Anda di halaman 1dari 27

SKRINING FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS SITOTOKSIK

DARI TUMBUHAN OBAT DIPANTAI SEKILAK BATAM

TERHADAP LARVA UDANG (Artemia Salina Leach)

PROPOSAL

Diajukan Sebagai Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Farmasi

DISUSUN OLEH:

VERANICHA LESTARI

61608100817073

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

INSTITUT KESEHATAN MITRA BUNDA

BATAM

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki perairan laut

yang sangat luas, serta kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman

biota laut. Salah satunya di kota Batam, Kepulauan Riau. Biota laut

merupakan salah satu kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Berbagai

usaha telah dilakukan manusia untuk mengetahui manfaat yang terkandung

dalam biota laut. Usaha yang tak kenal lelah mulai menunjukkan hasil dengan

ditemukannya berbagai jenis senyawa bioaktif baru yang ditemukan pada

biota Laut. (Suparno, 2005)

Menurut Ismet (2007) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biota

laut memiiki potensi yang sangat besar dalam menghasilkan senyawa-

senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat. Sejak tahun

1980-an, perhatian dunia pengobatan mulai terarah keberbagai macam biota

laut sebagai sumber daya yang sangat potensial. Beberapa biota laut yang

diketahui dapat menghasilkan senyawa aktif antara lain adalah spons,

moluska, bryozoa, tunikata, rumput la dan lain-lain. Dengan kata lain masih

banyak spesies tumbuhan di Indonesia yang belum dikenal manfaatnya,

sehingga berpeluang untuk diteliti lebih lanjut

Senyawa aktif biologis rumput laut merupakan metabolit sekunder

yang meliputi alkaloid, flavonoid, terpenoid, tannin, dan saponin(Jamil et al.,

2010) Senyawa flavonoid diketahui mampu menginduksi terjadinya


apoptosis. Apoptosis yaitu kematian sel terprogram dan berperan penting

dalam penghambat kanker (Manggau, 2013)

Antikanker diharapkan memiliki toksisitas yang selektif artinya dapat

menghancurkan sel kanker tanpa merusak jaringan normal (Nafrialdi dan

Ganiswara, 2005). sekarang ini belum banyak obat antikanker yang

memenuhi kriteria tersebut sehingga perlu dikembangkan obat baru yang

mempunyai efek terapi yang baik (Katzung, 2002). Obat antikanker yang ada

umumnya selain memiliki khasiat sebagai antikanker obat tersebut juga

bersifat merusak sel-sel yang tumbuh normal (Yuandani, et al., 2017).

Keadaan ini mendorong dilakukannya penelitian untuk menemukan

antikanker yang diharapkan memiliki toksisitas selektif yaitu menghancurkan

sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal (Ganiswara dan Nafrialdi,

2005).

Berdasarkan kajian diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui potensi Tanaman di Pantai Sekilak Batam sebagai bahan obat

anti kanker, Sehingga pada penelitian ini akan dilakukan Uji Skrining

Fitokimia,dan aktivitas sitotoksik pada tumbuhan yang didapat dari Pantai

Sekilak Batam.
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini yaitu:

1. Apa kandungan fitokimia yang terdapat dalam tumbuhan yang didapat

dari Pantai Sekilak Batam?

2. Tumbuhan manakah yang memiliki aktivitas sitotoksik yang didapat dari

Pantai Sekilak Batam?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kandungan fitokimia yang terdapat dalam tumbuhan

yang didapat dari Pantai Sekilak Batam

2. Untuk mengetahui tumbuhan manakah yang memiliki aktivitas sitotoksik

yang didapat dari Pantai Sekilak Batam

1.4 Manfaat Penelitia

1.4.1 Bagi Peneliti

1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang tumbuhan laut.

2. Untuk mengetahui senyawa yang terdapat didalam tumbuhan obat X dan

aktivitas sitotoksik yang berpotensi sebagai obat antikanker.

