Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

“BELL’S PALSY”

Diajukan untuk

Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat Menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Saraf
di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG

Disusun Oleh:
Atma Yulida Pekei (20409021027)

Pembimbing:
dr. Mintarti, Sp.S

KEPANITERAAN BAGIAN SARAF


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WAHID HASYIM

22 Februari 2021 – 22 Maret 2021


LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Atma Yulida Pekei


NIM : 20409021027
Universitas : Universitas Wahid Hasyim
Judul Referat : Bell’s Palsy
Bagian : Stase Saraf - RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang
Pembimbing : dr. Mintarti, Sp.S

Semarang, 10 Maret 2021


Pembimbing

dr. Mintarti, Sp.S

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas anugrah, hidayah dan rahmatNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Bell’s Palsy” guna
memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik bagian Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Wahid Hasyim Semarang di RSUD K.R.M.T
Wongsonegoro Kota Semarang Periode 22 Februari 2021 – 22 Maret 2021.

Penulis sangat bersyukur atas keberhasilan penyusunan referat ini. Hal ini tidak
terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu mengucapkan
terimakasih kepada :

1. dr. Mintarti, Sp.S


2. Seluruh staff instalasi Stase Saraf RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota
Semarang
3. Rekan – rekan anggota kepaniteraan klinik stase saraf

Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran sangat membangun dari berbagai pihak penulis. Akhir kata, semoga Allah SWT
berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca.

Semarang, 10 Maret 2021


Pembimbing

dr. Mintarti, Sp.S

iii
DAFTAR ISI

REFERAT..................................................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................2
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan..........................................................Error! Bookmark not defined.2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................................3
2.1 Anatomi dan Topografi Nervus Fasialis..........................................................................3
2.2 Definisi Bell’s Palsy........................................................................................................8
2.3 Etiologi ……………...………………………………………………………………….8
2.4 Epidemiologi...................................................................................................................9
2.5 Patofisiologi.....................................................................................................................9
2.6 Manifetasi Klinis.......................................................................................................2010
2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding.................................................................................11
2.8 Tatalaksana....................................................................................................................14
2.9 Komplikasi.....................................................................................................................15
2.10 Prognosis.................................................................................................................2016
Daftar Pustaka..........................................................................................................................19

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Akar saraf vii keluar bersama saraf vestibulocochlearis di angulus pontocerebelaris
....................................................................................................................................................3
Gambar 2. Nervus fasialis membentuk ganglion genikulatum.................................................4
Gambar 3. Anatomi fungsional dari nervus fasialis secara skematis.........................................2
Gambar 4. Otot-otot Mimik (Facial Expression Muscles).....................................................7
Gambar 5. Letak lesi dari perjalanan nervus facialis ..............................................................11
Gambar 6. Perbedaan lesi sentral dengan lesi perifer ...................................................................13
BAB I
v
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motorik
neuron (LMN) yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar
sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini
pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan
dokter bedah bernama Sir Charles Bell. Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus
per 100.000 orang setiap tahun.1
Prevalensi Bell’s Palsy di Indonesia, sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari empat rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s
Palsy sebesar 19.55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-
50 tahun, peluang untuk terjadinya pada pria dan wanita sama. Tidak
ditemukan perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada
beberapa penderita ditemukan adanya riwayat terkena udara dingin atau angin
berlebihan. Biasanya mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang bilateral
dan dapat berulang.1,2
Tanda dan gejala yang dijumpai pada pasien Bell’s Palsy biasanya bila
dahi di kerutkan lipatan dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja, kelopak
mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat
di saksikan. Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup
dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke
atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena bell. Pada
observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat
lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat
(lagoftalmos). Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang
lumpuh tidak mengembung. Dalam menjungurkan bibir, gerakan bibir
tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat serta air mata yang keluar secara
berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada dua per tiga lidah sisi
kelumpuhan kurang tajam.1

1
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini ditujukan untuk mempelajari mengenai penyakit
bell’s palsy yang berlandaskan teori guna memahami bagaimana cara
mengenali, mengobati dan mencegah bell’s palsy, sehingga dapat
mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien yang
menderita bell’s palsy.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Topografi Nervus Fasialis


