Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyimpangan terhadap oklusi normal disebut maloklusi. Maloklusi
merupakan suatu penyimpangan dalam pertumbuhan dentofasial yang dapat
memengaruhi secara fisik, sosial, dan psikologik pada suatu individu maupun
komunitas. Selama tiga dekade terakhir, kebutuhan perawatan ortodontik telah
meningkat pesat karena tingginya angka maloklusi dan kebutuhan estetik.1
Maloklusi Angle kelas II mempunyai presentasi 15% dalam populasi dunia
dan kebanyakan kasus yang ditemui adalah maloklusi Angle Klas II divisi 1. 2
Maloklusi ini kadang disertai dengan defisiensi mandibula, maksila protrusif,
maupun kombinasi keduanya. Lebih dari seabad, maloklusi ini telah dirawat
dengan menggunakan berbagai macam alat fungsional. Banyak penelitian yang
telah menunjukkan bahwa terdapat efek positif dari alat fungsional seperti
Aktivator, Bionator, Fränkel-2, Herbst, Twin block, dan R-appliance pada kasus
defisiensi mandibula.3
Kebiasaan buruk dapat menjadi penyebab suatu maloklusi. Suatu kebiasaan
buruk dengan intensitas yang terus menerus dapat menyebabkan maloklusi gigi.
Beberapa macam kebiasaan buruk pada anak-anak seperti menghisap ibu jari atau
jari tangan (thumb or finger sucking), mengisap bibir atau menggigit bibir (lip
sucking or lip biting), menjulurkan lidah (tongue thrust), bernafas melalui mulut
(mouth breathing), lidah diantara gigi (baik anterior maupun posterior) dapat
menyebabkan maloklusi yang signifikan. Penelitian yang telah dilakukan oleh
Lagana menyatakan bahwa prevalensi siswa sekolah di Albanese yang
mempunyai kebiasaan buruk dan membutuhkan perawatan ortodontik sebanyak
80.6% pada usia 7-15 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Cavalcanti juga
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan buruk dan maloklusi.1

1
Bionator merupakan salah satu alat fungsional yang dapat mengoreksi
diskrepansi yang terjadi pada dentoalveolar dan skeletal. Perubahan dentoalveolar
terjadi akibat retraksi dan uprigting insisivus maksila diikuti oleh proklinasi gigi
insisivus bawah. Selain untuk mengoreksi diskrepansi skeletal, peningkatan
panjang mandibula juga terjadi pada pasien yang menggunakan bionator.
Perubahan skeletal yang signifikan berpengaruh terhadap perubahan jaringan
lunak, terutama dimensi vertikal wajah dan posisi bibir.4
Oleh karena itu, bionator telah dipercayai untuk merawat kasus maloklusi
kelas II dengan tujuan untuk memperbaiki diskrepansi skeletal dan dentoalveolar,
melebarkan lengkung rahang, merangsang pertumbuhan mandibula serta
menghilangkan kebiasaan buruk sehingga didapatkan perbaikan oklusi dan profil
wajah seseorang yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan kehidupan sosial
dan kualitas hidupnya.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana penatalaksanaan perawatan ortodonti maloklusi kelas II divisi
1 dengan menggunakan alat fungsional bionator?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui
penatalaksanaan perawatan ortodonti pada pasien anak dengan kasus maloklusi
kelas II divisi I pada periode gigi bercampur menggunakan bionator.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari laporan kasus ini adalah untuk memberi pengetahuan yang
lebih kepada mahasiswa klinik mengenai perawatan yang benar dalam hal kasus
maloklusi kelas II divisi I pada periode gigi bercampur menggunakan bionator.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Maloklusi
Maloklusi dapat didefinisikan sebagai suatu ketidaksesuaian hubungan
rahang yang menyimpang dari normal. Maloklusi dapat menyebabkan tampilan
wajah yang buruk, resiko karies, penyakit periodontal, perubahan pada bicara,
mastikasi, dan disfungsi sendi temporomandibular.5
Klasifikasi maloklusi angle merupakan sistem klasifikasi pertama yang
diterima secara umum dan dipakai sampai sekarang. Angle berpendapat bahwa
oklusi normal merupakan hubungan gigi molar pertama rahang atas dan molar
pertama rahang bawah dengan puncak cusp mesiobukal gigi molar pertama
rahang atas terletak pada bukal groove gigi molar pertama rahang bawah. Angle
megklasifikasikan maloklusi kedalam tiga kelas utama yaitu kelas I, II, dan III.5
a. Maloklusi kelas I Angle (Neutroklusi) : Hubungan gigi molar pertama
normal dimana puncak cusp mesiobukal gigi molar pertama tetap rahang atas
berada pada buccal groove dari molar pertama tetap rahang bawah. (Gambar 1)