1.4.2 Bagi Institusi

Untuk dijadikan acuan sebagai referensi pada penelitian selanjutnya

tentang tumbuhan obat X di Pantai Sekilak Batam


1.4.3 Bagi masyarakat

Untuk memberikan informasi tentang potensi tumbuhan obat X sebagai

pengobatan antikanker
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biota laut

Biota laut adalah berbagai macam tumbuhan dan hewan yang ada di laut.

Indonesia merupakan negara yang memiliki daerah laut yang lebih luas

dibandingkan dengan luas daratannya. Tak heran jika banyak jenis biota laut

ditemukan di Indonesia. Salah satunya dapat dijumpai di daerah pantai Sekilak

Batam.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) (2005:155), “biota

adalah keseluruhan flora dan fauna yang terdapat dalam laut. Sedangkan biota

laut adalah biota yang terdapat didalam laut”. Dari beberapa pengertian tentang

biota dan biota laut yang tertera pada KBBI, dapat ditarik kesempulan tentang

pengertian biota laut itu sendiri dengan lebih jelas. Kesimpulanya adalah biota

laut merupakan sekumpulan makhluk hidup berupa flora dan fauna atau

tumbuhan dan hewan yang terdapat didalam laut. Biota laut dapat

dikelompokkan berdasarkan jenis karateristik dan sifat yang dimilikinya.

Pengelompokan jenis tersebut antara lain :

1. Plankton

2. Zooplankton

3. Bacterioplankton

4. Nekton
5. Benthos

2.1.1 Halimeda Opuntia L.

2.1.1.1 Klasifikasi Halimeda Opuntia L

Klasifikasi Halimeda opuntia L. adalah sebagai berikut (Guiry, 2007) :

Kingdom : Plantae

Divisi :Chlorophyta

Class :Bryyopsidophyceae

Order :Bryopsidales

Family :Halimedaceae

Genus :Halimeda

Species :Halimeda opuntia L.

2.1.1.2 Morfologi Halimeda Opuntia L

Memiliki thallus berbentuk bulat pipih (Kadi, 1966), bersegmen-

segmen dengan percabangan membentuk segitiga (trikotom), tinggi thallus

mencapai 4 cm. Halimeda opuntia L. memiliki alat perekat berupa filamen

yang keluar dari segmen bagian basal yang berfungsi untuk mencengkram

substrat. Setiap segmen tersusun secara tumpang tindih dan tidak beraturan

(Charles et al., 2018).

2.1.1.3 Habitat Halimeda Opuntia L

Halimeda opuntia L. merupakan jenis rumput laut berkapur (Calcareous)

banyak dijumpai pada daerah terumbu karang yang kondisi pantainya

tenang, agak terlindung, dan hidup berkoloni (Romimohtarto & Juwana,


2001). dengan kedalaman 1 sampai 200 m pada substrat pasir, lumpur, dan

fragmen karang mati (Kadi, 1986).

2.1.1.4 Kandungan Halimeda Opuntia L

Talus biota ini mengandung kalsium aragonit ekstraseluler dalam jumlah

tinggi, sehingga menjadi penyumbang karbonat terbesar di lautan

(Mayakun, et al., 2012; Teichberg, et al., 2013). Keberadaan kalsium

menjadikan H. opuntia berpotensi sebagai sumber kalsium alami yang

dapat dimanfaatkan untuk bahan fortifikasi. Peningkatan asupan kalsium

dalam bahan makanan lebih aman daripada suplemen, karena dalam

pencernaan konsentrasi kalsium yang tinggi justru akan menekan

remodeling tulang (Lee, et al., 1995). Selain itu, Memiliki pigmen hijau

dan apabila kering akan berubah menjadi hijau keputihan dan mudah

hancur. Selain itu, kandungan protein/asam amino, lemak/asam lemak,

senyawa fenolik, dan lainnya menjadikan biota ini memiliki bioaktivitas

antioksidan (Novoa et al., 2011).

