Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TENTANG

KAIDAH FIQHIYAH YANG KAIDAHNNYA ADA 5


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : H. Kholil Nawawi, S.Ag., M.Ag

Disusun Oleh :
 Mubayyin Al Alawi
 Muhamad Didin Sholahudin
 Nafi Maula Ibnu Umar
 Ahmad Dzikri Muharrom

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PRODI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
UNIVERSITAS IBN KHALDUN
BOGOR 2020
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bisa dikatakan Qawaid Fiqhiyyah merupakan bukti kemajuan keilmuan Fiqih Islam,
dimana para ulama telah membuat suatu bentuk penyederhanaan dalam cabang-cabang ilmu
fiqih ke dalam beberapa kaedah dengan bahasa yang simpel, mudah dihafal dan bisa
diterapkan sepanjang masa. Perkembangan tersebut membuat majunya logika berpikir para
ulama.
Ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah salah satu cabang ilmu didalam ilmu fiqih. Cikal
Bakal Qawaid Fiqhiyyah sebenarnya sudah tertulis dalam Al-Quran ataupun Sunnah.
Namun, belum tersusun dengan rapih dan sistematis. Barulah ketika abad ke-4 hijriyyah Ilmu
Qowaid Fiqiyah berkembang dengan pesat. Sehingga pada perjalanan waktu sekitar abad ke
7 Hijiriah sampai abad ke 10 Hijriah banyak ulama yang menuliskan ilmu ini ke dalam
sebuah kitab.
Oleh sebab itu, dengan mempelajari Qawaid Fiqiyah banyak manfaat yang bisa diambil.
Salah satunya yakni dapat mempermudah dalam memahami ilmu fiqih dan melafalkannya.
Seperti satu cara mempermudah dalam menghafal pelajaran adalah membuat ringkasannya
ketika akan menghadapi ujian.
2. Rumusan Masalah
1. Apa itu Qawaid Fiqiyah?
2. Bagaimana Kaidah-kaidah Pokok Qawaid Fiqiyah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qawaid Fiqiyah


Kata Qawaid “kaidah‟ secara kebahasaan berarti asal atau asas ‘al-asl wa al-asas.
Adapun secara istilah, menurut Al Jurjani kaidah adalah “Kaidah adalah proposisi
universal yang sesuai bagi partikular di bawahnya”
Nomenklatur Qawaid Fiqhiyah terbagi atas dua suku kata, yaitu qawaid dan fiqhiyah.
Al-Nadwi mengutip dalam Dictionary of Modern Written Arabic, karya Milton Cowan
(ed) Kata qawaid merupakan bentuk plural ‘jama’ dari kata qaidah, dalam istilah bahasa
Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang secara literal berarti :asas, landasan, dasar,
basis atau fondasi suatu bangunan atau ajaran agama dan sebagainya. Dalam pengertian
yang lebih khas, qaidah dapat juga bermakna ajaran, garis panduan, formula, pola atau
metode. Qaidah memiliki makna yang sama dengan asas atau prinsip yang mendasari
suatu bangunan, agama atau yang semisalnya.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : ”Hukum
yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”. Sedangkan arti
fikih secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sedangkan menurut istilah, Fikih adalah
ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah yang diambilkan
dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Kaidah berbeda-beda sesuai ilmu yang
membentuknya, misalnya kaidah kebahasaan seperti nahw dan saraf. Dalam hal ini, Abd
al-Karim Zaydan mengutip definisi Ibn Nujaym berikut untuk menjelaskan hakikat
qaidah fiqhiyah : “Dalam terminologi fuqaha, qaidah fiqhiyah adalah ketentuan umum
yang mencakup seluruh atau kebanyakan partikular di bawahnya sehingga hukum
diketahui darinya”. Kaidah fikih adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat kemashalatan
dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut.
