PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila sebagai landasan falsafah negara Indonesia merupakan fundamen dasar yang tidak
dapat dipisahkan sama sekali dari semangat pembentukan suatu negara. Secara terminologis,
Hans Kelsen mengatakan bahwa sebelum adanya suatu negara, ada sebuah norma yang paling
dasar sebagai bahan pembentuk kaidah-kaidah negara yang dia sebut dengan Grund Norm. Hans
Nawiasky menyebutnya Staatfundamentalnorm yang artinya kaidah dasar suatu negara. Ketika
pertama kali Pancasila hendak digali, sesuai dengan apa yang ditanyakan oleh Ketua BPUPKI
Dr. Radjiman Wedyodiningrat berkata, “Sebentar lagi kita akan merdeka. Apakah filosofische
grondslag Indonesia merdeka nanti?” Radjiman tidak bertanya tentang ideologi negara atau dasar
negara. Dia bertanya filosofische gronslag atau landasan falsafah Negara. Dalam artian bahwa
Pancasila merupakan fundamen dasar dimana pemikiran dan gerakan Indonesia sebagai
representasi dari realitas sosial dan tataran cita-cita bangsa.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila merupakan nilai yang digali dari realitas sosio-
kultural masyarakat Indonesia sejak lama. Kebiasaan dan harapan bangsa merupakan bahan-
bahan dasar perumusan Pancasila itu sendiri. Dapat disimpulakan bahwa Pancasila merupakan
representasi dari tataran realitas dan tataran idea masyarakat Indonesia. Sehingga, semangat awal
kehadiran Pancasila sesungguhnya adalah untuk meletakkan dasar acuan bertindak dan arah
perjalanan kemana bangsa ini akan dibawa.
Akan tetapi seiring bergulirnya waktu, zaman senantiasa datang membawa tantangan bagi
bangsa Indonesia. Perubahan sosial yang bersifat aktif dan dinamis senantiasa mewarnai sejarah.
Semangat awal pembentukan Pancasila tadi kemudian perlahan-lahan terkubur dalam ingatan
bawah sadar masyarakat Indonesia. Derasnya arus globalisasi yang tidak dapat terbendung telah
mengikis batas-batas antara alam Indonesia dan masyarakat global (Global Civil). Kemajuan
teknologi yang begitu pesat telah membuat dampak yang begitu besar bagi masyarakat
Indonesia. Globalisasi dan modernisme kemudian menjadi paradoks. Disatu sisi dia memuat
kemudahan bagi manusia disisi lain dia ikut andil dalam kemerosotan moral. Aspek negatif
tersebut kemudian tercermin dari realitas masyarakat hari ini yang memiliki kecenderungan
hedonis, apatis, opurtunis dan konsumtif. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa Pancasila
bukan lagi dijadikan sebagai ukuran pembentukan kepribadian bangsa melainkan teknologilah
yang merebut peran tersebut. Semangat awal hadirnya Pancasila kemudian terlupakan karena
masyarakat terlalu terbuai dengan kenikmatan yang ditawarkan oleh globalisasi. Sehingga
generasi Indonesia hari ini dapat disebut generasi “alzhemeir”.
Selain faktor global tadi, faktor lain yang mempengaruhi berkurangnya eksistensi Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari adalah faktor sejarah. Seperti yang kita ketahui, bahwa pada
pemerintahan Orde Baru, Pancasila dijadikan sebagai instrumen untuk menghegemoni
masyarakat. Sebenarnya bukan suatu persoalan ketika Pancasila disosialisasikan secara
menyeluruh dan penuh di atas alam Indonesia, persoalan terjadi ketika penanaman ideologi ini
dilakukan secara berlebihan bahkan dengan manyamakan penafsiran terhadap Pancasila.
Doktrinisasi tersebut kemudian dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan. Pasca reformasi,
citra Pancasila kemudian dilihat buruk oleh masyarakat Indonesia. Padahal masyarakat harusnya
tidak melihat Pancasila secara negatif, tetapi aktor yang menjadikan Pancasila sebagai instrumen
politklah yang harusnya bertanggungjawab terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat
terhadap Pancasila itu sendiri.
