Oleh:
ADIN ANUGRAH
14.090.55.032
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020
i
STUDI PENENTUAN FAKTOR PENYUSUTAN (SHRINKAGE
FACTOR) DAN PERSEN PENYUSUTAN (PERCENT SHRINKAGE)
BATUAN BERDASARKAN VOLUME MATERIAL
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi
Strata 1 (S1) Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Mulawarman
Oleh :
ADIN ANUGRAH
1409055032
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Penentuan Faktor Penyusutan
(Shrinkage Factor) dan Persen Penyusutan (Percent Shrinkage) Batuan Berdasarkan
Volume Material”. Skripsi ini di susun sebagai salah satu syarat kelulusan untuk
memenuhi kurikulum yang ada pada Fakultas Teknik Program Studi S1 Teknik
Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Mulawarman Samarinda.
Selama proses pembuatan skripsi ini, banyak pihak-pihak yang telah membantu penulis
baik secara langsung maupun lewat dukungan moral. Oleh karena itu, tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Penulis
iii
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................... vi
iv
3.2.2 Pengukuran Volume Material ................................................................... 22
3.2.3 Teknik Metode Pemadatan ........................................................................ 23
3.3 Diagram Alir Penelitian ............................................................................ 25
v
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 2.1 Pengukuran Langsung Dengan Gelas Ukur ......................................... 6
Gambar 2.2 Keadaan Material Dalam Earth Moving ............................................. 9
Gambar 2.3 Alat Uji Proktor.................................................................................... 12
Gambar 2.4 Cara Penumbukan Tiap Lapisan .......................................................... 13
Gambar 2.5 Alat Tekan Pemadat Modifikasi ......................................................... 14
Gambar 2.6 Batas - Batas Atterberg ....................................................................... 15
Gambar 2.8 Definisi Batuan Susut .......................................................................... 17
Gambar 3.1 Alat Penumbuk dan Tabung .................................................................... 24
Gambar 3.2 Diagram Alir Penelitian ....................................................................... 25
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 2.1 Ayakan Amerika Serikat.......................................................................... 7
Tabel 3.1 Kegiatan Penelitian .................................................................................. 26
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Sifat pengembangan pada material dimulai dari kondisi asli, dimana material masih
dalam keadaan alami belum terganggu oleh teknologi. Butiran-butirannya masih
terkonsoldasi dengan baik. Keadaan ini disebut dengan istilah Bank Condition
(Sutrisno, 2013).
Setelah material ini mengalami sentuhan teknologi, keadaan ini di sebut loose condition,
material ini mengalami perubahan volume karena adanya penambahan rongga udara,
namun berat material tetap. Besarnya penambahan volume tergantung dari faktor
pengembangan tanah (swelling faktor) (Sutrisno, 2013).
Nilai penyusutan setiap material tidak sama, oleh karena itu dalam penelitian ini akan
dicari faktor-faktor yang mempengaruhi penyusutan material tersebut dan mengetahui
nilai penyusutan dengan material yang berbeda. Penyusutan material oleh usaha
pemadatan ditentukan oleh bentuk material, distribusi ukuran, kadar air dan energi
pemadatan itu sendiri (Sutrisno, 2013).
Semakin kecil ukuran butir, maka volume rongga antara material satu dengan yang
lainnya akan lebih kecil daripada material yang mempunyai distribusi ukuran yang lebih
besar. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah mendapatkan nilai maksimal
1
volume penyusutan dari beberapa sampel batuan dan mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai penyusutan batuan, sehingga didapatkan nilai compact cubic meter.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Batuan merupakan benda alam yang menjadi penyusun utama di muka bumi. Pada
umumnya batuan merupakan campuran mineral yang bergabung secara fisik antara satu
mineral dengan mineral lainnya. Beberapa batuan hanya tersusun atas beberapa mineral
saja dan mineral lainnya dibentuk oleh gabungan mineral yang berasal dari bahan
organik dan bahan-bahan vulkanik. Batuan dipelajari dalam petrologi yaitu suatu ilmu
yang mempelajari tentang berbagai macam batuan yang terdapat dalam kerak bumi baik
cara terjadinya maupun klasifikasinya (Djauhari, 2012).