Saraf fasialis memiliki nukleus yang terletak di dalam medulla oblongata.
Saraf fasialis memiliki akar saraf motorik yang mensarafi otot-otot mimik dan
akar sensorik khusus (nervus intermedius). Saraf ini muncul di permukaan anterior
antara pons dan medulla oblongata (angulus pontocerebelaris). Akar sarafnya
berjalan bersama nervus vestibulo-cochlearis dan masuk ke meatus akustikus
internus pada pars petrosa dari tulang temporal. 1 Saraf terletak di antara alat
keseimbangan dan pendengaran yaitu cochlea dan vestibulum saat berjalan dari
meakus akustikus internus menuju ventrolateral. Saraf memasuki kanalis fasialis
di dasar dari meatus dan berbelok ke arah dorsolateral. Saraf menuju dinding
medial dari kavum timpani dan membentuk sudut di atas promontorium yang
disebut ganglion genikulatum. Saraf kemudian berjalan turun pada dinding dorsal
kavum timpani dan ke luar dari os temporal melalui foramen stylomastoideus.
Saraf tetap berjalan menembus glandula parotis untuk memberi persarafan pada
otot-otot mimik.1

ss
Gambar 1. Tempat akar saraf fasialis keluar bersama saraf vestibulocochlearis (N.VIII) di angulus
pontocerebelaris.2

3
Gambar 2. N.VII (fasialis) membentuk ganglion genikulatum.2

Saraf fasialis memiliki lima percabangan penting sebagai berikut:

a) Nervus petrosus superfisialis mayor keluar dari ganglion geniculi. Saraf ini
memiliki cabang preganglionik parasimpatetik yang memberi sinaps pada
ganglion pterygopalatina. Serat-serat saraf ini memberi percabangan
sekromotorik pada kelenjar lakrimalis dan kelenjar pada hidung dan
palatum. Saraf ini juga mengandung serat afferen yang didapat dari taste
buddari mukosa palatum.1
b) Saraf stapedius, memberi persarafan pada muskulus stapedius di telinga
tengah.

4
c) Korda timpani muncul di kanalis fasialis di dinding posterior kavum
timpani. Bagian saraf ini langsung menuju permukaan medial dari bagian
atas membran timpani dan meninggalkan telinga tengah melalui fisura
petrotimpanikus dan memasuki fossa infratemporal dan bergabung dengan
nervus lingualis. Korda timpani memiliki serat preganglionik
parasimpatetik berupa serat sekremotorik yang memberi persarafan pada
kelenjar liur submandibular dan sublingual. Korda timpani juga memiliki
serat saraf taste buddari 2/3 anterior lidah dan dasar mulut.1
d) Nervus aurikularis posterior rmemberi persarafan otot aurikel dan
muskulus temporalis. Terdapat juga cabang muskularis yang keluar setelah
saraf keluar dari foramen stylomastoideus. Cabang ini memberi persarafan
pada muskulus stylohyoid dan muskulus digastricus posterior.
e) Lima cabang terminal untuk otot-otot mimik. Cabang-cabang itu adalah
cabang temporal, cabang zigomatik, cabang buccal, cabang mandibular
dan cabang cervical.1 Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur parotis
setelah meninggalkan foramen stylomastoideus. Saraf memberikan
cabang terminal di batas anterior kelenjar parotis. Cabang-cabang ini
menuju otot-otot mimik di wajah dan region scalp. Cabang buccal untuk
muskulus buccinator. Cabang cervicalis untuk muskulus platysma dan
muskulus depressor anguli oris.1

Nervus fasialis dengan semua perjalanannya ini mengontrol mimic wajah


(facial expression), salivasi dan lakrimasi serta digunakan untuk sensasi rasa
dari anterior lidah, dasar mulut dan palatum.1

5
Gambar 3. Anatomi fungsional dari nervus fasialis (N.VII) secara skematis. 3

Otot-otot Mimik (Facial Expression Muscles)

Otot-otot mimik terdapat di dalam fascia superfisialis wajah dan muncul


dari tulang pada wajah dan masuk pada kulit wajah. Lubang-lubang pada wajah
yaitu orbita, hidung dan mulut dilindungi oleh kelopak mata, cuping hidung dan
bibir. Fungsi otot-otot mimik adalah untuk menutup (sphincter) dan membuka
(dilatator) struktur-struktur ini. Fungsi kedua otot-otot mimik adalah membuat
ekspresi wajah. Semua otot ini mendapat suplai darah dari arteri fasialis.1