Barangkali inilah yang kemudian perlu dijawab oleh masyarakat Indonesia terutama oleh
mahasiswa sebagai intellectual organic atau agent of change. Pancasila hari ini hanya dipahami
sekedar simbol. Pancasila hanya kita ketahui sebagai ornamen yang tergantung di depan ruangan
kelas. Bangsa Indonesipun kehilangan pedoman mengenai arah dan tujuannya. Wajar bila
diakatakan bahwa generasi Indonesia hari ini adalah generasi “alzhemeir”, yaitu bangsa yang
melupakan identitas nasional mereka sendiri.
Kenyataan bahwa ternyata masyarakat Indonesia telah bergeser orientasinya dari karakter
yang populis dan nasionalis menjadi pribadi yang elits dan pragmatis yang dapat kita jumpai
dalam konteks politis walaupun seringkali kita dapati fenomena itu dalam kehidupan sehari-hari.
Memudarnya kesadaran masyarakat atas eksistensi Pancasila bukan berarti bahwa Pancasila
adalah falsafah dasar yang bersifat kaku. Pancasila merupakan pandangan hidup
(weltanchauung) yang meskipun digali dari bumi Indonesia tapi daya berlakunya bersifat
universal dalam artian dapat diterapkan diseluruh negara dan tidak dapat terbatasi oleh waktu.
Pancasila merupakan landasan falsafah dasar yang bersifat fleksibel. Dia dapat diterapkan dalam
berbagai zaman. Sehingga yang perlu dilakukan oleh bangsa Indonesia hari ini adalah upaya
untuk merevitalisasi dan reinterpretasi terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu definisi nilai beserta ciri ciri dan klasifikasinya?
2. Bagaimana revitalisasi nilai pancasila dalam kehidupan masyarakat?
3. Bagaimana upaya revitalisasi pancasila?
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI NILAI
Nilai dasar tidak berubah dan tidak boleh diubah lagi. Betapapun pentingnya nilai dasar yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 itu, sifatnya belum operasional. Artinya belum dapat
dijabarkan secara langsung. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam UUD 1945 itu memerlukan
penjabaran lebih lanjut. Penjabaran itu kemudian dinamakan nilai instrumental.
✓ Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak
itu tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai. Misalnya orang
yang memiliki kejujuran. Yang dapat kita indera adalah kejujuran itu.
✓ Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan.cita- cita,dan suatu keharusan
sehingga nilai memiliki sifat ideal (das sollen). Nilai diwujudkan dalam bentuk norma
sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya,nilai keadilan. Semua orang berharap
dan mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan.
✓ Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adlah pendukung nilai. Manusia
bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininnya. Misalnya,nilai ketakwaan.
Adanya nilai ini menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.
C. KLASIFIKASI NILAI
1. Nilai logika adalah nilai benar salah. Misalnya jika seorang mahasiswa dapat menjawab suatu
pertanyaan, ia benar secara logika. Apabila ia keliru maka dosen mengatakan salah secara
logika.
2. Nilai estetika adalah nilai indah dan tidak indah. Dapat diilustrasikan pada seseorang yang
melihat sebuah lukisan yang indah, tetapi bagi orang lain mungkin tidak indah. Orang yang
menilai lukisan itu indah, tidak bisa memaksakan orang lain menilai bahwa lukisan itu indah.
Jadi nilai estetika bersifat subjektif.
3. Nilai moral/etika adalah nilai baik buruk. Nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari
manusia. Moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah moral. Nilai
moral lebih terkait dengan kehidupan manusia sehari-hari.
Notonegoro dalam Kaelan (2000) menyebutkan adanya tiga macam nilai, yaitu:
1. Nilai Material (segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan
ragawi manusia).
2. Nilai Vital (segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau
aktivitas)
3. Nilai kerohanian (segala sesuatu yang berguna bagi rohani manus ia). Nilai kerohanian
meliputi :
✓ Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan (emotion) manusia
✓ Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak (karsa,Wil) manusia.
