Anda di halaman 1dari 28

JURNAL HUKUM ADAT

PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN


DALAM PRESPEKTIF HUKUM ADAT JAWA
Dosen Pengampu : Mrs. Dian Ekawati S.H., M.H.

Disusun Oleh :

Nama : Acti Oktavia

NIM : 191010201004

Ruang : V-V.1044

Kelas : 03HUKE019

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
2020
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM
PRESPEKTIF HUKUM ADAT JAWA

Acti Oktavia i
Fakultas iHukum iUniversitas iPamulang
Email : Actioktavia@gmail.com i

ABSTRAK
Eksistensi hukum waris di tengah masyarakat Indonesia memiliki
tempat tersendiri yang sangat berperan dalam peristiwa-peristiwa
kewarisan. Di Indonesia dewasa ini berlaku tiga sistem hukum
tentang pewarisan, yaitu hukum waris Adat; hukum waris Barat; dan
hukum waris Islam. Hukum waris Barat berlaku bagi golongan Eropa
dan Timur Asing Cina. Sedangkan bagi Warga Negara Indonesia asli
yang tunduk pada hukum waris Islam maka berlakulah sistem hukum
waris ini. Hukum waris berfungsi untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang berhubungan dengan pewarisan. Dengan memakai
hukum waris akan dapat diketahui sistem hukum mana yang berlaku
pada suatu masyarakat. Namun dalam praktiknya masyarakat Jawa
yang mayoritas adalah muslim masih yang tidak menerapkan hukum
kewarisan Islam dalam pembagian warisan, mereka lebih memilih
menyelesaikan perkara warisan menggunakan hukum adat daripada
hukum Islam atau konvensional, karena menganggap hukum waris
adat lebih bisa memberikan keadilan bagi ahli waris.

Kata ikunci: iPembagian Harta, Pewarisan, Adat Jawa

ABSTRACT
The existence of heir law in the Indonesian society has its own place
that plays a very important role in inheritance events. In Indonesia
nowadays there are three legal systems regarding inheritance, namely
the law of Indigenous heirs; Western inheritance law; and Islamic
inheritance law. Western heirs law applies to Europeans and Chinese
Foreign East. As for the original Indonesian citizens who are subject to
Islamic heir law, then this system of heir law applies. Inheritance law
serves to solve problems related to inheritance. By using the law of
heirs it will be possible to know which legal system applies to a society.
However, in the practice of the Javanese people, the majority of whom
are still Muslims who do not apply Islamic inheritance law in the
division of inheritance, they prefer to settle matters of inheritance
using customary law rather than Islamic or conventional law, because
they consider customary inheritance law can provide justice for heirs.

Keywords: Property Distribution, Inheritance, Javanese Custom

1
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

PENDAHULUAN

Di Indonesia dewasa ini berlaku tiga sistem hukum tentang


pewarisan, yaitu hukum waris Adat; hukum waris Barat; dan hukum
waris Islam. Hukum waris Barat berlaku bagi golongan Eropa dan
Timur Asing Cina. Sedangkan bagi Warga Negara Indonesia asli yang
tunduk pada hukum waris Islam maka berlakulah sistem hukum
waris ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Eman Suparman yang
dikutip dari Retnowulan, yaitu :……hukum waris yang berlaku di
Indonesia dewasa ini masih bergantung pada “hukum waris yang
mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia. Apabila yang
meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia
maka yang berlaku adalah hukum waris adat; sedangkan apabila
termasuk golongan Eropa atau Timur Asing Cina, bagi mereka
berlaku hukum waris Barat”.1 Selanjutnya Eman Suparman
menambahkan : “Bila pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia
yang beragama Islam, tak dapat disangkal bahwa dalam beberapa hal
mereka mempergunakan peraturan hukum waris berdasarkan hukum
waris Islam”. 2
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku budaya yang
berimplikasi pada hidupnya berbagai sistem waris adat. Secara umum
hukum waris adat di Indonesia diatur menurut susunan masyarakat
adat yang bersifat patrilineal, matrilineal dan parental/bilateral.3
Selain itu pada aplikasinya penyelesaian hukum waris di masyarakat
memiliki bentuk-bentuk pembagian harta waris melalui sistem tradisi
seperti halnya dalam praktik pembagian harta warisan adat jawa
misalnya, pewaris membagi harta warisan dengan cara menunjuk ahli
waris untuk mewarisi hartanya dengan kehendak pewaris,

1Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Armico, Bandung, 1985, h. 19,
dikutip dari Retnowulan Sutantio, Wanita dan Hukum, Alumni, Bandung, 1979, h.
84-85.
2Ibid.
3
Hilman Hadikusumo, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993),
h. 10

2
Acti Oktavia

adakalanya dibagikan secara rata ataupun tidak kepada ahli warisnya


dan setiap ahli waris mempunyai bagian masing-masing yang telah
ditentukan oleh pewaris. Bahkan cara pembagian ini banyak
dilakukan sebelum pewaris meninggal kepada ahli warisnya. Dengan
kata lain adakalanya haknya diberikan setelah pewaris meninggal
tetapi dapat juga peralihan haknya sudah ada terlebih dahulu sebelum
pewaris meninggal.

Sebagaimana diketahui, suku Jawa dikenal memiliki budaya


adiluhung yang tidak hanya menyentuh bidang politik pemerintahan,
religi, tradisi, dan kesenian, tetapi juga meluas ke segala aspek
kehidupan. Suku Jawa merupakan salah satu kelompok etnik yang
cukup besar jumlahnya di Indonesia. Bahkan diprediksikan suku Jawa
menyusun kurang lebih 40% (empat puluh persen) jumlah penduduk
Indonesia. Berbicara mengenai adat budaya Jawa dalam soal
pembagian harta waris memiliki seperangkat aturan yang mengatur
seluruh mekanisme yang berkaitan dengan asas pewarisan yang
dalam prosesnya berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang dianut
oleh masyarakat di luar masyarakat Jawa tentang adat yang
mengatur ahli waris. Memahami hal mengenai kewarisan maka
sistem kekerabatan menjadi hal yang penting untuk dimengerti hal itu
lebih dikarenakan pembagian warisan dalam masyarakat adat sangat
bergantung pada sistem kekerabatan.

