Anda di halaman 1dari 5

METODE DESIGN THINKING

SOSIOLOGI PERTANIAN
OLEH:

NAMA : PUTRI AFRI MARYENI


NO. BP : 1810213001
KELAS : AGRO F
DOSEN PENGAMPU : Ferdhinal Asful, SP. M.Si

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
METODE DESIGN THINKING

Metode Design Thinking


Design Thinking adalah salah satu metode baru dalam melakukan proses desain. Design Thinking
merupakan metode penyelesaian masalah yang berfokus pada pengguna atau user. Metode Design
Thinking (MDT), merupakan metode pengembangan produk yang berawal dari upaya menjawab
permasalahan yang ada di masyarakat.
Design Thinking adalah sebuah pola pemikiran dari kaca mata desainer yang dalam
memecahkan masalahnya selalu dengan pendekatan human oriented. Di beberapa negara,kaidah ini telah
dikembangkan dalam berbagai bidang seperti dunia bisnis, pengembangan produk, sosial, budaya,
keputusan politik, kebijakan hingga berbagai strategi jangka pendek dan jangka panjang. Design
Thinkingjuga diterapkan dalam bidang pendidikan,contoh yang populer adalah Design Thinking for
Educators. Design Thinking mengkolaborasikan proses-proses sistematis yang berpusat pada manusia
sebagai penggunanya melalui proses terencana sehingga menghasilkan perubahan perilaku dan kondisi
yang sesuai harapan. Terdapat empat pilar dalam Design Thinking, yakni pilar keseimbangan,
kerangkaberpikir, penguunaan alat/toolkits dan pola pendekatan (Glinski, 2012).
Design thinking memiliki beberapa elemen penting yaitu :
1. People centered : dalam metode ini, perlu ditekankan bahwa setiap tindakan yang dilakukan berpusat
pada apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh user (pengguna).

2. Highly creative : dalam menggunakan metode ini, dapat digunakan kreativitas sebebasnya, tidak perlu
aturan yang terlalu kaku dan baku

3. Hands on : proses desain memerlukan percobaan langsung oleh tim desain, bukan hanya pembuatan
teori atau sebuah gambaran di kertas

4. Iterative : proses desain merupakan sebuah proses dengan tahapan-tahapan yang dilakukan berulang-
ulang untuk melakukan improvisasi dan menghasilkan sebuah produk atau aplikasi yang baik
Kesetimbangan merupakan pilar pertama dalam kaidah Design Thinking, konsep kesetimbangan
akan kebutuhan digunakan untuk membuktikan bahwa sebuah inovasi harus dapat diselenggarakan dan
dibuktikan dengan sebuah penciptaan. Dalam dunia bisnis, banyak reasoning dilakukan secara
induktif, sedangkan cara deduktif sering digunakan untuk memprediksi kondisi di masa yang akan datang.
Kondisi lain terjadi di dunia desainer, resoningdilakukan secara abduktif untuk menemukan konklusi
tanpa kebenaran eksplisit, sehingga yang perlu dilakukan adalah dengan menyeimbangkan kedua mazhab
dan pemikiran di atas.Pilar kedua adalah adanya kerangka berpikiryang tepat. Dalam proses berinovasi
dibutuhkan pencarian ide-ide baru dengan melakukan penelitian, pola interaksi dan mempelajari
mengenai apa yang baru dan datang untuk menginformasikan untuk menghasilkan sebuah
persepi yang berpusat pada manusia (human-centered).Pada pilar yang ketiga adalah alat atau toolkit.
Proses inovasi membutuhkan cara-cara baru dalam mempresentasikan ide-ide.
Banyak perancang melakukan berbagai cara seperti menggambar, mengilustrasikan, membuat
prototipe, proses bercerita, komuniksi verbal dan berbagai dokumentasi dilakukan untuk
mempresentasikan ide. Dalam dunia nyata, hal-hal tersebut dilakukan dan dieksplorasi untuk dapat
mengkomunikasikan ide dengan lebih efektif.Pilar yang terakhir adalah pola pendekatan. Proses
inovasi dapat menjadi proses organisasi yang sistematis, dan Design Thinking adalah sebuah proses
bermain dan belajar yang menarikdan mampu menstimulasipelakunyadengan sangat baik. Namun jika
tanpa kerangka berpikir dan berkegiatan yang baik maka proses inovasi tidak akan berjalan dengan
baik.Dengan empat pilar tersebut, Design Thinkingdapat melengkapi proses pembelajaran agar proses
penguasaan kompetensi dapat berjalan lebih efektif dengan pola pembelajaran yang menyenangkan
dan menstimulasi mahasiswa untuk mampu berpikir secara kreatif dan kritis.
Design Thinking yang didalamnya mengedepankan proses Discovery-Interpretation-Ideation-
Experimentation-Creationternyata dapatditerapkan dalam pola pengembangan dan pelaksanaan proses
pembelajaran yang inovatif seperti diilustrasikan pada Gambar 1 berikut.