Batuan penyusun kerak bumi berdasarkan kejadiannya (genesis), tekstur, dan komposisi
mineralnya yang dibagi menjadi 3, yaitu : batuan beku (igneous Rocks), batuan sedimen
(sedimentary rocks), batuan metamorf/malihan (metamorphic rocks) (Djauhari,2012).
Adapula definisi batuan yang lain menyebutkan bahwa, batuan adalah sebagai semua
bahan yang menyusun kerak bumi dan merupakan suatu agregat (kumpulan) mineral-
mineral yang telah menghablur. Yang tidak termasuk batuan adalah tanah dan bahan
lepas lainnya yang merupakan hasil pelapukan kimia atau mekanis serta proses erosi
dari batuan (Djauhari,2012).
1. Lempung
Lempung (clay) sebetulnya merupakan istilah ukuran butir yang lebih kecil dari 1/256
mm (menurut ukuran Wenworth). Apabila butir-butir tersebut sudah kompak kemudian
disebut sebagai batulempung. Didalam pembicaraan masyarakat yang dimaksud
lempung sama pengertiannya dengan batulempung (Hardiyatmo, 2002).
3
Menurut definisi ini, mineral lempung mungkin dapat membentuk 1/4 dari apa yang
disebut sebagai lempung. Mineral lempung adalah susunan kelompok partikel
berukuran koloid dengan diameter butiran < 0,002 mm yang dihasilkan dari proses
pelapukan akibat reaksi kimia (Hardiyatmo, 2002).
Struktur komposisi mineral lempung adalah silikat aluminium dan/atau besi dan
magnesium. Beberapa diantaranya juga mengandung alkali atau tanah alkalin dan
lempung mempunyai struktur berlapis, beberapa diantaranya mempunyai bentuk
silinder memanjang atau struktur yang berserat (Hardiyatmo, 2002).
2. Lanau
Batulanau adalah batuan sedimen klastik. Seperti namanya, batulanau terdiri dari (lebih
dari 2/3 nya) partikel-partikel berukuran lanau, yang merupakan butiran berukuran 2–62
µm atau 4 hingga 8 dalam skala Krumbein phi (φ) Batulanau berbeda secara signifikan
dari batupasir dalam hal pori-porinya yang lebih kecil dan kecenderungan lebih tinggi
untuk mengandung fraksi lanau yang signifikan. Meskipun sering tertukar dengan
istilah serpih(shale), batulanau tidak memiliki fisilitas dan laminasi yang khas dari shale
(Zakri. R, dkk, 2020).
Struktur sedimen pada batu lanau sering berupa layering, cross-bedding, ripple marks,
dan kontak erosi. Selain itu, fosil juga banyak ditemukan di batuan ini yang dapat
memberikan bukti lingkungan pengendapannya. Batulanau jauh lebih umum daripada
batu pasir dan batu serpih. Formasi batuannya biasanya lebih tipis dan penyebarannya
kurang luas (Zakri. R, dkk, 2020).
4
3. Gamping
Batugamping merupakan salah satu golongan batuan sedimen yang paling banyak
jumlahnya. Batugamping itu sendiri terdiri dari batugamping non-klastik dan
batugamping klastik. Batugamping klastik, merupakan hasil rombakan, jenis
batugamping non-klastik melalui proses erosi oleh air, transportasi, sortasi, dan
terakhir sedimentasi. Sedangkan batugamping non-klastik merupakan koloni dari
binatang laut antara lain koelenterata, moluska, protozoa, foraminifera.