Otot sphincter dari kelopak mata adalah muskulus orbikularis okuli dan
otot dilatatornya adalah muskulus levator palpebra superior dan muskulus
occipitofrontalis. Muskulus occipitofrontalis membentuk bagian dari scalp.
Muskulus corrugator supercilii adalah untuk mengkerutkan.1

Otot sphincter dari cuping hidung adalah muskulus kompresor naris dan
otot dilatatornya adalah muskulus dilatator naris. Muskulus procerus digunakan
untu kmengerutkan hidung.1

Otot sphincter dari mulut adalah muskulus orbicularis okuli. Serat-seratnya


mengelilingi lubang mulut dalam bagian dari bibir. Serat-seratnya sebagian
muncul dari garis tengah maxilla di atas dan mandibula di bawah. Serat lain
muncul dari bagian dalam kulit dan menyilang pada membran mukosa
6
membentuk garis dalam bibir. Banyak dari serat berasal muskulus buccinator.
Otot dilatator dari mulut terdiri dari banyak serat otot yang bergabung dan
fungsinya adalah memisahkan bibir. Serat-serat otot dilatator mulut ini muncul
dari tulang dan fascia di sekitar mulut dan bersatu untuk membentuk bibir.
Nama kelompok otot itu adalah sebagai berikut:

 Muskulus levator labii superior isalaqua nasi


 Muskulus levator labii superioris
 Muskulus zygomaticus minor
 Muskulus zygomaticus major
 Muskulus levator anguli oris
 Muskulus risorius
 Muskulus depressor anguli oris
 Muskulus depressor labii inferioris
 Muskulus mentalis.1

Muskulus buccinator berorigo di batas alveolar dari maxilla dan mandibula


pada gigi molar oposisinya dan juga dari ligament pterygomandibula. Otot
berjalan ke depan dan membentuk lapisan otot-otot pipi. Otot dikaitkan dengan
kelenjar parotis. Otot buccinator menyilang pada serat utamanya di sudut mulut.
Otot buccinator berfungsi untuk kompresi pipi dan bibir untuk mencegah pipi
tergigit saat mengunyah.1

