Anda di halaman 1dari 16

Makalah

DALIL PERTAMA AL – QURAN

Oleh:
Kenara

Program Studi
Fiqih/ Ushul Fiqh

Dosen :
Abdul Halim, M. H. I

UNIVERSITAS AL – WASHLIYAH
UNIVA MEDAN
TAHUN 2021 - 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT,atas segala limpahan Rahmat dan
Hidayat – Nya, sehingga penulis sendiri dapat menyelesaikan makalah ini yaitu tentang Dalil
pertama Al – Quran, yang dibimbing oleh dosen saya Abdul Halim, M. H. I. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurahkan atas junjungan Nabi kita Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa Ummatnya dari alam kegelapan hingga kealam terang benderang seperti yang kita
rasakan pada saat ini.
Ucapan terima kasih pula saya tunjukkan kepada semua pihak yang turut membantu dalam
proses penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena kritik dan saran
yang sifatnya membangun sangat saya harapkan, demi menuju kesempurnaan makalah ini. Dan
saya selaku penulis berharap makalah ini bermanfaat bagi kita dan juga generasi muda yang
kelak membangun negeri ini menjadi yang lebih baik lagi, amin.

Medan, 20 Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGNTAR ............................................................................................................ i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

A. Latar belakang masalah....................................................................................... 1


B. Rumusan masalah ............................................................................................... 1
C. Tujuan penulis..................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 2

A. Definisi Al–Quran/ dalil Al-Quran ..................................................................... 2


B. Kehujjahan Al -Quran ........................................................................................ 3
C. Macam-macam hukum dalam Al-Quran............................................................ 6
D. Ayat Al-Quran ( Qath’I dan Zhanni ) ................................................................. 7

BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 12

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Dalil adalah suatu hal yang menunjuk pada apa yang cari, berupa alasan,
keterangan dan pendapat yang merujuk pada perngertian, hukum dan hal – hal
yang berkaitan dengan apa yang cari.
Dalam Islam dalil itu dapat dibagi menjadi dua yaitu, dalil Naqli yang
adalah Al – Quran dan Hadist Nabi dan dalil aqli yang adalah pemikiran Ulama.
Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai, definisi, kehujjahan Al –
Quran, Macam- macam hukum dalam Al- quran, dan juga Ayat Al – Quran
(Qath’I dan Zhanni).

B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian dari dalil Al – Quran?
2. Apa sajakah kehujjahan dalam Al- Quran?
3. Apakah macam – macam hukum dalam Al – Quran?
4. Dan apa itu Ayat Qath’I dan juga Zhanni dan senutkan contohnya?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari dali Al – Quran.
2. Untuk mengetahui Kehujjahan dalam Al – Quran.
3. Untuk Mengetahui macam – macam hukum dalam Al – Quran.
4. Untuk mengetahui apa itu Ayat Qath’I dan juga Zhanni dan juga contohnya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Al – Quran/ dalil Al – Quran

Secara etimologis (bahasa), Alquran adalah untaian kata qaraah, artinya


Tala'a, yang keduanya berarti bacaan atau memiliki arti jamak, yaitu kumpulan
atau kumpulan. Pada saat yang sama, ini adalah bacaan tertulis. Di kalangan
ulama, terdapat perbedaan pendapat tentang makna etimologis al-Qur'an. Ini
termasuk: Misalnya, As-Syafi'i mengatakan bahwa Quran tidak berasal dari kata
apapun, juga tidak tertulis dalam hamzah. Lafadz biasanya digunakan dalam arti
Karamura (artinya Allah) dari Nabi Muhammad (SAW). Sementara itu, Farah
meyakini bahwa Rafaz Quran berasal dari bentuk jamak qarain dalam kata qarinah
yang artinya hubungan, karena dari segi makna dan isinya, ayat-ayat Alquran
tersebut saling berkaitan.

Sedangkan secara terminologi Al-Qur’an adalah Kalamullah yang di


wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai pedoman bagi ummat Islam
yang di sampaikan melalui perantara Jibril melalui jalan Mutawttir. Di kalangan
ulama, terdapat ketidaksepakatan tidak hanya dalam hal etimologi tetapi juga
dalam Alquran, di antaranya: Safi'Hasan Abu Thalib mengatakan bahwa Alquran
adalah inspirasi dalam bahasa Arab. Pengucapan Allah dan maknanya diteruskan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyu, dan dia adalah fondasi dan
sumber utama fondasi hukum Islam Musaf. Di saat yang sama, Ghazali berkata
bahwa Quran berarti Firman Allah.

