan mimbar akademik dalam proses pendidikan lebih ditekankan pada
pengembangan kognitif (pemahaman), apresiasi (afektif), dan keterampilan (psikomotorik) yang
dilakukan dalam laboratorium dan perpustakaan. Media untuk pengembangan mimbar
akademik lebih ditekankan pada diskusi, seminar, dan simposium.

3. Otonomi Keilmuan
Ilmu yang berkembang tidak saja merupakan kerangka pemikiran logis tetapi juga telah
teruji. Dengan ilmu orang akan bisa menjelaskan gejala alam dan sosial secara rinci dan
kemudian dapat meramalkannya. Pada hakekatnya ilmu memiliki objek kajian (ontologis), dan
memiliki metode untuk mencapai kebenaran (epistemologis), dan memiliki kemampuan terkait
dengan masyarakatnya (aksiologis). Ilmu yang dapat berkembang pada prinsipnya karena
kaidah moral, pertimbangan etis, dan norma kerja profesinya.
Ilmu pengetahuan memang dapat memperoleh otonomi dalam melakukan kegiatannya
untuk mempelajari alam semesta, tetapi masalah moral akan timbul manakala berkaitan dengan
penggunaan pengetahuan ilmiah itu. Sejauh ini ilmu pengetahuan memiliki sisi kajian internal
dan eksternal. Sisi kajian internal digunakan manakala ilmu hanya menggunakan metode
spesifik yang dimiliki untuk dipraktekkan ilmuwan secara otonomi (Salim, 1994:15). Sedang
pada sisi kajian eksternalistik, ilmu akan berkaitan dengan bidang
IPOLEKSOSBUDROHANKAM (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, rohani, pertahanan
dan keamanan). Pada hakikatnya ilmu pengetahuan tidak bisa berkembang hanya pada satu
sisi saja (misalnya internal), kesan yang diperoleh menjadi perbuatan terpotong (truncated
setion) dan hal ini jelas akan memisahkan ilmu pada aplikasinya (Beerling, Kwee Mooij dan Van
Peursen, 1986:125-128). Dengan kata lain tidak ada ilmu yang bebas nilai atau ilmu akan
berkembang melalui nilai normatif (universitas bukan menara gading) atau sebenarnya yang
tidak ada ilmuwan yang otonom.
4. Peran Mahasiswa di Masyarakat
Perkembangan ilmu pengetahuan di masyarakat akan bergantung kepada kemampuan
ilmuwan untuk mengkomunikasikan hasil inovasi yang telah dicapai. Masyarakat ilmiah yang
lahir dari perguruan tinggi adalah pelopor dari pola-pola pikir pembaharuan. Pelopor cara
berpikir lain yang bersifat sistematis, rasional, logis-analitis yang semua bermuara pada
kemajuan peradaban manusia. Mahasiswa dalam tatanan pengembangan sivitas akademika
adalah kelompok masyarakat yang sedang berproses “untuk menjadi” (Ilmuwan). Mahasiswa
butuh waktu mematangkan diri dalam proses tersebut dengan meningkatkan penguasaan
metodologi dan substansi keilmuannya. Dalam pada itu mahasiswa masih terus mendapatkan
bimbingan dan pengarahan dari dosen (guru besar) yang memiliki kewenangan akademis.
D. Memposisikan Kebebasan Akademik dan Kebebasan Mimbar Akademik Secara
Proporsional
Di waktu akhir-akhir ini timbul perbincangan berkenaan dengan istilah kebebasan
akademik dan kebebasan mimbar akademik. Disamping kedua istilah itu dimunculkan juga
beberapa sebutan yang tidak ada asal mulanya dalam sejarah dan tradisi akademik, seperti
misalnya “kebebasan kampus” dan “otonomi kampus”
Guna menghindari terjadinya salah faham dan salah tafsir yang berkepanjangan- dengan
akibat distorsi arti suatu peristilahan yang berkaitan dengan sejarah dan tradisi akademik-maka
kita perlu berpegang pada makna dan maksud peristilahan itu supaya tidak terjadi kekacauan
semantik, khususnya dikalangan akademik. Sebab kalau di kalangan civitas academica sendiri
sudah terjadi kekaburan pengertian, maka tidak ganjil kalau persepsi masyarakat luas
mengalami distorsi berlarut-larut dengan akibat yang niscaya merugikan kaum akademisi
sendiri.
A. Kampus sebagai Kekuatan Moral Pengembangan Hukum dan HAM
Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi adalah tiga serangkai yang selalu
hangat dibicarakan orang. Pembicaraan ketiganya bukan hanya karena dipersoalkan oleh dunia
internasional, melainkan karena ketiganya adalah milik yang diwarisi manusia sejak lahir dari
kodrat IllahiNya. Namun, ketiganya sulit dilaksanakan karena sering diinjak-injak bahkan dikebiri
orang atau karena kita tidak mau dan tidak mampu melaksanakan dan menegakkanya.
Ketidakmampuan melaksanakan hukum, HAM, dan demokrasi, sampai-sampai dunia
internasional menyetop bantuannya, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyorotnya, negara-
negara berpaling dan membenci negara dan bangsa kita. Hal ini disebabkan oleh
ketidaktahuan, kurang penghormatan, dan kurang memberi jaminan kepada tegaknya hukum,
HAM, dan demokrasi di negara ini. Oleh karena itu, semua lembaga harus secara bersama-
sama berupaya melaksanakan dan menegakkan hukum, HAM, demokrasi, lebih-lebih kampus
diharapkan menjadi kekuatan moral (moral force) dalam mengembangkannya.

Anda mungkin juga menyukai