2.1.1.5 penelitian terkait Halimeda Opuntia L

Penelitian yang dilakukan oleh Subagiyo (2012) menemukan bahwa

asupan ekstrak Halimeda sp. mampu memodulasi sistem pertahanan non

spesifik pada udang putih (Litopenaeus vannamei). Senyawa- senyawa

metabolit sekunder dengan bioaktivitas farmakologis juga telah

teridentifikasi, misalnya halimedatrial (Mishra, et al., 2016; Paul &

Fenical, 1983). Oleh karena itu, H. opuntia merupakan bahan baku

potensial untuk produk nutraseutikal.


2.1.2 Halimeda macroloba

2.1.2.1 Klasifikasi Halimeda macroloba

Kingdom : Plantae

Phylum : Chlorophyta

Class : Chlorophyceae

Orde : Claulerpales

Family : Halimedaceae

Genus : Halimeda

Species : Halimeda macroloba

Halimeda macrolaba dapat ditemukan pada perairan bersuhu air

28-29 0 C, salinitas 30-32 psu, kalsium 176,4 mg/L, nitrat 1,73 mg/L,dan

fosfat 0,31 mg/L (Mayakun et al,2014). Halimeda macrolaba berwarna

hijau tua saat masih hidup dan berwarna hijau terang saat sudah mati.

Thalii terdiri dari deretan segmen. Cabang-cabang muncul pada titik

tertentu disepanjang talus. Hal ini terjadi ketika dua atau lebih segman

anak tumbuh dari tepi istal segmen dan kemudian masing-masing

menimbulkan cabang (Vebruggen et al., 2005).

2.1.2.2 Morfologi Halimeda macroloba

Halimeda memiliki holdfast berupa percabangan rhizoids. Spesies

tumbuhan di substrat keras yang melekat dengan cara pegangan erat.

Karena holdfast berpegangan erat, rhizoid akan menjadi massa padat.

rhizoid menyebar mengelilingi substrat sampai batas tertentu. Tipe kedua


holdfast pada halimeda yang berada di substrat berpasir, dimana massa

rhizoids menembus kedalam pasir. Rhizoids menyatukan butiran pasir

yang berdekatan. Dengan demikian terbentuk struktur gumpalan rhizoids

dan pasir.gumpalan holdfast ini memberikan stabilitas di substratum

berpasir (Vebruggen et al, 2004)

Menurut Atmadja et al (1996) Halimeda macrolaba yaitu

tumbuhan berbentuk thalus berwarna hijau, segmen berbentuk thalus

berwarna hijau, segmen berbentukkipas, lebar dan tebal. Bagian

pinggirnya bergelombang, percabangan utama trichotamus, holdfast

berbentuk cakram seperti ubi`

2.1.2.3 Habitat Halimeda macroloba

Halimeda macrolaba tumbuh subur pada substrat pasir, pasir

lumpuran,dan pecahan karang. Dihamparan pasir tumbuh berasosiasi

dengan tumbuhan lamun. Keberadaan jenis ini banyak dijumpai diperairan

laut. Sesuai dengan literature, alga ini juga melekat pada batu-batu karang.

Alga ini terdapat pada tepi-tepi pantai yang terbawa ombak (Waltres et al,

2002). Adaptasi yang paling jelas untuk faktor lingkungan adalah

pegangan erat tubuh alga (Vebruggen et al, 2005).

2.1.2.4 Kandungan Halimeda macroloba

senyawa aktif biologis Halimeda macroloba merupakan metabolit

sekunder yang meliputi alkaloid, flavonoid, terpenoid, tanin dan saponin.

Kandungan metabolit sekunder dalam Halimeda macroloba dapat

diketahui dengan suatu metode pendekatan yang dapat memberikan


informasi adanya senyawa metabolit sekunder. Salah satu yang dapat

digunakan adalah metode uji fitokimia (Setyowati et al, 2014)

2.1.2.5 penelitian terkait Halimeda macroloba

Menurut hasil penelitian Maarquez et al, (2005) Halimeda macrolaba

senyawa karotenoid dan klorofil b berperan berperan terhadap antioksidan.