Gambar 4. Otot-otot Mimik (Facial Expression Muscles)1

Tabel 1. Origo, insersi, persarafan dan fungsi otot-otok mimik. 1


2.2 Definisi Bell’s Palsy
Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang
anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell. 4 Bell’s palsy adalah
kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah secara akut (acute onset) pada
sisi sebelah wajah. Bell’spalsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe
Lower Motor Neuron (LMN) akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi
secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf
pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.5
2.3 Etiologi
Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s palsy, yaitu iskemik
vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Hipotesis virus lebih banyak
dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Sebuah penelitian mengidentifikasi
genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia
lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s palsy.4 Etiologi
Bell’s palsy terbanyak diduga adalah infeksi virus. Mekanisme pasti yang
terjadi akibat infeksi ini yang menyebabkan penyakit belum diketahui. Inflamasi
dan edema diduga muncul akibat infeksi. Nervus fasialis yang berjalan melewati
terowongan sempit menjadi terjepit karena edema ini dan menyebabkan
kerusakan saraf tersebut baik secara sementara maupun permanen6. Virus yang
menyebabkan infeksi ini diduga adalah herpes simpleks.5 Beberapa kasus Bell’s
palsy disebabkan iskemia oleh karena diabetes dan aterosklerosis. Hal ini
8
mungkin menjelaskan insiden yang meningkat dari Bell’s palsy pada pasien tua.
Kelainan ini analog dengan mononeuropati iskemik pada saraf kranialis lain
pada pasien diabetes3. Bagian penting lain pada tulang region wajah adalah
tulang maxilla. Tulang ini mempunyai gigi dan sinus maxillaris. Tulang lain
yang ada di bawah maxilla adalah mandibula dengan gigi-giginya.1
2.4 Epidemiologi
Epidemiologi 60-75% kasus paralisis fasialis unilateral yang akut adalah
bell’s palsy. Di Amerika, insidensi tahunan adalah 23 kasus per 100,000 orang. 8
63% pasien yang didiagnosa bell’s palsy paralisis terjadi pada bagian kanan
muka. Insidensi bell’s palsy paling banyak terjadi di Japan dan insidensi paling
sedikit di Sweden. Secara umum, insidensi bell’s palsy ini terjadi pada 15-30
kasus per 100,000 populasi. Bell’s palsy menyerang perempuan dan pria dengan
insidensi yang sama.9 Namun begitu, wanita muda pada usia 10-19 tahun lebih
sering terjadi berbanding pria pada golongan usia yang sama. Resiko terkena
bell’s palsy pada wanita hamil adalah 3,3 kali lebih tinggi banding pada
perempuan yang tidak hamil. Bell’s palsy pada perempuan hamil sering terjadi
pada trimester ketiga.10
2.5 Patofisiologi Penyakit Bell’s Palsy
Saraf fasialis keluar dari otak di angulus ponto-cerebelaris memasuki
meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis
memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang
kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada
bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang
tersempit yang dilewati saraf fasialis. Foramen meatal pada segmen ini
hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm. 4 Otot-otot wajah diinervasi saraf
fasialis. Kerusakan pada saraf fasialis dimeatus akustikus internus (karena
tumor), di telinga tengah (karena infeksi atau operasi), di kanalis fasialis
(perineuritis, Bell’s palsy) atau di kelenjar parotis (karena tumor) akan
menyebabkan distorsi wajah, dengan penurunan kelopak mata bawah dan sudut
mulut pada sisi wajah yang terkena. Ini terjadi pada lesi lower motor neuron
(LMN). Lesi upper motor neuron (UMN) akan menunjukkan bagian atas
wajah tetap normal karena saraf yang menginnervasi bagian ini menerima serat
1
kortikobulbar dari kedua korteks serebral.
9 Murakami, dkk menggunakan teknik
reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal
sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada
11 sampel dari 14 kasus Bell’spalsy yang dilakukan dekompresi pembedahan
pada kasus yang berat. Murakami, dkk menginokulasi HSV dalam telinga dan
lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus
tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum.
Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau
herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan
proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf.4
2.6 Manifestasi Klinis
Pasien Bell’s palsy biasanya mengeluhkan kelemahan atau kelumpuhan
pada separuh wajahnya pada sisi yang sakit. Keluhan berupa sudut mulut
yang jatuh/tidak dapat terangkat, ketika makan/minum keluar dari sisi mulut,
pengecapan terganggu, kebas pada separuh wajahnya, nyeri pada telinga,
sensitif/peka terhadap suara yang normal tidak menyakitkan (hiperakusis), rasa
berdenging pada telinga (tinitus), produksi air mata berkurang sehingga mata
menjadi kering. Tanda yang dapat ditemukan, mencerminkan kelumpuhan otot
fasialis, seperti tidak mampu mengerutkan dahi, kelopak mata tidak dapat
menutup dengan rapat, fenomena Bell yaitu ketika pasien berusaha memejamkan
kelopak matanya bola mata berputar ke atas, sulkus nasolabialis yang mendatar,
sudut mulut yang tidak dapat terangkat/jatuh dan pengecapan 2/3 lidah depan
menurun (hipogeusia).10,6 Jika ditinjau dari letak lesinya, tidak semua gejala
dan tanda tersebut muncul.
Terdapat lima letak lesi yang dapat memberikan petunjuk munculnya
gejala dan tanda Bell’s palsy yaitu bila lesi setinggi meatus akustikus internus
menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pendengaran
berupa tuli dan gangguan keseimbangan. Pada lesi yang terletak setinggi
ganglion genikulatum akan terjadi kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral
serta gangguan pengecapan, lakrimasi dan salivasi. Sementara itu lesi setinggi
nervus stapedius menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral,
gangguan pengecapan dan salivasi serta hiperakusis. Selanjutnya pada lesi
setinggi kanalis fasialis (diatas persimpangan dengan korda timpani tetapi
dibawah ganglion genikulatum) akan
10 terjadi kelemahan seluruh otot wajah
ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi. Yang terakhir, lesi yang terletak
setinggi foramen stylomastoid akan menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah
ipsilateral. (Gambar 3) 11,12
Gambar 5. Letak lesi dari perjalanan nervus fasialis. 11

