Anda di halaman 1dari 23

PNEUMOTORAKS DAN HEMOTORAKS

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Bedah

Disusun Oleh :
Hana Azizah 116170024

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2020
PERITONITIS

A. Definisi
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya).  Suatu
bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus bedah darurat.  Dapat terjadi
secara lokal maupun umum, biasanya disebabkan oleh infeksi dimana reaksi
awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa yang kemudian di antara perlekatan fibrosa tersebut akan terbentuk
abses. Salah satunya dapat melalui proses infeksi akibat perforasi usus
misalnya pada ruptur appendix atau divertikulum kolon, maupun non
infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, 
keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu.  pada wanita
peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba fallopi atau ruptur ovarium.1,2
B. Etiologi
Peritonitis menggambarkan proses inflamasi pada peritoneum yang sering
disebabkan oleh infeksi tetapi dapat terjadi juga pada proses yang steril. Hal
ini merupakan respons tubuh untuk mencari sumber inflamasi yang
menyebabkan proses patofisiologis ini. Kelainan dari peritoneum dapat
disebabkan oleh bermacam hal, antara lain 1,2,3 :
1. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hematoma, kehamilan
ektopik terganggu.
2. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab
obstruksi vena porta pada sirosis hati, malignitas.
3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus
alienum, misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi,
radang, dan trauma.
4. Radang, yaitu pada peritonitis.
Peritonitis dibagi menjadi dua jenis menurut agen penyebabnya, yaitu 4,5:
1. Peritonitis kimia
Peritonitis kimia disebabkan karena asam lambung, cairan empedu,
cairan pancreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
2. Peritonitis septik
Peritonitis septik disebabkan oleh bakteri. Misalnya karena ada
perforasi usus, sehingga bakteri-bakteri usus dapat sampai ke peritoneum
dan menimbulkan peradangan. 4,5
Peritonitis dibagi menjadi tiga tipe menurut sumber infeksi, yaitu 4,5 :
1. Peritonitis primer
Peritonitis primer disebabkan infeksi bakteri monobakterial yang
mengalami translokasi dari traktus gastrointestinal atau penyebaran
hematogenik dari organ lain, misalnya limfa.
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder disebabkan oleh penyebaran bakteri akibat
perforasi organ berongga, terutama organ-organ gastrointestinal di
sekitarnya sehingga terjadi infeksi polibakterial.
3. Peritonitis tersier
Sumber infeksi yang menyebabkan peritonitis tersier adalah
berasal dari infeksi intraabdomen yang persisten, yang tidak respon
terhadap pengobatan operatif, dan infeksi nosokomial. 4,5
C. Patofisiologi
1. Anatomi
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling
komleks yang terdapat dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk
suatu kantung tertutup (coelom) dengan batas-batas 6,7:
a) Anterior dan lateral : permukaan bagian dalam dinding abdomen.
b) Posterior : retroperineum.
c) Inferior : struktur bagian ekstraperitoneal di pelvis.
d) Superior : bagian bawah dari diafragma.
Peritoneum dibagi menjadi peritoneum parietal, visceral,
peritoneum penghubung, dan peritoneum bebas (omentum). Peritoneum
penghubung yaitu mesenterium, mesocolon, mesosigmoideum, dan
mesosalpinx.6,7
Gambar 1. A. Intraperitoneal B. Retroperitoneal, Saccus majus
dan saccus minus cavitas peritonealis. 6,7
Lapisan parietal dari peritoneum membungkus organ-organ viscera
membentuk peritoneum visera, dengan demikian menciptakan suatu
potensi ruang diantara kedua lapisan yang disebut rongga peritoneal. 6,7
Normalnya jumlah cairan peritoneal kurang dari 50 ml. Cairan
peritoneal terdiri atas plasma ultrafiltrasi dengan elektrolit serta
mempunyai kadar protein kurang dari 30 g/L, juga mempunyai sejumlah
kecil sel mesotelial deskuamasi dan bermacam sel imun. 6,7
2. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah
keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di
antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan
permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita
fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.2
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membrane mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara
cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga
ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini
segera gagal begitu terjadi hipovolemia. 2
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding
abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas
pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan
cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem
seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada serta
muntah.2
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih
lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang
menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.1,2,8
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat
menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka
terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi
hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang
tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau
parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren
dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. 9
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid
plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi
ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama
kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, 7 batuk dan malaise
yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan
umum yang merosot karena toksemia.8,10
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium
yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat
peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan
menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini
tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan
peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.
Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut
pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut
fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan
peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini
akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi
peritonitis bakteria.2,11
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri,
ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan
perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general.2,8
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma
tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis
bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial
yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari
gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.
Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila
perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan
terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula 8
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritonium.2,8,12
D. Penegakkan Diagnosis
1. Kriteria diagnostik
1. Anamnesis
i. Keluhan : nyeri abdomen akut, anoreksia, nausea, muntah,
distensi dan obstipasi.
ii. Faktor risiko : riwayat operasi, riwayat kehamilan, riwayat
penyakit terdahulu.2
2. Pemeriksaan fisik
i. Inspeksi abdomen : jaringan parut karena ada riwayat operasi,
perut membuncit, tegang atau distended.17
ii. Palpasi abdomen : palpasi dilakukan dilakukan di bagian lain dari
abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai
pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang
nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan
adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale
(nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot
akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi
kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.9,11
iii. Perkusi : nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada
peritoneum, adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat
ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan
shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar
akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena
adanya udara bebas tadi.1,14
Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus
dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal
untuk membantu penegakan diagnosis.1,14
Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum doglasi
kurang memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri pada
satu sisi menunjukkan adanya kelainan di daeah panggul, seperti
apendisitis, abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah
menunjukkan general peritonitis. Colok dubur dapat pula
membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena
pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan
pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina
menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada alat
kelamin dalam perempuan.1,14
iv. Auskultasi : dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan
suara bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus
akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan
karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut
lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada
peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal. 11,14
2. Algoritma diagnosis
Gambar 2. Algoritma diagnosis dan tatalaksana abses peritoneal. 15