Pengukuran volume benda-benda padat yang teratur maupun tidak teratur bentuknya
dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan gelas ukur. Berikut ini cara yang
perlu dilakukan dalam melakukan pengukuran dengan menggunakan gelas ukur: a. Jika
benda yang akan diukur berukuran kecil hingga bisa dimasukkan ke dalam gelas ukur,
maka pengukuran bisa langsung dilakukan dengan mencelupkan benda tersebut ke
dalam gelas ukur yang telah diisi air dalam jumlah atau volume tertentu, misalnya 100
ml. Selanjutnya catat perubahan volume yang terjadi pada skala ukuran, misalnya air
naik hingga pada ukuran 120 ml (Iskandar H, 2017).
Jika benda yang hendak diukur berukuran besar hingga tidak bisa muat ke dalam gelas
ukur, maka memerlukan suatu bejana yang lebih besar (atau gelas berpancur) untuk
melakukan pengukuran. Selanjutnya masukkan benda padat yang hendak diukur ke
dalam bejana yang terisi air penuh. Luapan air dari bejana tersebut ditampung di dalam
bejana yang lebih besar. Selanjutnya air luapan di dalam bejana yang lebih besar
dimasukkan ke dalam gelas ukur. Dengan mengamati permukaan air di dalam gelas
5
ukur tersebut yang berimpit dengan skala ukur pada gelas ukur tersebut bisa terbaca
volume benda tersebut.
Analisis ayakan adalah mengayak dan menggetarkan contoh material melalui satu set
ayakan dimana lubang-lubang ayakan tersebut makin kecil secara berurutan, dari ukuran
lubang ayakan terbesar sampai ayakan dengan ukuran lubang terkecil. Proses pemisahan
ukuran butirnya dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Vibrated
2. Shake
Untuk standar ayakan di Amerika Serikat, nomor ayakan dan ukuran lubang
diperlihatkan pada table 2.1 dibawah ini
6
50 0,300
60 0,250
80 0,180
100 0,150
140 0,106
170 0,088
200 0,075
270 0,053
Material yang ukuran butirnya dibagi rata antara yang besar sampai yang kecil
dikatakan bergradasi baik (well graded). Sebaliknya bila terdapat kekurangan atau
kelebihan salah satu ukuran butir maka material itu dikatakan bergradasi buruk (poorly
graded). Bila besar butirnya hampir sama, dipakai istilah bergradasi seragam (uniformly
graded).
Produk dari proses pengayakan/penyaringan ada dua meliputi ukuran lebih besar
daripada ukuran lubang-lubang ayakan (oversize) dan ukuran yang lebih kecil daripada
ukuran lubang-lubang ayakan (undersize). Dalam proses industri, pengayakan (sieving)
biasanya digunakan untuk mendapatkan material yang berukuran tertentu dan seragam.
Pada proses pengayakan, material dijatuhkan atau dilemparkan ke permukaan pengayak
dan pengayakan lebih cenderung dilakukan dalam keadaan kering (Situmorang H,
2013).
Sifat tanah atau batuan tergantung dari pada ukuran butirnya. Dengan mengetahui
pembagian besarnya ukuran butir dari sebuah material maka kita dapat menentukan
7
klasifikasi terhadap suatu macam material baik tanah maupun batuan atau dengan kata
lain dapat mengadakan deskripsi tanah atau batuan. Besarnya butiran tanah biasanya
digambarkan dengan grafik yang disebut grafik lengkung gradasi atau grafik lengkung
pembagian butir (M Das, Braja. 1993).