Adapun alasan menghayati nilai Pancasila yakni sebagai berikut :
1. Pancasila berguna sebagai penuntun Sikap dan tingkah laku Manusia Indonesia.
Pancasiladapat memberikan kekuatan hidup dan membimbing masyarakat Indonesia dalam
mengejarkehidupan lahir batin yang semakin baik dalam masyarakat yang maju,
mandiri,adil, danmakmur. Sehingga untuk mewujudkannya diperlukan usaha nyata dan terus
menerusdalam penghayatan dan pengamalan Pancasila.
2. Pancasila yang bulat dan utuh memberi keyakinan kepada bangsa Indonesia,
bahwakebahagiaan manusia akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan, keserasian
dankeseimbangan.Dalam Pancasila kebahagiaan tersebut dijiwai oleh nilai-nilai yang
terkandungdalam lima Sila dari Pancasila sebagai satu kesatuan.
Pluralitas bangsa adalah realitas dalam komunitas indonesia yang tak mungkin dipungkiri
dan dihindari, bangsa Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa, suku, bangsa dan
agama. Kondisi ini merupakan berkah dan hikmah apabila kita mampu mengaransemennya
dalam sebuah keterpaduan yang menghasilkan keindahan dan kekuatan, tetapi juga bisa menjadi
musibah disintregasi bangsa manakala pluralitas itu tidak terakomodasi dengan baik. Bangsa
Indonesia yang memiliki ciri multi-etnis sudah tidak lagi memiliki filosofi sebagai norma
fundamental dari nilai-nilai dalam kehidupan bersama, sementara pengaruh global semakin kuat
menerpa bangsa Indonesia. Akibatnya integrasi antar etnis dalam kehidupan kebangsaan di
Indonesia pudar bahkan hampir runtuh. Berbagai fakta masih teringat dalam pikiran kita, seperti
tragedi konflik antar etnis di Sampit antara suku Dayak dengan Madura, kasus Sambas serta
gerakan kelompok separatis seperti Organisasi Papua Merdeka, RMS, dan GAM. Kasus SARA
lainnya seperti konflik di Ambon, kasus pembakaran masjid Ahmadiyah dan Pembakaran
Gereja. Kenyataan itu sebagai wujud kongkrit akibat lemahnya pemahaman terhadap filosofi dan
ideologi bangsa, dan terlebih lagi akibat dari perkembangan situasi politik Indonesia yang
semakin jauh dari nilai-nilai kebangsaan dan etika politik yang sehat. Oleh sebab itu mari kita
coba untuk menggali lagi tentang makna Pancasila sebagai nilai dasar fundamental bangsa dan
negara, selain itu kita bisa melihat eksistensi Pancasila sebagai pemersatu dalam
keanekaragaman kehidupan masyarakat Indonesia dan demokrasi separti apa yang dicita-citakan
oleh masyarakat untuk mencapai dinamika politik yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Tentunya kita masih ingat dengan adagium yang berbunyi “ Bersatu kita memang teguh, dan
bercerai kita runtuh”. Pernyatan itu jelas tidaklah salah. Masalahnya adalah selama ini kita
menjadi apatis terhadap “sisi lain”, yaitu kenyataan yang lebih penting dan sebenarnya lebih
mendasar, bahwa kita ini memang berasal dari asal usul yang berbeda, Karena cara pandang
yang hanya sebelah itu pula, sejak lama kehidupan kita terbentuk menjadi homogen dan tidak
bisa menerima suatu perbedaan yang nyata/heterogenitas sosial budaya kita. Kata “bhineka”
lebih hidup dalam simbol, tetapi hampir tanpa makna yang benar-benar diresapi. Banyak yang
tidak menyadari ketika kemudian, justru di era reformasi ketika kita menganggap bisa bebas
berbicara tentang apa yang kurang baik dan tentang bagaimana mestinya sesuatu harus
diselenggarakan, serta ketika kita mengembangkan cara penyelenggaraan pemerintahan yang
tidak sentralistik dan lebih memberi otonomi yang nyata kepada daerah khususnya kabupaten
dan kota kita malahan menjadi saling berhadapan untuk mencari menang, atau sekedar
memperoleh yang lebih banyak lagi. Dalam kondisi seperti itu pula, kita banyak menyaksikan
bagaimana benturan-beturan antar golongan dan etnik kemudian “tampil dalam bentuk dan
kodratnya yang asli”. Kita kemudian tersinggung, cepat marah dan rela bermusuhan hanya demi
sebuah eksistensi suatu golongan atau etnik, bahkan kalau perlu saling memusnahkan antar
golongan dan etnik, atau yang lebih menyedihkan lagi adalah kita memisahkan diri dan keluar
dari persatuan dan kesatuan kita. Kita merasa sangat sedih, dan bertanya-tanya, bagaimana kita
bisa menjadi seperti itu. Kalaupun masih ada yang percaya dengan apa yang dinamakan hikmat,
maka pelajaran itulah yang menyadarkan kita, betapa senyatanya heterogenitas, bahwa
kebhinekaan dengan berbagai perbedaan yang terkandung adalah sesuatu yang nyata dan
merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri dan harus dihadapi.