Menurut Hazairin asas pewarisan yang dipakai dalam


masyarakat adat tergantung dari jenis sistem kekerabatan yang
dianut. Pada masyarakat jawa sistem masyarakat jawa yang dianut
adalah parental atau bilateral. Sistem ini ditarik dari dua garis
keturunan bapak dan ibu. Sehingga memberikan implikasi bahwa
kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hal waris adalah seimbang
dan sama. Sistem ini kemudian mengharuskan setiap ahli waris
mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki
haknya masing-masing. Banyak masyarakat yang mungkin sering

3
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

mempertanyakan tentang hukum membagikan harta warisan sebelum


meninggal dunia. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah
khawatir jika dibagikan setelah meninggal dunia, para ahli waris akan
berselisih, selanjutnya akan mengakibatkan terputusnya tali
silaturahmi di antara mereka, bahkan tidak sedikit di antara mereka
yang berakhir dengan pembunuhan.

PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta warisan menurut
hukum adat Jawa?
2. Apakah yang menyebabkan masyarakat Jawa lebih memilih
menyelesaikan perkara warisan menggunakan hukum adat ?

METODE PENELITIAN
Dalam ihal iini ipendekatan iyang idigunakan ipenulis iuntuk imembahas
permasalahan idiatas iadalah idengan imenggunakan ipendekatan iyuridis
i

sosiologis iyaitu ipendekatan imasalah imelalui ipenelitian ihukum idengan


i

melihat inorma-norma ihukum iyang iberlaku idi itengah imasyarakat.


i

Selain itu penelitian ini dilakukan dengan metode studi kepustakaan,


dimana penulis menghimpun informasi yang relevan dengan topik
masalah diatas yang diperoleh dari buku-buku, karya ilmiah, tesis,
ensiklopedia, internet, serta literatur review terkait.

PEMBAHASAN

Pengertian Hukum Adat

Hukum Adat sebagai suatu sistem hukum Indonesia


mempunyai corak yang khas berbeda dengan sistem hukum yang
dianut di negara Barat. Sekalipun Hukum Adat bersifat tradisional,
yang berarti terkait pada tradisi-tradisi lama yang diwariskan oleh
nenek moyang, namun tidak boleh menarik kesimpulan secara
tergesa-gesa bahwa Hukun Adat itu pantang berubah.

4
Acti Oktavia

Hukum Adat selain bersifat tradisional juga bersifat dapat


berubah dan mempunyai kesanggupan untuk menyesuaikan diri
dengan peristiwa-peristiwa hukum yang timbul dalam perkembangan
zaman. Oleh karenanya Hukum Adat mempunyai sifat yang fleksibel
dan dinamis. Hukum adat bersifat dinamis maksudnya bahwa adat itu
dalam perkembangannya sejalan dan seirama dengan perkembangan
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Namun sifat dinamis
dalam hukum adat tidak berarti bahwa hukum adat berkembang
secara liar tanpa memperhatikan asas-asas yang ada dan
mengabaikan begitu saja segala sesuatu dari masa yang silam. Akan
tetapi perkembangan itu tidak diimbangi dengan perubahan zaman
yang begitu cepat yang terjadi di dunia global ini sehingga kebutuhan
masyarakat tentang penegakan norma-norma hukum lebih pada
norma-norma yang tekstualis. Hukum adat juga bersifat fleksibel
maksudnya ketentuan-ketentuan hukum adat sebagai hukum yang
bersumber dalam kehidupan masyarakat yang selalu mengalami
perkembangan masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat bersangkutan sehingga tidaklah kaku.

Dengan demikian Hukum Adat yang timbul dan berakar dari


kenyataan hidup dalam masyarakat, proses pengkaidahannya tidak
tergantung kepada penguasa dan masyarakat. Hukum Adat sebagai
hukum yang hidup berlakunya tidak tergantung kekuasaan penguasa;
akan tetapi tergantung pada kekuatan proses sosial yang terjadi
dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, apabila
penguasa memutuskan untuk mempertahankan Hukum Adat sebagai
hukum yang hidup, tetapi hukum itu sudah mati, maka putusan itu
akan sia-sia belaka.

Dalam hal ini Van Volenhoven mengemukakan bahwa : Jikalau


dari atas atau penguasa diputuskan untuk mempertahankan Hukum
Adat, padahal hukum itu sudah mati, maka penetapannya itu akan
sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas

5
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

bahwa Hukum Adat harus diganti, padahal di desa-desa di ladang-


ladang, dan di pasar-pasar hukum itu masih kokoh serta kuat maka
hakimpun akan sia-sia belaka.

Hukum Adat merupakan salah satu sumber penting untuk


memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan Hukum Nasional sebab
Hukum Adat berintikan kepribadian atau jiwa bangsa dan menjelma
menjadi Hukum Nasional. Hukum Adat yang berintikan kepribadian
bangsa Indonesia perlu dimasukkan sebagai salah satu ke dalam
lembaga-lembaga hukum baru, agar hukum baru itu sesuai dengan
rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Hal ini
berarti Hukum Adat mempunyai fungsi dan peranan dalam
memelihara dan mempersatukan bangsa. Oleh karenanya Hukum
Adat tidak lagi ditafsirkan sebagai hukum penduduk asli, tetapi
sebagai hukum tidak tertulis dari bangsa Indonesia yang harus digali
dan dimanfaatkan bagi pembinaan hukum nasional.4

Pengertian Hukum Waris Adat

Adat merupakan suatu pencerminan dari kepribadian sesuatu


bangsa, merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang
bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, tiap-tiap bangsa di
dunia ini memiliki adat sendiri satu dengan yang lain tidak sama.
Dengan adanya ketidaksamaan ini, dapat dikatakan bahwa adat itu
merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas kepada
bangsa yang bersangkutan. Adat berasal dari bahasa Arab yang
berarti kebiasaan. Hukum waris adat adalah Hukum Adat yang
memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas hukum waris,
harta warisan, pewaris dan ahli waris serta bagaimana cara harta
warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikan dari pewaris kepada
ahli waris. Sehingga pada hakikatnya Hukum Waris Adat adalah

4
Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.

6
Acti Oktavia

penerusan dan pengoperan harta kekayaan dari suatu generasi


kepada keturunannya.