Gambar 1. Maloklusi Angle kelas I (Neutroclusion)5

Klasifikasi Angle dengan modifikasi Dewey membagi kelas I Angle ke


dalam lima tipe yaitu tipe 1 (gigi anterior maksila berjejal atau crowding

3
anterior), tipe 2 (gigi insisivus maksila yang protusif), tipe 3 (gigitan bersilang
anterior atau crossbite anterior) tipe 4 (gigitan bersilang posterior atau crossbite
posterior), tipe 5 (molar bergerak ke mesial atau mesial drifting) dan tipe 6 yaitu
tipe lain seperti open bite, deep bite dan diastema.5
b. Maloklusi Kelas II Angle (Distoklusi): dibagi menjadi dua divisi yaitu
divisi I (distoklusi dengan labioversion dari insisivus maksila) dimana gigi
anterior maksila protrusi dan oklusi gigi mandibula lebih ke distal dari oklusi
normal sehingga mencacat wajah. Sedangkan divisi II (Distoklusi dengan
linguoversion dari insisivus maksila) inklinasi gigi anterior maksila mengarah ke
lingual dan profil normal.5 (Gambar 2)

Gambar 2. Maloklusi Angle kelas II (divisi 1 dan divisi 2)5

Hubungan Angle Kelas III (Mesioklusi): kondisi dimana mandibula


berada lebih ke anterior daripada maksila. Cusp mesiobukal molar satu
rahang atas beroklusi pada ruang interdental diantara molar satu dan molar
dua rahang bawah dan terdapat gigitan silang atau gigitan terbalik atau
crossbite anterior pada relasi gigi anterior.5

4
Gambar 3. Maloklusi Angle kelas III (Mesioklusi)5

B. Maloklusi kelas II Divisi I


Maloklusi Angle kelas II divisi 1 mempunyai karakteristik diskrepansi
rahang. Profil wajah pasien cenderung cembung, inkompetensi pada bibir, gigi
maksila anterior yang protrusif dan mandibula yang lebih retrusif. Protrusi
anterior maksila adalah posisi, dimana gigi-gigi anterior rahang atas lebih ke
depan daripada gigi-gigi anterior rahang bawah dengan relasi molar kelas I.
Protrusi rahang bisa terjadi dalam arah vertikal dan anteroposterior. Protrusi
termasuk keluhan yang sering dijumpai pada pasien-pasien ortodonti dan keadaan
ini bisa menimbulkan gangguan pada penampilan seseorang.5 Defisiensi
mandibular merupakan ciri khas dari maloklusi ini yang dapat dikoreksi dengan
penggunaan alat fungsional selama masa tumbuh kembang dengan cara
memajukan mandibula sehingga profil pasien menjadi lebih baik. Posisi
mandibula yang dimajukan akan menyebabkan gigi, rahang dan TMJ beradaptasi
sehingga merangsang pertumbuhan mandibula menjadi lebih panjang pada daerah
kartilago kondilus serta peninggian tinggi wajah.2

C. Etiologi Protrusif
1. Faktor Tumbuh Kembang
Pada tipe skeletal dapat terjadi abnormalitas akibat adanya hubungan
yang tidak proporsional antar besar anteroposterior mandibula dan maksila
dan adanya retrusi gigi mandibula atau protrusi gigi maksila. Dapat juga
terjadi akibat defisiensi mandibula atau bentuk maksila yang terlalu ke
depan. Kelainan pola skeletal dapat juga disebabkan oleh faktor herediter

5
yaitu kromosom yang diturunkan dari ibu sejak dalam kandungan. Beberapa
penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pada pola skeletal, lebih sering
mengalami diskrepansi karena perbedaan rahang. Abnormalitas pada basis
kranium dapat menyebabkan ukuran mandibula lebih ke posterior dari
maksila dibandingkan perkembangan oklusi normal. Hal tersebut merupakan
penyebab terjadinya protrusif khususnya pada maloklusi kelas II divisi I
yang dapat mencacat wajah pasien.1

2. Faktor Kebiasaan Buruk


Kebiasaan buruk dengan intensitas yang terus menerus dapat
menyebabkan maloklusi. Maloklusi yang terjadi tergantung pada kebiasaan
buruk tersebut, misalnya kebiasaan buruk mengisap ibu jari akan
menghasilkan maloklusi yang berbeda dengan kebiasaan mengisap bibir
bawah. Ada beberapa macam kebiasaan buruk pada anak-anak, di
antaranya adalah mengisap ibu jari atau jari tangan (thumb or finger
sucking), mengisap bibir atau menggigit bibir (lip sucking or lip biting),
menjulurkan lidah (tongue thrust), bernafas melalui mulut (mouth
breathing), lidah diantara gigi (baik anterior maupun posterior) dapat
menyebabkan maloklusi yang signifikan.
Aktivitas mengisap jari dan bibir sangat berhubungan dengan otot-
otot sekitar rongga mulut. Kebiasaan ini sering ditemukan pada anak-anak
usia muda dan biasa dianggap normal pada masa bayi dan akan menjadi
abnormal jika berlanjut sampai masa akhir anak-anak. Kebiasaan mengisap
yang berkepanjangan akan menghasilkan maloklusi karena adanya tekanan
langsung dari jari dan perubahan pola bibir dan pipi sewaktu saat istirahat.
Tekanan dari otot bibir dan pipi ini dapat menyebabkan perubahan letak
insisivus dan terjadi pelebaran serta kemajuan rahang.
Akibat dari gigi protrusi yang disebabkan oleh kebiasaan buruk
menyebabkan anak secara psikologis merasa kurang percaya diri serta
membuat pertumbuhan gigi menjadi terhambat. Kestabilan dan posisi gigi
mempengaruhi keseimbangan otot-otot sekitarnya. Kekuatan dari otot-otot