Dalam konsep pembelajaran tradisional kecenderungan yang terjadi adalah pola pembelajaran
berbasis 1. Behaviorisme (mengerti dan mengingat) dimana pembelajaran berlangsung atas reaksi pada
stimulasi eksternal, 2. Konstruksiorisme (penciptaan dan evaluasi) diamana pembelajaran adalah proses
dari perolehan dan penyimpanan informasi dan 3. Kongnitivitas (analisa dan aplikasi) dimana
pembelajaran merupakan proses dari membangun realitas subjektif. Padaera digital seperti saat
ini berkembang basis konektivisme (pengenalan, pemahaman dan konektivitas) dimana proses
pembelajaran dilakukan dengan menghubungkan titik-titik sumber informasi yang ada. Ketika teori
pembelajaran tradisional di atas yang dikolaborasikan dengan proses pembelajaran kontektivitsme
pada masa digital maka akan dilahirkan sebuah proses pembelajaran yang lengkap.Untuk mendapatkan
hasil yang lengkap dengan proses pembelajaran yang sesuai pada saat ini, maka dengan menerapkan
kaidah Design Thingking, proses pembelajaran mampu mengkolaborasikan kebutuhan saatinidengan
memperhatikan berbagai aspek dalam pendidikan dan pengembangan kemampuan ilmiah.DesignThinking
juga mengakomodir untuk dapat mengembangkan kemampuan otak kiri yang menyangkut
kemampuan menulis, bahasa, keterampulan sains, matematika dan logika sekaligus mensinergikannya
dengan kemampuan otak kanan dimana mengeksplorasi kreatifitas, kesadaran spasial, imajiansi,
dimensi, musik, seni dan lainnya.
Proses dengan metode design thinking akan menghasilkan produk yang tidak hanya dapat dijual
atau menggunakan teknologi yang paling canggih. Metode ini menggabungkan kebutuhan user atau
pengguna, dengan kemampuan teknologi yang sesuai, dan tetap membuat sesuatu yang dapat berhasil
sebagai sebuah bisnis.
Proses MDT diperkenalkan dengan berbagai versi dan tahapan. Salah satu tahapan MDT yang
banyak dirujuk adalah, lima tahapan yaitu:
1. Empathize
Merupakan tahap pertama yang menuntut pemahaman masalah yang akan dicarikan solusinya.
Pada fase ini desainer diharapkan mampu memasuki dunia pengguna, memahami cara pandang mereka
terhadap permasalahan yang dihadapinya. Pendalaman masalah berdasarkan sudut pandang pengguna akan
menghasilkan solusi benar – benar menyesuaikan dengan kondisi penggunanya.
2. Define
Fase pengumpulan data yang dihasikan dari fase empathize, lalu di analisis dan disintesa hingga
didapatkan inti permasalahan yang dihadapi pengguna.
3. Ideate
Fase ketiga dimana terjadi proses yang menghasilkan solusi. Pada fase ini diharapkan mulai berfikir
“outside the box”. Dimulai dengan mengidentifikasi solusi baru yang berdasarkan pada pernyataan
masalah yang dihasilkan dari fase define. Bila terjadi kemandegan, maka cara pandang terhadap masalah
yang sebaiknya dirubah.
4. Prototype
Fase mewujudkan ide ke dalam bentuk model atau prototip yang murah, atau model dengan skala
yang diturunkan dari produk aslinya. Pembuatan prototip lebih diarahkan pada pemenuhan model studi,
agar tim desainer dapat menginvestigasi kehandalan solusi yang dihasilkan dari tahap sebelumnya.
5. Test
Fase pengujian keseluruhan, yang dilakukan dengan ketat. Fase terakhir namun dapat dilakukan
secara berulang – ulang, sehingga dapat diketahui solusi yang diusulkan sesuai dengan harapan desainer,
terlebih calon pengguna.

SUMBER :
2017. Design thinking. https://sis.binus.ac.id/2017/12/18/design-thinking-2/. Diakses 10
November 2020
Baskoro, M.L., dan B.N. Haq. 2020. Penerapan Metode Design Thinking Pada Mata Kuliah Desain
Pengembangan Produk Pangan. Jurnal IKRA-ITH Humaniora. Vol 4 No 2 Bulan Juli 2020.
Glinski, P. 2012. Design Thinking And The Facilitation Process. Collaborative Design Workshop. NSW,
Australia
Graeber, A, 2012. Practical PBL Series: Design An Instructional Unit In Seven Phases. Edutopia.

Anda mungkin juga menyukai