Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

ILMU TERNAK UNGGAS

PERKEMBANGAN INDUSTRI PERUNGGASAN DI


INDONESIA (INDUSTRI AYAM BROILLER, INDUSTRI
AYAM LAYER DAN INDUSTRI UNGGAS LOKAL)

OLEH :

NAMA : RISALDI
NIM : I011 19 1222
KELAS : B2 ILMU TERNAK UNGGAS
WAKTU : KAMIS, 18 MARET 2021
DOSEN : Ir. Daryatmo, S.Pt., M.P., IPM.

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan peternakan di Indonesia sangat pesat terutama pada

industriperunggasan. Industri Perunggasan sangat potensial untuk dikembangkan

mengingat tingginya permintaan bahan pangan sumber protein yang berasalkan

dari unggas, khususnya daging dan telur ayam. Rata-rata konsumsi nasional

daging ayam tahun 2016 sebesar 1.345.706 ton (Kementan, 2016).Kebutuhan

tersebut dapat dipenuhi dari industriperunggasan dalam negeri dengan populasi

ayam ras pedaging sebesar 1.592.669 ekor pada tahun 2016 (kementan, 2016).

Faktorpenting dalam usaha peternakan unggas yaitu sektor pembibitan, yang

meliputi bibit, manajemen dan pakan. Faktor manajemen dan bibit berpengaruh

sebanyak 30% sedangkan pakan mempengaruhi 70% keberhasilan pemeliharaan

unggas. Hal hal yang diperlukan dalam pemeliharaan ayam pembibitan yaitu

pemberian pakan dan kontrol bobot badan. Manajemen pemberian pakan meliputi

pakan yang sesuai dengan kebutuhan hidup dan produksi, Manajemen kontrol

bobot badan dan keseragaman (uniformity).

Industri unggas di Indonesia adalah sektor utama bagi perekonomian

nasional, yang memasok 65% protein hewani dan mempekerjakan 10% tenaga

kerja nasional. Meskipun produksi lokal berhasil memenuhi permintaan domestik,

potensi pertumbuhannya tetap tinggi di seluruh Indonesia dan secara konsisten

sesuai dengan ekspektasi kenaikan PDB per kapita. Hal ini menyebabkan pasar

menjadi sehat serta menarik dan membuat perusahaan asing baru masuk secara

berkala. Dalam sepuluh tahun terakhir, proses produksi telah berevolusi dan

dimodernisasi. Pasar didominasi oleh lima pemain utama—tiga perusahaan asing


yang beroperasi memproduksi pakan ternak dan dua perusahaan memproduksi

anak ayam umur sehari (DOC).

Industri perunggasan diIndonesia berkembang sesuai dengan kemajuan

perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi

usaha yang optimal, sehingga mampu bersaing dengan produk produk unggas luar

negeri. Produk unggas, yakni daging ayam dan telur, dapat menjadi lebih murah

sehingga dapat menjangkau lebih luas masyarakat di Indonesia. Pembangunan

industri perunggasan menghadapi tantangan yang cukup berat baik secara global

maupun lokal karena dinamika lingkungan strategis didalam negeri.Tantangan

global ini mencakup kesiapan daya saing produk perunggasan, utamanya bila

dikaitkan dengan lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan, yang

merupakan 60-70% dari biaya produksi karena sebagian besar masih sangat

tergantung dari impor.


TINJAUN PUSTAKA

Tinjauan Umum Ayam Broiler

Ayam pedaging adalah ayam jenis ras unggulan hasil persilangan dari

bangsa-bangsa ayam yang memiliki produktivitas tinggi, terutama

dalammemproduksi daging ayam. Ayam pedaging atau lebih dikenal dengan

sebutan ayam broiler ini telah banyak dikonsumsi dan dikembangkan karena

bernilai ekonomis dalam bentuk daging (Yuwanta, 2004).