6
orbikularis oris dan bukinator diseimbangkan oleh kekuatan yang
berlawanan dari lidah. Keseimbangan otot-otot daerah sekitar mulut
terganggu apabila pasien memiliki kebiasaan buruk seperti mengisap ibu
jari, menjulurkan lidah, mengisap bibir, dan bernafas melalui mulut. Akibat
yang ditimbulkan oleh kebiasaan buruk dapat menyebabkan anomali letak
gigi dan hubungan rahang, dapat mempengaruhi pertumbuhan normal dari
rahang, mengganggu pertumbuhan kranial, fisiologi oklusi sampai interaksi
sosial.1

D. Alat Fungsional
1. Definisi Alat Fungsional
Alat fungsional adalah salah satu cara untuk merawat maloklusi pada
usia dini yang mempunyai pengaruh pada mandibular dan maksila. Alat
fungsional merupakan pilihan yang dianjurkan karena memiliki banyak
keuntungan dalam perawatan maloklusi.
Alat fungsional merupakan metode yang telah dilakukan dalam merawat
diskrepansi rahang arah antero-posterior pada anak. Alat tersebut berperan
penting dalam mendapatkan profil wajah ideal dengan keseimbangan
sagital serta hubungan vertikal yang baik sejalan dengan perubahan
dentoalveolar yang signifikan. Perubahan tersebut menghasilkan
keseimbangan pada jaringan lunak wajah dan tulang kraniofasial yang
merupakan kesuksesan dalam perawatan ortodontik ini.4

2. Bionator
Bionator pertama kali dikembangkan oleh Wihelm Balter di German
pada tahun 1950 untuk meningkatkan kenyamanan pasien dan
memfasilitasi pemakaian sehari-hari agar alat berfungsi maksimal. Balter
berhasil mencapai tujuan bionator tersebut dengan cara mengasah bagian
plat akrilik dari alat bionator ini. Bionator mempunyai tiga tipe yaitu
Standard Bionator, Class III atau Reverse Bionator dan Open bite
Bionator. Standard Bionator digunakan untuk perawatan maloklusi kelas II

7
divisi I dengan protrusif maksila dan dental. Class III atau Reverse
Bionator digunakan pada kasus maloklusi kelas III yang disebabkan oleh
protrusif mandibular serta Open bite Bionator digunakan pada kasus open
bite.7 Komponen bionator terdiri dari labial bow atau labial arch, coffin,
dan dapat dilengkapi dengan sekrup ekspansi (gambar 4). Tujuan
perawatan dengan bionator ini adalah untuk memperbaiki pertumbuhan
mandibula ke anterior, memperbaiki hubungan rahang, posisi lidah, bibir
dan gigi geligi khususnya gigi insisif serta jaringan lunak disekitarnya,
menghilangkan kebiasaan buruk, memperbesar rongga mulut serta
mendapatkan bidang oklusal yang tepat.8

Gambar 4. Bionator yang dilengkapi dengan sekrup ekspansi.2

2.1 Indikasi dan kontraindikasi


Bionator telah dipercayai menghasilkan kemajuan yang signifikan
pada pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi dan skeletal. Bionator
bekerja untuk memajukan mandibular sehingga memperbaiki hubungan
rahang, mengokoreksi overbite, mengatur erupsi gigi dan memperbaiki
profil pasien.3,6 Indikasi penggunaan bionator yaitu maloklusi kelas II
divisi I pada periode gigi bercampur dengan maksila normal dan
mandibular retrusif. Lengkung gigi yang baik, kelainan skeletal yang
tidak terlalu parah dan gigi-gigi insisif atas tiping ke labial termasuk
dari indikasi penggunaan bionator. Sedangkan kontraindikasi
penggunaan bionator adalah maksila protrusif, terdapat pertumbuhan
kearah vertikal dan insisif bawah tiping ke labial.8

8
2.2 Mekanisme Kerja
Lidah merupakan bagian yang penting pada pemakaian bionator
karena lidah merupakan pusat aktifitas refleks dalam rongga mulut yang
dapat menjaga keseimbangan alami lengkung gigi. Prinsip dari bionator
menurut Balters adalah keseimbangan antara lidah dan seluruh otot dan
jaringan lunak yang dapat mempengaruhi lengkung rahang dan
intercuspation. Ruang fungsional untuk lidah penting untuk
perkembangan untuk sistem orofasial yang normal.9 Selain itu, Secara
mekanisme kerja dari bionator diharapkan terjadi peningkatan tinggi
wajah dengan erupsi nya gigi-geligi regio posterior pada usia
pertumbuhan. Perawatan dengan bionator dimulai dengan pembuatan
gigitan konstruksi atau construction bite. Gigitan konstruksi dibuat dari
lapisan malam yang dipanaskan dengan ketebalan 2-3mm berbentuk U
dengan panjang dan lebar yang disesuaikan dengan rahang pasien.
Untuk memperoleh gigitan maximal intercuspation, pasien
diinstruksikan untuk menggigit lapisan malam yang dilunakkan dengan
gigitan edge to edge sehingga oklusi molar menjadi kelas I. Gigitan
tersebut berfungsi untuk merangsang perkembangan rahang bawah
yang bermanifestasi dari remodeling tulang alveolus dan tulang lainnya
tempat perlekatan dari otot dan merangsang terjadinya penambahan
panjang kondil posterior dan superior dengan proses secara bertahap
yang disebut sebagai osifikasi endokondral sehingga membutuhkan
adaptasi dengan alat terutama dalam hal kenyamanan pasien.
Pola remodeling terjadi pada bagian ramus paling posterior, dan
resorpsi pada bagian anterior (Gambar 5). 10, 11