Klorofil dapat mencegah proses oksidasi lipid dengan mekanisme

pendonoran atom hidrogen, sehingga memutus mata rantai reaksi

pembentukan radikal bebas. Hidrogen yang didonorkan terletak pada

gugus metal pada klorofil a atau gugus aldehidpada klorofil b.


2.1.3 Amphiroa fragilissima

2.1.3.1 Klasifikasi Amphiroa fragilissima

2.1.3.2 Morfologi Amphiroa fragilissima

2.1.3.3 Habitat Amphiroa fragilissima

2.1.3.4 Kandungan Amphiroa fragilissima

2.1.3.5 Penelitian terkait Amphiroa fragilissima

2.1.4 Acropora acuminate

2.1.4.1 Klasifikasi Acropora acuminate

2.1.4.2 Morfologi Acropora acuminate

2.1.4.3 Habitat Acropora acuminate

2.1.4.4 Kandungan Acropora acuminate

2.1.4.5 Penelitian terkalit Acropora acuminate

2.2 Klasifikasi Hewan Coba

2.2.1 Klasifikasi Larva Udang (Artemia Salina Leach) (Wibowo, 2013)

Filum : Arthopoda

Class : Crustaceae

Subclass : Branchiopoda

Bangsa : Anostraca

Famili : Artemiidae

Suku : Artemia

Jenis : Artemia salina Leach


2.2.2 Morfologi

Artemia merupakan salah satu jenis pakan alami yang hidup di

laut. Telur artemia yang baru menetas merupakan jenis pakan awal bagi

larva patin (sampai umur 7 hari) kandungan proteinnya cukup tinggi

yaitau sekitar 55%. Artemia merupakan golongan zooplankton yang

hidup sebagai planktonik yaitu melayang dalam air. Artemia termasuk

jenis udang-udangan yang memiliki ukuran relatif kecil dengan sistem

osmoregulasi yang efisien sehingga mampu beradaptasi pada kisaran

salinitas yang luas (Kholish, 2010).

Secara umum, Artemia salina Leach memiliki 3 fase yaitu fase

telur, larva (nauplii) dan artemia dewasa. Telur Artemia salina Leach

memiliki bentuk bulat dengan ukuran 0,2-0,3 mm. Kemudian akan

berubah menjadi larva. Telur yang berkualitas baik akan menetas setelah

dimasukkan ke dalam air laut atau air dengan kadar garam tinggi selama

18-24 jam (Ramdhini, 2010).

Kandungan kimia yang terdapat dalam tubuh Artemia salina

adalah protein dan asam lemak yang tinggi. Nilai nutrisi Artemia dewasa

mempunyai keunggulan yaitu kandungan proteinnya meningkat dari rata-

rata 47% pada nauplius menjadi 60% pada Artemia dewasa yang telah

dikeringkan (Wibowo, 2013).

2.2.3 Penggunaan Artemia Salina Leach dalam penelitian

Suatu metode uji hayati yang tepat dan murah untuk skrining

dalam menentukan toksisitas suatu ekstrak tanaman aktif yaitu dengan


menggunakan hewan uji Artemia salina Leach. Artemia sebelumnya

telah digunakan dalam bermacam-macam uji hayati seperti uji pestisida,

polutan, mikotoksin, anestetik, komponen seperti morfin,

kekarsinogenikan dan toksikan dalam air laut. Uji dengan organisme ini

sesuai untuk aktifitas fakmakologi dalam ekstrak tanaman yang bersifat

toksik. Penelitian menggunakan Artemia salina Leach memiliki beberapa

keuntungan antara lain cepat, murah, mudah dan sederhana. Penetasan

telur Artemia salina Leach yang baik perlu memperhatikan beberapa

faktor yaitu: hidrasi dari kista-kista, aerasi, penyinaran, suhu, derajat

keasaman (pH), dan kepadatan telur dalam media penetasan (Wibowo,

2013).