3. Diagnosis Pembanding
1. Appendisitis
2. Pankreatitis
3. Gastroenteritis
4. Kolesistitis
5. Salpingitis
6. Kehamilan ektopik terganggu8
4. Pemeriksaan penunjang
1. Gambaran radiologis
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu : terlihat kekaburan
pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang,
dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.2,12

Gambar 3. Foto BNO pada peritonitis.12


2. Laboratorium
i. Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematocrit
yang meningkat.
ii. BGA, menunjukan asidosis metabolik, dimana terdapat kadar
karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi.
iii. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung
banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit;
basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per
kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma
tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum
hasil pembiakan didapat.2
E. Penatalaksanaan (Algoritma penatalaksanaan)
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan
pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra
abdomen adalah 9,16:
1. Memuasakan pasien.
2. Dekompresi saluran cerna dengan penghisap nasogastric atau intestinal.
3. Pengganti cairan elektrolit yang hilang, dilakukan secara intravena.
4. Pemberian antibiotik yang sesuai.
5. Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya. 9,16

Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan
intravena. Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer.
Bagi pasien yang mendapatkan peritonitis di Rumah Sakit (misalnya oleh
karena kebocoran anastomose) atau yang sedang mendapatkan perawatan
intensif, dianjurkan terapi lini kedua diberikan meropenem atau kombinasi
dari piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga harus dipikirkan untuk
melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida.8,9
Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi.
Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kausa peritonitis, mengontrol origin
sepsis dengan membuang organ yang mengalami inflamasi atau ischemic
(penutupan viscus yang mengalami perforasi), dan peritoneal lavage. 8,9
F. Komplikasi
1. Syok sepsis
2. Abses intraabdominal atau sepsis abdominal persisten8,9
G. Prognosis
Peritonitis local dan ringan adalah baik dibandingkan dengan peritonitis
umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen. 8,9
HEMOTORAKS
A. Definisi
Hemotoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Sumber perdarahan
dapat berasal dari dinding dada, parenkim paru-paru, jantung atau pembuluh
darah besar. Jumlah perdarahan pada hematotoraks dapat mencapai 1500 ml,
apabila jumlah perdarahan lebih dari 1500 ml disebut hematotoraks masif.17
B. Etiologi
Sejauh ini penyebab paling umum dari hematotoraks adalah trauma, baik
trauma yang tidak disengaja, disengaja, atau iatrogenik.18 Sekitar 150.000
kematian terjadi dari trauma setiap tahun. Cedera dada terjadi pada sekitar
60% kasus multiple-trauma. Oleh karena itu, perkiraan kasar dari terjadinya
hematotoraks terkait dengan trauma di Amerika Serikat mendekati 300.000
kasus per tahun.19 Sekitar 2.086 anak-anak muda Amerika Serikat, berumur 15
tahun dirawat dengan trauma tumpul atau penetrasi, 104 (4,4%) memiliki
trauma toraks. Dari pasien dengan trauma toraks, 15 memiliki
hemopneumothoraks(26,7% kematian), dan 14 memiliki hemotoraks (57,1%
kematian).20
Terjadinya hematotoraks biasanya merupakan konsekuensi dari trauma
tumpul, tajam dan kemungkinan komplikasi dari beberapa penyakit. 17 Trauma
dada tumpul dapat mengakibatkan hematotoraks oleh karena terjadinya
laserasi pembuluh darah internal.19 Hematotoraks juga dapat terjadi, ketika
adanya
trauma pada dinding dada yang awalnya berakibat terjadinya hematom pada
dinding dada kemudian terjadi ruptur masuk kedalam cavitas pleura, atau
ketika terjadinya laserasi pembuluh darah akibat fraktur costae, yang
diakibatkan karena adanya pergerakan atau pada saat pasien batuk. 21
C. Patofisiologi
Trauma toraks atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar
masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil
pada paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan
hemodinamik (sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia
