Anda di halaman 1dari 9

DINAMIKA DAN DILEMA DALAM INTERAKSI SOSIAL

A. Manusia Sebagai Bagian Dari Masyarakat

Sebagai awal dari penjelasan manusia sebagai bagian dari masyarakat, mari kita
pahami dahulu, apa pengertian dari konsep masyarakat. Menurut Marion Levy,
masyarakat memiliki 4 kriteria, yaitu 1. memiliki kemampuan untuk bertahan melebihi
masa hidup seorang individu; 2. rekrutmen seluruh atau sebagian anggota melalui
reproduksi; 3. kesetiaan pada suatu “sistem tindakan utama bersama”; 4. adanya sistem
tindakan utama yang bersifat “swasembada”. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh
Talcott Parsons (1968). Ia mendefinisikan masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang
swasembada, melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara
reproduksi biologis, serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya. Jika
Talcott Parson melihat masyarakat sebagai suatu sistem sosial maka manusia yang
merupakan anggota dari suatu masyarakat disebut makhluk sosial.
Pada pembahasan sebelumnya, dijelaskan bahwa apa yang kita sebut sebagai
makhluk sosial adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu memiliki
kebutuhan untuk dapat berinteraksi dengan orang lain dalam rangka memenuhi
kebutuhannya. Dengan kata lain, manusia tidak dapat hidup sendiri, artinya manusia
selalu hidup berkelompok. Karenanya, dalam masyarakat terdapat banyak kelompok-
kelompok yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan atau berinteraksi. Ini
yang selanjutnya kita sebut sebagai hubungan antarkelompok, atau interaksi
antarkelompok. Di sisi lain, dalam kehidupan berkelompoknya, manusia tidak hanya
hidup dan tergantung pada satu kelompok tertentu saja. Akan tetapi, karena ada
kebutuhan untuk saling berinteraksi antara kelompok yang satu dengan yang lain maka
anggota dari satu kelompok tertentu akan dapat saling berinteraksi dengan anggota dari
kelompok yang lain. Bahkan, mereka dapat juga masuk dan menjadi bagian dari
kelompok lain tersebut tanpa harus terlepas dari kelompok asalnya. Dengan kata lain,
seorang individu manusia dapat saja menjadi anggota dari satu atau lebih
kelompok/masyarakat.
Contohnya adalah seorang anak yang merupakan anggota dari suatu keluarga,
pada saat perkembangannya ia akan mulai banyak berinteraksi dan memasuki dunia
pertemanan sebaya. Untuk selanjutnya, mereka akan menjadi bagian dari suatu peer
group (teman sebaya/sepermainan) yang tentunya peran anak tersebut dalam kelompok
asalnya (dalam hal ini, keluarga) tidak hilang. Dengan kata lain, pada saat yang
bersamaan, ia berada dan berpartisipasi dalam dua kelompok yang berbeda. Begitu pula
selanjutnya, manakala dalam perkembangan diri seorang manusia, ia akan banyak dan
semakin banyak menemukan kelompok-kelompok lain, yang sesuai dengan tujuan dan
kebutuhan hidupnya, seiring dengan kebutuhan hidupnya yang akan terus berubah dan
berkembang.
Sebagai contoh, sadar atau tidak sadar Anda sekarang ini tidak hanya menjadi
bagian dari suatu keluarga, tetapi juga bagian dari masyarakat di desa/kota tempat Anda
tinggal. Lebih luas lagi, Anda juga termasuk dalam masyarakat kesukuan Anda, anggota
dari masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia. Kedudukan Anda sebagai bagian
dari kelompok masyarakat memberikan Anda ruang gerak untuk berinteraksi dengan
anggota kelompok lainnya. Bahkan, kelompok Anda akan juga berhubungan dengan
kelompok lain. Dengan demikian, bukan hanya manusia (sebagai makhluk individu)
yang berinteraksi dengan manusia lain (sehingga menjadi makhluk sosial), akan tetapi
juga kelompok perlu berhubungan dan berinteraksi dengan kelompok lain (hubungan
antarkelompok). Hubungan antarindividu dan hubungan antarkelompok dalam suatu
masyarakat akan membentuk apa yang disebut sebagai pola hubungan/pola interaksi. Di
dalam pola interaksi sosial yang terbentuk, sesungguhnya berisikan pola-pola tindakan
dari tiap-tiap individu yang ada di dalamnya, yang terlibat dalam interaksi sosial
tersebut.