2.3 Ekstraksi

2.3.1 Pengertian Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengektraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk

yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat yang

telah ditetapkan (Depkes RI, 2000).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), ekstraksi adalah proses

penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari suatu serbuk simplisia,

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. (Depkes RI, 2006)
2.3.2 Metode Ekstraksi

Menurut Dirjen POM (2000), beberapa metode ekstraksi adalah

sebagai berikut:

1. Cara dingin

a. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).

b. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada

temperatur ruangan.

2. Cara panas

a. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang

relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

b. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru

yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi

ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan

adanya pendingin balik.

c. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu)

pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu

secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.


d. Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur

penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,

temperatur terukur 96- 98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur

sampai titik didih air.

2.3.3 Tujuan Ekstraksi

Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik dan memisahkan senyawa

yang mempunyai kelarutan berbeda–beda dalam berbagai pelarut

komponen kimia yang terdapat dalam bahan alam baik dari tumbuhan,

hewan, dan biota laut dengan menggunakan pelarut organik tertentu

(Ditjen POM, 2000).

2.4 Toksisitas Larva Udang

2.2.1 Toksisitas

Toksisitas merupakan keadaan yang menjadi tanda adanya efek

toksik atau racun yang terdapat pada suatu bahan sebagai sediaan single

dose atau campuran. Uji toksisitas digunakan untuk mendapatkan

informasi atau data tentang toksisitas suatu bahan kimia pada hewan coba.

Uji toksisitas secara umum dapat dikelompokkan menjadi uji toksisitas

akut/jangka pendek dan uji toksisitas jangka panjang (Donatus, 2005)

Tabel 1 Kategori Toksik Berdasarkan Nilai LC50

Kategori LC50 (PPM)


Sangat Toksik <30
Toksik 30-1000
Tidak Toksik >1000
Sumber Batubara 1 et al. Kandungan Kimia Senyawa Aktif dan
Toksisisitas dari Euchiuma Cottoni, Caulerpa sp dan Solen sp.
Departemen Kimia FMIPA IPB dalam Ajrina 2013
2.2.2 Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) adalah salah satu metode untuk

menguji bahan-bahan yang bersifat toksik dan digunakan sebagai suatu

bioassay yang pertama untuk penelitian bahan alam. Metode ini

menggunakan larva Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji

toksisitas dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas akut dimana

efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat (Carballo

et al., 2002).

BSLT merupakan salah satu metode yang banyak digunakan untuk

pencarian senyawa antikanker baru yang berasal dari tanaman. Metode

BSLT telah terbukti mempunyai korelasi dengan aktivitas antikanker.

Selain itu, metode ini juga mudah dikerjakan, murah, cepat, dan cukup

akurat (Meyer, et al., 1982).

Pengujian menggunakan BSLT diterapkan dengan menetukan nilai

Lethal Concentration 50% (LC50) setelah perlakuan 24 jam. Nilai LC50

merupakan angka yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab

kematian sebesar 50% dari jumlah hewan coba (Wibowo, 2013).

2.5 Kanker

Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan

sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal sehingga mempengaruhi organ tubuh.

(Akmal et al., 2010). Adanya penyakit kanker ditandai dengan pembelahan sel
yang tidak terkendali dan kemampuan sel dalam menyerang jaringan biologi

lainnya, dengan cara pertumbuhan langsung dijaringan yang bersebelahan

(invasi) atau dengan cara migrasi sel ketempat yang jauh (metastasis)

(Sunaryati, 2011). Penyakit kanker dapat berkembang dengan cepat dan terus

membelah diri sehingga menjadi penyakit yang berat dan sulit dikendalikan

(Maharani. 2009)

Kanker merupakan salah satu penyakit utama penyebab kematian di

dunia. Pada 2012 diperkirakan terdapat 14 juta kasus baru kanker dan 8,2 juta

kematian akibat kanker di dunia. Health Organization (WHO) melaporkan

lima besar jenis kanker yang ditemukan pada laki-laki di dunia pada 2012,

yaitu kanker paru, prostat, kolorektum, kanker perut (stomach cancer), dan

kanker hati. Sedangkan pada perempuan yang terbanyak adalah kanker

payudara, kolorektum, paru-paru, serviks, serta kanker perut (stomach cancer)