Hukum waris adat mempunyai keistimewaan tersendiri, karena


harta warisan sudah dapat dipindahkan, atau beralih maupun
dioperkan kepada yang berhak menerimanya berdasarkan hukum,
pada waktu pewaris masih hidup pada umumnya tatkala pewaris
sudah tua (tidak kuat bekerja lagi). Hal inilah yang membedakan
hukum waris adat dengan hukum waris menurut Bur-gerlijk Wetboek
(BW).5

Untuk lebih memahami pengertian Hukum Waris Adat, sengaja


dikutip beberapa pendapat para ahli antara lain :

Soepomo, mengemukakan bahwa :

Hukum Adar Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur


proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan
barang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.6

IGN. Sugangga mengutip pendapat Soepomo, “mewarisi”


menurut anggapan tradisional orang jawa bermaksud mengoperkan
harta keluarga kepada keturunannya, yaitu terutama kepada anak
laki-laki dan anak-anak perempuan. Dan proses meneruskan dan
mengoperkan barang-barang harta keluarga kepada anak-anak,
kepada keturunan keluarga itu, telah dimulai selagi orang tua masih
hidup. Demikian pula dapat dilihat tidak ada perbedaan anak laki-laki
dan anak perempuan dalam hal menerima harta warisan dari orang
tuanya.7

5
Sugangga, Hukum Waris Adat, CV. Sumber Karya, Universitas Diponegoro, 1995.
6
Soepomo, Bab-ban tentang Hukum Adat, Pradnya Pratama, Jakarta, 2000.
7
IGN, Sugangga. (1993). Hukum Waris Adat Jawa Tengah Naskah Penyuluhan
Hukum. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP. hlm. 1.

7
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

Ter Haar merumuskan pengertian Hukum Waris Adat :

Hukum Waris Adat meliputi peraturan-peraturan hukum yang


bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang
akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan
material dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi
berikutnya.

Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan


hukum yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke
generasi.8

Demikian pula, Soeripto mengemukakan bahwa :

Hukum Waris Adat adalah mengatur penerusan harta kekayaan


materiel atau immaterriel dari suatu generasi (angkatan) kepada ahli
waris.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian Hukum Waris


Adat itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan
dan peralihan harta kekayaan (berwujud dan tidak berwujud) dari
pewaris kepada ahli warisnya. Proses penerusan dan peralihan itu
dapat dimulai sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris
meninggal dunia.

Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat Jawa

• Sistem Kewarisan Adat Jawa


Masyarakat Indonesia mengenal tiga macam sistem kewarisan,
yaitu pertama sistem kewarisan individual, kedua sistem kewarisan
kolektif, dan ketiga sistem kewarisan mayorat36. Sistem kewarisan
individual ialah bahwa setiap waris dapat menguasai dan atau

8
Hilman Hadikusumo. (2015). hlm. 7.

8
Acti Oktavia

memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing seperti


yang berlaku dalam masyarakat parental di Jawa.9

• Sumber Hukum Adat


Beberapa ahli hukum adat mengemukakan bahwa sumber hukum
bervariasi. Van Vollen Hoven mengatakan sumber hukum adat adalah
kebiasaan dan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat,
dan pencatatan hukum oleh raja-raja, seperti di Jawa Timur, Kitab
Hukum Ciwasana oleh Raja Darma Wangsa, dan Kitab Hukum Gajah
Mada dan penggantinya “Kanaka” yang memberi perintah membuat
kitab hukum Adigama, di Bali Kitab Hukum Kutara Manawa.
Menurut Djojodiguno sumber hukum adat termasuk ugeran-ugeran
(kaidah atau norma) yang langsung timbul sebagai pernyataan
kebudayaan orang Indonesia asli, tegasnya sebagai rasa keadilannya
dalam hubungan pamrih.10

• Asas-Asas Hukum Waris Adat


Hukum kewarisan adat yang berkembang dalam masyarakat
Indonesia, terdiri dari lima asas: Asas ketuhanan dan pengendalian
diri, asas kesamaan dan kebersamaan hak, asas kerukunan dan
kekeluargaan, asas musyawarah dan mufakat, dan asas keadilan.11

• Unsur-Unsur Kewarisan
Dalam hukum waris adat atau dimana saja persoalan hukum waris
itu akan dibicarakan, maka ia akan menyangkut tiga rukun/unsur
yaitu: pertama, adanya harta peninggalan atau harta kekayaan
pewaris yang disebut warisan, kedua, adanya pewaris, ketiga, adanya
waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau

9
Hilman Hadikusumo. (2015). hlm. 24-25.
10
Komari. (2001). Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Waris. Jakarta: Bphn
Puslitbank Dep. Hukum dan Ham.
11
Zainuddin Ali. (2008 hlm. 9

9
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

pembagian harta warisan itu yang terdiri dari ahli waris dan mungkin
juga bukan ahli waris.12

• Harta warisan
IGN. Sugangga menyatakan, menurut hukum adat Jawa Tengah
harta warisan terdiri dari :

1. Barang asal atau barang gawan, yang terdiri lagi atas; pertama,
barang pusaka, yaitu barang-barang yang diwarisi secara turun
temurun dari leluhurnya. Contoh: keris, tombak, kitab-kitab, dan
lain-lain, kedua, barang bawaan atau gawan, yaitu barang yang
dibawa oleh masing-masing pihak yaitu suami atau istri sebelum
perkawinan berlangsung, ketiga, barang hadiah yang diperoleh
secara pribadi selama perkawinan berlangsung, misalnya tanah
atau sawah yang diperoleh oleh masing-masing pihak suami atau
istri sebagai warisan. Hadiah berupa kalung, cincin, atau barang-
barang lainnya yang didapat dari hadiah perkawinan atau bekal
perkawinan.
2. Barang gono-gini. Barang-barang atau harta ini dihasilkan oleh
suami istri secara kerja sama gotong-royong, sering juga
dinamakan harta atau barang-barang pencaharian bersama. Harta
ini di Jawa tengah merupakan hak bersama suami istri.13

• Pewaris
Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan ketika
hidupnya kepada waris atau orang yang setelah wafat meninggalkan
harta peninggalan yang diteruskan atau dibagikan kepada waris atau
waris. tegasnya pewaris adalah empunya harta peninggalan atau
empunya harta warisan.14

12 Hilman Hadikusumo. (2015). hlm. 3-4.


13 IGN. Sugangga. (1993). hlm. 12.
14 Hilman Hadikusumo. (2015). hlm. 13.

10
Acti Oktavia

Pada umumnya yang berkedudukan sebagai pewaris dalam


susunan kekerabatan yang cenderung mempertahankan garis
keturunan parental atau pihak kedua orang tua (ayah dan ibu)
bersama, sebagaimana berlaku di kalangan masyarakat Jawa-
Madura, adalah terutama ayah dan ibu bersama, atau ayah atau ibu
yang hidup terlama, begitu pula kakek atau nenek ke atas baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu menjadi pewaris bagi anak cucu
mereka.15

• Ahli waris
Ahli waris menurut hukum adat pada dasarnya yang menjadi ahli
waris adalah para warga pada generasi berikutnya yang paling karib
dengan pewaris atau yang disebut dengan ahli waris utama, yaitu
anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga atau brayat si pewaris
dan yang pertama mewaris adalah anak kandung.16