Meskipun terdapat banyak pandangan tentang pengertian Al-Qur’an baik itu


secara etimologis dan secara terminologi tetapi masih dapat di tampung oleh sifat
dan karakteristik Al-Qur’an itu sendiri.

2
Sedangkan Dalil adalah Dalil adalah suatu hal yang menunjuk pada apa
yang cari, berupa alasan, keterangan dan pendapat yang merujuk pada perngertian,
hukum dan hal – hal yang berkaitan dengan apa yang cari.

B. Kehujjahan Al –Quran

1. Kebenaran tentang Alquran

Kehujjahan berarti landasan, di mana Abdul Wahab Khallaf (Mardias Gufron,


2009) mengatakan: “Kejujuran Alquran terletak pada keaslian dan kepastian
isinya. Tidak diragukan lagi.” Inilah sabda Allah SWT:

ََ‫ْب ْال ِكت َابَ ذَا ِلك‬


ََ ‫هدًى ِلِّ ْلمت َّ ِقيْنََ فِ ْي َِه الَ َري‬

Artinya: "Buku ini (Alquran tidak diragukan lagi; itu adalah pedoman bagi
yang saleh" (Q. S. Al-Baqarah, 2: 2).

Menurut ayat-ayat di atas, kebenaran dari "Quran" tidak perlu dipertanyakan


lagi, jadi semua hukum yang terkandung dalam "Quran" adalah hukum Allah, dan
semua manusia harus mematuhinya dalam hidup mereka.

M. Quraish Shihab (Mardias Gufron, 2009) menjelaskan bahwa “seluruh Al-


Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi SAW sebagai utusan
Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh ummat
manusia”. .

2. Kemukjizatan Al-Qur’an

Mukjizat berarti "segala kekuatan luar biasa yang tidak dapat dilakukan
manusia karena itu di luar kemampuannya" (Yayasan Penyelenggara Penerjemah /
Puntafilan Quran, 1990). Mukjizatnya adalah Allah SWT memberikan kepada
nabi dan rasul keunggulan nabi dan rasul, dan menunjukkan bahwa agama yang
mereka emban bukanlah ciptaan mereka sendiri, tetapi benar-benar berasal dari

3
Allah SWT. Semua nabi dan rasul memiliki mukjizat, termasuk Nabi Muhammad
SAW, salah satunya adalah Alquran. Alquran adalah mukjizat terbesar bagi Nabi
Muhammad SAW, karena Alquran adalah mukjizat yang dapat disaksikan seluruh
umat manusia sepanjang abad, karena Nabi Muhammad diutus oleh Allah SWT
untuk menjamin keselamatan manusia kapanpun dan dimanapun. Allah selalu
menjamin keselamatan Alquran, hal tersebut sesuai dengan firman-Nya yaang
berbunyi.

َ ‫إَنَّانَحْ نَن ََّز ْلنَاَالذِّ ْك َر‬


ََ‫َو ِإنَّاَلَهَلَ َحافِ ِظ ْون‬

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan


sesungguhnya Kami tetap memeliharanya” (Q. S. Al-Hijr, 15:9).

Adapun beberapa bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:

a) Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi tentang kejadian-


kejadian yang akan terjadi di masa mendatang, dan apa-apa yang telah tercantum
di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar adanya.

b) Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata dapat


dibuktikan dengan ilmu pengetahuan pada zaman yang semakin berkembang ini.

3. Dasar-Dasar Al-Qur’an dalam Membuat Hukum

Allah SWT menurunkan Alquran sebagai dasar hukum yang diwariskan


kepada manusia agar mereka menuruti segala perintahnya dan menjauhi segala
larangannya. Pedoman Alquran untuk menegakkan perintah dan larangannya tidak
memberatkan dan diturunkan secara berangsur - angsur.

a) Al-Qur’an Tidak Memberatkan

Al-qur’an diturunkan tidak untuk memberatkan ummat manusia, sebagaimana


firman-Nya:

4
َْ ‫َاليس َْر َوالَي ِريْدَبِكم‬
َ‫َالعس َْر‬ ْ ‫ّللاَبِكم‬
ِّ ‫ي ِريْد‬

Artinya: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki


kesempitan bagimu” (Q.S. Al-Baqarah, 2:185).

b) Al-Qur’an Turun Secara Berangsur-Angsur

Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun, yaitu 13


tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah diturunkannya Al-Qur’an
secara berangsur-angsur, antara lain:

1) Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan.