(kekurangan suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan.
Hipoksia pada tingkat jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap
cytokines yang dapat memacu terjadinya Adult Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), Systemic Inflamation Response Syndrome (SIRS) dan
sepsis. Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma
toraks. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan
darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio,
hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratoraks (contoh
tension pneumothoraks, pneumothoraks terbuka). Hiperkarbia lebih sering
disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan
intratoraks atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan
oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).22
Apabila penanganan pada kasus hematotoraks tidak dilakukan segera
maka kondisi pasien dapat bertambah buruk karena akan terjadi akumulasi
darah di rongga thoraks yang menyebabkan paru-paru kolaps dan mendorong
mediastinum serta trakea ke sisi yang sehat, sehingga terjadi gagal napas dan
meninggal, fibrosis atau skar pada membran pleura, Ateletaksis, Shok,
Pneumothoraks, Pneumonia, Septisemia.23,24
Pada trauma thoraks perlu dipikirkan juga syok berasal dari trauma di
organ intrathorakal. Pemasangan intubasi diperlukan untuk mengontrol
airway. Dilihat juga peningkatan JVP guna membedakan dengan tension
pneumothoraks dan tamponade jantung. Lihat retraksi interkostal dan
supraklavikular dapat menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas. Evaluasi
banyak dan persebaran luka (abrasi, emfisema subkutis, krepitasi, dan adanya
fraktur costae). Jangan lupa juga penilaian terhadap daerah thoraks posterior.18
D. Kriteria Diagnostik
Nyeri dada dan dispnea adalah gejala umum. Gejala dan temuan fisik yang
terkait dengan hemotoraks pada trauma sangat bervariasi, tergantung pada
jumlah dan kecepatan perdarahan, keberadaan dan keparahan penyakit paru
yang mendasari, sifat dan derajat cedera terkait, dan mekanisme cedera.25
Hemothorax dalam hubungannya dengan infark paru biasanya didahului
oleh temuan klinis yang berhubungan dengan emboli paru. 25
Hemothorax katamenial adalah masalah yang tidak biasa yang
berhubungan dengan endometriosis toraks. Perdarahan ke dada terjadi secara
berkala, bertepatan dengan siklus menstruasi pasien. 25
E. Penegakkan Diagnosis
1. Manifestasi klinis
Hemotoraks tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang
berdarah di dinding dada. Luka di pleura viseralis umumnya juga tidak
menimbulkan nyeri. Di dalam rongga dada, dapat terkumpul banyak darah
tanpa gejala yang menonjol. Kadang, gejala dan tanda anemia atau syok
hypovolemik menjadi keluhan dan gejala yang pertama muncul.4
Hemotoraks kecil, yaitu yang tampak sebagai bayangan kurag dari
15% pada foto rontgen, cukup diobservasi dan tidak memerlukan tindakan
khusus. 4
Hemotoraks sedang, yaitu yang tampak sebagai bayangan yang
menutup 15-35% pada foto rontgen, ditangani dengan pungsi dan transfusi
darah. Pada pungsi, sedapat mungkin semua cairan dikeluarkan. Jika
ternyata terjadi kambuhan, dipasang penyalir sekat air. Hemotoraks besar
(>35%), ditangani dengan penyalir sekat air dan transfusi. Penyalir sekat
air dipasang serendah mungkin pada dasar rongga dada untuk
mengosongkan rongga pleura dan memantau perdarahan. Pemasangan
penyalir dapat dilakukan dengan atau tanpa trokar. 4
Dada gail harus segera diperbaiki untuk menghentikan paradox
yang sangat mengganggu pernapasan, misalnya dengan menekan bagian
iga yang gail atau menariknya dengan traksi. 4
Biasanya penderita perlu mendapatkan ventilasi buatan dengan
menggunakan bantuan respirator, sedapat mungkin dengan ventilasi
bertekanan positif. Temponade perikard jarang ditemukan jika ada, harus
diaspirasi dengan jarum. Tindakan bedah pada hemotoraks diindikasikan
pada hemotoraks yang massif dan mengancam jiwa. 4
Tabel 1. Hemotoraks. 4
Besarnya
Ukuran Bayangan foto Roentgen Pemeriksaan Fisik
Kecil 0-15% Perkusi pekak sampai iga IX
Sedang 15-35% Perkusi pekak sampai iga IV
Besar >35% Perkusi pekak sampai kranial, iga IV
2. Diagnosis banding
Diagnosis banding hemotoraks adalah semua kelainan yang
menyebabkan perdarahan dari sumber nontrauma di rongga dada. 4
Tabel 2. Efusi pleura hemoragik. 4