Pancasila diharapkan dapat menjadi matriks atau kerangka referensi untuk membangun suatu
model masyarakat atau untuk memperbaharui tatanan sosial-budaya . Menurut Sastrapratedja
dalam (Siswoyo, 2008) ada dua fungsi dari pancasila sebagai kerangka acuan: pertama, pancasila
menjadi dasar visi yang memberi inspirasi untuk membangun suatu corak tatanan sosial-budaya
yang akan datang, membangun visi masyarakat indonesia di masa yang akan datang; dan kedua,
pancasila sebagai nilai-nilai dasar menjadi referensi kritik sosial-budaya. Dalam era reformasi
dewasa ini seharusnya bangsa indonesia bersyukur kepada Tuhan YME, disertai dengan upaya
untuk menata kembali pelaksanaan kenegaraan yang dijiwai oleh nilai-nilai filosofi bangsa
Indonesia, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Dalam
kenyataannya reformasi mengarah pada kebebasan yang tidak memiliki arah yang jelas, sehingga
demokrasi yang seharusnya menghasilkan kehidupan kenegaraan yang sejahtera justru terdistorsi
ke kancah anarki, serta semakin merosotnya kesejahteraan rakyat. Akibatnya, dewasa ini bangsa
Indonesia kehilangan kepercayaan diri, bahkan proses reformasi yang telah berjalan lebih dari
sepuluh tahun, belum menunjukan ke arah tanda-tanda yang lebih baik untuk rakyat Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini persatuan dan kesatuan bangsa semakin rapuh, isu HAM, demokrasi,
kebebasan dan terorisme menjadi stigma yang strategis bagi negara-negara kapitalis internasional
untuk menguasai negara-negara yang sedang berkembang.
Menurut Abdulgani dkk, upaya revitalisasi Pancasila dapat diwujudkan oleh perseorangan
anggota masyarakat, oleh kelompok atau organisasi dalam masyarakat, oleh pemerintah dan oleh
lembaga–lembaga negara.
Reaktualisasi pada perseorangan berbentuk cara berpikirnya, cara merasakn sesuatu, reaksinya
atas sesuatu hal, dan cara motifnya melakukan sesuatu. Pada kelompok masyarakat/ organisasi
berbentuk alasan dan sifat dari pengelompokan–pengelompokan tadi serta tindak tanduk dari
organisasi itu. Dalam tatanan Pemerintahan, reaktualisasi pancasila dapat dilakukan melaui
pembuatan perundang–undangan atau kebijakan negara yang harus senapas dengan nilai–nilai
pancasila dan menjadikannya sebagai wacana akademik.