Menurut adat tradisional Jawa, semua anak laki-laki baik


perempuan, lahir lebih dahulu atau belakangan, memiliki hak yang
sama atas harta peninggalan orang tuanya.17 Namun di beberapa
daerah terutama di Jawa Tengah berlaku sistem sepikul segendong,
dimana anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat lebih banyak
bagian dari pada anak perempuan.18

Ahli waris dalam masyarakat bilateral adalah anak kandung (anak


laki-laki dan anak perempuan). Di masyarakat bilateral (Jawa), anak
laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak yang sama atas harta
warisan orang tuanya. Hal ini tidak berarti tiap-tiap anak mempunyai
hak sama menurut jumlah angka, akan tetapi pembagian itu

15 Hilman Hadikusumo. (1991). hlm. 29


16 Imam Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas , Cet. 2 (Yogyakarta : Liberty , 1981), H.
162
17 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Cet. 14 (Jakarta : Pradnya Paramita,

1996), h. 80
18 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cet. 4 (Bandung : Pt. Citra Aditya

Bakti, 1990), h. 72

11
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

didasarkan pada kebutuhan dan kepatutan serta kemampuan


(kondisi) dari masing-masing ahli waris.

Anak kandung (laki-laki atau perempuan) adalah merupakan


generasi penerus dari orang tuanya. Oleh karena itu harta warisan
dalam bentuk apapun akan diteruskan pada anak kandung yang pada
gilirannya sebagai barang asal. Hal ini sesuai dengan falsafah
perkawinan bangsa Indonesia yang salah satu tujuan pokok
perkawinan adalah untuk meneruskan keturunan (anak), agar dapat
menjadi penerus hidupnya. Dengan mendasarkan persamaan hak
antara anak laki-laki dan perempuan maka seyogyanya bagian
warisan masing-masing adalah sama besar (satu dibanding satu).

Pada masyarakat adat Jawa yang pertama berkedudukan sebagai


ahli waris adalah anak pria dan wanita serta keturunannya (cucu-
cucunya). Jika pewaris tidak mempunyai anak sama sekali, tidak pula
mempunyai anak pupon atau anak angkat dari anak saudara atau
dari anak orang lain, maka harta akan diwarisi berturut-turut oleh
orang tua, bapak atau ibu pewaris, dan apabila tidak ada baru
saudara-saudara kandung pewaris atau keturunannya, dan jika ini
tidak ada pula barulah kakek atau nenek pewaris. Dan apabila kakek
dan nenek pewaris juga tidak ada maka diberikan kepada paman atau
bibi, baik dari garis ayah maupun dari garis ibu pewaris. Jika sampai
tingkat ini tidak ada maka akan diwariskan oleh anggota keluarga
lainnya.19

Menurut Sudiyat, dalam hukum adat Jawa para ahli waris dapat
dikelompokkan dalam tata urutan utama sebagai berikut :

1. Keturunan pewaris;
2. Orang tua pewaris;
3. Saudara-saudara pewaris atau keturunannya, dan

19
Hilman Hadikusuma. (1990). hlm. 72.

12
Acti Oktavia

4. Orang tua dari orang tua pewaris dan keturunannya.20

• Pewarisan
Pewarisan adalah suatu proses peralihan harta dari pewaris
kepada ahli waris. Proses pewarisan ini dapat terjadi pada waktu
orang tua (pewaris) masih hidup atau dapat pula terjadi pada waktu
orang tua (pewaris) sudah meninggal dunia. Proses pewarisan itu
dimulai pada waktu orang tua (pewaris) masih hidup dengan cara
pemberian kemudian apabila masih ada sisa harta yang belum
diberikan, dilanjutkan setelah pewaris meninggal dunia. Pada
masyarakat Jawa cara pembagian warisan didominasi oleh dua sistem
kewarisan yang terjadi ketika pewaris masih hidup dan setelah
pewaris meninggal.21

1. Sebelum Pewaris Wafat


Proses pewarisan ketika pewaris masih hidup dapat terjadi dengan
berbagai cara yang berbeda, tetapi secara substansi tetap sama, di
antaranya yaitu :

- Penerusan atau Pengalihan (Lintiran)


Pengalihan (lintiran) atau penerusan harta kekayaan pada saat
pewaris masih hidup adalah diberikannya harta kekayaan tertentu
sebagai dasar kebendaan sebagai bekal bagi anakanaknya untuk
melanjutkan hidup atau untuk membangun rumah tangga.22

- Penunjukan (Acungan)
Penunjukan (acungan) adalah pewaris menunjukkan penerusan
harta waris untuk pewaris akan tetapi hanya untuk pengurusan serta
diambil manfaatnya saja, mengenai kepemilikan masih sepenuhnya
milik pewaris. Apabila penerusan atau pengalihan (lintiran)

20 Imam Sudiyat dan Agus Sudaryanto. (2010). Studi Aspek Antologi Pembagian
Waris Adat Jawa. Jurnal Mimbar hukum, 22(03).
21 Anggita Vela.(2015). Pembagian Waris pada Masyarakat Jawa Ditinjau dari

Hukum Islam dan Dampaknya. Jurnal As-Salam, 4(02), hlm. 75


22 Anggita Vela. (2015). hlm. 77

13
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

mengakibatkan berpindahnya penguasaan dan pemilikan atas harta


kekayaan sebelum pewaris wafat, maka dengan penunjukan (acungan)
penguasaan dan pemilikan atas harta kekayaan baru berlaku
sepenuhnya kepada waris setelah pewaris wafat.23

- Pesan atau Wasiat (Welingan atau Wekasan)


Pesan (welingan) ini biasanya dilakukan pada saat pewaris sakit
dan tidak bisa diharapkan kesembuhannya, atau ketika akan pergi
jauh seperti naik haji. Cara ini baru berlaku setelah pewaris benar-
benar tidak pulang atau benar-benar meninggal. Jika pewaris masih
pulang atau belum neninggal pesan ini bisa dicabut kembali.24

2. Setelah Pewaris Wafat


Menurut Koentjaraningrat, dalam hal pembagian waris adat Jawa
para ahli etnografi sering melaporkan bahwa mereka menemui
kesulitan dalam mendeskripsikan adat pembagian warisan pada
masyarakat Jawa, walaupun para ahli hukum adat telah berhasil
mencatat peraturan-peraturan normatif mengenai hukum adat waris
Jawa dengan rapi. Norma pembagian harta warisan ini tergantung
pada keadaan orang Jawa itu sendiri. Orang Jawa yang santri
biasanya membagi warisan berdasarkan hukum Islam, sedangkan
yang lain membagi berdasarkan hukum adat Jawa yang memberi dua
kemungkinan, yaitu: berdasarkan cara sapikul sagèndhongan, atau
bahwa semua anak mendapat warisan yang sama besarnya (cara dum
dum kupat atau sigar semangka).25

1. Cara sapikul sagendhongan


Secara harfiah, kata sapikul sagendhongan berarti satu pikul satu
gendongan. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa laki-laki
mendapat bagian warisan dua (sapikul) berbanding satu

23 Hilman Hadikusuma. (1990). hlm. 97.


24 Hilman Hadikusuma. (1990). hlm. 99.
25 Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai

Pustaka. hlm. 161.