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Dalam mendiagnosis suatu kelemahan atau kelumpuhan pada wajah yang
disebabkan oleh lesi nervus fasialis maka perlu dibedakan antara lesi sentral dan
perifer. (Gambar 5).1 Pada lesi sentral, terdapat kelemahan unilateral otot
wajah bagian bawah dan biasanya disertai hemiparese/hemiplegia kontralateral
namun tanpa disertai gangguan otonom seperti gangguan pengecapan atau
salivasi, seperti yang terlihat pada stroke. Lesi perifer memberikan gambaran
berupa kelemahan wajah unilateral pada seluruh otot wajah baik atas maupun
bawah, seperti pada Bell’s palsy.1,3

Penegakan diagnosis Bell’s palsy memerlukan anamnesis (history-taking)


11
dan pemeriksaan fisik yang cermat pada pasien yang dicurigai terkena penyakit
ini. American Otolaryngology-Head and Neck Surgery (2013) memberikan
beberapa hal ini sebagai pertimbangan untuk diagnosis Bell’s palsy:
 Onset Bell’s palsy cepat (72 jam).
 Diagnosa Bell’s palsy dilakukan ketika tidak ada etiologi medis lain yang
bisa diidentifikasi sebagai penyebab kelemahan wajah.
 Bell’s palsy bilateral adalah langka.
 Kondisi lain penyebab paralisis fasial meliputi stroke, tumor otak, tumor
parotis atau fossa intratemporal, kanker yang melibatkan nervus fasialis,
dan penyakit sistemik serta infeksius seperti zoster, sarcoidosis, atau
penyakit Lyme.
 Bell’s palsy biasanya sembuh sendiri (self-limited)
 Bell’s palsy bisa muncul pada pria dewasa, wanita dewasa dan anak-anak
tetapi lebih umum pada orang dengan usia 15-45 tahun dan dengan
penyakit diabetes, penyakit saluran pernafasan atas atau imun sistem yang
lemah atau selama kehamilan.6
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang
lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan
kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah
pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah sesuai dengan otot yang diberi
persarafan oleh nervus fasialis. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan
pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata
dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas. Bila terdapat
hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan
terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis.4
Dalam menilai derajat keparahan dan memprediksi kemungkinan
kesembuhan kelemahan nervus fasialis, dapat digunakan skala modifikasi House-
Brackmann yang telah dipakai secara luas. Derajat yang dipakai dalam skala ini
dari 1 sampai 6, dengan derajat 6 yang paling berat yaitu terdapat
kelumpuhan total. (Tabel 2) 2, 9

12

Tabel 2. Skala House-Backmann.6


Diagnosis banding terhadap kelemahan/kelumpuhan nervus fasialis dapat
dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer. Penyebab yang terletak di
lokasi perifer misalnya otitis media supuratif dan mastoiditis, sindrom Ramsay-
Hunt, sindrom Guillain-Barre, tumor sudut serebelopontin dan tumor kelenjar
parotis, gangguan metabolik seperti diabetes melitus, serta penyakit Lyme.
Penyebab yang lokasinya sentral antara lain stroke, sklerosis multipel, tumor otak
primer atau metastasis, infeksi HIV, fraktur basis kranii atau fraktur pada
tulang temporal pars petrosus karena trauma.2-4