Apakah hubungan dan interaksi sosial itu perlu ada? Iya, karena berdasarkan
pandangan Comte yang juga merupakan bapak sosiologi, masyarakat pada dasarnya
dapat dianalogikan sebagai organisme biologis dalam tubuh manusia, dalam hal ini ada
saling keterkaitan fungsional di antara semua organ biologis tubuh manusia. Bila satu
bagian tubuh sakit maka hal ini akan berpengaruh terhadap organ tubuh lainnya. Contoh
sederhana yang dapat Anda bayangkan adalah apabila Anda sakit gigi. Memang hanya
gigi Anda yang sakit, akan tetapi bila didiamkan maka rasa sakit itu tidak hanya akan
Anda rasakan di gigi, tetapi juga di seluruh bagian tubuh Anda. Selanjutnya, Anda tidak
akan dapat menjalankan aktivitas Anda. Dengan kata lain, semua bagian tubuh Anda
akan dapat bekerja dengan baik bila kondisi gigi Anda baik, begitu pula hal yang terjadi
pada semua anggota atau unsur tubuh Anda. Dalam suatu masyarakat, hubungan
fungsional ini juga dapat kita lihat dengan jelas dalam kehidupan keseharian kita. Coba
Anda bayangkan, bila Anda sama sekali tidak berhubungan dan berinteraksi dengan
orang-orang dari kelompok kelas sosial bawah (misalnya, tukang sampah, pemulung,
pembantu/pesuruh, dan lain-lain). Bayangkan apakah Anda dapat bekerja dengan baik
dan tenang, bayangkan sampah di rumah Anda tidak akan diambil, dan terus
menumpuk, bayangkan Anda harus melakukan semua pekerjaan kotor dan berat sendiri.
Apakah Anda dapat mengandalkan orangorang yang memiliki kelas sosial yang
sama dengan Anda untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut? Cobalah pikirkan
dan Anda jawab sendiri, untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana kita semua
saling membutuhkan, tanpa memandang kelas sosial seseorang. Ini tentunya dapat
membuka wawasan Anda, untuk kemudian dapat membangun kearifan Anda dalam
bersikap dan berperilaku dengan orang-orang di sekitar Anda.
Pola-pola perilaku dalam interaksi inilah, yang selanjutnya oleh Kornblum
disebut sebagai struktur sosial. Menurut Kornblum, dalam kaitannya dengan pola
perilaku individu dan kelompok, struktur sosial dapat didefinisikan sebagai “the
recurring patterns of behavior that create relationships among individuals and groups
within a society”-- pola perilaku berulang-ulang yang menciptakan hubungan
antarindividu dan antarkelompok dalam masyarakat.
Dalam membahas struktur sosial, kita dihadapkan pada dua konsep utama dari
struktur sosial itu sendiri, yaitu konsep “status” (status) dan konsep “peran” (role). Ralp
Linton mendefinisikan status sebagai kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran
adalah aspek dinamis dari status sehingga dalam statusnya, seseorang akan memiliki
peran tertentu yang berhubungan dengan statusnya di dalam kelompok dan
masyarakatnya. Contoh, bila seseorang yang berstatus sebagai dokter maka ia akan
memiliki hak dan kewajibannya sebagai dokter, sedangkan peran seorang dokter
mengacu pada bagaimana ia menjalankan hak dan kewajibannya sebagai dokter,
misalnya berperan memeriksa pasien, memberikan resep obat, memutuskan pasien
harus ditangani secara operasi atau tidak, dan lain-lain.
Penting bagi kita memahami apa status dan peran kita di dalam masyarakat.
Karena secara struktural, apa yang kita lakukan erat kaitannya dengan status yang kita
miliki. Misalnya, saat Anda menjadi pemimpin, Anda harus tahu bagaimana Anda harus
berperan sebagai pemimpin. Seorang pemimpin memiliki peran untuk mengatur dan
melindungi orang-orang yang dipimpinnya. Melindungi keselamatan, kesehatan,
kebahagiaan, dan kekompakan anggota tim yang Anda pimpin adalah peran-peran yang
harus Anda lakukan sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang bertindak
otoriter, menekan bawahannya, tidak bersikap membimbing, bahkan tidak memberikan
perlindungan bagi anggota yang dipimpinnya adalah bukan orang yang paham tentang
struktur kepemimpinan yang baik. Hidup dalam suatu masyarakat berbudaya tentu
paham akan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya. Nilai mana yang baik dan
mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah sehingga saat menjalankan
peran kita di dalam masyarakat, kita harus paham benar bagaimana nilai dan norma
yang ada pada peranan yang kita lakukan di dalam struktur masyarakat kita.