Etiologi Kunci diagnosis


Cedera/tindak bedah A. Cedera tumpul atau tajam, tindak
bedah
Aneurisma aorta yang pecah G/T. nyeri dada atau punggung
D. mediastinum melebar, angiogram
Hemotoraks spontan G/T. nyeri dada, syok
P. adhesi robek, bula paru pecah
D. torakoskopi
Keganasan D. sel maligna di cairan aspirasi,
biopsi (torakoskopi)
Infark paru A. Nyeri dada pada pernapasan
D. Payaran paru dan/atau angiogram
TBC paru D. basil tahan asam di cairan atau
sputum
Periarteritis nodosa P. penyakit sistemik
D. biopsi pleura, torakoskopi
A=anamnesis, G/T=gejala dan tanda, D=diagnostik, P=patologi
3. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Pengukuran hematokrit cairan pleura hampir tidak pernah
diperlukan pada pasien dengan hemotoraks traumatis, tetapi dapat
diindikasikan untuk analisis efusi hemotoraks dari penyebab nontraumatik.
Dalam kasus tersebut, efusi pleura dengan nilai hematokrit lebih dari 50%
dari hematokrit yang bersirkulasi dianggap sebagai hemotoraks.25
Radiografi
Radiografi polos dada tegak mungkin cukup untuk menegakkan
diagnosis dengan menunjukkan tumpul pada sudut kostofrenik atau
antarmuka cairan-udara jika terdapat hemopneumotoraks. (Lihat gambar di
bawah). Jika pasien tidak dapat diposisikan tegak, radiograf dada
terlentang dapat mengungkapkan penutup apikal cairan yang mengelilingi
kutub superior paru. Kepadatan ekstrapulmonalis lateral mungkin
menunjukkan adanya cairan di ruang pleura.25
F. Penatalaksanaan (Algoritma penatalaksanaan)