Menurut M Das, Braja.1993. Kurva distribusi ukuran butir dapat digunakan untuk
membandingkan beberapa jenis tanah yang berbeda-beda. Selain itu ada parameter
dasar yang dapat ditentukan dari kurva tersebut, dan parameter tersebut dapat digunakan
untuk mengklasifikasikan tanah berbutir kasar. Parameter tersebut adalah :
Diameter dalam kurva distribusi ukuran butiran yang bersesuaian dengan 10% yang
lebih halus (lolos ayakan) didefinisikan sebagai ukuran efektif atau 𝐷10 . Koefisien
keseragaman diberikan dengan hubungan :
Dimana :
𝐶𝑢 = koefisien keseragaman
𝐷60 = Diameter yang bersesuaian dengan 60% lolos ayakan
𝐷10 = Diameter yang bersesuaian dengan 10% lolos ayakan.
Dimana:
𝐶𝑐 = Koefisien gradasi
𝐷30 = Diameter yang bersesuaian dengan 30% lolos ayakan
𝐷10 = Diameter yang bersesuaian dengan 10% lolos ayakan
8
2.4 Pengembangan dan Penyusutan Material
9
3. Keadaan Padat (Compact Condition)
Keadaan tanah setelah ditimbun kembali dengan disertai usaha pemadatan. Keadaan ini
akan dialami oleh material yang mengalami proses pemadatan. Perubahan volume
terjadi karena adanya penyusutan rongga udara di antara partikel - partikel tanah
tersebut. Dengan demikian volumenya berkurang, sedangkan beratnya tetap. Volume
tanah setelah diadakan pemadatan, mungkin lebih besar atau mungkin juga lebih kecil
dari volume dalam keadaan bank, hal ini tergantung dari usaha pemadatan yang
dilakukan. Ukuran volume tanah dalam keadaan padat biasanya dinyatakan dalam
compact measure = Compact Cubic Measure (CCM) (Tenrisukki, 2003).
Proses naiknya kerapatan tanah dengan memperkecil jarak antar partikel sehingga
terjadi reduksi volume udara. Tingkat pemadatan diukur dari berat volume kering yang
dipadatkan. Bila air ditambahkan pada suatu tanah yang sedang dipadatkan, air tersebut
akan berfungsi sebagai unsur pembasah atau pelumas pada partikel-partikel tanah.
(Prihatono, 2011).
Hal diatas dapat tercapai dengan pemilihan tanah timbunan, cara pemadatan, pemilihan
mesin pemadat, dan jumlah lintasan yang sesuai. Tingkat kepadatan tanah diukur dari
nilai berat volume keringnya. Berat volume kering tidak berubah oleh adanya kenaikan
kadar air. Hal ini karena kepadatan atau berat volume kering dinyatakan oleh (𝛾𝑑 ) =
𝑊𝑠 /𝑉 , bila berat butiran (𝑊𝑠 ) dan volume total (V) tetap, maka (𝛾𝑑 ) tetap (Hardiyatmo,
2012).
10
2.5.2 Prinsip Pemadatan Tanah
Pada awal proses pemadatan, berat volume material (𝛾𝑑 ) bertambah seiring dengan
ditambahnya kadar air. Pada kadar air nol (w=0), berat volume material yang basah (𝛾𝑏 )
sama dengan berat volume material kering (𝛾𝑑 ) Ketika kadar air berangsur-angsur
ditambah (dengan usaha pemadatan yang sama), berat material padat per volume satuan
(𝛾𝑑 ) juga bertambah. Pada kadar air lebih besar dari kadar air tertentu, yaitu saat kadar
air optimum, kenaikan kadar air justru mengurangi berat volume keringnya. Hal ini
karena, air mengisi rongga pori yang sebelumnya diisi oleh butiran padat. Kadar air
pada saat berat volume kering mencapai maksimum (𝛾𝑑𝑚𝑎𝑘𝑠 ) disebut kadar air optimum
(Hardiyatmo, 2002).
Pemadatan adalah usaha secara mekanik untuk merapatkan butir-butir tanah. Pemadatan
dilakukan untuk mengurangi volume tanah, mengurangi volume pori namun tidak
mengurangi volume butir tanah (Natanael. S, dkk, 2016).
