Anda di halaman 1dari 27

Perspektif Transkultural dalam Keperawatan dan

Perawatan Lanjut Usia, Menjelang serta Saat Kematian


Makalah Konsep Dasar Keperawatan

Oleh:
Barnis Lady Mentari Alamdani
Istiqomah Nurul Fauziah
Masturoh Widuri Sinta
Sharra Ati Kurnia Dewi
Zenithesa Gifta Nadirini

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas


Indonesia 2011
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1

1.2 Tujuan Penulisan .................................................................... 2

1.3 Sistematika Penulisan ............................................................. 2

1.4 Metode Penulisan dan Teknik Pengumpulan Data ……….. 3

BAB II URAIAN HASIL KERJA

2.1 Perspektif Transkultural dalam Keperawatan ...................... 4

2.1.1 Keperawatan Transkultural dan Globalisasi dalam

Pelayanan Kesehatan ............................................... 4

2.1.2 Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan

Transkultural ........................................................... 5

2.1.3 Pengkajian Asuhan Keperawatan Budaya......... 7

2.1.4 Instrumen Pengkajian Budaya ................................. 8

2.2 Perawatan Pada Lanjut Usia .................................................. 9

2.2.1 Pengkajian …………………………………......... 9

2.2.2 Diagnosa Keperawatan ………………………… 13

2.2.3 Perencanaan ............................................................. 13

2.2.4 Implementasi …………………………................. 14

2.2.5 Evaluasi …………………………………………. 14

ii
2.3 Perawatan Menjelang serta Saat Kematian ……………… 14

2.3.1 Tahapan Respon Klien terhadap Proses Kematian 15

2.3.2 Asuhan Keperawatan …………………………… 16

BAB III PEMBAHASAN KASUS ......................................................... 18

3.1 Pengkajian ………………………………………………… 18

3.2 Diagnosa Keperawatan …………………………………..... 19

3.3 Perencanaan ……………………………………………….. 19

BAB IV KESIMPULAN ……………………………………………... 21

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. iv

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menjadi seorang perawat bukanlah tugas yang mudah. Perawat terus
ditantang oleh perubahan-perubahan yang ada, baik dari lingkungan maupun
klien. Dari segi lingkungan, perawat selalu dipertemukan dengan globalisasi.
Sebuah globalisasi sangat memengaruhi perubahan dunia, khususnya di bidang
kesehatan. Terjadinya perpindahan penduduk menuntut perawat agar dapat
menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya. Semakin banyak terjadi
perpindahan penduduk, semakin beragam pula budaya di suatu negara. Tuntutan
itulah yang memaksa perawat agar dapat melakukan asuhan keperawatan yang
bersifat fleksibel di lingkungan yang tepat.
Lima proses keperawatan: pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi selalu berkaitan erat dengan intervensi
keperawatan. Beda usia, beda pula intervensi yang akan digunakan oleh perawat
untuk menyelesaikan masalah kesehatan klien. Sepanjang daur kehidupan
manusia salah satunya meliputi lanjut usia yang diteruskan dengan menjelang dan
saat kematian. Intervensi perawatan lanjut usia sangat penting karena lansia
menunjukkan perubahan-perubahan penting yang membutuhkan perawatan
khusus, lain dari perawatan usia anak-anak ataupun dewasa. Klien dalam kondisi
terminal membutuhkan dukungan dari utama dari keluarga, seakan proses
penyembuhan bukan lagi merupakan hal yang penting dilakukan. Sebenarnya,
perawatan menjelang kematian bukanlah asuhan keperawatan yang sesungguhnya.
Isi perawatan tersebut hanyalah motivasi dan hal-hal lain yang bersifat
mempersiapkan kematian klien. Dengan itu, banyak sekali tugas perawat dalam
memberi intervensi terhadap lansia, menjelang kematian, dan saat kematian.

1
2

1.2 Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang, tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Untuk memaparkan perspektif transkultural dalam keperawatan berkenaan
dengan globalisasi dan pelayanan kesehatan
b. Untuk memaparkan segala bentuk asuhan keperawatan transkultural
c. Untuk memaparkan intervensi dalam menindaklanjuti klien lanjut usia
d. Untuk memaparkan asuhan keperawatan bagi klien menjelang dan saat
kematian
e. Untuk memaparkan penyelesaian kasus mengenai peran perawat bila
dihadapkan pada situasi tersebut dan hal yang sebaiknya dilakukan
perawat untuk membantu klien

1.3 Sistematika Penulisan


Pada Bab I Pendahuluan terpaparkan latar belakang, tujuan penulisan,
sistematika penulisan, dan metode penulisan makalah ini oleh penulis. Pada Bab
II Uraian Hasil Kerja, penulis membaginya menjadi tiga bagian, yaitu (1)
Perspektif Transkultural dalam Keperawatan, (2) Perawatan pada Lanjut Usia, dan
(3) Perawatan Menjelang serta Saat Kematian.
Pada Perspektif Transkultural dalam Keperawatan, penulis memulai uraian
dengan menjelaskan keperawatan transkultural itu sendiri dan globalisasi dalam
pelayanan kesehatan. Selanjutnya, penulis memaparkan konsep dan prinsip dalam
asuhan keperawatan transkultural dilanjutkan dengan pengkajian asuhan
keperawatan budaya serta instrument pengkajian budaya.
Perawatan pada Lanjut Usia penulis bagi menjadi lima garis besar dalam
proses keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi keperawatan pada klien lanjut usia.
Selanjutnya, pada Perawatan Menjelang serta Saat Kematian, penulis
memaparkan tahapan respon klien terhadap proses kematian dan asuhan
keperawatannya.
Bab III Pembahasan Kasus berisi hasil diskusi penulis terkait kasus pada
klien lanjut usia. Pada Bab IV Kesimpulan, penulis meringkas hasil penulisan
makalah ini secara teratur dan ringkas.