9
Gambar 5. Skema Remodelling Mandibula12

Sekrup ekspansi dan coffin yang terdapat pada bionator menyebabkan


perkembangan lengkung gigi dan berkontak dengan lidah. Lengkung
labial merangsang koreksi posisi gigi insisif atas sehingga terjadinya
penutupan bibir. Bionator juga menyebabkan gigi posterior bawah
bererupsi ke oklusal, dengan pengasahan akrilik bagian oklusal gigi-
gigi posterior serta menahan erupsi gigi anterior yang berakibat
terjadinya perbaikan relasi molar. Pergerakan mandibula ke anterior
berakibat reaksi jaringan lunak menahan pertumbuhan maksila ke
depan dan membantu koreksi maloklusi kelas II.2

Perawatan Maloklusi Kelas II divisi I dengan Alat Fungsional Bionator


Bionator telah dipercayai menghasilkan kemajuan yang signifikan pada
pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi dan skeletal dan telah dipakai sejak
seabad yang lalu untuk merawat maloklusi. Penggunaan bionator sesuai dengan
indikasi yaitu maloklusi kelas II divisi I pada periode gigi bercampur dengan
mandibular retrusif dan maksila normal, lengkung gigi yang baik, tidak terdapat
crowding, kelainan skeletal tidak terlalu parah serta terdapat gigi insisif protrusif,
cocok digunakan pada pasien khususnya pada penderita yang akan dibahas pada
laporan kasus ini. Bionator pada perawatan kelas II divisi I dengan mandibula

10
retrusif juga dapat menghilangkan kebiasaan buruk pasien, salah satunya adalah
mengisap bibir atau lip sucking. Pemakaian bionator sesuai instruksi dapat
mengurangi kebiasaan mengisap bibir pada pasien dalam masa pertumbuhan
namun kesuksesan perawatan maloklusi kelas II divisi I ini sangat membutuhkan
kerjasama dari pasien dan keluarga.2,3,8

11
BAB III
LAPORAN KASUS

Pasien bernama Khadafi Alam Pratama, dengan orang tua; ayah bernama
Hamdi Alamsyah, suku Jawa, pekerjaan sebagai kurir dan ibu bernama Yulistika,
suku Jawa, dan pekerjaan Ibu Rumah Tangga. Jenis kelamin pria, lahir 7 Oktober
2009, umur 9 tahun 8 bulan, belum menikah, beragama Islam, seorang pelajar
Sekolah Dasar dengan berat 26 kg dan tinggi badan 120 cm. Pasien memiliki
keinginan untuk merapikan gigi atasnya yang terlihat maju dan tidak rapi. Pasien
lahir normal, dan tidak menderita penyakit nasorespiratori, tonsillitis dan alergi.
Keluarga pasien tidak ada yang pernah dirawat ortodontik. Pasien memiliki
kebiasaan buruk yaitu sering menggigit bibirnya.
Hasil pemeriksaan ekstra oral tampak muka pasien mesofasial atau sedang,
simetris, seimbang, dan tidak terdapat deviasi pada mandibula. Profil pasien
konveks, maxilla protrusi dan mandibula tampak normal. Pasien tidak memiliki
kelainan sendi temporo mandibula. Bibir atas dan bawah normal dengan tonus
otot yang normal juga.
Berdasarkan hasil pemeriksaan intra oral, diketahui kebersihan gigi dan
mulut pasien buruk. Frenulum labii atas dan bawah sedang. Gingiva tampak
normal, berwarna merah muda. Bentuk dan aktivitas lidah normal. Posisi postural
dan posisi lidah pada waktu bicara normal. Palatum pasien sedang. Pada radiologi
sefalometri, terlihat kelenjar adenoid normal. Tonsil terlihat normal. Hubungan
rahang pasien ortognatik. Tidak ada bentuk dan ukuran gigi yang abnormal. Umur
dentalis pasien 11, 22, 32, 42.

12
Berikut adalah foto ekstra oral dan intra oral pasien sebelum dilakukan
perawatan ortodontik.

Gambar 6. Ekstra Oral Pasien

Gambar 7. Intra Oral Pasien

Tabel 1. Odontogram

D O D D M M M M D D D
UE UE P UE UE UE UE P P P UUE UE UE P UE UE

13
UE UE P UE UE UE P P P P UE P P P UE UE
D T D M M M M D M S D

Keterangan:
D : Gigi Susu X : Gigi Diekstraksi
P : Gigi Tetap O : Gigi Karies
UE : Gigi Belum Erupsi NV : Gigi Non-Vital
M : Gigi Tidak Ada SA : Sisa Akar
ST : Gigi Berlebih T : Tumpatan

Berdasarkan pemeriksaan fungsional diperoleh interocclusal clearance


sebesar ± 2 mm dan tidak memiliki occlusal interference. Dari analisis model
studi, didapatkan hubungan gigi (sagittal, transversal, vertikal) dan oklusi.
Diketahui bahwa hubungan molar kanan cusp to cusp dan molar kiri pasien kelas
II. Gigi insisivus dengan overjet 5 mm, dan overbite 1,25 mm. Midline rahang
atas tidak berhimpit, dengan midline rahang bawah, dimana rahang atas bergeser
ke kanan dan kiri 1 mm. Bentuk lengkung gigi rahang atas ovoid simetris dan
rahang bawah ovoid simetris.

