REFERAT
REFERAT
“BELL’S PALSY”
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat Menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Saraf
di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
Disusun Oleh:
Atma Yulida Pekei (20409021027)
Pembimbing:
dr. Mintarti, Sp.S
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas anugrah, hidayah dan rahmatNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Bell’s Palsy” guna
memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik bagian Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Wahid Hasyim Semarang di RSUD K.R.M.T
Wongsonegoro Kota Semarang Periode 22 Februari 2021 – 22 Maret 2021.
Penulis sangat bersyukur atas keberhasilan penyusunan referat ini. Hal ini tidak
terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu mengucapkan
terimakasih kepada :
Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran sangat membangun dari berbagai pihak penulis. Akhir kata, semoga Allah SWT
berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca.
iii
DAFTAR ISI
REFERAT..................................................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................2
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan..........................................................Error! Bookmark not defined.2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................................3
2.1 Anatomi dan Topografi Nervus Fasialis..........................................................................3
2.2 Definisi Bell’s Palsy........................................................................................................8
2.3 Etiologi ……………...………………………………………………………………….8
2.4 Epidemiologi...................................................................................................................9
2.5 Patofisiologi.....................................................................................................................9
2.6 Manifetasi Klinis.......................................................................................................2010
2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding.................................................................................11
2.8 Tatalaksana....................................................................................................................14
2.9 Komplikasi.....................................................................................................................15
2.10 Prognosis.................................................................................................................2016
Daftar Pustaka..........................................................................................................................19
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Akar saraf vii keluar bersama saraf vestibulocochlearis di angulus pontocerebelaris
....................................................................................................................................................3
Gambar 2. Nervus fasialis membentuk ganglion genikulatum.................................................4
Gambar 3. Anatomi fungsional dari nervus fasialis secara skematis.........................................2
Gambar 4. Otot-otot Mimik (Facial Expression Muscles).....................................................7
Gambar 5. Letak lesi dari perjalanan nervus facialis ..............................................................11
Gambar 6. Perbedaan lesi sentral dengan lesi perifer ...................................................................13
BAB I
v
PENDAHULUAN
1
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini ditujukan untuk mempelajari mengenai penyakit
bell’s palsy yang berlandaskan teori guna memahami bagaimana cara
mengenali, mengobati dan mencegah bell’s palsy, sehingga dapat
mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien yang
menderita bell’s palsy.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ss
Gambar 1. Tempat akar saraf fasialis keluar bersama saraf vestibulocochlearis (N.VIII) di angulus
pontocerebelaris.2
3
Gambar 2. N.VII (fasialis) membentuk ganglion genikulatum.2
a) Nervus petrosus superfisialis mayor keluar dari ganglion geniculi. Saraf ini
memiliki cabang preganglionik parasimpatetik yang memberi sinaps pada
ganglion pterygopalatina. Serat-serat saraf ini memberi percabangan
sekromotorik pada kelenjar lakrimalis dan kelenjar pada hidung dan
palatum. Saraf ini juga mengandung serat afferen yang didapat dari taste
buddari mukosa palatum.1
b) Saraf stapedius, memberi persarafan pada muskulus stapedius di telinga
tengah.
4
c) Korda timpani muncul di kanalis fasialis di dinding posterior kavum
timpani. Bagian saraf ini langsung menuju permukaan medial dari bagian
atas membran timpani dan meninggalkan telinga tengah melalui fisura
petrotimpanikus dan memasuki fossa infratemporal dan bergabung dengan
nervus lingualis. Korda timpani memiliki serat preganglionik
parasimpatetik berupa serat sekremotorik yang memberi persarafan pada
kelenjar liur submandibular dan sublingual. Korda timpani juga memiliki
serat saraf taste buddari 2/3 anterior lidah dan dasar mulut.1
d) Nervus aurikularis posterior rmemberi persarafan otot aurikel dan
muskulus temporalis. Terdapat juga cabang muskularis yang keluar setelah
saraf keluar dari foramen stylomastoideus. Cabang ini memberi persarafan
pada muskulus stylohyoid dan muskulus digastricus posterior.