Menurut Bani Ahmad Salbani kaidah fikih adalah pedoman umum dan universal bagi
pelaksanaan hukum Islam yang mencakup seluruh bagiannya. Qawaid Fiqhiyah adalah
sebagaimana yang telah dikutip oleh Asymuni A. Rahman dari Tajjudin as-Subki, yaitu
suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang banyak dari padanya diketahui
hukum-hukum juziyat. Menurut Musthafa alZarqa yang dikutip oleh Abd. Rahman
Dahlan, Qowaid Fiqhyah ialah dasar-dasar fikih yang bersifat umum dan bersifat ringkas
berbentuk undang- undangyang berisi hukum-hukum syara yang umum terhadap
berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa
Qawaid fiqhiyah adalah ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu”.
Ilmu Qawaid al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu ilmu yang sangat
dibutuhkan bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia Islam terutama bagi
penentu kebijakan-kebijakan hukum apalagi yang kurang mengerti bahkan ada yang
belum mengerti sama sekali apa itu Qawaid al-Fiqhiyah. Dengan menguasai kaidah-
kaidah fikih akan mengetahui benang merah yang terdapat di berjuta masalah fiqh
melalui istimbath hukum, karena kaidah fikih itu memang menjadi titik temu dari
masalah-masalah fikih. Penguasaan terhadapnya juga menjadikan kita lebih arif di dalam
menentukan dan menerapkan fikih dalam keadaan, waktu dan tempat yang berbeda untuk
kasus, adat kebiasaan dan berbagai masalah yang muncul. Selain itu juga Qawaid al-
Fiqhiyah akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat agar tercapai tujuan dibentuknya al-Syari‟ah
yaitu kemaslahatan umat.
Qawaid al-Fiqhiyah juga bisa dijadikan landasan aktifitas umat Islam sehari-hari dalam
usaha memahami maksud-maksud ajaran Islam Maqashid al-Syari’ah secara lebih
menyeluruh, keberadaan Qawa’id al-Fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting,
termasuk dalam kehidupan berekonomi, bersosial, beragama dan berbudaya. Baik di mata
para ahli usul maupun fuqaha, pemahaman terhadap Qawa’id al-Fiqhiyyah adalah mutlak
diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaharuan pemikiran dalam berbagai
masalah.
Manfaat keberadaan Qawa’id al-Fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan
yang lebih praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits.
Kemunculan Qawaid alFiqhiyah sudah ada sejak kemunculan agama Islam hingga
bermulanya zaman imam-imam mujtahid yaitu hingga akhir kurun abad ketiga dan inilah
yang disebut dengan fase pembentukan. Walaupun pada masa ini mereka tidak
menamakannya sebagai kaidah namun telah dapat dilihat berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh ulama terhadap beberapa ayat Al-Qur’an. Dimana masa pertumbuhan dan
pembentukan Qawaid alFiqhiyah berlangsung selama tiga abad lebih dimuali dari zaman
kerasulan hingga abad ke-3 Hijriah.
Benih-benih kaidah fikih pada melalui nash-nash Al-Qur’an yang terkandung didalamnya
asas dan dasar ilmu kaidah fikih. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjadi petunjuk kepada
ilmu ini, diantaranya ayat 29 Surah al-Nisa' dan ayat 38 Surah al-Syura. Dasar ilmu
kaidah fikih juga dapat dipahami melalui ucapan Nabi Saw yang bersifat “Jawami‘ al-
Kalim” yaitu ucapan beliau yang ringkas, padat dan mempunyai makna yang dalam. Di
samping itu juga, ia menjadi dasar kepada kaidah pokok “Qawaid al-Kulliyah‟ yang
terangkum di dalamnya hukum untuk berbagai perkara dan macam-macam masalah
furu’.
Para sahabat juga berjasa dalam ilmu kaidah fikih, mereka turut serta dalam
pembentukan kaidah fikih. Para sahabat dapat membentuk kaidah fikih karena dua
keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah Saw dan mereka mengetahui situasi
dan kondisi turunnya wahyu. Setelah fase sahabat munculah zaman Tabi’in dan Tabi
tabi’in, diantara ulama yang mengembangkan kaidah fikih pada generasi tabi’in yakni
Abu Yusuf Ya‟kub ibn Ibrahim Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah
yang disusun salah satunya adalah : ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki
ahli waris diserahkan ke Bait al-Mal” Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta
pusaka Bait al-Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima
harta peninggalan tirkah atau mauruts‟, apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli
waris.