Keterampilan sosial kita dalam menjalankan peran-peran kita di dalam masyarakat
harus dilihat dalam kaitannya dengan status yang melekat pada diri kita.
Status seseorang dalam masyarakat memiliki hierarki (tingkatan). Seorang
manajer memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan seorang karyawan. Seseorang
yang berstatus sebagai karyawan akan memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan
seseorang yang berstatus office boy/girl. Hierarki status ini biasanya dikaitkan dengan
status sosial ekonomi. Dalam hal ini, kepemilikan sumber daya akan memengaruhi pola
perilaku seseorang dalam menjalankan peran sosialnya di dalam masyarakat. Mengapa
demikian? Mari kita lihat penjelasan berikut ini.
Kita tentu tahu, bahwa sumber daya itu terbatas. Baik sumber daya alam,
teknologi, uang, kekuasaan, keahlian, dan lain-lain. Keterbatasan sumber daya inilah
yang membuat individu-individu manusia bersaing untuk dapat memperoleh lebih
banyak dari yang lain (persaingan). Kadangkala, dalam persaingan tersebut terjadi
konflik (pertikaian). Dalam usahanya untuk memperoleh sumber daya tersebut, manusia
berusaha melakukan berbagai interaksi dan hubungan sosial dengan individu lain untuk
memperoleh bantuan (kerja sama dan saling memengaruhi), baik langsung maupun
tidak langsung. Pada saat itu, seseorang melakukan banyak interaksi sosial dengan
orang lain, baik sebagai individu maupun sebagai anggota suatu kelompok(hubungan
antarkelompok). Hal ini tentu saja tidak terlepas dengan statusnya dalam masyarakat.
Interaksi yang dibangun tiap-tiap anggota masyarakat ini lalu membentuk pola-pola
perilaku. Pola-pola perilaku yang terbentuk dari suatu kelompok masyarakat berbeda
dengan pola perilaku yang dibentuk oleh kelompok masyarakat lainnya sehingga bila
kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, pola perilaku masyarakat kelas atas berbeda
dengan pola perilaku masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Pola perilaku
masyarakat kelas menengah berbeda dengan pola perilaku masyarakat kelas bawah.
Begitu juga halnya dengan pola perilaku dari suatu kelompok suku/etnis tertentu
berbeda dengan kelompok suku/etnis lainnya.
Tiap-tiap individu dalam suatu kelas sosial tertentu, tidak serta-merta hanya
berinteraksi dengan sesama individu dan kelompok dari kelas sosial yang sama. Akan
tetapi, ada suatu kebutuhan hidup yang menuntut mereka juga berinteraksi dengan
individu dan kelompok lain dari kelas sosial yang berbeda. Begitu juga untuk individu
(anggota masyarakat) dari kelompok etnis tertentu tidak hanya terbatas pada
interaksinya dengan kelompok etnisnya, tetapi juga akan butuh berinteraksi dengan
kelompok etnis lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara maka penting bagi kita
mengembangkan keterampilan berkehidupan bersama. Karena sebagai makhluk sosial
tidak ada manusia, baik secara individu maupun kelompok, yang dapat hidup tanpa
individu atau kelompok lainnya.
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial sangat dipengaruhi oleh
masyarakatnya. Sebaliknya, baik buruknya suatu masyarakat tergantung dari bagaimana
manusia-manusia yang membentuknya sehingga manusia tidak dapat dilepaskan dari
kebutuhannya akan masyarakat, dan masyarakat akan dipengaruhi oleh perilaku-
perilaku manusia di dalamnya.
Membangun masyarakat yang hebat harus diawali dengan pengembangan
sumber daya manusia di dalamnya. Ini tentu saja menjadi bagian dari peran dan
tanggung jawab sistem pendidikan dalam masyarakat tersebut, sehingga tidak heran bila
banyak negara memberikan investasi besar-besaran yang ditujukan untuk
pengembangan sumber daya manusia yang mereka miliki. Menjadi manusia yang
bertanggung jawab dan memiliki loyalitas yang tinggi pada kepentingan bangsa dan
negara adalah bagian dari itu sehingga manusia-manusia pintar yang terdidik, akan
memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi untuk kembali dan membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya. Kami berharap Anda merupakan bagian dari itu.