Gambar 4. Algoritma pendekatan hemotoraks traumatik dan hemotoraks


spontan. 26
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari literatur, algoritma dirancang
untuk digunakan dalam pendekatan pasien dengan hemotoraks. Pada awalnya,
kemungkinan adanya laserasi pembuluh darah dan pembuluh darah bocor
lainnya (misalnya aneurisma aorta, sekuestrasi lobar, dan malformasi
arteriovenosa) harus disingkirkan secara radiografi. 26
Kedua, darah harus segera dievakuasi dengan torakostomi tabung. Pasien
yang diinspeksi secara hemodinamik tidak stabil diindikasikan drainase
rongga pleura dengan torakotomi, sedangkan pada pasien yang stabil secara
hemodinamik, VATS (video-assissted thoracoscopic surgery) dianggap
sebagai pengobatan pilihan. Pada sisa haemothorax, IPFT (intrapleural
fibrinolytic therapy), dengan aplikasi harian streptokinase, urokinase atau
TPA, diindikasikan untuk fibrinolisis lokal. Jika pengobatan dengan IPFT
tidak berhasil, pembedahan adalah pengobatan pilihan untuk mencegah
perkembangan penebalan pleura dan fibrosis. 26
Pada pasien dengan antibiotik hemotoraks traumatis profilaksis 24 jam
diindikasikan. Karena literatur tidak menyediakan data untuk sebuah kerangka
waktu optimal antara IFPT dan VATS. Memulai drainase chest tube diikuti
dengan IPFT sebelum melanjutkan ke VATS jika ada sisa darah di toraks. 26
Meskipun pengobatan fibrinolitik dimulai setidaknya 4 beberapa hari
setelah timbulnya haemotoraks di kebanyakan percobaan, itu benar mungkin
aman untuk memulai lebih awal selama pengobatan. Deposisi fibrinolitik
intrapleural tidak terlalu mungkin terjadi menyebabkan efek sistemik. IPFT
tidak diindikasikan ketika koagulopati atau lesi vaskular (misalnya
angiosarkoma, malformasi vaskular, dan aneurisma) mungkin ada. 26
Penyalir/Chest tube
Gambar 5. Penyaliran antariga.4
Penyaliran antariga4 :
A. Lokasi penyalir di puncak toraks untuk pneumotoraks (ruang antariga
I).
B. Lokasi penyalir untuk hemotoraks serendah mungkin di sisi.
C. Pakai penyalir yang cukup besar. Tentukan bagian yang akan terletak
intratoraks; tentukan tempat klem cunam.
D. Berikan anestesi lokal.
E. Buat luka tusuk.
F. Trokar dengan kanul ditusuk masuk.
G. Trokar dicabut dari kanul.
H. Penyalir dimasukkan melalui kanul.
I. Kanul dicabut dengan memperhatikan tempat klem untuk
mempertahankan penyalir pada tempatnya. Kemudian buat jahitan di
kulit untuk fiksasi, dan penyalir dipasang pada şistem tertutup untuk
melakukan isapan kontinu, kemudian baru klem dibuka Jika tidak ada
trokar: Lakukan sayatan kecil di kulit.
K. Buat luka tembus dinding toraks secara tumpul dengan klem tertutup.
L. Masukkan penyálir dengan bantuan ujung klem.
M. Klem dicabut dan penyalir difiksasi dengan jahitan, kemudian dipasang
pada sistem isap penyalir sekat air. 4
G. Komplikasi
Edema paru reekspansi setelah evakuasi hemotoraks menetap merupakan
komplikasi yang jarang dilaporkan. Faktor terkait dalam perkembangan
masalah ini tampaknya hipovolemia dan pemberian sejumlah besar produk
darah selama periode perioperatif. 25
Empiema dapat berkembang jika bekuan yang tertinggal menjadi infeksi
sekunder. Hal ini dapat terjadi dari cedera paru terkait atau dari sumber
eksternal seperti benda tembus atau misil yang menyebabkan cedera asli atau
adanya bekuan yang sudah lama pada rongga torakostomi. 25

Fibrotoraks dan paru-paru yang terperangkap berkembang jika deposisi


fibrin terjadi dalam hemotoraks yang membeku. Hal ini dapat menyebabkan
atelektasis persisten dan penurunan fungsi paru. Prosedur dekortikasi mungkin
diperlukan untuk memungkinkan ekspansi paru dan mengurangi risiko
empiema. 25
H. Prognosis
Morbiditas dan mortalitas hemothorax traumatis berhubungan dengan
beratnya cedera dan risiko komplikasi lanjut yaitu empiema dan fibrotoraks/
trapped lung. Pasien dengan retensi hemotoraks beresiko mengalami empiema
yang mengakibatkan lama tinggal di ICU / rumah sakit. 27
DAFTAR PUSTAKA