1.4 Metode Penulisan dan Teknik Pengumpulan Data


Dalam penulisan makalah ini metode yang digunakan adalah PBL
(Problem Based Learning) dimana penulis mendapat sebuah kasus untuk
diselesaikan sebagai pemicu penulisan makalah. Teknik pengumpulan data yang
dilakukan adalah membaca literatur dan mencari referensi tambahan dari internet.
BAB II
URAIAN HASIL KERJA

2.1 Perspektif Transkultural dalam Keperawatan


Dalam buku Leininger dan McFarland (2002) “Transcultural Nursing:
Concepts, Theories, Research and Practice” Third Edition, keperawatan
transkultural adalah suatu area atau wilayah keilmuan budaya pada proses belajar
dan praktik keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan
diantara budaya dengan menghargai asuhan sehat dan sakit didasarkan pada nilai
budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk
memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya pada
manusia.

2.1.1 Keperawatan Transkultural dan Globalisasi dalam Pelayanan


Kesehatan
Tujuan dari keperawatan transkultural adalah mengembangkan sains dan
pohon keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur
yang spesifik dan universal. Kultur yang spesifik adalah kultur yang dengan nilai-
nilai norma spesifik yang tidak dimiliki oleh kelompok lain, seperti bahasa.
Sedangkan, kultur yang universal adalah nilai atau norma yang diyakini dan
dilakukan oleh hamper semua kultur, seperti budaya olahraga dapar membuat
badan sehat, bugar; budaya minum teh dapat membuat tubuh sehat. Keperawatan
transkultural juga bertujuan untuk mengidentifikasi, menguji, mengerti, dan
menggunakan pemahaman perawatan transkultural untuk meningkatkan
kebudayaan yang spesifik dalam pemberian asuhan keperawatan.
Globalisasi dalam pelayanan kesehatan sangatlah penting. Maksudnya
adalah pada zaman yang serba maju ini, menuntut keperawatan semakin maju
pula mengikuti perkembangan zaman. Orang-orang akan menuntut asuhan
keperawatan yang berkualitas. Dengan adanya zaman globalisasi ini, banyak
orang yang melakukan perpindahan penduduk antar negara (imigrasi) sehingga
memungkinkan pergeseran tuntutan asuhan keperawatan. Konsep keperawatan

4
5

didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang


melekat dalam masyarakat.
Sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai
dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal ini diabaikan oleh
perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock. Cultural shock dialami
klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan
perbedaan nialai budaya dan kepercayaan. Ini akan mengakibatkan
ketidaknyamanan, ketidakberdayaan pada klien, dan beberapa mengalami
disorientasi.

2.1.2 Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan Transkultural


Ada dua belas konsep transkultural teori Leininger (1985) dalam buku
Leininger dan McFarland (2002) “Transcultural Nursing: Concepts, Theories,
Research and Practice” Third Edition, yaitu:
a. Budaya (kultur) adalah norma atau aturan tindakan dari anggota
kelompok yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam
berfikir, bertindak dan mengambil keputusan.
b. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih
diinginkan atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu
tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan.
c. Culture care diversity (perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan)
merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan,
mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang
dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai
budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap
lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali
lagi.
d. Cultural care universality (kesatuan perawatan kultural) mengacu
kepada suatu pengertian umum yang memiliki kesamaan ataupun
pemahaman yang paling dominan, pola-pola, nilai-nilai, gaya hidup atau
simbol-simbol yang dimanifestasikan diantara banyak kebudayaan serta
mereflesikan pemberian bantuan, dukungan, fasilitas atau memperoleh
suatu cara yang memungkinkan untuk menolong orang lain (Terminlogy
universality) tidak digunakan pada suatu cara yang absolut atau suatu
temuan statistik yang signifikan.
e. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap
bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang
dimiliki oleh orang lain.
f. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya
yang digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
g. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada
mendiskreditkan asal muasal manusia.
h. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi
pada penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan
kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan
dasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling
memberikan timbal balik diantara keduanya.
i. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan,
dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya
kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk
meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia.
j. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing,
mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada
keadaan yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi
kehidupan manusia.
k. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui
nilai, kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing,
mendukung atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok
untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup,
hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
l. Cultural imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan
untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain
karena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada
kelompok lain.