Sepertiga kematian akibat kanker berhubungan dengan 5 kebiasaan

gaya hidup dan pola makan. Kelima faktor tersebut yaitu obesitas, diet rendah

sayur dan buah, kurang aktivitas fisik, penggunaan tembakau, dan penggunaan

alkohol. Penggunaan tembakau merupakan faktor risiko penyebab kematian

pada kanker secara umum (20%). Sedangkan untuk kanker paru, tembakau

merupakan faktor risiko penyebab kematian pada kanker paru yang paling

dominan (70%). (Liu, Bo-Qi et al., 2010)

Adapun faktor risiko yang terkait dengan kanker paru-paru, kolorektum,

lambung, dan kanker hati adalah penggunaan tembakau. Sedangkan yang

berhubungan dengan kurangnya aktivitas fisik dan obesitas adalah kanker payudara
serta kolorektal. Untuk faktor risiko infeksi berkaitan dengan kanker hati, lambung,

dan kanker serviks uteri. Sebagian besar kasus kanker dan kematian dapat dicegah

dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan yang efektif, seperti pengendalian

tembakau, vaksinasi, dan penggunaan tes deteksi dini (Nur, 2003)


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Rancangan Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimental

dengan menguji aktivitas sitotoksik dengan metode BSLT (Brine Shirmp

Lethality Test)

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan

Mei 2021 di Laboratorium Kimia Bahan Alam dan Kimia Farmasi Analisis

Program Studi Sarjana Farmasi, Institut Kesehatan Mitra Bunda Batam.

3.3 Alat dan Bahan

3.3.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam Penelitian Ini adalah beaker glass

(pyrex), wadah Kaca, Erlenmeyer (pyrex), Corong, Rotary Evaporator

(Heidolp), alumunium foil, timbangan Batang Pengaduk (pyrex), tabung

reaksi (pyrex), labu ukur, glass ukur (pyrex), , Kertas Saring, Lampu,

Vial,Aerator, wadah uji (toples), spatula, pipet tetes (pyrex), pipet mikro.

3.3.2. Bahan

Bahan-bahanyang digunakan dalam penelitian ini yaitu metanol,

telur Artemia Salina Leach, air laut. Dimetilsulfoksida (DMSO), Halimida

Opuntia, Amphiroa Fragilissima, Halimeda Macroloba, sinularia


3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pengambilan Sampel

Sampel tanaman obat yang akan digunakan diperoleh dari Pantai

Sekilak di daerah Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kepulauan Riau,

Indonesia. Sampel tanaman obat sampai di Laboratorium Farmasi pada hari

Minggu tanggal 31 Januari 2021

3.4.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan obat akan dilakukan di Herbarium Universitas

Andalas Padang, Sumatera Barat.

3.4.3 Pembuatan Ekstrak

Pembuatan Ekstrak dilakukan dengan cara maserasi. Sampel Biota

laut di bersihkan dari pasir dengan cara di cuci dan di potong kecil-kecil

kemudian ditiriskan.

Ditimbang Sampel Biota Laut lalu masukkan kedalam botol kaca,

kemudian rendam dengan methanol selama 3x24 jam pada suhu kamar dan

hindarkan dari cahaya. Selama proses maserasi filtrat sesekali di aduk.

Setelah itu saring dan pisahkan dari ampasnya. Lakukan hingga filtrat

mendekati bening. Maserat dikumpulkan dalam satu wadah, kemudian

dievaporasi menggunakan Rotary Evaporator pada suhu 40oC sampai

methanol benar-benar menguap hingga tersisa ekstrak kasar/crude extract.