Ayam pedaging atau broiler merupakan salah satu jenis ternak unggas

sebagai sumber protein hewani yang dimanfaatkan dagingnya. Permintaan daging

ayam broiler semakin meningkat, hal itu karena harga daging yang terjangkau dan

mudah dalam memperolehnya. Menurut BPS (2018), populasi ayam ras pedaging

menurut provinsi dari tahun 2009-2017 mengalami peningkatan. Ayam pedaging

atau broiler mempunyai laju pertumbuhan yang tinggi dan bergantung pada

komponen impor seperti pakan.

Ayam pedaging ini mempunyai tingkat pertumbuhan yang sangat cepatdan

waktu yang relatif pendek,yaitu pada umur 5-6 minggu berat badannya dapat

mencapai 1,3–1,8 kg (Cahyono,1995). Srigandono (1987), ayam pedaging adalah

ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk mencapai bobot sampai 2 kg dengan

daging yang bagus tanpa membedakan jantan dan betina.Ayam pedaging saat ini

lebih banyak dipelihara masyarakat karena mudah dalam pemeliharaannya dan

cepat dipanen apabila dibandingkan dengan ayam lainnya.

Tinjauan Umum Ayam Petelur

Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk

menghasilkan telur(Setyono dkk., 2013). Ayam ras petelur merupakan ayam


penghasil telur dengan produktivitas tinggi (Suci dan Hermana, 2012). Ayam

petelur memiliki ciri mudah terkejut, bentuk tubuh ramping, produksi telur tinggi,

serta tidak memiliki sifat mengeram (Suprijatna dkk., 2008). Ayam petelur yang

diternakkan diIndonesia merupakan ayam petelur yang menghasilkan telur

berkerabang coklat (Jahja, 2004).

Strain ayam petelur yang ada di Indonesia seperti Isa Brown, Lohmann,

Hyline, danRode Island Red (RIR). Strain ayam diciptakan agar memiliki

beberapa keunggulan, seperti kemampuan produktivitas tinggi, konversi pakan

rendah, kekebalan dan daya hidup tinggi, dan masa bertelur panjang (Sudarmono,

2003). Hyline merupakan salah satu strain ayam petelur dwiguna yang

berkembang dipasaran (Setyono dkk., 2013).

Berdasarkan fase pemeliharaannya, dibagi menjadi tiga fase yaitu fase

starter (umur 1 hari -6 minggu), fase grower (umur 6 -18 minggu), dan fase

layeratau bertelur (umur 18 minggu -afkir). Umur 28 minggu meupakan puncak

produksi telur ayam petelur (Ardana, 2009). Ayam IsaBrown memiliki beberapa

kelebihan dibandingkan ayam petelur lokal, diantaranya adalah tingginya

produktifitas telur yakni mencapai 409 butir pada setiap periode pemeliharaan,

dan berat telur rata-rata 62,9 gram (Joice dan Hill, 2015)

Tinjauan Umum Unggas Lokal

Ayam buras atau ayam kampung merupakan salah satu unggas lokal

yangumumnya dipelihara peternak di pedesaan. Ayam kampung dipelihara

sebagaipenghasil telur konsumsi, telur tetas dan daging. Pemeliharaan

ayamkampung,selaindapat diusahakan secara sambilan, mudah dipelihara dengan

teknologisederhana, dan sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan mendesak,


usaha peternakan ayam kampung mempunyaiprospek yang menjanjikan, baik

secaraekonomi maupun sosial, karena produknyaberupa daging dan telur

merupakan bahan pangan bergizi tinggi serta permintaannya cukup tinggi

(Bakrieet al.,2003).

Ayam kampung merupakan salah satu anggota dari ayam buras yang

sangat potensial di Indonesia. Ayam kampung dijumpai di semua propinsi dan di

berbagai macam iklim atau daerah. Umumnya ayam kampung banyak dipelihara

orang di daerah pedesaan yang dekat dengan sawah atau hutan. Pemeliharaannya

pun masih menggunakan cara tradisional. Sebenarnya ayam-ayam yang

diternakkan kini (Gallus domesticus) berasal dari ayam hutan (Gallus varius) di

Asia Tenggara. Jadi, ayam hutan merupakan nenek moyang ayam kampung yang

umum dipelihara.