Al-Nadwi menyatakan dalam bukunya al-Qawaid al Fiqhiyyah, ulama fikih pertama
yang mencetuskan fenomena ini ialah Abu Yusuf serta beberapa ulama yang sezaman
dengannya seperti
Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan lain-lain. Awal mula Qawaid alFiqhiyah menjadi
disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H. Hal ini terjadi ketika
kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu
fikih mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap
terkotakkotaknya fikih dalam madzhab. Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama
semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama
mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum
furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemerawutan. Mustafa Syalaby menukilkan
bahwa penyusunan kaidah fikih yang pertama telah dirintis oleh Abu Tahir al-Dabbas
melalui risalahnya yang berjudul Ta’sis alNazar, Abu Hasan al-Karkhi dalam bukunya
yang berjudul Ushul al-Karkhi, Imam al Khusyni dengan karyanya Ushul al-Fataya, Abi
Laits al-Samarqandi dengan karyanya Ta’sis al-Nadhri.
Pada abad ke-7 H Qawaid al-Fiqhiyah mengalami perkembangan yang sangat
signifikan. Di antara ulama yang menulis kitab Qawaid pada abad ini adalah Muhammad
bin Ibrahim al-Jurjani al-Sahlaki dengan judul al-Qawaid fi Furu’i al- Syafi’iyah, al-
Imam Izzudin Abd al-Salam menulis kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam,
Muhammad bin Abdullah bin Rasyid al-Bakri al-Qafshi menulis alMadzhab fi Qawaid
al-Madzhab. Pada abad ke-8 H, Qawaid al-Fiqhiyah mengalami masa keemasan, ditandai
dengan banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah.
Perkembangan ini terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama
sebelumnya, khususnya di kalangan ulama
Syafi‟iyah. Abad ke-10 H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fikih, yaitu
pada zaman Imam al-Suyuti. Dalam kurun waktu ini, kaidah fikih telah berada dalam
keadaan yang kukuh dan teguh. Meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi
perbaikan-perbaikan kaidah fikih pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang
disempurnakan di abad ke-13 H adalah “Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta
orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya” Kaidah tersebut disempurnakan dengan
mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fikih tersebut adalah
“Seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin‟. Faktor-faktor
pendorong timbulnya Qawaid alFiqhiyyah, dapat diambil dari pernyataan Muhamma al-
Zarqa’ dalam kitabnya Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah.
Seandainya tidak ada Qawa’id al-Fiqhiyyah, tentu hukumhukum fikih akan menjadi
hukum furu’ yang berserakan dan kadangkadang lahiriyahnya tampak saling
bertentangan, tanpa ada ushul
“Kaidah‟ yang dapat mengokohkannya dalam pikiran, menampakkan ‘illat-’illatnya,
menentukan arah-arah pembentukannya, dan membentangkan jalan pengqiyasan dan
penjenisan padanya‟.
Dapat ditarik juga dari pernyataan Imam al-Qarafi dalam kitabnya al-Furuq “Siapa yang
berhujjah dengan hanya menghapal juz’iyyah saja, maka hujjahnya itu tidak akan ada
batasnya, serta akan menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya,
siapa yang memperdalam fikih melalui kaidah-kaidah fikih tidak harus menghapalkan
berbagai macam cabang fikih, karena telah tercakup oleh kulliyyah‟.
B. Kaidah Pokok Qawaid Fiqiyah
Berdasarkan buku-buku yang membahas tentang kaidah, kaidah dibagi atas
kaidah asasiah (pokok) dan kaidah ghairu asasiah (cabang). Kaidah asasiah oleh Imam
Muhammad Izzudin bin Abdis Salam diringkas menjadi kaidah “Menolak kerusakan dan
menarik kemashlahatan‟. Kaidah ini merupakan kaidah yang oleh para Imam Mazhab
telah disepakati tanpa ada pihak yang memperselisihkan kekuatannya. Sedangkan kaidah-
kaidah ghairu asasiah merupakan pelengkap dari kaidah asasiah , dan keabsahannya
masih tetap diakui, yang oleh beberapa ulama dibagi atas beberapa macam, di antaranya
terdapat 40 kaidah cabang yang disepakati dan 20 kaidah cabang yang diperselisihkan.