Gambar 6. Perbedaan lesi sentral ( A ) dengan lesi perifer ( B ). 13

A. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dan
13 pencitraan seperti foto polos kepala, CT
scan atau magnetic resonance imaging (MRI) tidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan tersebut dilakukan jika terdapat perburukan atau tidak ada
perbaikan gejala klinis setelah tiga minggu terapi.10
Pemeriksaan elektrodiagnostik/neurofisiologi pada Bell’s palsy sudah
dikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai
acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.4,14
Elektromiografi (EMG) dan Elektroneurografi (ENG) telah digunakan
sebagai pemeriksaan penunjang dalam diagnostik Bell’s palsy. Selain itu
keduanya memiliki nilai prognostik yang dapat digunakan untuk meramalkan
keberhasilan terapi. Grosheva et al.14 melakukan penelitian untuk membedakan
pengaruh pemakaian elektromiografi (EMG) dengan elektroneurografi (ENG)
pada Bell’s palsy. Ternyata pemakaian EMG dapat memberikan prognosis lebih
baik. Hasil pemeriksaan EMG pada hari ke-15 memiliki positive-predictive-
value (PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Menurut panduan
yang dikeluarkan oleh American Academy of Otolaringology-Head and Neck
Surgery Foundation (AAO-HNSF) tahun 2013, penggunaan elektrodiagnostik
dapat dipertimbangkan pada Bell’s palsy dengan skala House-Brackmann
(complete paralysis).6
2.8 Tatalaksana
Tatalaksana Kebanyakan penderita dengan Bell’s palsy dapat mengalami
perbaikan klinis tanpa intervensi dalam waktu 2-3 minggu setelah awitan
dan pulih sempurna dalam waktu 3-4 bulan. Tanpa pengobatan, fungsi wajah
dapat mengalami perbaikan sempurna pada 70% pasien paralisis wajah komplit.
Sementara pada paralisis wajah yang inkomplit perbaikan mencapai 94%.
Sebanyak 30% penderita tidak mengalami perbaikan sempurna. Pertimbangan
mengenai segi kosmetik/penampilan, kualitas hidup dan faktor psikologis bagi
penderita menyebabkan terapi medikamentosa perlu diberikan. Kortikosteroid
dan antiviral merupakan terapi yang sekarang direkomendasikan untuk
pengobatan Bell’s palsy.6

Tatalaksana yang diberikan untuk penderita Bell’s palsy meliputi terapi


non farmakologi dan farmakologi. Terapi non farmakologi meliputi :
1) Penggunaan air mata buatan, pelumas (saat tidur), kacamata, plester mata,
penjahitan kelopak mata atas atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian
lateral kelopak mata atas dan bawah),
2) Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuromuskular, mengurut otot
wajah yang lemah (dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat
gerakan melingkar), meditasi-relaksasi dan program pelatihan di rumah,
3) Pembedahan dekompresi. Survei yang dilakukan oleh American
Otological Society dan American Neurotology Society, menunjukkan lebih
dari 2/3 responden akan merekomendasikan pembedahan kepada penderita
jika memenuhi kriteria elektrofisiologi. Namun bukti ilmiah kegunaan
pembedahan lemah, sehingga pembedahan tidak direkomendasikan.6,10,11

Untuk terapi farmakologi, pemberian kortikosteroid oral direkomendasikan,


sedangkan kombinasi kortikosteroid oral dengan antiviral oral dapat
dipertimbangkan pada penderita Bell’s palsy akut, namun, pemberian antiviral
oral tanpa kortikosteroid oral tidak direkomendasikan. Steroid yang sering
digunakan adalah prednison dan prednisolon dengan dosis prednison oral
maksimal 40-60 mg/hari sedangkan pemberian prednisolone dengan dosisnya 1
mg/kgBB/hari (maksimal 70 mg) selama enam hari diikuti empat hari
tappering off. Dosis pemberian antiviral oral yaitu asiklovir untuk usia > 2 tahun
adalah 80 mg/kgBB/hari dibagi empat kali pemberian selama 10 hari. Untuk
dewasa diberikan 2000-4000 mg/hari dibagi dalam lima kali pemberian
selama 7-10 hari. Pemberian valasiklovir oral untuk dewasa adalah 1000-
3000 mg/hari dibagi 2-3 kali selama 5 hari.4,5,10,15