Ayam kampung kemungkinan berasal dari pulau Jawa. Akan tetapi, saat

ini ayam hutan sudah tersebar sampai ke Pulau Nusa Tenggara (Rasyaf, 2006).

Sebagian besar ayam kampung yang terdapat di Indonesia mempunyai bentuk

tubuh yang kompak dengan pertumbuhan badan relatif bagus, pertumbuhan

bulunya sempurna dan variasi warnanya juga cukup banyak (Redaksi Agromedia,

2005). Wibowo (1996) menambahkan bahwa ragam warna ayam kampung mulai

dari hitam, putih, kekuningan, kecoklatan, merah tua, dan kombinasi dari warna-

warna itu.
PEMBAHASAN

Perkembangan Industri Ayam Broiller

Usaha perunggasan (ayam ras) di Indonesia telah menjadi sebuah industri

yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, dimana

perkembangan usaha ini memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan

pertanian. Industri perunggasan memiliki nilai strategis khususnya dalam

penyediaan protein hewani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan peluang

ekspor, disamping peranannya dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja.

Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 2 juta tenaga kerja yang dapat diserap oleh

industri perunggasan, disamping mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi 80

ribu peternak yang tersebar di seluruh Indonesia. Sumbangan produk domestik

bruto (PDB) sub sektor peternakan terhadap pertanian adalah sebesar 12% (atas

dasar harga berlaku), sedangkan untuk sektor pertanian terhadap PDB nasional

adalah 17% pada tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa peran sub sektor

peternakan terhadap pembangunan pertanian cukup signifikan, dimana industri

perunggasan merupakan pemicu utama perkembangan usaha di sub sektor

peternakan.

Industri perunggasan di Indonesia berkembang sesuai dengan kemajuan

perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi

usaha yang optimal, sehingga mampu bersaing dengan produk-produk unggas luar

negeri. Produk unggas, yakni daging ayam dan telur, dapat menjadi lebih murah

sehingga dapat menjangkau lebih luas masyarakat di Indonesia. Pembangunan

industri perunggasan menghadapi tantangan yang cukup berat baik secara global

maupun lokal karena dinamika lingkungan strategis di dalam negeri. Tantangan


global ini mencakup kesiapan daya saing produk perunggasan, utamanya bila

dikaitkan dengan lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan, yang

merupakan 60-70% dari biaya produksi karena sebagian besar masih sangat

tergantung dari impor.

Upaya meningkatkan daya saing produk perunggasan harus dilakukan

secara simultan dengan mewujudkan harmonisasi kebijakan yang bersifat lintas

departemen. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan faktor internal seperti

menerapkan efisiensi usaha, meningkatkan kualitas produk, menjamin kontinuitas

suplai dan sesuai dengan permintaan pasar. Terwujudnya industri perunggasan

yang berdayasaing dicirikan oleh ketidaktergantungan terhadap komponen bahan

baku impor dan terjadinya transformasi dari skala usaha yang subsisten ke skala

menengah maupun skala besar.

Populasi final stock ayam pedaging pada tahun 2004 mencapai 895 juta

ekor dengan wilayah terpadat di Jawa Barat (30%) dan Jawa Timur (15%).

Kapasitas produksi terpasang usaha pembibitan telah mencapai 30 - 36 juta d.o.c.

per minggu, namun saat ini hanya berproduksi sekitar 20 juta ekor d.o.c. Populasi

bibit induk (grand parent stock = GPS) ayam ras pedaging pada akhir tahun 2004

mencapai 300 ribu ekor, menurun sekitar 5% dibandingkan pada pertengahan

tahun 2004. Penurunan ini disebabkan oleh penambahan dari impor hanya sebesar

52%, sedangkan pengurangan karena culling (replacement) dan mati sebanyak

57%. Populasi bibit komersial (parent stock = PS) mencapai 10 juta ekor,

meningkat 8% dibandingkan pada pertengahan tahun 2004. Peningkatan ini

disebabkan penambahan produksi dalam negeri sebesar 25%, sedangkan

pengurangan karena culling dan mati sebesar 17%. Perkembangan impor


menunjukkan bahwa impor GPS ayam ras pedaging turun sebesar 25% pada akhir

tahun 2004, saat ini tidak terdapat impor PS.

Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa usaha peternakan ayam ras

pedaging banyak dilakukan dalam bentuk pola-pola kemitraan, meskipun ada juga

yang dilakukan secara mandiri. Beberapa pola kemitraan yang berlangsung adalah

pola kemitraan inti-plasma, poultry shop, contract farming, dan sewa kandang.

Naskah ini menyajikan analisis ekonomi usaha ayam ras pedaging secara mandiri,

pola kemitraan inti-plasma dan pola kemitraan dengan poultry shop pada skala

usaha 15.000 ekor. Masing-masing nilai B/C yang diperoleh secara berturut-turut

adalah 1,16; 1,28 dan 1,25. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ayam ras pedaging

cukup memberikan peluang usaha yang baik, sepanjang manajemen pemeliharaan

mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku.

Perkembangan pasar dan harga produk perunggasan untuk komoditas

ayam ras, baik pedaging maupun petelur sangat berfluktuatif tergantung dari

ketersediaan pasokan input dan output. Hal tersebut pada perunggasan ayam lokal

dan itik tidak terlalu berpengaruh. Pada akhir tahun 2004 situasi pasar komoditas

ayam ras cukup memberikan keuntungan yang relatif baik dibandingkan dengan

periode tahun 2003 akibat merebaknya wabah flu burung. Hal ini secara rinci

disajikan masing-masing pada Lampiran 16 untuk produk daging ayam ras dan

telur ayam ras di tingkat peternak. Kondisi harga daging ayam ras, telur ayam ras,

telur ayam lokal dan telur itik pada tahun 2002 di tingkat konsumen ternyata jauh

lebih tinggi dibandingkan pada akhir tahun 2004.

Komoditas unggas (lebih dari 90% adalah kontribusi dari ayam ras)

menduduki komoditas pertama untuk konsumsi daging di Indonesia yakni sebesar


56%. Meskipun demikian, sampai dengan akhir tahun 2004, konsumsi daging

ayam ras dan telur di Indonesia juga masih rendah dibandingkan dengan beberapa

negara ASEAN lainnya. Kenyataan bahwa telah terjadi pertambahan penduduk,

peningkatan pendapatan, urbanisasi, perubahan gaya hidup, serta peningkatan

kesadaran akan gizi seimbang dalam mencerdaskan kehidupan bangsa memicu

terjadinya lonjakan permintaan produk daging ayam dan telur setiap tahun.

Selama periode 1985-2003, konsumsi produk daging ayam dan telur meningkat

dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 5,31% dan 4,25% per tahun. Hal ini

menunjukkan bahwa peluang pasar dalam negeri untuk pengembangan industri

perunggasan masih cukup menjanjikan. Prospek pasar yang sangat baik ini

didukung oleh karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat

Indonesia yang sebagian besar muslim, harga relatif murah dengan akses yang

mudah diperoleh karena sudah merupakan barang publik.

Dari uraian di atas dapat disebutkan bahwa unggas memiliki prospek pasar

yang sangat baik dan merupakan pendorong utama penyediaan protein hewani

nasional. Dari segi potensi dan kebutuhan terhadap protein hewani, ayam ras

pedaging dan petelur memiliki prospek yang baik. Kemampuan ayam ras dalam

mengkonversi protein kasar dari pakan ke protein yang dapat dimakan (edible

protein) dalam bentuk daging adalah tertinggi dibandingkan dengan komoditas

lainnya, yakni sebesar 23%. Sementara itu prospek untuk mengembangkan

komoditas ayam dan itik lokal juga cukup baik, karena saat ini terdapat pangsa

pasar tersendiri yang sudah berkembang dengan baik. Prospek ini harus

dimanfaatkan untuk memberdayakan peternak di pedesaan melalui pemanfaatan

sumberdaya secara lebih optimal.