14
Gambar 8. Model Studi

Tabel 2. Inklinasi Aksial Gigi-Gigi


Ukuran gigi-geligi (mm)
18 28
17 27
Normal 16 26 Normal
15 25
14 24
13 23
Disto Labio Torso Version 12 22 Normal
Disto Labio Torso Version 11 21 Mesio Labio Torso Version
Mesio Version 41 31 Normal
Normal 42 32 Normal
43 33
44 34
45 35
Normal 46 36 Normal
47 37
48 38

Pada hasil perhitungan analisis ruang (Tabel 3 dan Gambar 3) pada pasien
dengan periode gigi campur, didapatkan A.L.D rahang atas 2,8 mm dan A.L.D
rahang bawah 2,6 mm. Jarak I-APg yaitu 5 mm, dan hasil total arch length
discrepancy gabungan sebesar 0,6 mm. Berdasarkan hasil tersebut, maka
disimpulkan bahwa pada kasus ini tidak perlu dilakukan pencabutan, karena
T.A.L.D gabungannya lebih kecil dari 10 mm.

Tabel 3. Analisis ruang


Analisis Ruang Periode Gigi Campur
Rahang atas Kanan Kiri
Jarak 2-6 sesudah insisivus diperbaiki 23,5 mm 24,5 mm
Tabel Moyers 22,6 mm 22,6 mm
Arch Length Discrepancy Rahang atas 0,9 mm 1,9 mm

Rahang bawah Kanan Kiri

15
Jarak 2-6 sesudah insisivus diperbaiki 24 mm 23 mm
Tabel Moyers 22,2 mm 22,2 mm
Arch Length Discrepancy Rahang bawah 1,8 mm 0,8 mm

Total Arch Length Discrepancy:


A.L.D Rahang Atas : 2,8 mm
A.L.D Rahang Bawah : 2,6 mm
Jarak I-Apg : 5 mm
(4- (2)) x 2 : -2 mm
T.A.L.D Gabungan : 0,6 mm
Pencabutan : Tidak perlu

Untuk dapat menegakkan diagnosis, etiologi dan prognosis pasien ini,


dilakukan radiografi panoramik (Gambar 4). Analisis radiografi sefalometrik
(Gambar 5) dilakukan untuk menganalisis skeletal dan dento-skeletal pasien. Dari
analisis sefalometrik (Tabel 4), diketahui bahwa skeletal pasien yaitu kelas 1.
Sementara itu, gambaran panoramik pasien menunjukkan benih gigi tetap terlihat
normal.
Gambar 9. Radiografi Panoramik

16
Gambar 10. 10a. Radiografi Sefalometri 10b. Analisis Radiografi Sefalometri

Tabel 4. Analisis Skeletal


ANALISIS SKELETAL
Rerata S Penderita Cd Kesimpulan
d
Sudut SNA 82° 2 80° 1 Kedudukan maksila terhadap basis cranii
retrusif ringan
Sudut SNB 80° 2 77° 2 Kedudukan mandibula terhadap basis cranii
retrusif sedang
Sudut fasial 87° 3 85° 1 Kedudukan menton terhadap profil retrusif
ringan
Sudut FM 26° 3 23° - Tipe wajah : mesofasial
Jarak A-NPg 4 mm 1 2 mm 2 Kedudukan maksila terhadap profil retrusif
sedang
ANALISIS DENTO-SKELETAL
Jarak I-APg 4 mm 2 5 mm 1 Kedudukan insisif bawah protrusif ringan
Sudut I-APg 25° 2 33° 3 Kedudukan insisif bawah proklinasi berat
SNA-SNB 4 Skeletal kelas I

Rencana perawatan pada pasien ini untuk rahang atas dan rahang bawah
adalah observasi gigitan intermaksilla dengan menggunakan bionator.
Pemasangan piranti ortodonti lepasan dilakukan pada tanggal 17 november
2018. Pada kunjungan berikutnya yaitu pada tanggal 21 november 2018 dilakukan
aktivasi I, kemudian dilanjutkan hingga aktivasi ke-20 pada tanggal 29 mei 2019.

17
Gambar 10. Gambar Piranti Bionator

Tabel 5. Tahapan perawatan ortodonti


Tanggal Tindakan
17/11/2018 Pemasangan Piranti
21/11/2018 Aktivasi ke-1: Observasi bionator
28/11/2018 Aktivasi ke-2: Ekspansi bilateral 1 putaran
12/12/2018 Aktivasi ke-3: Ekspansi bilateral 1 putaran
19/12/2018 Aktivasi ke-4: Ekspansi bilateral 1 putaran
4/1/2019 Aktivasi ke-5: Ekspansi bilateral 1 putaran
9/1/2019 Aktivasi ke-6: Ekspansi bilateral 1 putaran
16/1/2019 Aktivasi ke-7: Ekspansi bilateral 1 putaran
30/1/2019 Aktivasi ke -8 : Ekspansi bilateral 1 putaran
13/2/2019 Aktivasi ke -9 : Ekspansi bilateral 1 putaran
Aktivasi ke- 10 : Pengasahan plat gigi 44,45,46,36, dan
27/2/2019 observasi RA
6/3/2019 Aktivasi ke-11: Ekspansi bilateral 1 putaran
20/3/2019 Aktivasi ke-12: Ekspansi bilateral 1 putaran
26/3/2019 Aktivasi ke-13: Ekspansi bilateral 1 putaran