Lima kaidah pokok itu digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui Al-Quran dan Al-
Sunnah maupun dalil-dalil istimbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash
pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fikih, sehingga sampai dari nash itu
dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam.
Adapun bentuk-bentuk lima kaidah pokok itu adalah :
ِ َ ‫ِمقا‬Mََِ ‫( األ ُُموْ ُر ب‬Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
1. َ ‫ص ِدها‬
Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasikan terhadap suatu perkara
yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada
maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Tujuan utama disyariatkan niat adalah untuk
membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk
menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh: Kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak
bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat. Begitu juga dengan
yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
ٗۗ
‫ ۡ ُؤت ِهۦ‬M‫ َر ِة ن‬M‫اب ٱأۡل ٓ ِخ‬
َ ‫ َو‬M‫ ُِِر ۡد ث‬Mُ M‫ا َ َو َمن ي‬M‫اب ٱل ُّد ۡنيا َ ن ۡ ُؤت ِهۦ ِم ۡن ه‬ َ ‫ ُِِر ۡد‬Mُ ‫اجل َو َمن ي‬
َ ‫ثو‬ ٗ ‫ا ُّم َؤ‬Mَ‫ِل بإ ِ ۡ ِذ ِن ٱ ال َِّل ِك ٰتَ َٗٗب‬Mََِّّ ‫ُمَُوتَ إ ا‬Mَ ‫س أنَ ت‬ ۡ
ٍ َ‫َو َما َكانَ لنِف‬
٥٤١ َ‫ِم ۡنه ۚا َ َو َسن ۡ َج ِزي ٱل ا ٰ َش ِك ِرين‬
”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia
itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala
akhirat.”(QS. AliImran: 145)
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
ِ َ‫ َما ََّل ي ُْشت َرطُ التاعَرُّ ضُ لهَُ ُج ْملَةً َو ت ْف‬Kaidah .
َُ ‫ْم‬Mََْ ‫ِذا عَيانهَُ َوا َْخطَأ َ ل‬Mََِ ‫ٗل ا‬M•ًٗ ‫ص ْي‬
‫يض ار‬
“ suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun secara
terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, kesalahannya itu tidak membhayakan
(membatalkan).”
2. Kaidah ُْ ‫ا‬MM‫“ َو َم‬suatu amal yang disyaratkan
‫ ِه ُمب ِْطل‬MMِْ‫أ ُ في‬MMَ‫اعَرُّ ضُ فا َ ْلخَ ط‬MM‫ ِه الت‬MMِْ‫ت َرطُ في‬MM‫يش‬
penjelasannya maka kesalahannya membatalkan perbuatan tersebut.”
3. Kaidah
َ ‫ًَ• َو ََّل ي ُْش‬M‫َِِجبُ التاعَرُّ ضُ لهَُ ُج ْملَة‬Mَ ‫َو َما ي‬
ِ َ‫ ت ْف‬Mُُ‫ْعييِْنه‬Mََْ ‫ترطُ ت‬
َُ‫ََِِذا عَيانه‬M ‫ٗل ا‬M•ًٗ ‫ص ْي‬
‫ضر‬ َ َ ‫“ فا َ ْخَ طَأ‬suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara
terperinci, karena apabila disebut secara terprinci dan ternyata salah, kesalahannya itu
dapat membahayakan.”
ِ َُ‫“ النبِّة‬niat dalam sumpah mengkhususkan
ِّ ‫ِم ْي ِن ت َُخ‬Mََِ ‫فى ْالي‬
4. Kaidah ُّ‫َُُع ُّم ْالخاص‬Mَ ‫صصُ الال ْفظَ ْال َع ِام َو ََّل ت‬
lafadz umum dan tidak pula menjadikan umum pada lafadz yang khusus.”
ِ َ ‫ِميْنُ ِع ْن َد ْالقا‬Mََِ ‫اح ٍد َوه َُو ْالي‬
‫ضى‬ ِ ‫ض ٍع َو‬ ِ ‫ِل‬Mََِّّ ‫ ا الَّف ِظ ا ا‬Mَ‫ َمقاَصُ الال ْف ِظ عَل َى نيِ َِِة‬Kaidah .
