Anda di halaman 1dari 3

Transmigran adalah Minoritas yang bukan Marjinal Tertindas

Oleh : Ika Tirta Sakilah ( ikaponpes@gmail.com )

Prodi Psikologi Islam Fakultas Ushuluddin, Adab, Dan Dakwah

Institut Agama Islam Negeri Tulungagung

Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduknya dalam
wilayah Republik Indonesia, guna kepentingan Negara dan alasan yang dipandang perlu oleh
pemerintah. Transmigran merupakan perpindahan penduduk dari daerah yang padat
penduduknya ke daerah yang lenggang, yang sebagian besar direncanakan oleh pemerintah
karena terkait oleh pembangunan Negara. Transmigran memiliki sesuatu yang pastinya
berbeda, terutama pada adat dan budaya yang mereka punya. Para transmigran membawa
budayanya kedaerah rantauannya, bahkan tak jarang mereka juga berbagi budaya tersebut
pada lingkungan barunya.Menjadi transmigran di pulau tetangga, bukanlah alasan untuk
keluarga saya meninggalkan tradisi kejawen yang kami miliki. Hal inilah yang terjadi pada
keluarga saya sebagai transmigran Jawa ke Sumatra Keluarga saya merupakan suku jawa
yang masih mendalami adat kejawen yang ada. Memang akan berbeda dengan adat jawa yang
murni ada di pulau jawa sendiri. Yang mana keluarga saya adalah para transmigran yang juga
harus menyesuaikan adat yang ada dikota perantauan dengan adat yang kami miliki. Mungkin
kebanyakan transmigran akan meninggalkan adat budaya kampung halamannya untuk
beradabtasi di lingkungan perantauannya. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan interaksi
sosial. Interaksi sosial merupakan siklus perkembangan dari struktur sosial yang dinamis
dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan inilah yang merupakan dinamika yang tumbuh
dari pola-pola perikelakuan manusia yang berbeda-beda menurut situasi dan kepentingan
yang diwujudkan dalam proses hubungan sosial. Hubungan sosial ini pada awalnya
merupakan proses sosial penyelesaian nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakat.
Kemudian meningkat menjadi semacam pergaulan yang tidak hanya sekedar pertemuan fisik
melainkan merupakan pergaulan yang ditandai adanya saling mengerti tentang maksud dan
tujuan masing-masing pihak dalam hubungan tersebut, misalnya saling berbicara
(komunikasi), kerjasama dan menyelesaikan suatu masalah, atau mungkin pertemuan dalam
suatu pertikaian dan lain sebagainya (Soekanto, 1985).

Interaksi sosial ini menjadi strategi awal keluarga saya untuk bisa beradabtasi dengan
lingkungan kami. Namun, dalam pengembangan suatu adat yang kami miliki awalnya
dilakukan dengan penuh rasa cemas, karena banyak para tetangga yang menganggap hal ini
bukanlah suatu yang harus dilakukan. Disini saya akan mencotohkan dua tradisi tahunan
yang dilakukan keluarga saya. Yakni tradisi punggahan dan ngruwat, dimana ini merupakan
tradisi bawaan dari leluhur keluarga saya. Awalnya pertama kali melaksanakan tradisi ini
banyak warga sekitar kota perantauan kami yang merasa heran dengan acara yang kami
adakan. Namun, dari cerita nenek saya yang mengatakan bahwa nenek percaya alon-alon
seng penting kelakon. Pelan-pelan asalkan kita selalu istiqomah pasi ada hasilnya. Hal ini
terbukti sekarang Ketika kami mengadakan acara punggahan dan ngruwat di kota perantauan
makin banyak warga yang antusias untuk datang ke acara kami.

Sebelum lanjut lebih jauh saya akan menerangkan apa itu tradisi punggahan dan
ngruwat. Tradisi punggahan adalah tradisi pengiriman doa kepada leluhur yang sudah tiada,
dimana keluarga akan mengundang para tetangga untuk ikut membacakan tahlil dan doa
dirumah kami. Dimana hal ini kami lakukan untuk menghormati para leluhur dan berharap
Tuhan akan meringankan siksaan para leluhur kami didalam kubur. Sedangkan ngruwat
adaah pengiriman doa tolak balak dan doa selamat untuk keluarga kami, dimana proses
ngruwat saa seperti punggahan namun tanpa tahlil. Ngruwat bertujuan untuk memberikan doa
dan mengharapkan keberadaan tuhan untuk melindungi keluarga. Kedua acara ini dilakukan
di bulan Rajab.