Perkembangan Industri Ayam Petelur

Populasi final stock ayam petelur pada tahun 2004 mencapai 80 juta ekor

dengan Jawa Timur (17%) dan Sumatera Utara (16%) sebagai wilayah terpadat.

Kapasitas produksi terpasang usaha budidaya dapat mencapai 3.500 ton telur per

hari, sedangkan produksi saat ini hanya mencapai 2.800 ton. Populasi GPS ayam

petelur pada akhir tahun 2004 mencapai 28 juta ekor atau menurun sebesar 16%

dibandingkan pada pertengahan tahun 2004, yang disebabkan karena penambahan

impor sebesar 19%, sedangkan pengurangan karena culling dan mati sebesar 35%.

Populasi PS ayam petelur mencapai satu juta ekor pada periode yang sama atau

menurun 5% dibandingkan pada pertengahan tahun 2004. Hal ini disebabkan

karena penambahan produksi dalam negeri yang hanya 5%, sedangkan

pengurangan karena culling dan mati sebesar 10%. Perkembangan impor

menunjukkan bahwa impor GPS ayam ras petelur mencapai 3.000 ekor atau turun

40% dibandingkan pada pertengahan tahun 2004. Hal yang sama seperti pada

ayam ras pedaging, saat ini tidak terdapat impor PS untuk ayam petelur.

Sehubungan Indonesia masih belum dinyatakan bebas penyakit Avian Influenza

(AI), maka ekspor d.o.c. maupun hatching egg diberhentikan sementara.

Usaha peternakan ayam petelur banyak dilakukan secara mandiri,

meskipun ada juga yang dilaksanakan melalui pola kemitraan dengan poultry

shop. Pada pemeliharaan pola mandiri ayam siap bertelur (pullet) lebih banyak

dipergunakan oleh peternak, dibandingkan dengan penggunaan d.o.c. seperti pada

pola kemitraan dengan poultry shop. Nilai B/C yang diperoleh dari hasil estimasi

pada skala usaha 10.000 ekor adalah 1,29 dan 1,13 masing-masing untuk usaha

mandiri dan pola kemitraan dengan poultry shop. Hal ini memberikan indikasi
bahwa usaha peternakan ayam ras petelur mempunyai keuntungan yang relatif

baik bagi para peternak.

Perkembangan Industri Unggas Lokal

Ayam lokal merupakan sumberdaya dalam negeri yang sudah beradaptasi

dengan lingkungan di perdesaan selama berabad-abad. Mengingat populasinya

yang cukup tinggi, maka secara nasional ayam lokal turut berperan sebagai

penyedia protein hewani bagi masyarakat. Ayam lokal dipelihara dengan sistem

tradisional dengan memanfaatkan sisa makanan dapur dan lainnya di sekitar

pekarangan. Hampir setiap rumah tangga petani di perdesaan memiliki ayam lokal

sebagai tabungan dan hanya mendapat perhatian sedikit dari pemiliknya. Petani

yang membutuhkan uang tunai, baik untuk keperluan anak sekolah maupun

kebutuhan yang mendesak lainnya, dengan mudah mendapatkannya dengan

menjual ayam lokal. Dengan sistem pemeliharaan tersebut, maka ayam lokal

sangat rentan terhadap serangan penyakit, khususnya penyakit tetelo (new castle

diseases) dan AI

Populasi ayam lokal pada akhir tahun 2004 mencapai 271 juta ekor dengan

Jawa Timur (13%) dan Jawa Tengah (12%) sebagai wilayah terpadat. Produksi

telur pada tahun 2004 mencapai 191 ribu ton dan produksi daging sebanyak 314

ribu ton. Usaha-usaha komersial sudah mulai berkembang di Jawa Timur, Jawa

Tengah dan Jawa Barat. Peningkatan populasi ayam juga akan mengakibatkan

melimpahnya hasil samping dari tindakan pemotongan yaitu berupa cakar ayam

dan jeroan. Hasil samping ini belum dimanfaatkan secara optimal. Melalui

teknologi yang sederhana, hal ini dapat menjadi peluang usaha untuk investasi di

bidang pengolahan industri pangan (keripik cakar dan jeroan).