2/4/2019 Aktivasi ke-14: Ekspansi bilateral 1 putaran

18
Aktivasi ke-15: Pengasahan plat gigi 43, dan observasi
10/4/2019 RA

18/4/2019 Aktivasi ke-16: Ekspansi bilateral 1 putaran

24/4/2019 Aktivasi ke-17: Ekspansi bilateral 1 putaran


3/5/2019 Aktivasi ke-18: Ekspansi bilateral 1 putaran
Aktivasi ke-19: Ekspansi bilateral 1 putaran, dan
15/5/2019 pengasahan plat RA RB
29/5/2019 Aktivasi ke-20 : Ekspansi bilateral 1 putaran

Berikut adalah foto ekstra oral dan intra oral pasien setelah dilakukan perawatan
ortodontik.

Gambar 11. Ekstra Oral Pasien

19
Gambar 12. Intra Oral Pasien

20
BAB IV
PEMBAHASAN

Laporan kasus ini membahas penatalaksanaan kasus maloklusi kelas II


divisi I disertai kebiasaan buruk yang ada pada seorang anak laki-laki berusia 9
tahun yang datang ke RSGM Universitas Trisakti dengan keluhan gigi geligi
atasnya terlihat maju dan tidak rapi. Untuk menegakkan diagnosis, maka
dilakukan anamnesis, pemeriksaan klinis berupa pemeriksaan ekstra oral dan intra
oral, analisis model studi dan analisis ruang, serta analisis radiografi sefalometrik
dan panoramik.
Berdasarkan hasil anamnesis, diketahui bahwa pasien memiliki kebiasaan
buruk. Pada pemeriksaan ekstra oral tampak muka pasien mesofasial atau sedang,
tidak simetris, tidak seimbang, dan tidak terdapat deviasi pada mandibular. Profil
pasien tampak konveks, maksila retrusif dan mandibular tampak retrusif sedang.
Tidak ada kelainan temporomandibular. Bibir atas dan bawah pasien normal
dengan tonus yang normal.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiografi, maka dapat
ditegakkan diagnosa skeletal kelas 1 dan maloklusi kelas II divisi 1. Didapatkan
skeletal kelas 1 karena pada analisis sefalometri sudut ANB pada pasien ini adalah
4˚ dan maloklusi kelas II divisi 1 dimana gigi anterior maksila protrusi dan oklusi
gigi mandibula lebih ke distal dari oklusi normal sehingga mencacat wajah.
Analisis ruang pada periode gigi bercampur bertujuan untuk mengetahui
apakah tersedia ruangan yang cukup bagi gigi geligi yang berada dalam lengkung
rahang. Analisis ruang pada kasus ini dilakukan dengan menggunakan tabel
Moyers dan ditemukan A.L.D rahang atas sebesar 2,8 mm, sedangkan A.L.D
rahang bawah adalah 2,6 mm. Berdasarkan analisis ruang tersebut, selanjutnya
dilakukan pengukuran total arch length discrepancy (T.A.L.D) untuk menilai

21
perlunya tindakan pencabutan untuk mendapatkan ruang yang cukup. Pada pasien
ini, didapatkan T.A.L.D gabungan sebesar 0,6 mm , yang berarti tidak diperlukan
pencabutan gigi untuk mendapatkan ruangan.
Pada kasus ini, berdasarkan analisis sefalometrik, diketahui bahwa
kedudukan maksila pasien retrusif ringan dan mandibular pasien terhadap basis
profil retrusif sedang.
Dalam kasus perkembangan fisiologis normal, overjet dan overbite
sebanyak 2 mm sedangkan pada pasien ini memiliki overjet 6,5 mm dan overbite
3 mm. Terjadinya protrusif pada anterior maksila pasien diperkirakan karena
faktor kebiasaan buruk yaitu menghisap bibir. Berdasarkan anamnesis, Ibu dari
pasien juga mengakui bahwa kebiasaan buruk tersebut telah berlangsung sejak
kecil. Selain itu, retrognati mandibula menyebabkan penampilan tidak estetis dan
tidak percaya diri. Usia pasien yang masih 9 tahun memungkinkan terjadinya
modifikasi pertumbuhan mandibula karena masih dalam fase tumbuh kembang.
Pasien yang sangat kooperatif juga turut meningkatkan prognosis hasil perawatan.
Salah satu alat fungsional yang mampu mengarahkan mandibula ke arah anterior
adalah Bionator. Pada kasus ini, pasien menggunakan California Bionator yang
tidak menggunakan buccinator loop. Kerja bionator untuk mencapai koreksi
skeletal dan dentoalveolar yang ada, diharapkan terjadi peningkatan tinggi wajah
dengan erupsinya gigi-geligi di regio posterior. Defisiensi lengkung rahang bawah
dapat dikoreksi dengan menggunakan jenis modifikasi bionator dengan sekrup
ekspansi (California Bionator).8
Perawatan dimulai dengan pembuatan gigitan konstruksi untuk bionator.
Gigitan konstruksi dibuat dari lapisan malam yang dipanaskan dengan ketebalan
2-3mm berbentuk U dengan panjang dan lebar yang disesuaikan dengan rahang
pasien. Untuk memperoleh gigitan maximal intercuspation, pasien diinstruksikan
untuk menggigit lapisan malam yang dilunakkan dengan gigitan edge to edge
sehingga oklusi molar menjadi kelas I. Gigitan tersebut berfungsi untuk
perkembangan rahang bawah secara bertahap sehingga membutuhkan adaptasi
dengan alat terutama dalam hal kenyamanan pasien.9