ِ ْ‫فى َمو‬
ِ َ ‫ ْالقا‬Mَ‫َلى نيِ َِِة‬
‫ضى‬ َ ‫فاَنِاها َ ع‬
“maksud dari suatu lafadz adalah menerut niat orang yang mengucapkannya, kecuali
dalam satu tempat, yang dalam sumpah dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian,
maksud lafadz menurut niat hakim.”
ْْ
ِ ‫انى ََّل ل ْلِلَفا َ ِظ َو ْال َم َع‬
6. Kaidah ‫انى‬ ِ ‫ص ُد َو ْال َم َع‬
ِ َ ‫ْو ِد ْال َمقا‬Mُُْ ‫فى ْالعُق‬ َ ‫“ ْال ِع‬yang dimaksud dalam akad adalah
ِ ُ‫برة‬
maksud atau makna bukan lafadz atau bentuk perkataan.”
2. ‫المشقة‬ ‫تجلب‬ ‫( التيسير‬Kesukaran mendatangkan kemudahan)
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf ,maka syari’ah meringankannya,
sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Contoh: Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan tersebut sudah sampai
pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat
tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan
punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan
perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu
termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada
waktu sholat tersebut.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu”(Q.S Al Baqarah : 185)
ۡ ُ ُۚ
َ ُ‫ِق ٱ ۡلِن ٰ َسن‬
٨٢ ‫ض ِع ٗيفا‬ ِ َّ ‫َُُخ‬Mَ ‫ ُِِري ُد ٱ ال َُّل أنَ ي‬Mُ ‫ي‬
َِ Mَ ‫فف عَنكمۡ َوخل‬
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah.”(QS. An-Nisa: 28)
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
 Kaidah ‫ق‬ َ ‫ْم ُر‬Mََْ ‫ َع اأْل‬M‫اتاس‬
َ ‫ ا‬M‫ض‬ َ ‫َِِذا‬Mَ ‫ق األا ْم ُر إتِا َس َع َوإ‬ َ ‫َِِذا‬Mَ ‫“ إ‬apabila suatu peerkara itu sempit,
َ ‫ضا‬
hkumnya menjadi luas, sebaliknya, jika suatu perkara itu luas, huumnya menjadi
sempit.”
 Kaidah ‫ض ِّد ِه‬
ِ ‫س إلِ َى‬ َ ‫او َز َح ُّدهُ إ ْن َع َك‬ َ ‫“ ُكلُّ َما‬semua yang melampaui batas, hukumnya
َ ‫تج‬
berbalik mejadi keblikannya,”
 Kaidah ‫صى‬ ِ ‫ارخصُ ََّل تنُطَُ باِل َم َعا‬ ْ ‫“ ال‬rukhsah-rukhsah itu tidak boleh
 dihubungkan dengan kemaksiatan.”
 Kaidah ِّ‫ارخصُ ََّل تنُطَُ باِل اشك‬
ْ ‫“ ال‬rukhsah itu tidak dapat di sangkut pautkan dengan
keraguan.”
3. ‫ ( الضرر يـزال‬Kemudharatan harus dihilangkan)
Arti dari kaidah itu adalah kemudharatan atau kesulitan harus dihilangkan, jadi
konsepsinya kaidah ini memberikan pengertian bahwa harus dijauhkan dari idhar (tidak
menyakiti) baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya menimbulkan
bahaya bagi orang lain. Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang
banyak yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang
lewat dibawahnya hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan
pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56:
Artinya:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
1. Kaidah ‫“ال اضرُوْ َرةُ تبُ ْيِ ُح ْال َمحْ ظ َُر ِة‬kemudaratan membolehkan yang mudarat (dilarang).”
2. Kaidah َ ‫ا‬M‫َره‬
ِ ‫ق اد‬M ُ M‫رُوْ َر ِة ي‬M‫ ِل اض‬M‫ا أبُ ْيِ ُح ل‬MM‫ “ َم‬apa-apa yang dibolehkan karena mudarat
ِ M‫ق ا َد ُر ب‬
diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
َُMَ ‫ “ال اض َر ُر ََّل‬kemudaratan tidak dapat hilang kemudaratan lain.”