Ekstrak kasar kemudian ditimbang untuk mengetahui berat ekstrak kasar

yang diperoleh. (Rahman, 2013


( B−A ) (C− A)
% Susut Pengeringan = x 100%
( B−A )

Keterangan:

A = Berat kurs porselin kosong (gr)

B = Berat kurs porselin + sampel sebelum dipanaskan (gr)


3.4.4 Evaluasi dan Standarisasi Ekstrak
C = Berat kurs porselin + sampel yang telah dipanaskan (gr)
1. Pemeriksaan Rendemen

Rendemen ekstrak dihitung dengan cara membandingkan berat

ekstrak spons laut yang didapat dengan berat awal sampel.

Berat ekstrak
% Rendemen ¿ × 100 %
Berat awal sampel

2. Organoleptis

Penetapan dengan panca indera untuk mengamati organoleptik

ekstrak yang meliputi bau, rasa, warna dan bentuk

3. Penetapan Kadar Abu (Depkes RI, 2000)

Lebih kurang 2 g sampai 3 g ekstrak yang telah digerus dan

ditimbang saksama, dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah

dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang

habis, dinginkan, timbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan,

tambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa

kertas dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam

krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu

terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

(C− A)
Kadar Abu = x 100%
(B−A )

Keterangan:

A= Berat kurs porselin kosong yang telah dipijar

B = Berat kurs porselin+ sampel sebelum pemijaran

C = Berat kurs porselin+ sampel setelah pemijaran


4. Penentuan Bobot Jenis (Depkes RI, 2000)

Bobot jenis ekstrak ditentukan terhadap hasil pengenceran ekstrak

(5% dan 10%) dalam pelarut tertentu (etanol) dengan alat piknometer.

( Bobot pikno+ ektrak )−Bobot pikno kosong


Bobot Jenis = x Bobot jenis
( Bobot pikno+ air )−Bobot pikno kosong
air

5. Penetapan Susut Pengeringan (Depkes RI, 2000)

Timbang ekstrak kemtal sebanyak 2 gram lalu dimasukkan ke

dalam kurs porselina bertutup yang sebelumnya sudah dipanaskan pada

suhu 105oC selama 30 menit dan telah ditara. Setelah itu kurs porselin

dimasukkan ke dalam oven dalam keadaan tutup kurs terbuka lalu

keringkan pada suhu 105oC selama 30 menit, lalu keluarkan dan

dinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang kembali.

Lakukan pengulangan sebanyak 3 kali replikasi.

( B−A ) (C− A)
% Susut Pengeringan = x 100%
( B−A )

Keterangan:

A = Berat kurs porselin kosong (gr)

B = Berat kurs porselin + sampel sebelum dipanaskan (gr)

C = Berat kurs porselin + sampel yang telah dipanaskan (gr)


3.5 Uji skrining fitokimia

 Uji Alkaloid

Diambil ekstrak sebanyak 1 mL masukkan ke dalam tabung reaksi

dan ditambahkan 2 ml asam klorida, kemudian tambahkan 2-3 tetes

pereaksi

Mayer. Hasil positif mengandung senyawa alkaloid ditunjukkan dengan

endapan putih. (Agustina et al., 2016).

 Uji Flavonoid

Diambil ekstrak pekat sebanyak 200 mg diekstrak dengan 5 mL

etanol dan dipanaskan selama lima menit di dalam tabung reaksi.

Selanjutnya ditambah beberapa tetes HCL pekat. Kemudian ditambahkan

0,2 g bubuk Mg. Hasil positif ditunjukkan dengan timbulnya warna merah

tua selama. (Mondong et al., 2015).

 Uji Saponin

Ditimbang 100 mg ekstrak pekat kemudian ekstraksi dengan

kloroform amoniakal. Saring dengan kapas dan pindahkan ke tabung lain.