B. Dinamika Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah tindakan yang terjadi antara dua orang atau lebih yang
saling menentukan arah, tujuan, dan cara tindakan kedua belah pihak. Berkaitan dengan
arah dan tujuan dari segala tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat
dalam suatu interaksi, Gillian dan Gillian menggolongkan interaksi sosial atas interaksi
sosial yang prosesnya bersifat asosiatif, dan interaksi sosial yang prosesnya bersifat
disosiatif. Proses yang bersifat asosiatif adalah suatu bentuk proses sosial yang
mempersatukan mereka yang berinteraksi, sedangkan proses yang bersifat disosiasif
adalah suatu bentuk proses sosial yang memecah mereka yang berinteraksi.
Mark L. Knapp13 dalam bukunya yang berjudul Social Intercourse: From
Greeting to Goodbye, menjelaskan bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi
melalui proses-proses yang asosiatif diawali dengan tahap memulai (initiating),
menjajaki (experimenting), meningkatkan (intensifying), menyatupadukan (integrating),
dan mempertalikan (bonding). Contoh yang dapat Anda amati adalah sepasang kekasih
yang melewati tahap perkenalan, lalu berpacaran, lalu merencanakan menikah,
kemudian melewati tahap pertunangan, dan kemudian menikah.
Sementara itu, untuk bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi melalui proses-
proses yang disosiatif diawali dengan tahap membeda-bedakan (differentiating),
membatasi (circumscribing), memacetkan (stagnating), menghindari (avoiding), dan
memutuskan (terminating). Contoh yang mudah yang dapat Anda amati adalah proses
berpisahnya sepasang kekasih.
Perlu diingat bahwa Knapp memvisualisasikan tahap interaksi, seperti jenjang-
jenjang anak tangga, manakala kita dapat bergerak terus ke atas sampai mencapai
puncak anak tangga (pertalian); atau kita dapat bergerakterus ke bawah sampai anak
tangga terendah (pemutusan hubungan). Tetapi, kita juga dapat berhenti di satu anak
tangga tanpa ke atas ataupun ke bawah. Dalam menjalani tahapan interaksi sosial
tersebut, interaksi sosial manusia bisa saja berubah dari yang memulai, lalu menjajaki,
lalu membeda-bedakan, kemudian membatasi. Misalnya, pada saat seorang pebisnis
yang ingin mendekati calon rekan bisnisnya. Pada awalnya, ia mencoba memulai
interaksi, lalu menjajaki kemungkinan melakukan kerja sama dengan mengajukan
beberapa pertanyaan dalam perbincangan perkenalannya. Sayang ternyata ia tidak
menemukan prospek bisnis yang bagus yang dapat ia kembangkan bersama calon rekan
bisnisnya. Pada saat itu, ia mulai membicarakan perbedaan orientasi bisnis yang
dijalani. Kemudian, memutuskan untuk menyudahi interaksinya dalam pertemuan bisnis
tersebut, dan membatasi interaksi dengan calon bisnisnya tersebut.
Telah dijelaskan di awal bahwa berkaitan dengan arah dan tujuan dari segala
tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu interaksi, Gillian
dan Gillian menggolongkan interaksi sosial atas interaksi sosial yang prosesnya bersifat
asosiatif dan interaksi sosial yang prosesnya bersifat disosiatif. Dalam kaitannya dengan
itu, Gillian dan Gillian melihat bahwa terdapat beberapa bentuk dari interaksi sosial,
yaitu

1. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang bersifat asosiatif, di antaranya:


a. Kerja sama (Co-operation) Bentuk interaksi sosial seperti ini, biasanya timbul
karena adanya suatu tujuan yang sama dari tiap-tiap orang yang berinteraksi, dan
mereka merasa akan dapat lebih mudah dan lebih cepat bila dilakukan secara
bersama-sama (bekerja sama). Akan tetapi, dalam suatu kerja sama harus ada
saling memahami dan memiliki kesadaran untuk saling mengendalikan diri.
Kerja sama antar individu atau kelompok, timbul karena masing-masing pihak
yang berinteraksi menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan yang hanya
dapat terwujud bila mereka saling bekerja sama. Misalnya, pada saat gotong-
royong membersihkan lingkungan. Setiap warga masyarakat sadar bahwa
lingkungan yang bersih akan memberikan pengaruh pada keindahan dan
kesehatan lingkungan tempat tinggal mereka. Warga juga akan lebih sehat
karena udara pada lingkungan yang bersih akan lebih bersih juga sehingga
parawarga lingkungan mau bekerja sama dalam membersihkan lingkungan. Di
sisi lain, kerja sama timbul karena orientasi seseorang terhadap kelompoknya.
