Anda di halaman 1dari 5

CERITA PAHLAWAN

SEJARAH DAN BIOGRAFI PANGERAN DIPONEGORO

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :
Nama : Algisa Agustia
Kelas : VII B

SMP N 1 KELAPA

Tahun Pelajaran 2020/2021


Biografi Pangeran Diponegoro

Bendara Pangeran Harya Dipanegara atau biasa kita kenal dengan sebutan Diponegoro adalah
salah satu dari sekian banyak pahlawan nasional Republik Indonesia dan termasuk pahlawan
nasional dari Jawa. Beliau lahir di Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dan
meninggal di Makassar, Hindia Belanda, pada tanggal 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun.
Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa yang
berkecamuk mulai tahun 1825 hingg 1830 melawan penjajahan Hindia Belanda. Perang Jawa ini
termasuk sebagai perang dengan korban paling banyak dalam lembaran sejarah dan perjuangan
bangsa Indonesia.

Asal usul Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro adalah anak dari Sultan Hamengkubuwono III. Beliau adalah raja ketiga di
Kesultanan Yogyakarta. Pahlawan yang kelak memimpin Perang Jawa ini lahir pada tanggal 11
November 1785 di Yogyakarta. Nama kecilnya adalah Mustahar. Ibunda Mustahar adalah selir
yang bernama R.A. Mangkarawati, yang berasal dari Pacitan. Selain dipanggil dengan Mustahar,
Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro juga dipanggil dengan nama Bendara Raden Mas
Antawirya.

Sadar karena kedudukannya yang hanya sebagai anak seorang selir, Diponegoro menolak
keinginan Sultan Hamengkubuwana III untuk diangkat menjadi raja. Ia menolak mengingat
ibunya bukanlah permaisuri. Biasanya, di lingkungan kebangsawanan, putra mahkota yang
pantas hanyalah anak dari permaisuri. Diponegoro sendiri pernah menikah dengan 9 wanita
dalam hidupnya. Yaitu R.A. Retna Madubrangta, R.A. Supadmi yang merupakan putri dari
Raden Tumenggung Natawijaya III, R.A. Retnadewati yang merupakan putri dari seorang Kyai
di wilayah Selatan Jogjakarta, R.Ay.
Citrawati yang merupakan puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu
isteri selir, R.A. Maduretno yang merupakan putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu
Maduretna (putri Hamengkubuwono II), R.Ay. Ratnaningsih yang merupakan putri Raden
Tumenggung Sumaprawira yang menjabat sebagai bupati Jipang Kepadhangan, R.A.
Retnakumala yang merupakan putri Kyahi Guru Kasongan, R.Ay. Ratnaningrum yang merupaka
putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II dan yang terakhir adalah Syarifah Fathimah Wajo
yang merupakan putri Datuk Husain. Tempat peristirahatannya ada di Makassar.

Biografi Pangeran Diponegoro : Kehidupan Pangeran Diponegoro

Diponegoro lebih berminat pada kehidupan keagamaan dan rakyat jelata. Sehingga dia lebih
suka berada di Tegalrejo. Dulu Tegalrejo adalah tempat tinggal eyang buyut putrinya atau
permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I. Namanya yaitu Gusti Kangjeng Ratu
Tegalrejo. Pemberontakan Diponegoro ke keraton dimulai ketika kepemimpinan Sultan
Hamengkubuwana V pada tahun 1822. Waktu itu, Diponegoro jadi salah satu anggota perwalian
yang menemani Hamengkubuwana V yang masih berusia 3 tahun. Sedangkan pemerintahan
keraton biasanya dipegang bersama oleh Patih Danureja dan Residen Belanda. Tentu Pangeran
Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian yang seperti itu.

Terjadinya Perang Diponegoro

Perang Diponegoro dimulai karena penjajah Belanda memasang patok di wilayah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Sebelum itu, Diponegoro memang sudah muak dan sebal dengan
tingkah Belanda yang tidak menghormati adat istiadat serta budaya setempat dan sangat
mengeksploitasi ekonomi rakyat dengan pembebanan pajak. Bisa dibilang seenaknya sendiri.
Namanya juga penjajah. Tindakan Diponegoro yang menentang Belanda secara frontal,
mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas nasehat dari GPH Mangkubumi, sang paman,
Diponegoro pergi dari Tegalrejo dan membuat basis perlawanan di sebuah gua yang diberi nama
Gua Selarong.