22
Dalam menjalankan perawatan, pasien kooperatif pada awal dimulainya
perawatan karena menggunakan bionator sesuai instruksi, dan rutin datang ke
RSGM Usakti untuk melakukan aktivasi. Instruksi yang diberikan setelah
dilakukan insersi bionator kepada pasien yaitu bionator dipakai selama
beraktivitas 24 jam kecuali pada saat makan dan minum, dan saat menyikat gigi
atau membersihkan alat. Selain itu, alat dirawat dengan baik dan tidak pernah
hilang oleh pasien. Hasil dari pemeriksaan yang didukung dengan analisa klinis
dan model studi serta adanya faktor tumbuh kembang menunjukkan bahwa
bionator berhasil menuntun rahang bawah untuk bergerak ke anterior dan
memperlebar lengkung rahang. Hal tersebut terjadi karena lidah secara konstan
dipandu oleh maxillary guide wire sehingga membantu membawa rahang ke
posisi yang benar. Bionator juga membantu menghilangkan kebiasaan buruk
pasien seperti menghisap bibir karena desain bionator yang menggabungkan
rahang atas dan bawah mampu menahan otot labial untuk tidak mudah tergigit dan
menahan keinginan pasien untuk menghisap bibir.13
Hasil perawatan yang telah berlangsung selama tujuh bulan dengan 20 kali
aktivasi bionator menunjukkan berbagai perubahan yang cukup signifikan.
Selama kontrol, sekrup ekspansi rahang bawah diaktifkan secara berkala sebesar 1
x putaran setiap minggu yang bertujuan untuk koreksi oklusi sekaligus pencarian
ruang untuk koreksi malposisi gigi individual. Plat oklusal posterior juga diasah
secara bertahap dengan tujuan merangsang ekstruksi gigi posterior rahang atas
agar berkontak dengan gigi bawah dengan gigitan molar yang benar, sehingga
didapat gigitan molar yang stabil dan pertumbuhan rahang yang baik. Pengasahan
plat dilakukan pada gigi 43,44,45,46,36 pada oklusal posterior bawah dan pada
akhir perawatan dilakukan pembebasan oklusi gigi-geligi posterior RA RB yang
merangsang perbaikan oklusi.
Keberhasilan terapi menggunakan bionator ditandai oleh beberapa indikator
seperti perubahan hubungan molar menjadi kelas I, penurunan overjet dan
overbite menjadi normal 2 mm serta perbaikan profil wajah pasien. Perawatan
pada pasien ini menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, ditandai dengan
terjadinya perubahan relasi molar sisi kiri dan kanan yang menjadi cups to cups

23
dimana posisi ini merupakan transisi antara kelas I dan kelas II dan memiliki
tingkat keparahan yang lebih rendah dibandingkan dengan relasi molar kelas II.14
Selain itu, pada kasus ini terjadi perubahan overjet dan overbite dimana
overjet pada gigi anterior pasien sebelumnya sebesar 6,5 mm, pada akhir
perawatan menjadi 5 mm dan overbite sebelumnya sebesar 3 mm, pada akhir
perawatan menjadi 2,5 mm. Skrup ekspansi untuk protraksi anterior bawah juga
menyebabkan perubahan pada rahang pasien yang berfungsi untuk mengurangi
overjet sebanyak 1,5 mm dan terjadi pengurangan overbite sebanyak 0,5 mm pada
pasien ini. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bolmgren dan Moshiri bahwa
efek penggunaan bionator adalah terjadinya retraksi gigi insisif atas.8 Saat
pergerakan intrusi gigi, secara biomekanik gaya harus melewati centre of
resistance sehingga gerakan translasi dapat terjadi tanpa adanya tipping. Semakin
jauh titik gaya yang diaplikasikan dari centre of resistance, maka dapat
menyebabkan momen rotasi yang semakin besar, sehingga flaring gigi insisivus
lebih mungkin terjadi, khususnya pada kelas II divisi 1.15
Dalam jangka waktu kurang dari satu tahun yaitu 7 bulan, terlihat
terdapatnya refleks memajukan rahangnya ke depan pada saat pasien tidak
menggunakan alat yang memicu perkembangan kondil dan rahang bawah yang
lebih baik akibat otot-otot wajah, otot-otot rongga mulut, dan lidah sudah terbiasa
memposisikan rahangnya ke arah yang benar.
Kebiasaan buruk yaitu menghisap bibir juga sudah tidak terlihat pada
kebiasaan sehari-hari pasien. Perubahan hubungan gigi-gigi insisif dan
pertumbuhan mandibula kearah inferior dan anterior mempengaruhi profil pasien
sehingga profil pasien terlihat lebih tinggi pada wajah bagian bawah.
Pada perawatan ortodontik, anamnesis dan pemeriksaan klinis serta
radiografi memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosis serta rencana
perawatan yang tepat. Selain itu, pada perawatan ortodontik dengan alat
fungsional pada periode gigi bercampur perlu dilakukan komunikasi, instruksi,
dan edukasi kepada orang tua pasien serta pasien itu sendiri sehingga hasil
perawatan yang tercapai dengan optimal.