2.1.3 Pengkajian Asuhan Keperawatan Budaya


Pengkajian budaya merupakan hal yang penting bagi seorang perawat
dalam asuhan keperawatan yang akan diberikan kepada klien. Pengetahuan
mengenai latar budaya dari klien dapat dijadikan acuan bagi perawat dalam
membina hubungan dengan klien. Dalam buku Leininger dan McFarland (2002)
“Transcultural Nursing: Concepts, Theories, Research and Practice” Third
Edition, tujuan pengkajian budaya adalah untuk mendapatkan informasi yang
signifikan dari klien sehingga perawat dapat menetapkan kesamaan pelayanan
budaya.
Pada tahap pertama, perawat melakukan pengkajian budaya dengan
mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan komunitas dari
klien, sehingga perawat mengetahui latar belakang budaya klien agar pengkajian
yang dilakukan terarah. Data yang perlu diketahui dalam perubahan tersebut
adalah data demografik, meliputi data sensus lokal dan data regional. Persiapan
dan antisipasi sangat diperlukan dalam pengkajian budaya yang didukung dengan
keterampilan dalam pengambilan data dan efisiensi waktu.
Perawat juga harus memiliki kemampuan untuk memahami klien lebih
dalam sehingga kesimpulan interpretasi selama penilaian tepat dan sesuai dengan
pelayanan yang diharapkan bersama. Penggunaan pertanyaan yang terfokus,
terbuka, dan kontras dapat membantu dalam pemahaman kepada klien. Pemberian
pertanyaan tersebut bertujuan untuk mendorong atau memotivasi klien dalam
penggambaran nilai-nilai, kepercayaan, dan praktik yang berarti terhadap
pelayanan pada klien yang dilakukan. Pertanyaan yang diberikan seperti
menanyakan pendapat klien tentang penyebab penyakit klien, pernah atau tidak
klien mengalami penyakit tersebut sebelumnya, dan perbedaan penyakit sekarang
dengan sebelumnya.
Dalam membangun hubungan dengan klien, komunikasi yang kurang
biasanya terjadi pada hubungan interkultural. Hal tersebut disebabkan adanya
perbedaan bahasa dan cara berkomunikasi. Sehingga keterampilan manajemen
impresi merupakan hal penting bagi perawat. Manajemen impresi merupakan
usaha untuk memberikan image dalam interaksi sosial. Manajemen impresi
membutuhkan keahlian berbahasa interpretasi yang sama secara budaya terhadap
sikap klien, dan keterampilan melakukan pengamatan.
Sebagai contoh penerapan dari manajemen impresi yaitu negara Amerika
menggunakan bahasa Inggris, tetapi pada setiap orang di wilayah Amerika,
memiliki dialek yang beragam dalam pengucapan bahasa Inggris tersebut.
Sehingga sebagai perawat perlu menilai dan mendengarkan bahasa yang
digunakan oleh klien ketika berbicara. Setelah itu, perawat menulis dan
memutuskan jika klien memerlukan seseorang ahli bahasa atau tidak. Seorang ahli
bahasa yang dipilih harus keputusan dari hasil diskusi perawat dengan klien.
Pihak rumah sakit memberikan ahli bahasa hanya untuk memberikan kondisi
medis klien. Ahli bahasa tersebut harus mempunyai kesesuaian latar belakang
etnik dengan klien agar lebih mudah timbul rasa percaya.

2.1.4 Instrumen Pengkajian Budaya


a. Mempertahankan Budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan
dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan
sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga
klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya,
misalnya budaya berolahraga setiap pagi.
b. Negosiasi Budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk
membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien
agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan
kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang
berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang
lain.

c. Restrukturisasi Budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya
hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana
hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan
keyakinan yang dianut.

2.2 Perawatan Pada Lanjut Usia


Lima proses keperawatan berperan besar dalam melakukan intervensi
asuhan keperawatan.

2.2.1 Pengkajian
Ada lima kunci pengkajian keperawatan untuk memastikan usia dalam
buku Potter Perry (2009) “Fundamentals of Nursing” Seventh Edition:
a. Hubungan timbal balik fisik dan psikososial penuaan
b. Efek penyakit dan ketidakmampuan kerja fungsional
c. Penurunan tingkat efisiensi mekanisme homeostatis
d. Kurangnya standar kesehatan dan norma penyakit
e. Perubahan presentasi dan respon terhadap penyakit spesifik