14
Acti Oktavia

(sagendhongan) dengan perempuan. Seperti halnya laki-laki yang


memikul, ia membawa dua keranjang dalam pikulannya, yakni satu
keranjang di depan dan satu keranjang lagi di belakang. Sementara
perempuan hanya membawa satu keranjang yang ia letakkan di
punggungnya, atau yang biasa disebut digendong. Jadi maksudnya
adalah bagian anak laki-laki dua kali lebih besar dari pada anak
perempuan, sama halnya dalam Islam yaitu 2:1.26

Dalam pandangan masyarakat Jawa, laki-laki dianggap memiliki


tugas dan tanggung jawab yang lebih berat dibandingkan dengan
perempuan. Ketika hendak menikah, anak laki-laki harus
mempersiapkan diri untuk melamar, memberikan mas kawin (asok
tukon), dan selanjutnya bekerja untuk menghidupi keluarganya kelak.
Sementara anak perempuan hanya menunggu dilamar, diberi mas
kawin (asok tukon), dan mendapatkan nafkah lahiriah dari suaminya
kelak. Bahkan tidak sekedar itu, laki-laki Jawa juga diharapkan dapat
melaksanakan lima-A, yaitu angayani (memberi nafkah lahir dan
batin), angomahi (membuatkan rumah sebagai tempat berteduh bagi
anak istri), angayomi (menjadi pengayom dan pembimbing keluarga),
angayêmi (menjaga kondisi keluarga agar aman, tenteram, dan bebas
dari gangguan), dan yang terakhir adalah angatmajani (mampu
menurunkan benih unggul).27

2. Cara dum dum kupat atau sigar semangka


Pada masyarakat Jawa sebagian besar pembagian waris
menggunakan cara dum dum kupat atau sigar semangka dimana
bagian anak laki-laki dan perempuan sama dan seimbang dalam
memberikan hak bagi anak laki-laki dan perempuan karena mereka
beranggapan semua anak adalah sama, diasumsikan bahwa keduanya
samasama akan membangun keluarga yang memerlukan banyak

26Anggita Vela. (2015). hlm. 79.


27Suwardi Endraswara. (2006). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala. hlm.
53-54

15
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

modal. Bagian yang sama besarnya ini dimaksudkan sebagai modal


berumah tangga. Dengan sistem ini menurutnya dirasa adil sebab baik
istri maupun suami sama-sama menyumbang atau membantu
membangun ekonomi bagi keluarganya sendiri.

Pelaksanaan Pembagian Waris Pada Masyarakat Jawa

Pewarisan adalah suatu proses peralihan harta dari pewaris


kepada ahli waris. Proses pewarisan ini dapat terjadi pada waktu
orang tua(pewaris) masih hidup atau dapat pula terjadi pada waktu
orang tua (pewaris) sudah meninggal dunia. Proses pewarisan itu
dimulai pada waktu orang tua (pewaris) masih hidup dengan cara
pemberian kemudian apabila masih ada sisa harta yang belum
diberikan, dilanjutkan setelah pewaris meninggal dunia. pada
masyarakat Jawa didominasi oleh dua sistem kewarisan yang terjadi
ketika pewaris masih hidup dan setelah pewaris meninggal.

Prinsip tahap regenerasi inilah yang merupakan ciri pokok yang


esensial dalam masyarakat Adat Jawa. Timbulnya dua tahap
regenerasi ini terjadi karena harta keluarga yang terdiri dari harta
asal suami, harta asal istri dan harta bersama merupakan dasar
materiil bagi kehidupan keluarga. Harta itu nantinya akan disediakan
pula untuk dasar materiil bagi kehidupan keturunan keluarga itu.
Oleh karena itu keturunan (anak) merupakan hal yang penting dalam
kehidupan keluarga dan merupakan salah satu tujuan utama dalam
perkawinan, yaitu untuk meneruskan angkatan atau keturunan.
Sehingga kematian pewaris tidak begitu berpengaruh dalam proses
pewarisan hal inilah yang menyebabkan pemahaman masyarakat
Jawa mengenai pelaksanaan kewarisan yang dilakukan sebelum
meninggal, walaupun kematian orang tua (pewaris) merupakan suatu
peristiwa penting bagi proses tersebut. Pada masyarakat yang pada
umumnya adalah penduduk yang beragama Islam, seharusnya proses
pewarisan adalah tahap regenerasi harta warisan setelah orang tua

16
Acti Oktavia

(pewaris) sudah meninggal. Namun pada kenyataannya yang terjadi


pada masyarakat Jawa menyatakan proses pewarisan berlangsung
pada waktu orang tua (pewaris) masih hidup.

Sikap dan tindakan orang tua tersebut timbul dari rasa


kekhawatiran sesuatu hal yang mungkin terjadi diantara ahli waris
dengan adanya harta warisan. Menghindari perselisihan juga
nampaknya merupakan salah satu unsur yang dominan yang
mendorong orang tua melakukan pembagian harta warisan.

Sikap kebersamaan dalam keluarga ini adalah merupakan


unsur penting dalam tataan kehidupan keluarga maupun masyarakat,
sehingga dengan sikap ini akan menjadikan ahli waris tidak lagi
mempermasalahkan sama atau tidaknya jumlah pembagian waris
yang diterima, akan tetapi yang paling diutamakan adalah rasa
kerukunan diantara pihak ahli waris.