3. Kaidah ‫يُزا ُل باِل اض َر ِر‬
4. Kaidah
َ ‫ُمَُه َمُا‬Mَ ‫ْعظ‬Mََْ ‫ض ْال ُم ْف ِسدَتا َ ِن رُوْ ِع َي أ‬
ِ ‫َِِكا‬Mَ ‫ص َررًا باِرْ ت‬
‫ب‬ َ ‫إ ِ َذا ت َعَا َر‬
‫ “أ َخف ِهِّ َما‬jika ada dua kemudaratan yang bertentangan, diambil kemudaratan yang
paling besar.”
5. Kaidah ‫الح‬
ِ MM‫ص‬َ ‫ب ْال َم‬ِ ‫ق ا َد م عَل َى َج ْل‬MM‫ ِد ُم‬MM‫ “ َدرْ ُء ْال َمفا َ ِس‬menolak kemafasadatan didahulukan
daripada mengambil kemalahatan.”
ْ M‫ةً َك‬M‫ا ام‬MM‫روْ َر ِة َع‬M
Mََْ َ‫انت‬M
6. Kaidah ‫ ا اصة‬Mَ‫أْو خ‬ َ M‫ةَ ال اض‬M‫ز ُل َم ْن ِزل‬M ِ Mَ‫ ةُ ت ْن‬M‫“ً ال َحا َج‬
ْ kebutuhan itu menempati
kemudaratan, baik secara umum maupun khusus.’
4. ‫(الـعـادة محكـمة‬Kebiasaan dapat menjadi hukum)
Kaidah fiqih ini berkenaan tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab
terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat
adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia
lantaran dapat diterima akal dan secara terus menerus manusia mau mengulanginya.
Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu
ketenangan dalam mengerjakannya, karena sudah sejalan dengan logika dan dapat
diterima oleh watak kemanusiaannya. Kata Al-‘aadah atau al-u’rf, menurut Imam Abi al
Faidh terkadang digunakan dalam satu makna akan tetapi sama dalam bidang ilmu lain.
Bahwasannya ‘urf atau al ‘aadah adalah sesuatu yang dianggap baik oleh syara atau
perkara yang dianggap baik.

Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap baik dan
benar oleh manusia secara umum (al‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-
ulang sehingga menjadi kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf
yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia
dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak
membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi
adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau
membatalkan yang wajib.
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syaratsyarat berikut:
 Tidak bertentangan dengan syari'at.
 Tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
 Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
 Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah.
 Sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
 Tidak bertentangan dengan Qur’an dan sunnah.
Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan tersebut telah
mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan tersebut akan menjadi hukum,
misalkan kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik
laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.
Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 199:
Artinya:
“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
dari orang-orang yang bodoh” Cabang-cabangnya antara lain sebagai berikut:
1. Kaidah َM‫َْم ِكن َِِة‬Mَْ ‫َ َواأْل‬M‫ْز ِمن َِِة‬Mََْ ‫ََّل ي ْنُ َك ُر ت َْغي ْيِ ُر اأْل حْ َك ِام بتِ َْغييِ ِْر اأْل‬
“ tidak diingkari perubahan hukum disebaban perubahan zaman dan tempat.”
ِ ‫ْال َم ْعرُوْ فُ عُرْ فا ً َك ْال َم ْشر‬
2. Kaidah ً ‫ُط شَرْ طا‬
“ Yamg baik itu menjadi‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
ِ ْ‫الثاابِت با ِ ْل َم ْعرُو‬
3. Kaidah ِّ‫ف َكالثااب ِة باِلناص‬ ُِ ُM
“yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.

5. ‫(لَّيزال بالشـك اليـقـين‬Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)


Kaidah fiqih ini menunjukan bahwa suatu perkara yang diyakini telah terjadi tidak
bisa dihilangkan kecuali dengan dalil yang pasti dan meyakinkan. Dengan kata lain, tidak
bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan. Demikian pula sebaliknya, suatu
perkara yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi telah terjadi kecuali
dengan dalil yang meyakinkan pula.