2.9 Komplikasi
 Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi
yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi
menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar kelenjar ganglion
genikulatum.4,10
 Synknesis 15
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakan satu per satu atau tersendiri,
selalu timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma,
atau berkerutnya dahi. Penyebab nya adalah innervasi yang salah, serabut
saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot
yang salah. 4,10
 Hemifacial spasme
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal
hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada
sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.
Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam
beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. 4,10
 Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih
jelas terlihat pada sisi lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila
kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot
wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak. 4,6,10
2.10 Prognosis
Dalam waktu kurang lebih 3 minggu kebanyakan pasien dengan
Bell’s palsy mengalami perbaikan fungsi dengan atau tanpa terapi. Pada
beberapa kasus, pemulihan sempurna membutuhkan waktu sembilan bulan
tetapi sekitar 30% tidak mengalami pemulihan sempurna atau mendapatkan
komplikasi. Keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan maupun
beratnya reaksi inflamasi dan kompresi pada nervus fasialis mempengaruhi
prognosis.10
Faktor yang mendukung ke arah prognosis buruk adalah kelumpuhan
fasialis komplit, riwayat rekurensi, diabetes, nyeri hebat post-auricula,
gangguan pengecapan dan penderita perempuan. Faktor yang mendukung ke
arah prognosis baik adalah kelumpuhan fasialis yang inkomplit, pengobatan
dini dan perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.4
Pemeriksaan neurofisiologi dan skala House-Brackmann yang
dimodifikasi dapat digunakan untuk mengukur keparahan serangan dan
menentukan prognosis Bell’s palsy. 4,10
16
Kesimpulan
17

Bell’s palsya dalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat edema akut saraf
fasialis di foramen stilomastoideus. Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih
diperdebatkan. Sebuah teori menduga edema dan ischemia berasal dari kompresi
saraf facialis di dalam kanal tulang tersebut. Terganggunya saraf facial pada foramen
stylomastoid dapat menyebabkan kelumpuhan pada keseluruhan otot ekspresi wajah.
Sudut mulut jatuh, garis dan lipatan kulit juga terpengaruh, garis dahi menghilang,
lipatan palpebral melebar, dan lid margin mata tidak tertutup. Kortikosteroid
ditemukan untuk memperbaiki hasil, ketika digunakan lebih awal, sementara obat
anti-virus belum. Tingkat keparahan kerusakan syaraf menentukan proses
penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang dibutuhkan bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA

th
1. Snell, RS. (2012). Clinical Anatomy
18 By Regions 9 Edition. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins.
2. Netter, FH. (2014). Atlas of Human Anatomy Sixth Edition. Philadelphia:
Saunders.
3. Gilden, DH., (2004). Bell’s Palsy, New England J of Med., vol. 351(13), pp.
1323–31.
4. Lowis, H.,Gaharu, MN. (2012). Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tatalaksana di
Pelayanan Primer. Jof Indonesia Med. Ass., Vol.62(1), pp. 32.
5. De Almeida, JR. et al., (2014). Management Of Bells Palsy: Clinical Practice
Guideline. CMAJ : Canadian Med. Ass. J, Vol.186(12), pp. 917–922.
6. Baugh, RF. et al., (2013). Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy,
Otolaryngology-Head and Neck Surg. J., Vol.149, pp. S1–S27
7. Mc Cormick DP. Herpes-simplex virus as a cause of Bell’s palsy. Lancet. Apr 29
2001; 1 (7757): 937-9.
8. Stowe J, Andrews N, Wise L. Bell’s palsy and parenteral inactivated
influenza vaccine. Hum Vaccin 2006; 2(3);110-2.
9. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol Head Neck
Surg. Apr 2005;93(2):146-7.
10. Zandian A, Osiro S, Hudson R, Ali IM, Matusz P, Tubbs SR, et al. The
neurologist’s dilemma: A comprehensive clinical review of Bell’s palsy, with
emphasis on current management trends. Intl Med J Exp Clin Res. 2014; 20: 83-
90.
11. Baehr M, Frotscher M. Brainstem : Cranial nerves. Dalam : Baehr M, Frotscher
M (eds). Duus’ topical diagnosis in neurology: anatomy, physiology, signs,
symptoms. Edisi ke-4. New York: Thieme; 2005; h.167-174
12. Ropper AH, Samuels MA. Diseases of the cranial nerves. Dalam: Ropper AH,
Samuels MA. Adams and Victor’s Principles of Neurology. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2009; h.1180-2
13. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s palsy: diagnosis and management. Am Fam
Phys. 2007; 76(7): 997-1004.
14. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of
electroneurography and electromyography in facial palsy. Laryngoscope. 2008;
118(3): 394-7.
15. Dong Y, Zhu Y, Ma C, Zhao H. Steroid-antivirals treatment versus steroids
alone for the treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. Int J Clin Exp
Med. 2015; 8(1): 413-21.

19

17

Anda mungkin juga menyukai