Pelaksanaan pengoperan atau peralihan harta warisan sebelum


pewaris meninggal dapat terjadi “saat itu”, yang artinya harta warisan
itu dimiliki dan dikuasainya serta dimanfaatkan secara langsung pada
saat setelah pemberian berlangsung. Di samping itu atas harta
warisan hanya “mengolah” yang beralih artinya hak milik harta
warisan itu masih dimiliki oleh pewaris, sedangkan ahli waris hanya
diserahi hak pemanfaatan atau pengolahan harta tersebut. Kemudian
cara yang terakhir dari peralihan dan pengoperan adalah “ditunjuk”
artinya ahli waris hanya ditunjukkan bagian masing-masing, tetapi
baik harta warisan maupun hak penguasaannya belum beralih dan
masih dikuasai orang tua. Sedangkan pemilikan dan penguasaan
harta warisan itu baru akan beralih setelah pewaris meninggal dunia.
Motivasi adanya penunjukkan dalam proses pewarisan adalah suatu
usaha untuk mencegah perselisihan antar ahli waris. Di samping itu
agar pembagian itu memenuhi rasa keadilan menurut anggapan
pewaris. Kemudian pelaksanaan pembagian warisan pada upacara

17
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

selamatan kematian pewaris, karena pada saat itu para ahli waris
sedang berkumpul di rumah orang tua (pewaris).

Lebih lanjut pada masyarakat Jawa proses pewarisan dapat


berjalan sebelum pewaris meninggal dunia. Proses pewarisan ketika
pewaris masih hidup dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu
penerusan atau pengalihan (lintiran), penunjukan (acungan), dan
mewasiatkan atau berpesan (weling atau wekas).

Pengalihan (lintiran) atau penerusan harta kekayaan pada saat


pewaris masih hidup adalah diberikannya harta kekayaan tertentu
sebagai dasar kebendaan sebagai bekal bagi anak-anaknya untuk
melanjutkan hidup atau untuk membangun rumah tangga. Sebagai
contoh pewarisan dengan cara penerusan adalah keluarga yang terdiri
dari dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Karena anak laki-
laki tertua telah dewasa dan kuwat gawe (mampu bekerja) maka
ayahnya memberikan sebidang tanah. Anak kedua perempuan saat
dinikahkan ia diberi sebuah rumah. Penunjukan (acungan) adalah
pewaris menunjukkan penerusan harta waris untuk pewaris akan
tetapi hanya untuk pengurusan serta diambil manfaatnya saja,
mengenai kepemilikan masih sepenuhnya milik pewaris.

Kepemilikan harta terhadap ahli waris akan berlaku


sepenuhnya jika pewaris telah meninggal. Sebagai contoh, misalnya
sawah dari pohon jambu sampai batas sungai adalah untuk si A,
sedangkan dari batas sungai sampai pohon beringin untuk si B.

Berpesan (weling atau wekas) adalah pewarisan yang dilakukan


ketika seseorang khawatir akan penyakitnya yang tidak akan sembuh
dan akan meninggal, maka untuk menghindari perselisihan diantara
ahli waris maka pewaris berpesan untuk membagi-bagikan hartanya
dengan cara yang layak atau sama rata untuk ahli warisnya.

18
Acti Oktavia

Pada umumnya, pewarisan di Jawa yang dibagikan kepada ahli


waris ketika pewaris masih hidup dan ahli waris sudah dewasa/
menikah dan berpisah dari orang tuanya/pewarisnya harta warisan
dibagi tidak serempak antara para ahli warisnya, karena pewaris
melakukan pengalihan atau penunjukkan saat anak-anaknya sudah
mantap dalam berumah tangga. Biasanya anak laki-laki atau
perempuan yang sudah menikah dibekali tanah pertanian (sawah),
pekarangan untuk membangun rumah, atau hewan ternak.

Harta kekayaan pewaris yang diberikan kepada ahli waris


dimaksudkan sebagai bekal kebendaan dalam mendirikan atau
memperkokoh kehidupan rumah tangga anak. Pembagian harta waris
yaitu dengan cara musyawarah antara orang tua/pewaris dan semua
anak ahli warisnya tanpa ada campur tangan dari pihak luar.

Pesan atau wasiat dari orang tua kepada para waris ketika
masih hidup biasanya diucapkan secara terang dan di saksikan oleh
para waris, anggota keluarga, tetrangga atau tua-tua desa.

Setelah pewaris meninggal dunia, proses pewarisan terjadi


melalui cara penguasaan atau pembagian. Penguasaan atas harta
warisan dilakukan jika harta warisan tersebut tidak dibagi atau
karena pembagiannya ditunda dengan berbagai alasan seperti pewaris
tidak mempunyai keturunan, ahli waris belum dewasa, atau adanya
utang-piutang yang belum diselesaikan. Apabila harta warisan akan
dibagi, maka hal yang perlu diperhatikan adalah masalah
menentukan waktu yang baik untuk dilakukan pembagian warisan.
Walaupun pembagian warisan tidak ditentukan dengan pasti, tetapi
pada umumnya pembagian warisan dilakukan setelah upacara
sedekah atau selamatan pewaris. Hal ini dikarenakan pada waktu
tersebut dapat dipastikan para ahli waris dapat berkumpul.

Dapat dilihat dari hal ini bahwa pada masyarakat Jawa


masalah waktu pembagian warisan, terdapat perbedaan antara

19
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

hukum Islam dengan hukum adat. Dalam hukum Islam, pembagian


warisan hanya dapat berlangsung setelah terjadinya kematian
sedangkan tradisi dalam Masyarakat Jawa tidak demikian karena
pembagian warisan dapat berlangsung saat pewaris masih hidup.
Masalah pembagian waris pada masyarakat Jawa sangat ditentukan
oleh situasi dan kondisi masing-masing keluarga.

Mengingat masyarakat Jawa sebelum pewaris meninggal dunia


sudah mengenal tradisi ataupun kebiasaan memberi warisan baik
lewat tradisi acungan, garisan, atau lintiran, maka penundaan
pembagian warisan dianggap wajar sebab masing-masing ahli waris
sebenarnya telah menerima bagian sebelum seseorang pewaris
meninggal. Lain hal nya dalam Islam yang sesegera mungkin harta
warisan dibagiakan setelah semua biaya untuk keperluan pewaris
selesai.

Pada sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa


membagikan harta warisan sebelum meninggal dunia dan
membagikannya sama rata antara anak laki-laki dan perempuan
sama rata itu lebih baik, karena dengan hal ini tidak akan terjadi
perselisihan ataupun perebutan harta warisan, karena masih
disaksikan oleh pewaris.

Pada umumnya di masyarakat Jawa ahli waris merupakan


seorang atau beberapa orang yang berhak menerima harta warisan
dari pewaris. Menurut masyarakat Jawa ahli waris yang pertama dan
utama dari pemilik harta kekayaan adalah anak. Dengan demikian
dalam hal waris mewarisi masyarakat Jawa sangat mengutamakan
hubungan darah. Di samping itu, ada pula prinsip saling menutup
bagi kelompok ahli waris satu terhadap hak waris kelompok lainnya.
Maksudnya adalah jika ahli waris anak hadir, maka secara otomatis
ahli waris lain tidak berhak menjadi ahli waris karena tertutup oleh
ahli waris utama.