2) Turunnya Al-Qur’an berdasarkan suatu kejadian tertentu akan lebih


mengesankan dan berpengaruh di hati.

3) Memudahkan dalam menghafal dan memahaminya.

4. Al-Qur’an Sebagai Sumber Ijtihad yang Pertama

Ijihad adalah “sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-
Qur’an dan Hadits” (Lina Dahlan, 2006). Terdapat beberapa macam ijtihad, di
antaranya adalah sebagai berikut:

a) Ijma: Kesepakatan ulama,

b) Qiyas: diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas
hukumnya,

c) Maslahah Mursalah: untuk kemaslahatan ummat,

d) ‘Urf: kebiasaan.

Para ahli hukum dari berbagai mazhab Islam mengungkapkan pandangan


berbeda tentang asal mula Ijtihad. Alquran adalah sumber utama hukum ilahi.
Untuk mendapatkan berbagai hukum Islam (ahkam), Alquran lebih diutamakan
daripada materi lain yang disebutkan. Alquran telah dan akan terus ada - selain

5
menjadi sumber hukum ketuhanan yang komprehensif, Alquran juga menjadi
kriteria untuk menilai berbagai hadits. Atas dasar ini, dari masa Nabi Muhammad
SAW hingga saat ini dan selamanya, Alquran telah menjadi sumber referensi
utama bagi para ahli hukum Islam1.

C. Macam – macam hukum Dalam Al – Quran

Macam – macam hukum alqur’an ada 3 :

1. Hukum Itiqodiyah

Hukum Itiqodiyah yaitu yang bersangkutan apa-apa yang diwajibkan kepada


mukallaf tentang itiqodiyahnya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
Rosul-rosul-Nya, dan hari kiamat

2. Hukum Khuluqiyah

Hukum khuluqiyah yaitu hukum bersangkutan dengan apa yang diwajib


kepada mukallaf, akan meningkatkan moral, bidi pekerti, adab sopan santun, dan
menjauhkan diri dari sikap yang tercela.

3. Hukum Amaliyah

Hukum amaliyah yaitu yang bersangkutan dengan apa yang bersambung


dengan perkataa, perbuatan, perjanjian, dan segala macam tindakan. Hukum
amaliyah itu dalam Alqur’an mengatur dua macam hal

a. Hukum Ibadat yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan

b. Hukum muamalat yang mengatur hubungan mukallaf antara yang satu


dengan yang lainnya 2.

1
http://semutponti.blogspot.com, dikutip pada tanggan 20 Maret 2021
2
https://smjsyariah89.wordpress.com, dikutip pada tanggan 20 Maret 2021

6
D. Ayat Al – Quran ( Qath’I dan Zhanni )

Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas


qath’i (pasti benar). Akan tetapi hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an ada
kalanya bersifat qath’i (pasti benar) dan ada kalanya bersifat zhanni (Relatif
benar)3.

Istilah qath’i dan zhanni masing masing terdiri atas dua bagian, yaitu yang
menyangkut al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna).
Tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan umat Islam menyangkut kebenaran
sumber al-Qur’an. Semua bersepakat meyakini bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur’an
yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca kaum muslim diseluruh penjuru dunia
adalah sama tanpa sedikit perbedaan dengan yang diterima Nabi Muhammad saw
dari Allah melalui malaikat jibril

Al-Qur’an jelas qath’iy al-tsabut. Hakikatnya merupakan salah satu dari apa
yang dikenal dengan istilah Ma’lum min al din bi al dharurah (sesuatu yang sudah
sangat jelas, aksomatik, dalam ajaran agama). Tidak ada perbedaan pendapat
dalam hal ini, bahkan diyakini bahwa hal ini telah memasuki lapangan teologi,
artinya pengingkaran qath’i al-tsubutnya al-Qur’an akan membawa sejumlah
konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi al-dalalah, ayat al-Qur’an ada
yang qath’i dan ada pula yang zhanni. yang menjadi persoalan adalah yang
menyangkut kandungan makna redaksi ayat ayat al Qur’an ini4.