Lansia pada umumnya pensiun. Karena pensiunan ini biasanya telah


diantisipasi, seseorang dapat berencana ke depan untuk (1) berpartisipasi dalam
konsultasi atau aktivitas suka rela, (2) mencari minat dan hobi baru, dan (3)
melanjutkan pendidikannya. Dalam perwujudan perencanaan tersebut, lansia
bertemu dengan berbagai perubahan-perubahan dalam dirinya.
1. Perubahan Fisiologis
Beberapa klien lansia mungkin mengalami semua perubahan ini, dan
lansia lainnya mengalami hanya beberapa perubahan.
a. Survei Umum: inspeksi awal pada dewasa tua mungkin berupa
kontak mata dan ekspresi wajah yang sesuai dengan situasi,
kerutan wajah, rambut uban, hilangnya jaringan ekstrimitas, dan
peningkatan jaringan serta lemak pada tubuh.
b. Sistem Integumen: kulit kehilangan kelenturannya dan
kelembabannya. Noda dan lesi mungkin juga muncul pada kulit.
c. Kepala dan Leher: raut wajah nampak asimetris karena hilangnya
atau pemasangan gigi palsu yang tidak benar. Perubahan pada nada
suara (biasanya keras) terjadi karena adanya penurunan kekuatan
dan tingkat nada. Ketajaman penglihatan lansia menurun. Sering
terjadi presbiopia, suatu penurunan pada kemampuan mata untuk
berakomodasi pada benda dekat, dan presbikus, suatu perubahan
terkait usia pada ketajaman pendengaran. Atrofi saraf pengecap
pun kerap muncul serta hilangnya efisiensi. Lansia tidak mampu
merasakan asin, manis, asam, dan pahit dengan cepat.
d. Toraks dan Paru: terdapat peningkatan diameter anteroposterior.
Kifosis yang sering terjadi pada lansia merupakan perubahan tajam
dan progresif pada struktur vertebrata yang permanen bila disertai
osteoporosis.
e. Jantung dan Vaskular: penurunan kekuatan kontraktil
miokardium menyebabkan penurunan darah jantung. Penurunan ini
signifikan jika lansia mengalami stres karena ansietas,
kegembiraan, penyakit, atau aktivitas yang berat.
f. Payudara: penurunan massa, tonus, dan elastisitas otot yang
menyebabkan payudara menjadi lebih kecil.
g. Gastrointestinal dan Abdomen: peningkatan jumlah jaringan
lemak pada tubuh dan abdomen. Sering juga munculnya intoleransi
pada makanan tertentu secara tiba-tiba.
h. Sistem Reproduksi: menopause pada wanita berkaitan dengan
penurunan respons ovarium terhadap hipofisis dan mengakibatkan
penurunan kadar estrogen dan progesteron.
i. Sistem Perkemihan: hipertrofi kelenjar prostat dapat terjadi pada
pria lansia. Wanita lansia dapat mengalami inkontinensia stres,
yaitu terjadi pelepasan urin involunter saat batuk, bersin, atau
mengangkat suatu benda.
j. Sistem Muskoskeletal: dewasa lansia yang berolahraga secara
teratur tidak akan mengalami kehilangan massa atau tonus otot dan
tulang sebanyak dewasa lansia lain yang tidak aktif. Pada dewasa
lansia yang tidak aktif, serat otot akan berkurang ukurannya dan
kekuatan otot berkurang sebanding penurunan massa otot.
k. Sistem Neurologis: secara khas, lansia tidak tidur sepanjang
malam. Penyebab disrupsi ini adalah (1) siklus tidur memendek,
(2) akibat pengosongan kandung kemih yang sering, nyeri, atau
gangguan psikologis, dan (3) medikasi yang memengaruhi siklus
bangun-tidur.

2. Perubahan Kognitif
a. Demensia: kerusakan umum fungsi intelektual yang mengganggu
fungsi sosial dan okupasi. Demensia sinilis tipe Alzheimer, atau
biasa disebut penyakit Alzheimer, dicirikan oleh adanya atrofi otak
dan timbulnya plak senil serta lilitan neurofibril dalam hemisfer
serebral. Progresi penyakit Alzheimer telah dibagi dalam tiga tahap
dalam buku Potter Perry (2005) “Fundamental Keperawatan” Buku
1 (Brady, 1993). Pada tahap awal, gejala utama adalah hilangnya
memori. Tahap pertengahan meliputi kerusakan keterampilan
bahasa, aktivitas motorik, dan pengenalan benda. Inkontinensia
urin dan fekal, ketidakmampuan ambulansi, dan hilangnya
keterampilan bahasa secara lengkap merupakan cirri klasik tahap
akhir atau terminal dari penyakit Alzheimer.
b. Delirium (tingkat konfusi akut): sindrom otak menyerupai
demensia ireversibel, tetapi secara klinis dibedakan oleh adanya
tingkat kesadaran tidak jelas atau, lebih tepatnya, perubahan
perhatian dan kesadaran. Ciri lain meliputi kurang perhatian, ilusi,
halusinasi, kadang bicara inkoheren, gangguan siklus bangun-tidur,
dan disorientasi.
c. Penyalahgunaan Zat dan Kerusakan Kognitif: penyalahgunaan
alkohol dan obat lain terjadi pada populasi lansia. Banyak
penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut adalah masalah serius
karena mencakup stres dan kehilangan terkait penuaan seperti
pension, kehilangan pasangan, dan kesepian.