20
Acti Oktavia

Dalam Islam jumlah golongan ahli waris yang cukup luas sebab
ahli waris tidak terbatas hanya pada anak-anak melainkan meluas ke
istri, orang tua, dan saudara kandung. Berbeda pada masyarakat
Jawa yang ahli warisnya lebih sederhana sebab harta hanya
diwariskan ke tingkat anak saja, dalam artian keseluruhan harta
warisan jatuh hanya kepada anak. Hal ini dikarenakan masyarakat
Jawa cenderung menginginkan harta supaya terpusat hanya pada
anak keturunan langsung agar pemanfaatannya lebih bisa dirasakan
pada keluarga yang mempunyai hubungan nasab. Dengan demikian,
tidak peduli jumlah harta yang dikumpulkan oleh pewaris besar atau
kecil, harta tersebut hanya boleh dinikmati oleh keturunan langsung,
bukan yang lainnya.

Pada dasarnya sistem kewarisan yang berlaku pada masyarakat


Jawa adalah menggunakan sistem kewarisan bilateral, yaitu semua
ahli waris baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai
hak untuk mewarisi harta peninggalan/milik pewarisnya (orang tua).

Pembagian harta waris pada masyarakat Jawa antara ahli


waris satu dengan ahli waris yang lainnya secara umum memperoleh
bagian waris yang sama dari harta pemilik pewarisnya, tanpa
membedakan apakah anak itu laki-laki maupun anak perempuan.

Pada masyarakat Jawa, anak laki-laki dan anak perempuan


memiliki kedudukan yang sama dalam hal pewarisan. Laki-laki dan
perempuan sama-sama memiliki hak untuk mewarisi harta ayah dan
ibunya, tetapi tidak ada masalah jika bagian diantara keduanya tidak
sama, asalkan ada kesepakatan dalam keluarga. Akan tetapi cara
pembagian harta waris tergantung pada keadaan harta dan ahli waris
dan diupayakan untuk dijalankan secara rukun dan bersifat
kebersamaan melalui musyawarah mufakat. Di kalangan masyarakat
Jawa dikatakan ada dua kemungkinan dalam pembagian warisan
antara anak laki-laki dan perempuan, di antaranya yaitu;

21
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

a) Cara segendong sepikul


Secara harafiah, kata sapikul sagendhongan berarti satu pikul satu
gendongan. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa laki-laki
mendapat bagian warisan dua (sapikul) berbanding satu
(sagendhongan) dengan perempuan. Seperti halnya laki-laki yang
memikul, ia membawa dua keranjang dalam pikulannya, yakni satu
keranjang di depan dan satu keranjang lagi di belakang. Sementara
perempuan hanya membawa satu keranjang yang ia letakkan di
punggungnya, atau yang biasa disebut digendong. Jadi maksudnya
adalah bagian anak laki-laki dua kali lebih besar dari pada anak
perempuan, sama halnya dalam Islam yaitu 2 : 1.

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa dalam


masyarakat Jawa semua anak baik laki-laki maupun perempuan
dalam hal pewarisan memiliki hak yang sama atas harta orang
tuanya. Hak yang sama mengandung pengertian bahwa semua anak
berhak untuk diperlakukan sama. Yaitu berhak mendapatkan harta
warisan dari orang tuanya.

Di sisi lain jika anak laki-laki mendapat bagian lebih besar dari
anak perempuan juga tidak ada masalah asalkan dalam hal
pembagian ini didasarkan pada prinsip kepatutan. Prinsip menjaga
harmoni atau kerukunan dan menghindari pertikaian yang
diakibatkan pembagian warisan, hal ini yang masyarakat Jawa masih
tetap di anut.

Perbedaan laki-laki dan perempuan tampak semakin jelas ketika


masyarakat Jawa melakukan pembagian warisan dengan cara sepikul
seghendongan dengan ketentuan pria mendapat sepikul dan wanita
mendapat segendongan. Dari hal ini dapat diartikan bahwa sebagian
masyarakat Jawa yang melakukan sistem pembagian warisan sepikul
segendongan, menggambarkan bahwa sikap masyarakat yang
meninggikan pria dibandingkan wanita. Pria harus mendapatkan

22
Acti Oktavia

bagian yang lebih dalam segala hal, termasuk warisan. Dalam hal ini
pria dianalogikan sebagai orang yang hebat, sakti, dan istimewa
dibandingkan wanita. Itu sebabnya pria Jawa memiliki tugas dan
tanggung jawab yang lebih dibandingkan wanita. Laki-laki
berkewajiban menafkahi keluarga, istri dan anak. Di samping itu,
dikarenakan sifat kelaki-lakian melebihi sifat kewanitaan dalam fisik
maupun psikis, laki-laki dianggap sebagai pemimpin wanita. Pria
harus melaksanakan lima A, yaitu angayani (memberi nafkah lahir
batin ), angomahi (membuat rumah sebagai tempat tinggal), angayomi
(pengayom dan pembimbing keluarga), angayemi (menjaga
ketentraman keluarga), angamatjani (mampu menurunkan
keturunan).

b) Cara dum dum kupat atau sigar semangka


Pada masyarakat Jawa sebagian besar pembagian waris
menggunakan prinsip sigar semangka, yaitu suatu prinsip yang
memberikan hak yang sama bagi anak laki-laki dan perempuan
karena diasumsikan bahwa keduanya sama-sama akan membangun
keluarga yang memerlukan banyak modal. Bagian yang sama
besarnya ini dimaksudkan sebagai modal berumah tangga. Dengan
sistem ini menurutnya dirasa adil sebab baik istri maupun suami
sama-sama menyumbang bagi ekonomi keluarga sehingga istri tidak
sepenuhnya ditanggung oleh suami, istri ikut membantu membangun
ekonomi bagi keluarganya sendiri.

Pada masyarakat Jawa yang umumnya serba kekurangan akan


tertolong dengan prinsip pembagian sigar semangka, pada umumnya
model sigar semangka diambil sebagai dasar kebijakan pembagian
waris suatu keluarga setelah diperhatikan bahwa anak-anaknya baik
laki-laki maupun perempuan, dikatakan belum cukup mampu untuk
hidup mandiri dari segi ekonomi.

23
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

Dengan demikian, esensi pembagian waris dengan prinsip sigar


semangka adalah adanya suatu kesinambungan keturunan agar dapat
bertahan menopang keperluan hidup berumah tangga. Musyawarah
inilah yang pada akhirnya nanti akan menentukan besar kecilnya
bagian yang akan diterima oleh masing-masing ahli waris.