Ayat yang bersifat Qath’i adalah lafadz-lafadz yang mengandung pengertian


tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya 5. Dalil-dalil qath’i dapat
dipahami begitu saja dan penolakan terhadapnya berarti bentuk kekufuran.
Misalnya, masalah akidah, seperti keyakinan terhadap surga dan neraka, serta

3
Nasrun Haroen, ushul fiqih, (PT Lagos wacana ilmu, ciputat), 1997, h 32
4
Quraissh syihab, Membumikan Al-Qur’an, (Mizan, Bandung), 1999, cet XIX, h 137
5
Nasrun Haroen, ushul fiqih, (PT Lagos wacana ilmu, ciputat), 1997, h 32

7
yaumul hisab, adalah masalah-masalah agama yang tidak dapat dibantah lagi
kepastiannya sehingga kita tidak punya alasan untuk tidak meyakininya.

Adapun ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafadz lafadz yang
dalam al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk
di ta’wilkan6.

Nash al-Qur’an yang qath’i merupakan bagian integral dari dogma, dan orang
yang menolak atau mengingkari validitasnya secara otomatis mengingkari Islam.
Tetapi pengingkaran terhadap nash zhanni tidak berarti pelanggaran hukum.
Mujtahid berhak memberinya suatu penafsiran sehingga penguasa dapat memilih
salah satu dari berbagai penafsiran untuk dilaksanakan. Sedangkan nash yang
zhanni dalalahnya adalah nash yang menunjukkan atas suatu makna, akan tetapi
masih memungkinkan untuk dita’wilkan ke makna lain7. Dengan adanya nash-
nash yang zhanni ini merangsang para mujtahid mengembangkan ilmu-ilmu fiqh
sebagai wujud keluasan hukum Islam. Ali Tafi dan Sahal Mahfuzh, menyatakan
bahwa sebagian ulama’ Fiqh Indonesia pernah melontarkan pemikiran tentang
fiqh social. Fiqh social dimaksudkan untuk menambah khazanah fiqh yang
mempunyai orientasi social, yaitu senantiasa memberi perhatian penuh kepada
masalah-masalah social. Fiqih bukan saja seperangkap hukum yang mengatur
bagaimana orang melaksanakan ibadah mahdhah kepada Allah saja, tetapi
bagaimana pula seseorang melaksanakan interaksi sosial dengan orang lain
(muamalah) dengan berbagai macam dimensi: politik, ekonomi, budaya, dan
hukum.

6
Nasrun Haroen, ushul fiqih, (PT Lagos wacana ilmu, ciputat), 1997, h 33
7
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Al-Dar al-Kuwaytiyah, Kuwait),1968, cet. VIII,

h. 38

8
Contoh Ayat Qoth’i

1. َّ ‫أَقِيْمَال‬
‫ص ََلة‬

Artinya : “ Dirikanlah Shalat”

Jika perhatian hanya ditunjukkan kepada nash Al-Qur’an yang berbunyi


Aqimu Al-Shalah, maka nash ini tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat,
walaupun redaksinya berbentuk perintah, sebab banyak ayat Al-Qur’an yang
menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib.

kepastian tersebut datang dari pemahaman terrhadap nash-nash lain (yang


walaupun dengan redaksi atau konteks berbeda-beda, disepakati bahwa
kesemuanya mengandung makna yang sama. Dalam contoh diatas, ditemukan
selaan banyak ayat atau hadits yang menjelaskan antara lain hal-hal berikut :

a. pujian kepada orang-orang yang shalat

b. celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya.

c. perintah kepada mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat


atau sakit, damai atau perang dalam keadaan berdiri atau –bila udzur– duduk atau
berbaring atau bahkan dengan isyarat.

d. Pengalaman-pengalaman yang telah diketahui secara turun temurun dari


Rasulullah saw, sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah
meninggalkannya.

2. QS. An-Nisa’ : 12

َ ‫صفَ َماَت ََركَ َأ َ ْز َواجكمَاِنَلَّمَ َيكنَلَّه َّن‬


َ‫َولَد‬ ْ ‫َولَك ْمَ ِن‬

Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan


oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak”. (Q.S. An Nisa’ : 12).

9
Ayat ini adalah qath’i dalalahnya bahwa bagian suami (bila ditinggal mati
istri) adalah seperdua atau separuh, tidak bisa lainnya. (yakni yang lain dari
seperdua) atau dipahami dengan fersi lain 8.