Ketika perjuangan akan dimulai, Diponegoro mengumandangkan bahwa perjuangannya adalah


perang sabil yang berarti perlawanan menghadapi kaum kafir. Teriakan perang sabil yang
dikobarkan Diponegoro efeknya sangat luas bahkan sampai ke wilayah Kedu dan Pacitan. Salah
seorang tokoh ulama dari Surakarta yang bernama Kyai Maja juga ikut bergabung dengan
pasukan Diponegoro yang berada di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo tertarik
berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena sang Pangeran ingin mendirikan kerajaan atau
pemerintahan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo adalah sebagai ulama besar dan berpengaruh
yang sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga dengan Diponegoro.

Ibu dari Kyai Mojo yang bernama R.A. Mursilah adalah saudara perempuan dari Sultan
Hamengkubuwana III. Tapi Kyai Mojo yang aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah
tidak pernah merasakan kemewahan gaya hidup khas keluarga bangsawan. Jalinan persaudaraan
antara Kyai Mojo dan Diponegoro semakin erat ketika Kyai Mojo menikahi janda Pangeran
Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Karena itulah, Diponegoro memanggil
Kyai Mojo dengan sebutan “paman” meski hubungan antara keduanya lebih tepat dikatakan
saudara sepupu.
Selain didukung oleh Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Raden
Tumenggung Prawiradigdaya yang merupakan Bupati dari Gagatan dan Sunan Pakubuwono VI.
Pengaruh dukungan dari Kyai Mojo pada perjuangan Diponegoro sangatlah kuat karena dia
memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai
ulama yang dikenal teguh menegakkan ajaran Islam ini memiliki impian agar tanah Jawa
dipimpin oleh pemimpin yang bersandar pada syariat Islam sebagai landasan hukum yang utama.
Karena sejarah Islam di Indonesia cukup mengakar di penduduk. Semangat perlawanan melawan
Belanda yang merupakan musuh Islam menjadi strategi Perang Suci.

Oleh karena itulah, kekuatan Dipenogoro terus mendapat dukungan khususnya dari tokoh-tokoh
agama yang cukup dekat dengan Kyai Mojo. Menurut seorang sejarawan Peter Carey di bukunya
yang berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 terbitan tahun 2016, disebutkan
bahwa kira-kira ada 112 kyai, 31 haji, 15 syekh dan puluhan penghulu yang bergabung dengan
Pangeran Diponegoro. Dan selama perang ini, pihak Belanda mengalami kerugian hingga tidak
kurang dari 15.000 tentara dan biaya sebesae 20 juta gulden. Banyak cara terus diusahakan oleh
Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun digunakan. Hadiah sebesar
50.000 Gulden diberikan kepada siapapun yang berhasil menangkap Diponegoro. Hingga
akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap pada tahun 1830.

Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan pengerahan semua pasukan. Contohnya
seperti pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri yang membuat pertarungan di kedua belah pihak
berlangsung dengan sengit. Artileri sendiri menjadi senjata andalan sejak Napoleon dan tentara
Perancisnya mengacak-acak tanah Eropa. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di
seluruh tanah Jawa. Pertempuran berkecemuk dengan sangat hebat sehingga jika suatu wilayah
bisa dikuasai pasukan Belanda di siang hari, maka malam hari atau esoknya wilayah itu sudah
berhasil direbut kembali oleh pasukan pribumi.