24
BAB V
KESIMPULAN

Pada penatalaksanaan maloklusi kelas II divisi 1 disertai kebiasaan buruk


menggunakan bionator ini terdapat kemajuan perawatan berdasarkan indikator
keberhasilan terapi menggunakan bionator namun masih perlu perawatan yang
lebih lanjut untuk memperbaiki gigitan molar sehingga didapatkan relasi molar
kelas I yang ideal.
Pada hasil perawatan kasus ini tampak terjadi pengurangan proklinasi gigi
anterior maksila dan pengurangan overjet sebanyak 1,5 mm dan overbite 0,5 mm.
Selain itu bionator menuntun rahang bawah untuk bergerak ke anterior sehingga
membantu mengoreksi rahang ke posisi yang benar. Bionator juga membantu
menghilangkan kebiasaan buruk pada pasien yaitu menghisap bibir dan terjadinya
refleks memajukan rahangnya ke depan pada saat pasien tidak menggunakan alat
yang memicu perkembangan kondil dan rahang bawah yang lebih baik.
Setelah 20 kali aktivasi, relasi molar sudah berubah menjadi cups to cups
yang menandakan telah terjadinya perbaikan relasi molar dan tingkat keparahan
yang lebih rendah dibandingkan dengan relasi molar kelas II pada molar bagian
kiri dan kanan, namun oklusi kelas I yang ideal masih belum tercapai. Sikap
pasien yang kooperatif dari pasien dan ibu pasien dalam menggunakan alat dan
datang untuk kontrol ke RSGM FKG Usakti mendukung keberhasilan dalam
perawatan ini.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Giugliano, Davide D, Fabrizia J, Abdolreza P, Letizia. Relationship between


Malocclusion and Oral Habits. Current Research in Dentistry. 2015;5(2);17-
21.
2. Irawan R, Suparwitri S, Hardjono S. Perawatan Maloklusi Angle Klas II
Divisi 1 Menggunakan Bionator Myofungsional. Maj Ked Gi. 2014;
21(1):97-101.
3. Pakshir H, Mokhtar A, Darnahal A, Kamali Z, Behesti, M, Jamilian, A.
Effect of Bionator and Farmand Appliance on the Treatment of Mandibular
Deficiency in Prepubertal Stage. Turkish Journal of Orthodontics.
2017;30(7);15-20.
4. Arshad A, Alam M. Clinical Update of Bionator in Class II Cases. Int Med J.
2017;24(1):71-74.
5. Neil T, Robert N. Essentials of Orthodontics: Diagnosis and Treatment.
Oxford, UK:  Blackwell Publishing, Ltd; 2011. Ebook available from:
www.wiley.com/ wiley-blackwell. 
6. Navarrete I, Jiménez, A. Functional maxillary orthopedics in early treatment
of class II malocclusions due to mandibular retrusion: Case report. Revista
Mexicana de Ortodoncia. 2017;5(3):e165-e169.
7. Phulari B. History of Orthodontics. India: Jaypee Brothers Medical Ltd;
2013. Ebook Available from: www.jaypeedigital.com
8. Zen Y, Hoesin F. Perawatan Maloklusi Kelas II divisi 1 Dengan Mandibula
Retruded Menggunakan Bionator (Laporan Kasus). Jurnal Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia. 2003;10:867-872.
9. Kaur S, Singh R, Garg V, dkk. Role of activator and bionator in class II
malocclusion correction: A review. Canada: Annals of Geriatric Education
and Medical Sciences. 2017 Jul-Dec; 4(2): 41-44
10. Neto A,Yukio, Saga A, Tanaka O. Therapeutic approach to Class II,
Division 1 malocclusion with maxillary functional orthopedics. Dent J Ort.
2015:20(4):99-125.

26
11. Fleming P, Lee Robert. Orthodontic functional appliances: theory and
practice. UK: Wiley Blackwell. 2016, pg.1-2
12. Kusnoto J, Nasution FH, Gunadi HA. Buku ajar ortodonti. Ed ke-1. Jakarta:
EGC; 2016. Hlm 2, 129-141.
13. Kurniawati S, Bunga A. Efek Dentoskeletal Pada Maloklusi Kelas II Divisi I
Dengan Bionator dan Alat Ortodonti Lepasan: Laporan Kasus. Odonto Dent
J. 2019;6(1).
14. Singh G. Textbook of Orthodontics. India: Jaypee Brothers Medical Ltd;
2007. Ebook Available from: www.jaypeedigital.com
15. Daokar S, Agrawal G. Deep Bite Its Etiology, Diagnosis and Management: A
Review. J Orthod Endod. 2016:2;(4).

27

Anda mungkin juga menyukai