1. Johnson C, Baldessarre J, Levison M. Peritonitis: Update on Pathophysiology,


Clinical Manifestations, and Management. USA : Clinical Infectious Disease ;
1997.
2. Malangoni MA : Peritonitis – the Western experience. USA : World Journal of
Emergency Surgery ; 2006.
3. Simmen H.P., Heinzelmann M., dan Largiader F. Peritonitis : Classification and
Causes. Switzerland : Karger ; 1996.
4. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :
EGC ; 2011.
5. Schwartz, Shires, Spencer. Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam
Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC ; 2000.
6. Drake Richard L., Vogl A. Wayne, dan Mitchell Adam W. M. Greys
Dasar-dasar Anatomi. USA : Elsevier : 2012.
7. Waschke J. dan Paulsen F. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. Edisi
ke-23. Jakarta : EGC ; 2013.
8. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S. Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3. Jakarta : Media Aesclepius ; 2000.
9. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R.Gawat Abdomen, dalam Buku ajar
Ilmu Bedah. Jakarta : EGC ; 1997.
10. Price, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Jakarta : EGC ; 2005.
11. Schrock. T. R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7. Jakarta : EGC ; 2000.
12. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen Akut, dalam
Radiologi Diagnostik. Jakarta : Gaya Baru ; 1999.
13. Kepmenkes. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK. 01.07/MENKES/359/2017 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Infeksi Intraabdominal. Jakarta : Menteri
Kesehatan Republik Indonesia ; 2017.
14. Phillips Thorek. Surgical Diagnosis. Toronto : University of Illnois
College of Medicine. Edisi ke-3. Toronto : University of Illnois ; 1997.
15. Medscape. What Algorithm is useful in the diagnosis and treatment of
peritonitis and peritoneal abscess? [document on the internet] 23 Juli 2019
[diunduh pada 10 Desember 2020]. Available at :
https://www.medscape.com/answers/180234-55857/what-algorithm-is-
useful-in-the-diagnosis-and-treatment-of-peritonitis-and-peritoneal-
abscess.
16. Rotstein. O. D., Simmins. R. L. Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam
Terapi Bedah Mutakhir. Jakarta : Binarupa Aksara,; 1997.
17. May J, Ades A. Porous diaphragm syndrome: haemothorax secondary to
haemoperitoneum following laparoscopic hysterectomy. BMJ Case Rep
[internet]. 2013 [diakses tanggal 12 Mei 2017];2013(5):1-5. Tersedia dari:
http://casereports.bmj.com
18. Broderick SR. Hematotoraks: etiology, diagnosis, and management.
Thorac SurgClin. 2013;23(1):89-96.
19. Ota H, Kawai H, Matsuo T. Video-Assisted minithoracotomy for blunt
diaphragmatic rupture presenting as a delayed hematotoraks. Ann Thorac
Cardiovasc Surg. 2014;20(1):911-4.
20. Issaivanan M, Baranwal P, Abrol S, Bajwa G, Baldauf M, Shukla M, et al.
Spontaneous hemopneumothorax in children: case report and review of
literature. Pediatrics. 2006; 118(4):1268-70.
21. Parry GW, Morgan WE, Salama FD. Management of haemothorax. Ann R
CollSurg Engl. 1996;78(4):325-6.
22. Pusponegoro A D. Ilmu bedah. Jakarta: FK UI; 1995.
23. Inci I, Ozçelik C, Ulkü R, Tuna A, Eren N. Intrapleural fibrinolytic
treatment of traumatic clotted hematotoraks. J Chest. 2006;114(1):160-5.
24. Department of Surgical Education. Tissue plasminogen activator in
traumatic
hematotoraks [internet]. Orlando: Orlando Regional Medical Center; 2014
[diakses tanggal 12 Mei 2017]. Tersedia dari :
http://www.surgicalcriticalcare.net/Guidelines/tissue_plasminogen_activat
or.pdf.
25. Medscape. Hemothorax Treatment & Management [document on the
internet] 13 July 2020 [12 December 2020]. Available at :
https://emedicine.medscape.com/article/2047916-treatment.
26. Boersma Wim G., Stigt Jos A., dan Smit Hans J.M. Treatment of
Haemothorax. USA : Elsevier ; 2010.
27. L. Pumarejo Gomez dan VH Tran. Hemothorax.[document on the internet]
10 August 2020 [12 December 2020]. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538219/#_NBK538219_pubdet
_

Anda mungkin juga menyukai