Dan berlaku pula sebaliknya. Cukup banyak jalan logistik dibangun dari satu lokasi ke lokasi
lain untuk mendukung kepentingan perang. Puluhan tempat mesiu dibangun di hutan dan dasar
jurang. Kebutuhan peluru dan mesiu terus meningkat karena peperangan terus berkecamuk. Para
intel dan kurir bekerja keras mencari, menganalisis dan menyampaikan informasi yang
diperlukan untuk merancang stategi perang yang ampuh. Informasi meliputi kekuatan musuh,
jarak dan waktu tempuh, situasi medan tempur dan curah hujan. Semakin banyak informasi yang
terkumpul maka terciptalah taktik dan strategi yang jitu karena peperangan tidak hanya
dimenangkan dari satu atau dua faktor.

Serangan-serangan masif dari rakyat Jawa selalu digencarkan ketika bulan-bulan penghujan.
Karena para senopati sangat paham sekali bahwa salah satu cara untuk menang adalah mengenali
dan menggunakan alam sebagai senjata tak terkalahkan. Jika musim hujan tiba, gubernur
Belanda akan berusaha untuk mengajak gencatan senjata dan berunding. Karena hujan tropis
yang sangat deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Tidak hanya itu, penyakit
malaria, disentri, dan sebagainya merupakan masalah yang tidak tampak dan melemahkan fisik
dan moral tentara Belanda. Bahkan yang paling parah adalah penyakit-penyakit tersebut
merenggut nyawa pasukan mereka.
Ketika gencatan senjata disetujui, Belanda akan mengatur pasukan dan menyebarkan intel dan
provokator mereka untuk bergerak di kota dan desa. Tugas mereka adalah menghasut, memecah
belah dan bahkan meneror anggota keluarga para bangsawan dan pemimpin perjuangan rakyat
yang mengikuti perjuangan di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang dan para
bangsawan pribumi tersebut tidak takut dan semakin berani melawan Belanda.

Pada puncak Perang Jawa, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu. Suatu hal
yang belum pernah terjadi ketika masa penjajahan. Ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas
seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dipenuhi oleh puluhan ribu serdadu Belanda. Dari
sudut pandang dunia kemiliteran, ini adalah perang pertama yang menggunakan semua metode
yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka dan metode perang
gerilya yang dilakukan dengan taktik hit and run dan penghadangan.

Ini sebenarnya bukan sebuah perang suku, tapi suatu perang modern yang menggunakan
berbagai macam siasat yang belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga menggunakan  taktik
perang urat saraf (psy-war) melalui teknik insinuasi, tekanan-tekanan dan provokasi oleh pihak
Belanda ke mereka yang terlibat langsung dalam peperangan kegiatan intelijen dan spionase
antara kedua belah pihak juga sangat aktif untuk mencari informasi mengenai kekuatan dan
kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda menyerang kubu Diponegoro dengan menggunakan taktik benteng
sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja berhasul ditangkap.
Kemudian menyusul Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya yang
menyerah kepada Belanda. Akhir cerita, pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil
menjepit pasukan Diponegoro di daerah Magelang. Karena sudah terjepit, Pangeran Diponegoro
bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota pasukannya dibebaskan. Akhirnya,
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado. Lalu dipindahkan ke Makassar
hingga menghembuskan nafas terakhir di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.

Perang melawan Belanda lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro. Seperti Ki
Sodewa, Dipaningrat, Dipanegara Anom dan Pangeran Joned. Mereka terus-menerus melakukan
perlawanan tanpa kenal menyerah walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran
Diponegoro tertangkap dan dibuang ke Ambon. Sementara Pangeran Joned dan Ki Sodewa
gugur dalam peperangan.

Akhir Perang Jawa

Berakhirnya Perang Jawa menandai akhir perlawanan bangsawan Jawa. Setelah perang Jawa,
jumlah penduduk Ngayogyakarta berkurang hingga separuhnya. Sebagian kalangan dalam
Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap sebagai pemberontak. Sehingga konon
keturunannya dilarang masuk ke Kraton. Sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX
memberi ampunan bagi keturunan Diponegoro yang mempertimbangkan semangat kebangsaan
yang dimiliki oleh Diponegoro di masa Perang Jawa. Kini anak cucu Diponegoro bisa bebas
masuk Kraton. Khususnya untuk mengurus silsilah tanpa rasa takut akan diusir.

Anda mungkin juga menyukai