e) Lima cabang terminal untuk otot-otot mimik. Cabang-cabang itu adalah
cabang temporal, cabang zigomatik, cabang buccal, cabang mandibular
dan cabang cervical.1 Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur parotis
setelah meninggalkan foramen stylomastoideus. Saraf memberikan
cabang terminal di batas anterior kelenjar parotis. Cabang-cabang ini
menuju otot-otot mimik di wajah dan region scalp. Cabang buccal untuk
muskulus buccinator. Cabang cervicalis untuk muskulus platysma dan
muskulus depressor anguli oris.1
5
Gambar 3. Anatomi fungsional dari nervus fasialis (N.VII) secara skematis. 3
Otot sphincter dari kelopak mata adalah muskulus orbikularis okuli dan
otot dilatatornya adalah muskulus levator palpebra superior dan muskulus
occipitofrontalis. Muskulus occipitofrontalis membentuk bagian dari scalp.
Muskulus corrugator supercilii adalah untuk mengkerutkan.1
Otot sphincter dari cuping hidung adalah muskulus kompresor naris dan
otot dilatatornya adalah muskulus dilatator naris. Muskulus procerus digunakan
untu kmengerutkan hidung.1
12
A. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dan
13 pencitraan seperti foto polos kepala, CT
scan atau magnetic resonance imaging (MRI) tidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan tersebut dilakukan jika terdapat perburukan atau tidak ada
perbaikan gejala klinis setelah tiga minggu terapi.10
Pemeriksaan elektrodiagnostik/neurofisiologi pada Bell’s palsy sudah
dikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai
acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.4,14
Elektromiografi (EMG) dan Elektroneurografi (ENG) telah digunakan
sebagai pemeriksaan penunjang dalam diagnostik Bell’s palsy. Selain itu
keduanya memiliki nilai prognostik yang dapat digunakan untuk meramalkan
keberhasilan terapi. Grosheva et al.14 melakukan penelitian untuk membedakan
pengaruh pemakaian elektromiografi (EMG) dengan elektroneurografi (ENG)
pada Bell’s palsy. Ternyata pemakaian EMG dapat memberikan prognosis lebih
baik. Hasil pemeriksaan EMG pada hari ke-15 memiliki positive-predictive-
value (PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Menurut panduan
yang dikeluarkan oleh American Academy of Otolaringology-Head and Neck
Surgery Foundation (AAO-HNSF) tahun 2013, penggunaan elektrodiagnostik
dapat dipertimbangkan pada Bell’s palsy dengan skala House-Brackmann
(complete paralysis).6
2.8 Tatalaksana
Tatalaksana Kebanyakan penderita dengan Bell’s palsy dapat mengalami
perbaikan klinis tanpa intervensi dalam waktu 2-3 minggu setelah awitan
dan pulih sempurna dalam waktu 3-4 bulan. Tanpa pengobatan, fungsi wajah
dapat mengalami perbaikan sempurna pada 70% pasien paralisis wajah komplit.
Sementara pada paralisis wajah yang inkomplit perbaikan mencapai 94%.
Sebanyak 30% penderita tidak mengalami perbaikan sempurna. Pertimbangan
mengenai segi kosmetik/penampilan, kualitas hidup dan faktor psikologis bagi
penderita menyebabkan terapi medikamentosa perlu diberikan. Kortikosteroid
dan antiviral merupakan terapi yang sekarang direkomendasikan untuk
pengobatan Bell’s palsy.6
2.9 Komplikasi
Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi
yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi
menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar kelenjar ganglion
genikulatum.4,10
Synknesis 15
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakan satu per satu atau tersendiri,
selalu timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma,
atau berkerutnya dahi. Penyebab nya adalah innervasi yang salah, serabut
saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot
yang salah. 4,10
Hemifacial spasme
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal
hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada
sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.
Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam
beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. 4,10
Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih
jelas terlihat pada sisi lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila
kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot
wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak. 4,6,10
2.10 Prognosis
Dalam waktu kurang lebih 3 minggu kebanyakan pasien dengan
Bell’s palsy mengalami perbaikan fungsi dengan atau tanpa terapi. Pada
beberapa kasus, pemulihan sempurna membutuhkan waktu sembilan bulan
tetapi sekitar 30% tidak mengalami pemulihan sempurna atau mendapatkan
komplikasi. Keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan maupun
beratnya reaksi inflamasi dan kompresi pada nervus fasialis mempengaruhi
prognosis.10
Faktor yang mendukung ke arah prognosis buruk adalah kelumpuhan
fasialis komplit, riwayat rekurensi, diabetes, nyeri hebat post-auricula,
gangguan pengecapan dan penderita perempuan. Faktor yang mendukung ke
arah prognosis baik adalah kelumpuhan fasialis yang inkomplit, pengobatan
dini dan perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.4
Pemeriksaan neurofisiologi dan skala House-Brackmann yang
dimodifikasi dapat digunakan untuk mengukur keparahan serangan dan
menentukan prognosis Bell’s palsy. 4,10
16
Kesimpulan
17
Bell’s palsya dalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat edema akut saraf
fasialis di foramen stilomastoideus. Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih
diperdebatkan. Sebuah teori menduga edema dan ischemia berasal dari kompresi
saraf facialis di dalam kanal tulang tersebut. Terganggunya saraf facial pada foramen
stylomastoid dapat menyebabkan kelumpuhan pada keseluruhan otot ekspresi wajah.
Sudut mulut jatuh, garis dan lipatan kulit juga terpengaruh, garis dahi menghilang,
lipatan palpebral melebar, dan lid margin mata tidak tertutup. Kortikosteroid
ditemukan untuk memperbaiki hasil, ketika digunakan lebih awal, sementara obat
anti-virus belum. Tingkat keparahan kerusakan syaraf menentukan proses
penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang dibutuhkan bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
th
1. Snell, RS. (2012). Clinical Anatomy
18 By Regions 9 Edition. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins.
2. Netter, FH. (2014). Atlas of Human Anatomy Sixth Edition. Philadelphia:
Saunders.
3. Gilden, DH., (2004). Bell’s Palsy, New England J of Med., vol. 351(13), pp.
1323–31.
4. Lowis, H.,Gaharu, MN. (2012). Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tatalaksana di
Pelayanan Primer. Jof Indonesia Med. Ass., Vol.62(1), pp. 32.
5. De Almeida, JR. et al., (2014). Management Of Bells Palsy: Clinical Practice
Guideline. CMAJ : Canadian Med. Ass. J, Vol.186(12), pp. 917–922.
6. Baugh, RF. et al., (2013). Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy,
Otolaryngology-Head and Neck Surg. J., Vol.149, pp. S1–S27
7. Mc Cormick DP. Herpes-simplex virus as a cause of Bell’s palsy. Lancet. Apr 29
2001; 1 (7757): 937-9.
8. Stowe J, Andrews N, Wise L. Bell’s palsy and parenteral inactivated
influenza vaccine. Hum Vaccin 2006; 2(3);110-2.
9. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol Head Neck
Surg. Apr 2005;93(2):146-7.
10. Zandian A, Osiro S, Hudson R, Ali IM, Matusz P, Tubbs SR, et al. The
neurologist’s dilemma: A comprehensive clinical review of Bell’s palsy, with
emphasis on current management trends. Intl Med J Exp Clin Res. 2014; 20: 83-
90.
11. Baehr M, Frotscher M. Brainstem : Cranial nerves. Dalam : Baehr M, Frotscher
M (eds). Duus’ topical diagnosis in neurology: anatomy, physiology, signs,
symptoms. Edisi ke-4. New York: Thieme; 2005; h.167-174
12. Ropper AH, Samuels MA. Diseases of the cranial nerves. Dalam: Ropper AH,
Samuels MA. Adams and Victor’s Principles of Neurology. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2009; h.1180-2
13. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s palsy: diagnosis and management. Am Fam
Phys. 2007; 76(7): 997-1004.
14. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of
electroneurography and electromyography in facial palsy. Laryngoscope. 2008;
118(3): 394-7.
15. Dong Y, Zhu Y, Ma C, Zhao H. Steroid-antivirals treatment versus steroids
alone for the treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. Int J Clin Exp
Med. 2015; 8(1): 413-21.
19
17