Contoh Ayat Zhanni

1. QS. Al Baqarah : 228

َ‫طلَّقَاتَ َيت َرَبصْنَ َ ِبأ َ ْنف ِس ِه َّنَثَلَثَةََقر ْوء‬


َ ‫َو ْالم‬

Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)


tiga kali quru”. (Q.S. Al Baqarah : 228).

Lafadz quru dalam bahasa arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau
lebih). Di dalam

ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash
tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga
kali quru’. dengan demikian, akan timbul dua pengertian yaitu tiga kali bersih atau
tiga kali kotor. jadi adanya kemungkinan itu, maka ayat tersebut tidak dikatakan
qath’i. karena itu dalam hal ini para imam mujtahid berbeda pendapat tentang
masa menunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai, ada yang mengatakan tiga kali
bersih dan ada yang mengatakan tiga kali haidh9.

2. Q.S. Al Maidah : 3

َ ‫علَيْكمَال َم ْيت َة‬


َ‫َوالدَّم‬ ْ ‫ح ِ ِّر َم‬
َ َ‫ت‬

Artinya : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”. (Q.S. Al-


Maidah : 3).

8
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Al-Dar al-Kuwaytiyah, Kuwait),1968, cet. VIII, h.
36
9
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Al-Dar al-Kuwaytiyah, Kuwait),1968, cet. VIII, h.
62

10
Lafadz Al-Maitatu di dalam ayat tersebut ‘Am, yang mempunyai
kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan
selain bangkai binatang laut/air. karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz
‘Am mutlak dan yang seperti itu maka disebut zhanni dalalahnya. hal ini
disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin
berarti lain.

Contoh Ayat Qoth’I dan Zhanni

Suatu ayat dapat menjadi qath’iy dan zhanniy pada saat yang sama firman
Allah yang berbunyi :

1. َ‫سحواَبِرئوسك ْم‬
َ ‫ام‬
ْ ‫َو‬

Artinya : “ Dan basuhlah kepalamu ”

Adalah qath’i al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam


berwudhlu. tetapi ia zhanni al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala yang
harus dibasuh. ke qath’iyan dan ke zhanniyan tersebut disebabkan karena seluruh
ulama’ ber-ijma’ (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam
berwudhlu berdasarkan berbagai argumentasi. namun mereka berbeda pendapat
tentang arti dan kedudukan ba’ pada lafadz biru’usikum. dengan demikian,
kedudukan ayat tersebut menjadi qath’iy bi i’tibar wa zhanniy bi i’tibar akhar
(disuatu sisi qot’iy dan disisi lain zhanniy). di suatu sisi ia menunjuk kepada
makna yang pasti dan disisi lain ia memberi berbagai alternatif makna 10.

10
Quraissh syihab, Membumikan Al-Qur’an, (Mizan, Bandung), 1999, cet XIX, h 140

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, Al-Qur’an adalah


Kalamullah yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai pedoman
bagi ummat Islam yang di sampaikan melalui perantara Jibril melalui jalan
Mutawttir. Sedangkan Dalil adalah Dalil adalah suatu hal yang menunjuk pada
apa yang cari, berupa alasan, keterangan dan pendapat yang merujuk pada
perngertian, hukum dan hal – hal yang berkaitan dengan apa yang cari.

Adapun kehujjaha dalam Al – Quran adalah :

1. Kebenaran tentang Al-Qur’an


2. Kemukjizatan Al-Qur’an
3. Dasar-Dasar Al-Qur’an dalam Membuat Hukum.

Dan Macam – macam hokum dalam Al – Qur’an antara lain :

1. Hukum Itiqodiyah
2. Hukum Khuluqiyah
3. Hukum Amaliyah.

A. Saran

Demikianlah makalah ini penulis paparkan dan penulis merasa bahwa dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis berharap
kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk perbaikan makalah ini. Dam penulis berharap semoga isi makalah ini
bermanfaat bagi kita semua amin.

12
DAFTAR PUSTAKA

 http://semutponti.blogspot.com,
 https://smjsyariah89.wordpress.com
 Nasrun Haroen, ushul fiqih, (PT Lagos wacana ilmu, ciputat),
1997.
 Quraissh syihab, Membumikan Al-Qur’an, (Mizan, Bandung),
1999, cet XIX.
 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Al-Dar al-Kuwaytiyah,
Kuwait),1968, cet. VIII.

13

Anda mungkin juga menyukai