Derajat kepadatan tanah diukur dari berat volume keringnya. Berat volume maksimum
yaitu berat volume dengan tanpa rongga udara atau berat volume tanah maksimum pada
saat kondisi jenuh. Berat volume tanah kering setelah pemadatan bergantung pada jenis
tanah, kadar air, dan usaha yang diberikan oleh pemadatnya (Sembiring. N, dkk, 2016).
11
cara memadatkan sampel dalam cetakan silinder berukuran tertentu dengan
menggunakan alat penumbuk 2,5 kg dan tinggi jatuh 30,5 cm. Uji pemadatan standar
dilakukan dengan alat uji seperti pada gambar 2.3 dibawah ini
Dari gambar diatas dapat kita lihat alat yang digunakan dalam uji pemadatan standard
proctor test, alat diatas terdiri dari dua bagian yaitu tabung dan palu (penumbuk).
Dengan teknik penumbukan seperti terlihat pada gambar 2.4 dibawah ini.
12
Gambar 2.4 Cara Penumbukan Tiap Lapisan (Hardiyatmo, 2012)
Cara kerja alat tekan pemadat modifikasi dengan cara memompa dongkrak secara
manual, maka pelat yang ada tepat berada di bawah dongkrak akan turun. Saat dongkrak
dipompa maka akan menekan tanah yang berada di dalam cetakan dan per yang berada
di atas menurun menahan beban yang diterima dari dongkrak. Pada saat tanah di
padatkan maka manometer akan bergerak sehingga dapat mengetahui berapa besar
tekanan yang di terima oleh tanah dengan membaca pada manometer. Dapat dilihat dari
Sketsa berikut ini :
13
Gambar 2.5 Alat Tekan Pemadat Modifikasi (Robianti, 2017)
𝐸𝑝 = 𝑚 x 𝑔 x ℎ ……………..……….…………………………………………..(2.3)
Dimana :
𝐸𝑝 = Energi potensial (J)
m = massa benda (kg)
14
g = percepatan gravitasi (m/s 2 )
h = tinggi benda dari permukaan tanah (meter)
Kemudian dari rumus 2.3 diatas dapat kita susun rumus untuk perhitungan energi
pemadatan seperti rumus 2.4 dibawah ini
2.6 Permeabilitas
Kemampuan fluida untuk mengalir melalui medium yang berpori adalah suatu sifat
teknis yang disebut permeabilitas. Sedangkan Hardiyatmo (2002) berpendapat bahwa
permeabilitas dapat didefinisikan sebagai sifat bahan yang memungkinkan aliran
rembesan zat cair mengalir melalui rongga pori.
Batas susut adalah batas dimana tanah dalam keadaan jenuh yang sudah kering, tidak
akan menyusut lagi, meskipun dikeringkan lagi. Untuk mengetahui tingkat keadaan
batas – batas kekentalan tanah batas-batas Atterberg (yang mana diambil dari nama
peneliti pertamanya yaitu Atterberg pada tahun 1911) pada kebanyakan tanah di alam,
berada dalam kondisi plastis. Bila tanah dalam kedudukan plastis, besarnya jaringan
gaya antar partikel akan sedemikian hingga partikel bebas menggelincir antara satu
dengan yang lain, dengan kohesi yang tetap terpelihara. Pengurangan kadar air
menghasilkan pengurangan volume tanah (Hardiyatmo, 2012).
15
Atterberg (1911) memberikan cara untuk menggambarkan batas – batas konsistensi dari
tanah berbutir halus dengan mempertimbangkan kandungan air tanah. Batas – batas
adalah batas cair (liquid limit), batas plastis (plastic limit), dan batas susut (shrinkage
limit). Kedudukan batas – batas konsistensi untuk tanah kohesif ditunjukkan dalam
gambar dibawah ini :
16
Batas susut (SL) didefinisikan sebagai kadar air pada kedudukan antara daerah semi
padat dan padat, yaitu persentase kadar air dimana pengurangan kadar air selanjutnya
tidak mengakibatkan perubahan volume tanah.