Musyawarah diadakan/yang dibahas di situ biasanya lebih kepada


mengenai letak tanah dimana para ahli waris nanti akan diberi
warisan. Letak suatu tanah pada masyarakat Jawa sangat
diperhatikan karena besar harta warisan pada masyarakat tersebut
adalah tanah, jadi letak tanah sangat mempengaruhi terhadap cocok
tidaknya para ahli waris yang akan menerimanya. Para ahli waris
akan merasakan keadilan atas pemberian dari pewarisnya, jika letak
tanah yang diterima sesuai dengan keinginannya. Biasanya dalam
pembagian ini peran orang tua sangat menentukan mengenai
bagaimana (dimana letak tanah tersebut) yang akan diberikan kepada
ahli warisnya. Akan tetapi dalam hal ini orang tua sebagai pewaris
tidak boleh sewenang-wenang atau pilih kasih kepada salah satu ahli
warisnya, dalam hal ini musyawarah tetap yang diutamakan sebagai
solusinya.

Para ahli waris semua diberi bagian yang sama, akan tetapi ada
yang membedakan yaitu khususnya anak ragil secara tradisi/
kebiasaan memperoleh tambahan yang tidak sedikit dan hal itu tidak
diperoleh oleh ahli waris yang lainnya, yaitu selain anak ragil
memperoleh bagian waris seperti yang diperoleh oleh ahli waris yang
lain, anak ragil juga memperoleh rumah beserta isinya milik orang
tua/pewarisnya tanpa membedakan apakah anak ragil itu laki-laki
ataupun perempuan.

KESIMPULAN
Hukum waris adat dianggap masih sangat berperan dalam pola
kehidupan masyarakat adat Jawa dalam pembagian warisan

24
Acti Oktavia

dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia maupun setelah pewaris


meninggal dunia, karena hukum waris adat dianggap selalu mengikuti
perkembangan kehidupan pada masyarakat adat Jawa.
Dalam kewarisan menggunakan pembagian harta waris
berdasarkan Adat Jawa, proses peralihan harta ini tidak terikat
terhadap meninggalnya pewaris. Kewarisan pada masyarakat Jawa
adalah kewarisan masih mengutamakan sifat kerukunan dalam
pembagian harta warisnya. Pewarisan dilaksanakan sebelum adanya
kematian yang mutlak dari pewaris. Karena pembagian harta waris
dilakukan dengan menggunakan cara yaitu; Lintiran (Pengalihan),
Acungan (penunjukkan), Weling atau Wekas (mewasiatkan atau
berpesan).
Kemudian dalam hukum kewarisan masyarakat Jawa, kedudukan
antara laki-laki dan perempuan adalah disamakan antara hak laki-
laki dan perempuan. Dengan adanya kesepakatan untuk membagi
rata harta warisan, maka bagiannya antara laki-laki dan perempuan
sama. Namun, apabila mereka berkehendak untuk membagi warisan
secara hukum waris Islam, maka sesuai dengan hukum waris Islam
bahwa bagian laki-laki lebih besar dari pada bagian perempuan yaitu
dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan. Karena
dianggap beban tanggung jawab lelaki terhadap keluarga lebih berat
jika dibandingkan dengan perempuan. Adapun bagian anak laki-laki
dan perempuan dikalangan masyarakat Jawa sangat tergantung
kepada kondisi para ahli waris. Dalam artian adakalanya
menggunakan sistem sigar semangka (sama rata) atau dengan sistem
segendong sepikul (dua berbanding satu).

SARAN
Masalah kewarisan merupakan masalah yang sangat pokok yang
akan dialami oleh umat muslim. Dengan penelitian secara seksama
persepsi itu dapat diminimalisir bahkan dihilangkan jika setiap orang,

25
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PRESPEKTIF
HUKUM ADAT JAWA

badan hukum atau lembaga lainnya yang memiliki tanggung jawab


untuk introspeksi diri dan saling mengingatkan.

Penelitian-penelitian tentang Hukum Waris pada masyarakat adat


di Jawa perlu ditingkatkan frekuensinya. Semakin banyak penelitian-
penelitian yang dilakukan maka akan diketemukan asas-asas atau
prinsip-prinsip Hukum Waris Adat yang dapat diterima oleh
masyarakat adat yang tidak saling bertentangan untuk menuju
univikasi hukum waris nasional.

DAFTAR iPUSTAKA

Agus Wantaka, A. R. (2019). PEMBAGIAN WARISAN DALAM


PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT JAWA
(Studi Komparasi). ProsA AS : Prosiding Al Hidayah Ahwal Asy-
Syakhshiyah, Vol. 01 No. 1.

Ali, Z. (2008). Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar


Grafika.

Endraswara, S. (2006). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.

Hadikusuma, H. (1983). Sejarah Hukum Adat Indonesia. Bandung:


Alumni.

Hadikusuma, H. (1990). Hukum Waris Adat. Bandung: PT Citra


Aditya Bakti.

Hadikusuma, H. (1993). Hukum Waris Adat. Bandung: PT Citra


Aditya Bakti.

Hadikusumo, H. (1991). Hukum Waris Indonesia Menurut


Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Dan Islam.
Bandung: Citra Aditya Bakti.

26
Acti Oktavia

IGN, S. (1993). Hukum Waris Adat Jawa Tengah Naskah Penyuluhan


Hukum. Semarang: Fakultas Hukum Undip.

Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Cetakan ke-2. Jakarta:


Balai Pustaka.

Komari. (2008). Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Waris.


Jakart: Bphn Puslitbank Dep. Hukum dan Ham.

Mufti, M. I. (2011). Kesetaraan Pembagian Waris Dalam Adat


Bawaean Gersik Jawa Timur. Skripsi.

Soepomo. (1996). Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Cet. 14. Jakarta:


Pradnya Paramita.

Soepomo. (2000). Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya


Pratama.

Sudiyat, I. (1981). Hukum Adat: Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty.

Sugangga. (1995). Hukum Waris Adat. Universitas Diponegoro: CV


Sumber Karya.

Suparman, E. (1985). Intisari Hukum Waris Indonesia. Bandung:


Armico.

Sutantio, R. (1979). Wanita dan Hukum. Bandung: Alumni.

Vela, A. (2015). Pembagian Waris pada Masyarakat Jawa Ditinjau dari


Hukum Islam dan Dampaknya. Jurnal As-Salam, 4(02), 75.

27

Anda mungkin juga menyukai