Upaya yang dapat dilakukan untuk merevitalisasi Pancasila yaitu dengan :
1. Reaktualisasi pada perseorangam dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara :
Mempraktikkan pancasila dalam keseharian kita adalah cara jitu bagaimana hidup di
Indonesia dengan cara Indonesia pula. Pancasila tidak bersifat dogmantis, tetapi ia harus
difahami dan diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Semua sangat universal dan bisa
diterapkan, bukan hafalan. Membiasakan memiliki sifat integritas, kesetiaan dan kejujuran yang
sangat penting dalam suatu bangsa yang beradap, adil dan makmur.Mencintai tanah air Indonesia
membangun rasa nasionalisme Mengakrabi budaya bangsa Indonesia dengan ikut terlibat dalam
kesenian, mendalami adat atau bahasa.Mengkritik tajam budaya yang tidak sesuai dengan
zaman.Memberikan wawasan kebangsaan untuk sesama, dengan mengingatkan kita selalu
akanpentingnya kita mengenali jati diri kita masing – masing, talenta yang diberikan Tuhan
kepada kita, sehingga kita mampu memberikan kontribusi yang terbaik bagi
masyarakat.Menghormati dan menghargai perbedaan.
Upaya untuk memperbaiki akhlak serta perilaku masyarakat tidak cukup dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan formal seperti upacara bendera, menyanyikan lagu kebangsaan atau sekedar
mengenalkan masa perjuangan dulu, tetapi harus lebih konkrit pada upaya untuk memberi
perhatian yang lebih dalam meningkatkan kualitas hidup dalam segala bidang kehidupan.
Langkah yang perlu dan harus dilakukan antara lain dimulai dengan mengurangi konflik dalam
masyarakat melalui melalui perubahan sikap, perilaku dan akhlak masyarajat dari perilaku
negatif menjadi perilaku positif.
Dalam menghalau dampak negatif berkembangnya berbagai ideologi negara lain termasuk
kuatnya pengaruh ideologi leluhur ditengah-tengah masyarakat, maka perhatian masyarakat
terhadap nilai-nilai Pancasila harus kembali dapat ditingkatkan melalui serangkaian upaya dan
kegiatan sebagai berikut :
Mengunggah dan mensosialisasikan secara terus menerus eksistensi dan keberadaan ideologi
Pancasila sebagai pemersatu untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme.Meningkatkan
filter/saringan masyarakat terhadap eksistensi ideologi kapitalis dan liberalis yang mencoba
untuk memecah belah Indonesia disemua aspek politik, ekonomi dan sosial
budaya. Meningkatkan intensitas pemberian materi pelajaran pendidikan Pendidikan Pancasila
seperti pendidikan moral pancasila pada tataran teori maupun praktek kepada para
siswa/mahasiswa pada semua jenjang pendidikan. Pengemasan materi pelajaran tersebut harus
ditampilkan semenarik mungkin dan menghindari kesan adanya doktrinasi sebagaimana pernah
terjadi pada masa lalu.
Agar berbagai aturan Undang-undang yang disusun akan memiliki norma-norma yang
menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam perilaku sehari-hari sehingga dapat menjamin
penegakan hukum dan keadilan dapat dilaksanakan sesuai harapan oleh masyarakat Dengan
demikian fungsi regulatif dan fungsi kontitutif Pancasila sebagai sebagai cita hukum dapat
terimplementasikan dengan baik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pentingnya peran nilai nilai yang
terkadung di dalam pancasila sebagai pedoman kehidupan masyarakat Indonesia agar lebih dapat
menghargai perbedaan yang ada sehingga dapat menghindari terpecah belahnya persatuan.
B. SARAN
Kepada pembaca dapat lebih mengamalkan nilai nilai pancasila dalam kehidupan sehari hari
guna memberikan contoh kepada orang lain sehingga dapat tergerak untuk melakukan hal yang
sama.
DAFTAR PUSTAKA
2015 revitalisasi dan reaktualisasi nilai nilai pancasila dalam kehidupan masyarakat.
https://www.kompasiana.com/simanungkalitrai/revitalisasi-dan-reaktualisasi-nilainilai-pancasila-
dalam-kehidupan-masyarakat_5563e369539373f51fea990f - online (diakses pada tanggal 5
November 2020)