Kemudian untuk pengukuran volume padat dilakukan dengan menggunakan uji proctor.
Pada pengujian menggunakan uji proctor dengan metode yang telah ditentukan,
material akan mengalami penyusutan, dikarenakan adanya tekanan yang diberikan
dengan energi yang telah ditentukan. Penyusutan antara material satu dengan yang
lainnya akan sangat berbeda, dipengaruhi oleh sifat fisik dan karakteristik batuan itu
sendiri.
Perbedaan volume dari keadaan loose yang kemudian dilakukan pemadatan dengan
menggunakan proctor diperoleh volume kompak. Perbedaan volume tersebut yang
digunakan sebagai nilai dari penentuan shrinkage factor dan percent shrinkage material.
Rumus yang digunakan dalam perhitungan Shrinkage Factor dan Percent Shrinkage :
100%
𝑠ℎ𝑟𝑖𝑛𝑘𝑎𝑔𝑒 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 = ………………………………………(2.8)
100%−% 𝑠ℎ𝑟𝑖𝑛𝑘𝑎𝑔𝑒
17
BAB III
METODE PENELITIAN
b. Perumusan masalah
Dilaksanakan sesuai dengan maksud dan tujuan dari penelitian ini. Adapun maksud
dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor penyusutan dan persen
penyusutan berdasarkan volume tiap material.
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data-data yang nantinya digunakan dalam
penyusunan skripsi ini. Adapun data yang digunakan pada penelitian ini merupakan
data primer.
18
3.1.2.1. Data Primer
Data primer merupakan sumber data yang diperoleh dengan melakukan penelitian
secara langsung pada objek penelitian. Adapun data primer yang diperoleh pada
penelitian ini antara lain:
1. Pengujian kadar air
2. Pengujian berat volume
3. Pengujian berat jenis
4. Uji pemadatan standar
1. Observasi lapangan
Observasi lapangan merupakan pengamatan terhadap kondisi dan keadaan langsung
yang ada dilapangan. Kegiatan observasi ini sangat berguna sebagai langkah awal
untuk memulai proses pengambilan data guna untuk menentukan lokasi
pengambilan sampel dan jarak antar lokasi pengambilan sampel.
2. Pengambilan data
a. Pengambilan Sampel batuan pada area penelitian
Pengambilan sampel batuan dengan material berupa batulanau batulempung dan
batugamping dilakukan disekitar wilayah daerah X, Provinsi Z secara acak.
Pengambilan sampel dari lapangan dilakukan secara langsung dan merupakan
contoh tanah yang terganggu (disturbed sample). Pengambilan sampel
menggunakan palu geologi, linggis dan alat penggali sejenis dan kemudian sampel
tersebut dimasukkan kedalam plastik sampel dan ditutup rapat guna meminimalkan
perubahan nilai kadar air dan mencoba menjaga keaslian sampel seefektif mungkin
dan disiapkan untuk dibawa ke Laboratorium Teknologi Mineral dan Batubara
Fakultas Teknik Universitas Mulawarman.
19
b. Pengambilan Koordinat sampel
Pengambilan koordinat sangat penting untuk mengetahui lokasi pasti dimana kita
mengambil sampel. Selain itu sebagai acuan agar tidak terjadi pengambilan sampel
yang sama pada satu area dan untuk menentukan radius pengambilan sampel.
Sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil studi yang pernah
dilakukan sebelumnya, dan data pendukung lain dari pihak luar terkait. Adapun data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Peta formasi batuan
b. Data curah hujan area penelitian
Pada tahap pasca lapangan yaitu tahap pengujian sampel, pengolahan data dan analisis
data yang telah didapatkan pada tahap lapangan.