Kocok kuat sampel tersebut dan diamkan selama 2 menit, kemudian

tambahkan HCl 2N sebanyak 2 tetes. Kocok kuat lagi dan lihat apakah

terbentuk buih-buih setelah didiamkan selama 10 menit. Sampel positif

mengandung saponin bila terdapat buih-buih dengan intensitas yang

banyak dan konsisten selama 10 menit (Muhammad B, 2017)


 Uji Terpenoid dan Steroid

Diambil 2 mL ekstrak kental dilarutkan dengan 0,5 mL CH3Cl,

kemudian ditambahkan 0,5 mL CH3COOH anhidrat. Lalu ditambahkan 2

mL H2SO4 pekat melalui dinding tabung. Diamati perubahan yang terjadi.

(triterpenoid ditunjukkan dengan terbentuknya cincin kecoklatan atau

violet pada batas larutan, adanya steroid dengan terbentuknya cincin biru

kehijauan. (Muthmainnah B, 2017).

 Uji Tanin

Diambil ekstrak pekat sebanyak 20 mg ditambah etanol sampai

sampel terendam semuanya. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan

FeCl3 1%. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna hitam

kebiruan atau hijau. (Muthmainnah B, 2017).

3.6 Uji Toksisitas

3.6.1 Penyiapan Larva Artemia Salina Leach

Larva artemia diteteskan dalam sebuah wadah yang disekat

berlubang menjadi dua bagian, yaitu bagian gelap dan terang. Pada wadah

bagian gelap ditutup dengan alumunium foil atau lakban hitam dan pada

wadah bagian terang dibiarkan terbuka kemudian masukan 1 L air laut

yang telah disaring sebelumnya dengan kain bersih, diberi penerangan

dengan lampu pijar 40-60 Watt dan dilengkapi dengan aerator. Kemudian

masukkan telur udang Artemia Salina Leach sebanyak ±50 mg. Setelah 48

jam, telur akan menetas dan menjadi larva. Larva yang aktif akan bergerak

menuju bagian terang melalui lubang sekat karena larva bersifat fototropik.
Larva diambil menggunakan pipet tetes setelah berumur 48 jam dan dapat

digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian. (Indrayani et al., 2006).

3.6.2 Penyiapan Larutan Stok

Pengujian pendahuluan aktivitas ekstrak dilakukan dengan cara

ditimbang masing-masing ekstrak kental sebanyak 30 mg, kemudian

dilarutkan dalam 3 mL metanol. Larutan ini digunakan sebagai larutan

induk. Pengujian aktivitas dilakukan dengan 3 variasi konsentrasi yaitu

1000, 100, 10 ppm, dan setiap konsentrasi dibuat 3 ulangan. (mayer.,

1982)

3.6.3 Uji Toksisitas dengan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test )

Larutan uji dibuat dengan memipet masing-masing 500, 50, dan 5

µL dari larutan induk masukkan kedalam masing-masing vial, setelah itu

larutan uji dimasukkan dalam desikator sampai semua pelarutnya

menguap. Ekstrak yang sudah kering dari masing-masing vial dilarutkan

50 µL DMSO, kemudian ditambahkan air laut ± 2 mL. Masukkan 10 larva

udang ke dalam masing-masing vial, kemudian volume ditepatkan hingga

5 mL dengan air laut. Disiapkan control negatif dengan cara dipipet 50 µL

DMSO dimasukkan kedalam vial dan ditepatkan volumenya hingga 5 mL

dengan air laut kematian larva udang diamati setelah 24 jam dan nilai LC 50

dapat dihitung jumlah larva yang mati Masing-masing konsentrasi dibuat 3

kali pengulangan. (Rusdi et al., 2017)

Persen Mortalitas larva untuk setiap konsentrasi dapat dihitung

dengan rumus:
jumlah larva mati
% mortalitas= X 100 %
jumlah larva total awal

3.6.4 Analisis Data

Suatu ekstrak dikatakan toksik jika memiliki nilai LC50 kurang

dari 1000 μg/mL, sedangkan senyawa dinyatakan mempunyai potensi

toksik jika mempunyai LC50 kurang dari 200 μg/mL (ppm) (Meyer,

1982).

Anda mungkin juga menyukai