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita
masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau
kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada
kenyataannya wudhu’ kita telah batal.
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
1. Kaidah َ‫َلى َما َكان‬ Mََْ ‫األ‬
َ ‫ْص ُل بقَا َ ُء َما َكانَ ع‬
Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya.”
2. Kaidah ‫ْص ُل ب َرا َءة ال ِّذ ام ِة‬ Mََْ ‫“اأْل‬asal itu bebas dari tangugan.”
3. Kaidah ‫ْص ُل ْال َع َد ُم‬
Mََْ ‫“اأْل‬asal itu tidak ada”
4. Kaidah ‫ب ال از َما ِن‬ ِ ‫َ َر‬M‫َِِد ُرهُ بأ ِ َْْق‬Mَ ُ‫ث تق‬
ٍ ‫فى ُك ِّل َح ِد ْي‬ Mََْ ‫“اأْل‬asal dalam setiap keadaan dilihat dari
ِ ‫ْص ُل‬
waktunya yang terdekat.”
5. Kaidah ‫َِبا َ َح ة‬Mَ‫ْشيا َ ِء ا ۡ ِْل‬Mََْ ‫فى اأْل‬ Mََْ ‫“اأْل‬asal dari sesuatu adalah
ِ ‫ْص ُل‬
kebolehan”
6. Kaidah ‫ْص ُل ف َى ۡ ْالبا َ َح ِة التاحْ ر ْي ُم‬
Mََْ ‫“اأْل‬asal dari kemubahan adalah
keharaman.”
BAB III
KESIMPULAN

Qawaid fiqhiyah adalah Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabangcabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu. Ilmu Qawaid al-Fiqhiyah adalah suatu ilmu yang sangat
dibutuhkan bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia Islam terutama bagi
penentu kebijakan-kebijakan hukum apalagi yang kurang mengerti bahkan ada yang
belum mengerti sama sekali apa itu Qawaid al-Fiqhiyah.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih akan mengetahui benang merah yang terdapat di
berjuta masalah fiqh melalui istimbath hukum, karena kaidah fikih itu memang menjadi
titik temu dari masalah-masalah fikih.
Ada lima kaidah pokok Qawaid al-Fiqhiyah:
ِ َ ‫ِمقا‬Mََِ ‫( األ ُُموْ ُر ب‬Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
َ ‫ص ِدها‬
‫( المشقة تجلب التيسير‬Kesukaran mendatangkan kemudahan)
‫ (الضرر يـزال‬Kemudharatan harus dihilangkan)
‫ (الـعـادة محكـمة‬Kebiasaan dapat menjadi hukum)
‫(لَّيزال بالشـك اليـقـين‬Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Karim Zaydan. Al-Wajiz fi Syarh al-Qawa‘id alFiqhiyyah fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah.


(Beirut : Mu‟assasah al-
Risalah, 2001)
Ali Ahmad al-Nadwi, Al-qawa’id al-fiqhiyyah : Mafhumuha,
Nash’atuha,
Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Singapura : al-Haramayn, t.th.)
Al-Suyuti, Jalal al-Din. Al-Asybah wa al-Nadza’ir,
(Singapura : al-Haramain, 1960)
Dahlan,Abd. Rahman. Ushul Fiqih. (Jakarta : Amzah, t.th.),
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo : Dar al-Hadith, 2003), jld. VII
Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam, Qawaid al Ahkam fi Mashalih al Anam,
(Beirut : Dar al-Kutub alIlmiyah, 1999), Cet. Ke-I, vol. I
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), Cet 1
Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami, (Bandung : Al Ma‟arif, 1986), Cet. 1
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad
Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009
Rahman, Asymuni A. Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang. 1976)
Syalabi, Mustafa. Al-Madkhal fi Fiqh al-Islami, (Beirut : Dar al-Jami„ah, 1985), Cet. X,
Tatawwuruha, Dirasatu Mu-allafatiha, Adallatuha, Muhimmatuha, Tatbiqatuha, (Damaskus : Dar
al-Qalam, 1412H/1991M)
Usman, Mukhlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath
Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2002), Cet. 4

Anda mungkin juga menyukai