20
d. Berat jenis semu (Apparent specific grafity), yaitu perbandingan antara bobot isi
kering batuan dengan bobot isi air
e. Berat jenis nyata (True specific grafity), yaitu perbandingan antara bobot isi basah
batuan dengan bobot isi air
f. Kadar air asli (Natural water content), yaitu perbandingan antara berat air asli yang
ada di dalam batuan dengan berat butiran batuan itu sendiri yang dinyatakan dalam
%
g. Kadar air jenuh (absorption), yaitu perbadingan antara berat air jenuh yang ada
dalam batuan dengan berat butiran batuan itu sendiri yang dinyatakan dalam %
h. Derajat kejenuhan adalah perbandingan antara kadar air asli dengan kadar air jenuh
yang dinyatakan dalam %
i. Porositas adalah perbandingan antara volume pori-pori dalam batuan dengan
volume batuan
j. Void ratio adalah perbandingan antara kadar air asli dengan kadar air jenuh yang
dinyatakan dalam %
Kadar air batuan dinyatakan dalam persen volume yaitu persentase volume air
terhadap volume batuan.. Cara penetapan kadar air dapat dilakukan dengan diambil
sebagian sampel yang akan diuji kadar airnya, dimasukkan kedalam cawan dan
ditimbang berat basahnya (W2), setelah ditimbang kemudian dimasukkan kedalam
oven pada suhu 1000 C – 1100 C selama 24 jam. Conto material yang sudah dingin
ditimbang kembali dengan cawannya untuk mendapatkan volume berat kering (W3).
Kadar air batuan dinyatakan dalam persen volume yaitu persentase volume air terhadap
volume batuan.. Cara penetapan kadar air dapat dilakukan dengan diambil sebagian
sampel yang akan diuji kadar airnya, dimasukkan kedalam cawan dan ditimbang berat
basahnya (W2), setelah ditimbang kemudian dimasukkan kedalam oven pada suhu
1000 C – 1100 C selama 24 jam. Conto material yang sudah dingin ditimbang kembali
dengan cawannya untuk mendapatkan volume berat kering (W3).
21
3.2.2 Pengukuran Volume Material
Pengujian berat volume bertujuan untuk menentukan berat volume material dengan
keadaan asli yaitu perbandingan berat material dengan volume material
Disiapkan sampel material yang akan diukur volume asli
Dimasukkan material tersebut ke dalam ember yang telah dilengkapi dengan corong
pancuran untuk mengetahui volume asli material
Diukur dan dicatat volume air yang keluar dari pancuran ember tersebut sebagai
volume asli
Ditimbang dan dicatat sampel asli tersebut sebelum dilakukan pengukuran fragmen
dengan ayakan. Setelah diketahui volume asli, material tersebut dipecahkan dengan
fragmen tertentu yang kemudian dipisahkan gradasinya berdasarkan ayakan ASTM
Setiap ayakan terlebih dahulu dibersihkan dengan kuas untuk memastikan keringnya
pengayak maupun tidak terdapatnya partikel tertinggal lagi yang dapat menghalangi
proses pengayakan
Di set ayakan dengan urutan pemasangan paling atas ayakan dengan diameter
76.5mm, 50.88mm, 38.1mm, 25.4mm, 9.5mm, dan terakhir ukuran 4.75mm
Susunan ayakan digetarkan atau digoyangkan selama kurang lebih 10 menit
Setelah diayak, didiamkan beberapa saat agar debu-debunya mengendap, untuk
menghindari terjatuhnya atau tercecernya material tersebut saat penimbangan
sebaiknya digunakan kantong plastic atau kertas
Setiap fragmen yang tertinggal pada masing-masing pengayak dengan nomor dan
ukuran diameter yang berbeda ditimbang menggunakan timbangan digital
Dicatat data yang diperoleh dan dihitung nilai % tertahan serta ukuran diameter
yang akan dijadikan ukuran fragmentasi material
Dilakukan urutan nomor 4 – 10 untuk mengetahui fragmentasi pada material lainnya
Setelah proses diatas selesai, dilakukan pengukuran volume LCM dengan dimensi
kotak dan fragmentasi yang telah diketahui
Material yang sudah diketahui volume pengembangannya, dilakukan uji pemadatan
Setelah mencapai batas susutnya, dihitung penyusutan volumenya
Dari nilai penyusutan yang kita hasilkan, kita lakukan perhitungan dan analisa data
hingga didapatkan faktor penyusutan dan persen penyusutannya
22
3.2.3 Teknik Metode pemadatan
Uji pemadatan ini dilakukan dengan mengacu pada SNI 03-1743-1989. Pengujian ini
dilakukan untuk menentukan hubungan antara kadar air dan kepadatan batuan dengan
cara memadatkan sampel menggunakan alat proctor test. Uji pemadatan standar
dilakukan dengan alat yang terdiri dari dua bagian yaitu tabung dan alat penumbuk.