3. Perubahan Psikososial
a. Pensiun: tahap kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan
perubahan peran yang dapat menyebabkan stres psikososial. Stres
ini meliputi perubahan peran pada pasangan atau keluarga dan
masalah isolasi sosial.
b. Isolasi sosial: Ada empat tipe isolasi sosial dalam buku Potter
Perry (2005) “Fundamental Keperawatan” Buku 1.
 Sikap: terjadi karena nilai pribadi atau budaya. Lansiaisme
adalah sikap yang berlaku yang menstigmatisasi lansia,
suatu bias yang menolak lansia. Seiring lansia semakin
ditolak, harga diru lansia pun berkurang, sehingga usaha
bersosialisasi berkurang.
 Penampilan: seseorang diisolasi karena penolakan oleh
orang lain atau karena sedikit interaksi yang dapat
dilakukan akibat kesadaran diri.
 Perilaku: perilaku yang biasanya dikaitkan dengan
pengisolasian meliputi konfusi, demensia, alkoholisme,
eksentrisitas, dan inkontinensia.
 Geografis: jauh dari keluarga, kejahatan di kota, dan barier
institusi menyebabkan lansia mengalami isolasi sosial.
Dalam masyarakat kini yang suka berpindah, umumnya
anak hidup jauh dari orangtua sehingga kesempatan untuk
mengunjungi anak-anak semakin berkurang. Hal ini
menyebabkan isolasi lebih lanjut pada lansia yang
mempunyai keterbatasan fisik atau mengalami kematian
pasangannya.
c. Seksualitas: meliputi cinta, kehangatan, saling membagi dan
sentuhan, bukan hanya melakukan hubungan seksual.
d. Tempat Tinggal dan Lingkungan: perubahan pada peran sosial,
tanggung jawab keluarga, dan status kesehatan memengaruhi
rencana kehidupan lansia.
e. Kematian: kesalahan konsep yang biasa terjadi adalah kematian
seorang lansia sebagai berkah dan kulminasi (titik tertinggi)
seluruh kehidupan.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Identifikasi faktor yang berhubungan atau penyebab yang mungkin untuk
setiap diagnosa memberi arahan dalam mengembangkan intervensi keperawatan.
Analisis data memerlukan pertimbangan terhadap kekuatan dan keterbatasan
individu dan juga persepsi klien lansia tentang status kesehatannya. Validasi data
dari keluarga, kolega, perawat, profesi kesehatan lain, dan catatan (rekam medis)
mungkin diperlukan.

2.2.3 Perencanaan
Rencana keperawatan lansia difokuskan pada kegiatan mencegah,
meningkatkan, mengurangi, atau menghilangkan masalah. Prioritas perawatan
ditetapkan, tujuan klien dan hasil yang diharapkan serta intervensi yang cocok
dipilih.
2.2.4 Implementasi
Intervensi keperawatan pada lansia dapat mencakup peningkatan dan
pemeliharaan kesehatan, dukungan psikososial, keamanan rumah, pengobatan
mandiri, penyesuaian, dan penghematan. Dalam intervensi, dukungan psikososial
meliputi:
a. Komunikasi Terapeutik: merasakan dan menghargai keunikan klien.
b. Sentuhan: membuat nyaman lansia dengan menunjukkan rasa kasih
sayang.
c. Orientasi Realitas: teknik komunikasi yang digunakan untuk membuat
klien menyadari waktu, tempat, dan orang. Tujuan orientasi realitas
meliputi mengembalikan perasaan terhadap realitas, meningkatkan tingkat
kesadaran, meningkatkan sosialisasi, meningkatkan fungsi kebebasan, dan
meminimalkan konfusi, disorientasi, serta regresi fisik.
d. Resosialisasi: membantu lansia memperluas jaringan sosial mereka.
e. Terapi Validasi: teknik pada lansia yang mengalami konfusi berat dan
disorientasi. Tujuannya adalah mengembalikan martabat dan harga diri
serta memvalidasi perasaan klien.
f. Pengenangan: mengingat kembali masa lalu untuk menetapkan arti baru
terhadap pengalaman terdahulu.
g. Intervensi Citra Tubuh: pentingnya lansia menampilkan citra yang
diterima sosial. Memang butuh sedikit usaha untuk membantu klien
menyisir rambut, membersihkan gigi, bercukur, atau mengganti pakaian.

2.2.5 Evaluasi
Perubahan sering kali lambat dan tidak terlihat sehingga evaluasi mungkin
jarang dilakukan. Tipe masalah, pembentukan tujuan, dan pengunaan intervensi
menentukan frekuensi evaluasi.

2.3 Perawatan Menjelang serta Saat Kematian


Proses keperawatan menjelang perawatan merupakan proses penting
dalam melakukan perawatan terhadap klien. Kegiatan ini dilakukan bertujuan
untuk (1) menghilangkan atau megurangi rasa kesendirian, takut, dan depresi, (2)
mempertahankan rasa aman, harkat, dan rasa berguna, dan (3) membantu
kenyamanan fisik klien. Pada saat kondisi terminal, perawat dan keluarga sangat
berperan penting dalam proses kegiatan ini. Klien dalam kondisi terminal
membutuhkan dukungan dari utama dari keluarga, seakan proses penyembuhan
bukan lagi merupakan hal yang penting dilakukan.