Melihat dari makna acara adat yang kami lakukan ini, dapat kita lihat bahwa ini
merupakan acara yang melibatkan orang banyak. Lalu bagaimana acara ini kami lakukan
pada saaat pandemic COVID-19 ini?. Dimana perkumpulan orang banyak dilarang untuk
memutus rantai penyebaran virus CORONA. Menyikapi pandemic ini tentunya awalnya
keluarga kebingungan, namun setelah berdiskusi dengan pak RT dan warga sekitar akhirnya
acara punggahan bisa kami laksanakan dengan cara hanya mengundang 15 orang saja dan
orang tersebut bukan yang berpotensi membawa virus. Akhirnya tepat ditanggal 19 April
2020 kami melaksanakan acara adat leluhur kami punggahan yang mana sesuai petunjuk pak
RT acara ini kami gelar seadanya dengan mengundang 15 orang tetangga untuk mengirim
doa kepada leluhur kami. Tentunya hal ini menjadi perbincangan heboh para ibuk-ibuk
tetangga yang belum paham akan apa yang kami laksanakan. Namun, hal ini bukanlah
sesuatu yang menjadikan kami kaum marginal dan merasa tersisihkan, ini tentunya malah
menjadikan penguat untuk memberi pemahaman akan adat budaya yang kami bawa pada
warga sekitar. Memulai pembicaraan dan penjelasan dengan baik menjadi jalannya, yang
mana ketika kami menjelaskan bahwasannya kegiatan yang kami lakukan ini adalah budaya
yang kami pegang dan bawa yang mana ini menjadi sebuah amanat untuk terus menjaga dan
melestarikannya dimanapun kami berada. Dengan di bantu pak RT dan beberapa tokoh
masyarakat, akhirnya warga tau dan dapat memakluminya.

Artikel ini saya buat bukan hanya sekedar untuk memenuhi tugas kuliah. Namun,
dengan artikel ini saya berharap para perantau seperti keluarga saya dapat dengan berani tetap
menjaga tradisi adat kampung halamannya. Selagi itu baik harus selalu kita jaga dimanapun
kita berada. Bukan hanya itu saya harap tulisan ini nantinya mmenyadarkan par transmigrant
bahwa mereka bukanlah kaum marjinal yang harus merubah dirinya menjadi orang lain di
suatu tempat yag ia tinggali, namun ia juga tetap bias menjadi dirinya sendiri dengan
mempertahankan adat dan budaya okal yang ia bawa. Yang mana yakinlah hal baik tidak
akan terhalangi jika usaha kita maksimal. Selain itu saya berharap untuk menghadapi
COVID-19 ini masyarakat harus benar-benar hati-hati dalam bertindak agar tidak meresahkan
warga yang lainnya. Kita harus tetap waspada dalam menanggapi pandemic ini. Namun,
kewaspadaan bukan berarti kecemasan yang harus ditingkatkan. Tetap melakukan apa yang
harus dilakukan jangan panik degan keadaan sekitar. Semoga pandemic ini akan segera
berakhir dan kita bisa melakukan kegiatan seperti semestinya.

Biodata Penulis:

Ika Tirta Sakilah putri sulung dari empat bersaudara yang lahir di Jambi 03 September 2000
buah dari Bapak selamet dan Ibu Patmawati. Menjadi putri tunggal di keluarga transmigran
jawa ke Sumatra yang sekarang sedang menempuh pendidikan strata satu di negeri asalnya,
tepatnya di IAIN Tulungagung. Tirta biasa orang memanggilanya merupakan mahasiwi prodi
psikologi islam semester lima. Ia bukanlah seseorang yang memiki hal khusus yang harus
dibanggakan, ia hanyalah seorang mahasiswi biasa yang menjadikan dirinya aktivis
organisatoris dibeeberapa organisasi. Hal yang ia sampaikan di tulisan ini hanyalah
pengalaman kecilnya yang ingin ia bagikan. Ia ingin berbagi penglaman menjadi kaum
marjinal yang mengajarkannya cara bertahan Satu hal yang terlintas dibenaknnya “ Aku
marjinal dimana-mana. Di Sumatra aku transmigran, namun di jawa aku juga disebut
rantauan” . Selamat membaca semoga dapat membangkitan jiwa marjinal yang tertidur pulas
menjadii manusia yang mempertahankan adat budayanya.

Anda mungkin juga menyukai