23
3.3 Diagram Alir
Diagram alir penelitian ditampilkan dalam gambar 3.2 berikut ini. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui nilai persen penyusutan material dan faktor penyusutan
material.
Studi Pustaka
STUDI PENENTUAN FAKTOR PENYUSUTAN (SHRINKAGE
FACTOR) DAN PERSEN PENYUSUTAN (PERCENT SHRINKAGE)
BATUAN BERDASARKAN VOLUME MATERIAL
Pra Lapangan
Literatur
Studi Pustaka Skripsi
Jurnal
Pengambilan Sampel
Analisis Lab
Kesimpulan
24
3.4 Jadwal Kegiatan
Waktu dan jadwal kegiatan ditempuh 15 minggu atau menyesuaikan jadwal perusahaan
dengan rincian sebagai berikut :
25
DAFTAR PUSTAKA
26
Robianti, Erny, 2017. Percobaan Pengujian Pemadatan Tanah Metode Standard Proctor
Dengan Alat Uji Tekan Pemadat Modifikasi, Fakultas Teknik Lampung, Bandar
Lampung.
Sembiring Natanael, Iswan, dan Jafri Muhammad, 2016.Studi Perbandingan Uji Pemadatan
Standar dan Uji Pemadatan Modified Terhadap Nilai Koefisien Permeabilitas Tanah
Lempung Berpasir. JRSDD, Edisi September 2016, Vol. 4, No. 3, Hal:371 - 380
(ISSN:2303-0011).
Situmorang H, 2013. Kajian Pengaruh Pengayakan Terhadap Karakteristik FIsik Bungkil
Inti Sawit dan Bungkil Kelapa. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan.
Fakultas Peternakan. Institut Teknologi Bogor.
Sutrisno, 2013. Studi Pengaruh Fragmentasi Terhadap Faktor Penyusutan (Shrinkage
Factor) dan Persen Penyusutan (Percent Shrinkage) Batuan Berdasarkan Volume
Material, Program Studi S1 Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas
Mulawarman, Samarinda.
Tenriajeng, Andi Tenrisukki. 2003. Pemindahan Tanah Mekanis. Jakarta: Gunadarma.
Twenhofel, WH. 1937. Terminology of the fine-grained mechanical sediments. Rept.
Comm. Sedimentation 1936-1937. Nat. Res. Council, Div. Geol. Geogr.
Vidayanti, Desiana.2008. Modul Perkuliahan Mekanika Tanah 1, Program Studi Teknik
Sipil Fakultas Teknik Perencanaan Dan Desain Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Zakri, R. S, Prengki, I, Saldy T, G. 2020. Hubungan Kuat Tekan Uniaksial dan Kuat Tarik
Tidak Langsung Pada Batuan Sedimen Dengan Nilai Kuat Tekan Rendah. Jurnal
Bina Tambang, Vol. 5, No. 3. Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik. Universitas
Negeri Padang. (ISSN:2302-3333)
27