2.3.1 Tahapan Respon Klien terhadap Proses Kematian


Menurut Kubler–Ross (1969) dalam buku “On Death and Dying” tahapan
respon klien terhadap proses kematian adalah:
a. Penolakan (denial)
Respon dimana klien tidak percaya atau menolak terhadap apa yang
dihadapi atau sedang terjadi. Penolakan ini berfungsi sebagai pelindung
setelah mendengar sesuatu yang tidak diharapkan.
b. Marah (anger)
Fase marah terjadi pada saat fase penolakan tidak lagi bisa dipertahankan.
Rasa marah ini terkadang sulit dipahami oleh pihak keluarga karena dapat
dipicu oleh hal-hal yang secara normal tidak menimbulkan kemarahan,
sering terjadi karena merasa tidak berdaya.
c. Tawar – Menawar (bargaining)
Secara psikologis, tawar-menawar dilakukan untuk memperbaiki
kesalahan atau dosa masa lalu. Klien mencoba untuk melakukan tawar-
menawar dengan tuhan dengan cara diam atau dinyatakan secara terbuka.
d. Kesedihan Mendalam (depression)
Ekspresi kesedihan ini merupakan persiapan terhadap kehilangan atau
perpisahan abadi dengan siapapun dan apapun.
e. Menerima (acceptable)
Pada tahap ini, klien memahami dan menerima keadaannya klien mulai
menemukan kedamaian dalam kondisinya, beristirahat untuk menyiapkan
dan memulai perjalanan panjang.
2.3.2 Asuhan Keperawatan
Dalam tahapan respon klien tersebut, perawat dapat memberikan asuhan
psikologis:
a. Memberikan dukungan pada fase awal, perawat diharapkan memberikan
dukungan pada klien pada fase penolakan ini. Akan tetapi, budaya yang
terjadi di Indonesia pada kondisi terminal ini, klien dianggap
membutuhkan asupan religi. Sehingga yang terjadi bukanlah perawat
memberikan dukungan, tetapi keluarga klien membacakan doa-doa kepada
klien.
b. Memberikan arahan pada klien bahwa marah adalah respon normal.
Sekarang ini, perawat lebih memberikan arahan tersebut kepada keluarga
klien agar keluarga klien pun tidak cemas melihat klien mengalami
keadaan seperti tersebut.
c. Membantu klien mengekspresikan apa yang dirasakannya. Perawat tidak
lagi sendiri dalam menghadapi klien dalam kondisi terminal, akan tetapi
selalu banyak pihak keluarga yang datang untuk memberikan semangat
atau motivasi kepada klien. Perawat lebih berfungsi untuk memberikan
arahan kepada keluarga klien apa yang harus dilakukannya ketika klien
menghadapi respon respon tersebut.
d. Perawat harus hadir sebagai pendamping dan pendengar. Yang dilakukan
perawat hanyalah mengutarakan empatinya terhadap keluarga klien dan
ikut serta membantu memotivasi keluarga klien.

Asuhan psikologis dapat berubah sesuai dengan budaya dari keluarga klien
tersebut. Klien dalam kondisi terminal tersebut membutuhkan motivasi atau
dukungan mental dan spiritual dari keluarga, peran perawat dalam hal ini tidak
terlalu banyak. Biasanya apabila keluarga tersebut mempunyai keyakinan yang
besar terhadap tuhan, mereka akan lebih memilih untuk berdoa di sekeliling klien
agar arwah klien nanti dapat diterima oleh yang kuasa. Ada pula adat kebiasaan
tersebut mengharuskan klien meninggal di rumah klien, klien langsung dibawa
pulang ketika keluarga, atau bahwa klien berada dalam kondisi terminal.
Gejala-gelala pada saat kondisi terminal:
a. Nafsu makan berkurang
b. Lesu
c. Ganguan sistem peredaran darah, seperti darah tida dapat mengalir ke
seluruh tubuh secara normal sehingga menjadikan kulit klien berubah
menjadi biru
d. Ganguan sistem pernapasan, seperti, nafas klien berbunyi, dan frekuensi
bernafas klien makin lama makin berkurang
e. Ganguan sistem gerak, pasien tidak dapat bergerak sesuai keinginannya
lagi
f. Gangguan pencernaan, seperti, klien tidak dapat menelan makanan yang
diberikan.

Selain asuhan secara psikologis, perawat dapat memberikan asuhan


keperawatan secara medis kepada klien dengan cara (1) mengontrol nyeri dan
gejala lain, (2) memelihara nutrisi klien, (3) mengatur dosis regular, (4)
membebaskan jalan nafas, dan (5) menyediakan obat-obatan esensial. Seperti
itulah proses keperawatan pada pasien terminal, perawat dan pihak keluarga
pasien berkolaborasi dalam mencapai kesejahteraan klien dalam menuju perjalan
yang sangat panjang. Proses proses perawatan pun akan menjadi fleksibel dan
lebih menurut kepada aturan adat dan kebudayaan yang dipercaya oleh pihak
keluarga klien. Selama tidak membahayakan klien, pihak rumah sakit akan
senantiasa mengikuti adat budaya keluarga tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Seorang pasien laki-laki berusia 67 tahun mendapat serangan stroke non


hemoragik dan dirawat di ruang perawatan semi intensif sebuah rumah sakit.
Kesadaran pasien baik, namun pasien mengalami kelumpuhan sisi sebelah kanan
tubuhnya dan mengalami kesulitan bicara. Pasien seringkali menolak bantuan
perawat untuk pemenuhan perawatan hariannya. Pasien meminta supaya istrinya
yang merawat dan menemaninya. Kebijakan rumah sakit melarang anggota
keluarga menunggu di dalam ruang perawatan. Istri pasien hanya boleh menemui
pasien pada saat waktu kunjungan. Istri pasien selalu menunggu di luar ruang
perawatan dan ingin membantu merawat suaminya.

3.1 Pengkajian
Perawat melakukan pendekatan pada pasien, komunikasi sejauh mana latar
belakang budaya pasien dan cara pasien berinteraksi dengan orang lain. Hal itu
dilakukan untuk meningkatkan rasa kepercayaan pasien terhadap perawat.
Pertanyaan yang diberikan seperti menanyakan pendapat klien tentang penyebab
penyakit klien, pernah atau tidak klien mengalami penyakit tersebut sebelumnya,
dan perbedaan penyakit sekarang dengan sebelumnya. Karena pasien mengalami
kesulitan bicara, perawat lebih mengutamakan sumber utama pengkajian adalah
keluarga (istri) untuk mempermudah komunikasi dan memberikan kenyamanan
secara tidak langsung.
Pertama, perawat mencari tahu data demografik pasien, termasuk di
dalamnya latar budaya yang dianut. Budaya pasien harus dianalisis terlebih
dahulu. Istri pasien memiliki nilai budaya (keinginan atau tindakan pada suatu
waktu tertentu) untuk selalu ingin merawat pasien. Budaya yang muncul disini
adalah budaya berbakti pada suami.
Kedua, perawat memberi tahu pengertian kebijakan rumah sakit yang
berlaku di lingkungan tempat perawat bekerja. Perawat juga memberikan motivasi

18
19

kepada pasien. Selama itu, perawat juga memerhatikan perubahan-perubahan


yang terjadi pada pasien dan dicatat sehingga dapat dibuat diagnosa
keperawatannya. Dalam kasus ini, pasien mengalami kelumpuhan sisi sebelah
kanan tubuhnya dan mengalami kesulitan bicara. Data medis yang didapatkan
perawat pun menceritakan bahwa pasien mendapat serangan stroke non
hemoragik.
Ketiga, perawat mencatat seluruh data yang didapat dari sumber primer
(pasien) dan sekunder (keluarga, kerabat, rekam medis, dan lain-lain). Keluarga
sangat berperan penting untuk memberi tahu perawat kebiasaan-kebiasaan pasien
sehingga perencanaan asuhannya dapat menyesuaikan dengan pasien dan nyaman
untuk pasien.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Kelumpuhan pada sisi kanan tubuh pasien disebabkan oleh stroke non
hemoragik yang dideritanya. Gangguan peredaran darah diotak atau stroke non
hemoragik adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan aliran
darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau
secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan
daerah yang terganggu. Penyebab-penyebab yang mungkin terjadi pada pasien
antara lain:
a. Trombosis (bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak)
b. Embolisme cerebral (bekuan darah atau material lain)
c. Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak)
Pasien juga telah menunjukkan salah satu ciri-ciri delirium (tingkat
konfusi akut) yaitu bicara kadang inkoheren yang merupakan salah satu jenis
kesulitan berbicara.

3.3 Perencanaan
Perawat mendiskusikan kembali dengan pasien mengenai perawatan yang
sesuai, atau dalam kasus kesulitan bicara ini diskusi dengan keluarga.
Implementasi yang mungkin menjadi jalan keluar kasus ini adalah orientasi
realitas, suatu teknik komunikasi yang digunakan untuk membuat klien menyadari
waktu, tempat, dan orang yang salah satu tujuannya adalah meminimalkan
konfusi. Dalam menghargai budaya pasien, perawat dapat mengadakan
pendekatan atau konsep caring untuk membimbing, mendukung dan
mengarahkan pasien. Istri yang telah diberi penjelasan mengenai peraturan rumah
sakit akan tahu kapan waktu besuk sehingga istri dapat merawat suami saat waktu
besuk saja.
BAB IV
KESIMPULAN

Keperawatan transkultural dibutuhkan dalam mengembangkan sains dan


pohon keilmuan yang humanis agar tercipta praktik keperawatan pada kultur yang
spesifik dan universal. Sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya
dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal ini
diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock. Dengan
adanya zaman globalisasi ini, banyak orang yang melakukan perpindahan
penduduk antar negara yang memungkinkan pergeseran tuntutan asuhan
keperawatan. Konsep keperawatan didasari oleh pemahaman tentang adanya
perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam masyarakat.
Ada dua belas konsep transkultural teori Leininger (1985), yaitu (1)
budaya, (2) nilai budaya, (3) culture care diversity, (4) cultural care universality,
(5) etnosentris, (6) etnis, (7) ras, (8) etnografi, (9) care, (10) caring, (11) cultural
care, dan (12) cultural imposition. Tiga instrumen pengkajian budaya
(mempertahankan budaya, negosiasi budaya, dan restrukturisasi budaya) pun
berperan penting dalam asuhan keperawatan transkultural. Tujuan pengkajian
budaya adalah untuk mendapatkan informasi yang signifikan dari klien sehingga
perawat dapat menetapkan kesamaan pelayanan budaya. Perawat juga harus
memiliki kemampuan untuk memahami klien lebih dalam sehingga kesimpulan
interpretasi selama penilaian tepat. Dalam membangun hubungan dengan klien,
komunikasi yang kurang biasanya terjadi pada hubungan interkultural, sehingga
keterampilan manajemen impresi merupakan hal penting bagi perawat.
Dalam mengkaji masalah kesehatan lansia, perawat harus
memperhitungkan hubungan timbal balik fisik dan psikososial penuaan, efek
penyakit dan ketidakmampuan kerja fungsional, penurunan tingkat efisiensi
mekanisme homeostatis, kurangnya standar kesehatan dan norma penyakit, dan
perubahan presentasi serta respon terhadap penyakit spesifik. Perubahan-
perubahan yang muncul pada lansia meliputi perubahan fisiologis yang berkenaan
dengan sistem tubuh, kognitif yang bersangkutan dengan penyakit, dan