Kerja sama antarindividu dalam satu kelompok mungkin akan semakin kuat
apabila ada bahaya atau serangan dari kelompok lain terhadap kelompoknya.
Contohnya, pada saat suatu kampung mendapat serangan dari warga kampung
tetangga, warga di kampung tersebut akan saling bekerja sama untuk
menghadapi serangan dari kampung tetangganya.
b. Akomodasi Dalam kaitannya dengan interaksi sosial, akomodasi dipandang
sebagai suatu proses interaksi sosial yang ditujukan untuk menyelesaikan
pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, dengan saling mengadakan
penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Misalnya, sepasang
suami istri yang berkonflik dan berencana melakukan perceraian. Sebagai bagian
dari keluarga, biasanya orang tua berusaha membantu kedua belah pihak untuk
tidak bercerai. Yang biasanya dilakukan orang tua adalah melakukan mediasi
hingga kedua belah pihak mau dan berusaha kembali melakukan interaksi untuk
memperbaiki keadaan. Tentunya dengan cara saling menyesuaikan diri untuk
tidak menimbulkan ketegangan lagi.
c. Asimilasi dan Akulturasi Asimilasi adalah suatu bentuk interaksi sosial yang
ditandai dengan usaha mengembangkan sikap-sikap yang sama, walaupun
kadang bersifat emosional untuk tujuan mencapai kesatuan dan integrasi.
Asimilasi ini terjadi pada pihak-pihak yang berbeda kebudayaannya, yang saling
berinteraksi secara intensif untuk waktu yang lama sehingga masing-masing
pihak berubah, dan saling menyesuaikan diri. Jadi, pada asimilasi kedua belah
pihak yang berinteraksi melakukan peleburan unsur-unsur kebudayaan sehingga
menghasilkan pola-pola adat istiadat dan interaksi sosial baru yang mereka
miliki bersama, yang berbeda dengan pola-pola adat istiadat dan interaksi sosial
yang masing-masing mereka miliki sebelumnya. Sementara itu, apabila interaksi
sosial tersebut tidak diusahakan untuk meleburkan dua perbedaan menjadi satu,
tetapi justru pihak yang satu mengambil pola-pola adat istiadat dan interaksi
yangdimiliki pihak lain maka yang terjadi adalah suatu interaksi sosial yang
berbentuk akulturasi. Baik asimilasi maupun akulturasi akan terjadi, apabila
interaksi di antara pihak-pihak yang terlibat terjadi terus-menerus, intensif, dan
dalam jangka waktu yang lama.
2. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang bersifat disosiatif, diantaranya:
a. Persaingan Persaingan atau kompetisi dapat diartikan sebagai suatu bentuk
interaksi manakala tiap-tiap individu/kelompok saling berusaha mendapatkan
perhatian, penghormatan, pengakuan, dan lain sebagainya, lebih baik
dibandingkan individu/kelompok yang lain. Bentuk-bentuk persaingan di
antaranya adalah persaingan ekonomi, persaingan kebudayaan, persaingan
kedudukan dan peranan, dan persaingan ras. Misalnya, persaingan di antara
siswa untuk memperebutkan juara 1 di kelas, persaingan di antara pedagang,
persaingan di antara karyawan suatu kantor untuk mendapatkan promosi jabatan,
dan lain-lain.
b. Kontravensi Kontravensi atau pertentangan adalah suatu bentuk interaksi sosial
yang didasarkan atas sikap yang tersembunyi dari satu atau dua pihak yang
berinteraksi, yang dapat berubah menjadi suatu kebencian, akan tetapi tidak
sampai menjadi suatu konflik. Misalnya, interaksi sosial antara 2
orang/kelompok yang saling memperdebatkan suatu pendapat/perilaku yang
mereka anggap benar.
c. Konflik Konflik atau pertikaian adalah bentuk interaksi sosial manakala
seorang/kelompok berusaha mencapai atau memenuhi tujuannya dengan jalan
menantang orang/kelompok lain dengan berbagai cara, seperti ancaman, hujatan,
celaan, dan atau tindakan kekerasan. Contohnya dalam interaksi dengan teman,
kita kadang berkonflik. Kadang diwarnai dengan celaan atau bahkan kekerasan.
Konflik antarsuku bangsa, konflik antarwarga, konflik rumah tangga, dan
sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai