27 - Try Probo Ardiyansyah - 185010100111140 - UAS
27 - Try Probo Ardiyansyah - 185010100111140 - UAS
Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pengantar Filsafat Hukum
Kelas A yang diampu oleh Bapak Prof. Dr. Sudarsono, SH., MS.
Jadi, disini saya akan membahas hubungan atau kaitan antara Nilai, Asas , Norm a, Law
in A book and Law in Action dimana sudah ada dalam ilmu filsafat Hukum.
I. Nilai
Nilai adalah esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan
manusia, khususnya mengenai kebaikan dan tindak kebaikan suatu hal, Nilai artinya sifat-sifat
atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. 1 Nilai memuat elemen pertimbangan
yang membawa ide-ide seorang individu mengenai hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan.
Menurut Lauis D. Kattsof yang dikutip Syamsul Maarif mengartikan nilai sebagai berikut: Pertama,
nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan, tetapi kita dapat mengalami dan
memahami cara langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak
semata-mata subjektif, melainkan ada tolok ukur yang pasti terletak pada esensi objek itu. Kedua,
nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada dalam kenyataan
1
W.J.S. Purwadaminta, Kamus Umum bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 1999), h. 677
maupun pikiran. Ketiga, nilai sebagai hasil dari pemberian nilai, nilai itu diciptakan oleh situasi
kehidupan 2
II. Asas
Asas merupakan suatu gambaran dari nilai-nilai yang positif atau pemikiran dasar yang
terdapat pada hukum positif dan melebur dari nilai-nilai yang berlaku umum. Pada umumnya,
asas itu bersifat abstrak dan universal. Asas merupakan unsur penting dalam membuat norma
hukum dan juga pembentukan peraturan. Asas merupakan dalil umum yang dinyatakan dalam
istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Menurut Satjipto
Rahardjo (Rachmadi Usman, 2000:7) menyatakan bahwa, Asas hukum merupakan “jantung”
peraturan hukum. Ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.
Peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas asas hukum
tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya
peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Kalau demikian dengan
adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar sekumpulan peraturan-peraturan, karena asas itu
mengandung nilai nilai dan tuntutan tuntutan etis, merupakan jembatan antara
peraturanperaturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. 3
III. Norma
2
Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 114
3
Usman , Rachmadi Terbitan: Gramedia Pustaka Utama, 2004, h. 120
IV. LAW I N A BOOK ( HUKUM POSITIF )
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Tujuan adanya pasal ini ialah upaya jaminan kepastian hukum terhadap
informasi dan transaksi elektronik. UU ITE juga dihadirkan untuk mengatur
internet dan juga untuk menghindarkan seseorang menyebarkan sebuah
kebohongan, berita palsu dan penggiringan opini yang mana dapat berakibat
tercemarnya nama baik seseorang atau membuat keributan dan kekacauan
yang mengakibatkan masyarakat tersulut emosinya
V. LAW IN ACTION
Keberadaan UU ITE ini memang diperlukan dalam kehidupan
manusia, terlebih lagi dengan adanya perkembangan zaman yang cukup
pesat. Namun dengan segala fungsi dan tujuan diundangkannya UU ITE,
masih terdapat persoalan-persoalan dalam isinya. Sejak UU ITE disahkan,
kasus – kasus pidana penghinaan yang melibatkan pengguna internet di
Indonesia mulai naik secara signifikan. Banyak orang yang terjerat dari
pasal ini, beberapa contoh kasus yang terjerat oleh Pasal UU ITE ini,
1. Febi Nur Amalia, terdakwa kasus pencemaran nama baik dituntut dua tahun
penjara dalam persidangan di Pengadilan Negeri Medan. Kasus ini bermula
ketika febi menggugah status tentang menagih utang kepada Fitriani
Manurung yang disebut sebagai istri Kombes Ilsarudin dan informasinya
bertugas di Mabes Polri senilai Rp. 70.000.000. Ia menuliskan bahwa Febi
sudah menagih dengan orang terkait akan tetapi Fitriani memblokir dan tidak
mau membayar. Malah, Fitriani tersebut merasa malu dan nama baiknya
tercemar. Yang kemudian dilaporkan dan terjerat dengan Undang-Undang ITE
akibat menagih hutang melalui media sosial.
2. Ahmad Dhani terjerat Pasal 27 ayat 3 jo. Pasal 45 ayat 3 UU ITE dengan dugaan
pencemaran nama baik, di mana terdakwa membuat konten video yang berisi
kata “idiot” yang dianggap melecehkan nama baik peserta demo di luar hotel
tempat terdakwa menginap. Apabila melihat dari kasus tersebut, terdakwa
dapat dipidana jika memenuhi unsur yang ada dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE,
di mana pengertian dari pencemaran nama baik merujuk pada pasal- pasal
mengenai penghinaan yang diatur dalam KUHP. Dalam membuktikan apakah
adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan konteks dari
suatu informasi dianggap penting untuk ditelaah dan penilaiannya bersifat
subjektif karena hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Artinya,
target sasaran dari konten itulah yang menjadi korban dan hanya korban yang
dapat menilai apakah konten tersebut mengandung unsur penyerangan
terhadap kehormatannya. Sedangkan secara konteks, dapat dinilai secara
objektif melalui maksud dan tujuan pelaku atas pembuatan dan
penyebarluasan konten tersebut. Atas pernyataannya, kelompok yang
menamakan Koalisi Bela NKRI melaporkan Dhani ke Polda Jawa Timur pada 30
Agustus 2018. Kelompok itu merasa Dhani melakukan pencemaran nama baik.
Karena kasus inilah Ahmad Dhani dikenakan tuduhan atas Pasal 27 ayat (3) UU
ITE yang merujuk pada Pasal 311 KUHP, yang dimaksud menyebarkan tuduhan
pencemaran nama baik adalah menuduhkan suatu perbuatan bukan
penghinaan.
Dari sinilah bisa diketahui penerapan dari UU ITE tersebut berbeda dengan
fakta apa yang ada di lapangan. Di samping itu, UU ITE cenderung memicu
perselisihan warga masyarakat yang dengan mudah melaporkan kepada
penegak hukum dan menambah sumber konflik antara penguasa dan anggota
masyarakat. Kemudian, UU ITE dianggap sebagai pembungkam kebebeban
berpendapat masyarakt dengan alibi melanggar pencemaran nama baik
seseorang. Oleh karena itu, mungkin UU ITE ini dapat direvisi menjadi pasal
yang memberikan keadilan dan kepastian hukum serta tidak karet terhadap
masyarakat. Lalu, masyarakat diberikan sosialisasi tentang tujuan dari UU ITE
ini agar nantinya, hukum positif dan penerapannya dapat dilaksanakan sesuai
dengan apa yang dibuat.