21
22

psikososial yang berisi permasalahan sosial. Lalu, perawat mendiagnosa faktor


yang berhubungan atau penyebab yang mungkin sebagai arahan dalam
mengembangkan intervensi keperawatan. Prioritas perencaan ditetapkan, tujuan
klien dan hasil yang diharapkan serta intervensi yang cocok dipilih. Dalam
intervensi dukungan psikososial meliputi komunikasi terapeutik, sentuhan,
orientasi realitas, resosilisasi, terapi validasi, pengenangan, dan intervensi citra
tubuh. Tipe masalah, pembentukan tujuan, dan penggunaan intervensi
menentukan frekuensi evaluasi.
Menurut Kubler–Ross (1969) dalam buku “On Death and Dying” ada lima
tahapan respon klien terhadap proses kematian, yaitu (1) penolakan, (2) marah, (3)
tawar – menawar, (4) kesedihan mendalam, dan akhirnya (5) menerima. Klien
dalam kondisi terminal tersebut membutuhkan motivasi atau dukungan mental
dan spiritual dari keluarga, peran perawat dalam hal ini tidak terlalu banyak.
Selain asuhan secara psikologis, perawat dapat memberikan asuhan keperawatan
secara medis kepada klien dengan cara (1) mengontrol nyeri dan gejala lain, (2)
memelihara nutrisi klien, (3) mengatur dosis regular, (4) membebaskan jalan
nafas, dan (5) menyediakan obat-obatan esensial. Proses proses perawatan
nantinya akan menjadi fleksibel dan lebih menurut kepada aturan adat dan
kebudayaan yang dipercaya oleh pihak keluarga klien. Inilah yang disebut
transkultural pada proses keperawatan.
Dalam penyelesaian kasus dapat dilakukan tiga proses keperawatan, yaitu:
pengkajian, diagnosa keperawatan, dan perencanaan. Pada pengkajian, perawat
mencari data-data yang diperlukan untuk menindaklanjuti masalah pasien dan
melakukan pendekatan terhadap pasien ataupun keluarganya. Pada diagnosa
keperawatan, pasien mengalami kelumpuhan dikarenakan stroke non
hemoragiknya. Kesulitan bicara yang diderita oleh pasien juga merupakan salah
satu ciri-ciri delirium (konfusi akut). Untuk menyelesaikan masalah pasien
tersebut, dalam perencaan perawat dapat menggunakan teknik implementasi
orientasi realitas yang salah satu tujuannya adalah meminimalisasi tingkat konfusi
akut. Dalam menghargai budaya pasien, perawat dapat mengadakan pendekatan
atau konsep caring untuk membimbing, mendukung dan mengarahkan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Efy. Ringkasan Materi Unit 2 Keragaman Budaya dan Perspektif


Transkultural dalam Keperawatan.
http://staff.ui.ac.id/internal/132051049/material/transkulturalnursing.pdf
(diakses pada 22 Oktober 2011)

BMS, Ajibarang. Stroke Non Hemoragik. http://keperawatan-


gun.blogspot.com/2007/07/stroke-non-hemoragik.html (diakses pada 22
Oktober 2011)

Susilaningsih, Francisca Sri. Asuhan Keperawatan dalam Pendampingan Klien


diambang Kematian.
http://franciscasri.wordpress.com/2008/08/28/asuhan- keperawatan-dalam-
pendampingan-klien-diambang-kematian-care-of-the- dying/ (diakses
tanggal 23 Oktober 2011)

Erick. Konsep Pasien Terminal. http://erik-acver-


qincai.blogspot.com/2009/07/konsep-pasien-terminal.html (diakses tanggal
23 Oktober 2011)

Ismayadi. Proses Menua (Aging Proses).


http://subhankadir.files.wordpress.com/2008/01/perkembangan-
lansia.pdf (diakses tanggal 23 Oktober 2011)

Kubler-Ross, E. (1969). On Death and Dying. London: Tavistock Publication

Leininger, M. dan Mc Farland, M.R. 2002. Transcultural Nursing:


Concept, Theories, Research and Practice. 3rd Edition. USA: Mc-
Graw Hill Companies

Pristiana D, Ari. 2011. Teori Keperawatan Medelein Leininger.


http://aripristiana.com/2011/02/madeline-leininger.html (diakses tanggal 22
Oktober 2011)

iv
Asih, Yasmin (Penerjemah). 2005. Fundamental Keperawatan, Edisi 4, Buku 1.
Jakarta: Salemba Medika

Potter, P.A. dan Perry, A.G. 2009. Fundamental of Nursing: Concepts,


Process, and Practice. 7th Edition. St. Louis: Elsevier

Anda mungkin juga menyukai