Usaha beternak ayam lokal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

dalam kehidupan petani di perdesaan, sehingga jenis usaha ini pada umumnya

tidak diutamakan bagi perolehan keuntungan, namun hanya bersifat tabungan.

Estimasi perhitungan B/C pada skala usaha 1.000 ekor dilakukan dalam suatu

kelompok peternak di wilayah Jombang, Jawa Timur dengan nilai 1,04. Hal ini

dilakukan dengan pola semi intensif sebagai penghasil daging dengan rata-rata

berat karkas 0,8 kg

Ayam lokal mempunyai pangsa pasar tersendiri seperti Ayam Suharti,

Ayam Kalasan, Mbok Berek dll. yang hanya menggunakan ayam lokal, dengan

harga jual yang lebih mahal dibandingkan dengan produk dari ayam ras. Potensi

dan arah pengembangan ayam lokal ditujukan untuk (a) penyediaan daging dan

telur ayam berkualitas tertentu serta (b) resistensi terhadap pengendalian dan

pencegahan penyakit. Pembuatan vaksin yang mudah diaplikasikan oleh

masyarakat dengan harga murah perlu terus dilakukan dalam upaya menekan

angka kematian yang sangat tinggi.


PENUTUP

Kesimpulan

Pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas diarahkan untuk

menghasilkan pangan protein hewani sebagai salah satu upaya dalam

mempertahankan ketahanan pangan nasional, meningkatkan kemandirian usaha,

melestarikan dan memanfaatkan secara sinergis keanekaragaman sumberdaya

lokal untuk menjamin usaha peternakan yang berkelanjutan, dan mendorong serta

menciptakan produk yang berdayasaing dalam upaya meraih peluang ekspor.

Tujuan pengembangan agribisnis komoditas unggas adalah membangun

kecerdasan dan menciptakan kesehatan masyarakat seiring dengan bergesernya

permintaan terhadap produk yang aman dan berkualitas, meningkatkan

pendapatan peternak melalui peningkatan skala usaha yang optimal berdasarkan

sumberdaya yang ada, menciptakan lapangan kerja yang potensial dan tersebar

hampir di seluruh wilayah, dan meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan

devisa negara.

Sasaran pengembangan agribisnis komoditas unggas terbagi sesuai

pengembangan komoditas yang terdiri dari ayam ras, ayam lokal. Sasaran

pengembangan agribisnis komoditas ayam ras lebih ditujukan untuk

meningkatkan produktivitas dan produksi ayam pedaging dan petelur sehingga

produknya dapat lebih terjangkau oleh masyarakat luas dari sisi harga dan akses

perolehan, dan mengurangi ketergantungan bahan baku impor, utamanya untuk

komponen pakan. Sasaran pengembangan komoditas agribisnis ayam lokal adalah

menekan angka kematian melalui penyediaan obat hewan dan vaksin dalam

jumlah yang cukup dan terjangkau oleh masyarakat, meningkatkan substitusi


impor dan diversifikasi produk unggas, serta menciptakan produk organik

berdasarkan pangsa pasar tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

Davies. 1982. Growth and Energy In Nutrition and Growth Manual. The
Australian University International Development Programs: Australia.
Djulardi, A. Muis, H. Latif, S.A. 2006. Nutrisi Aneka Ternak Dan Satwa
Harapan.Andalas University Press: Padang.
Faqih, A. K. 2006. Tafsir Nurul Qur’an. Al-Huda: Jakarta. Hardjosubroto, W.
1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan.Grasindo:Jakarta.
Rasyaf, M. 2006. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya: Jakarta.
Rizal, Y. 2006. Ilmu Nutri Unggas. Andalas University Press: Padang.
Rukmana, R. 2003. Ayam Buras: Intensifikasi Dan Kiat Pengembangan.Kanisius:
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai