Anda di halaman 1dari 20

SUMBER AJARAN ISLAM

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Dosen Pembimbing : Dr. Dede Ropik Yunus, LC., M.Ag

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI EKUITAS


Jl. P.H.H Mustofa No. 31 Bandung 2020

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah................................................................................4
1.3 Tujuan 4
BAB II PEMBAHASAN 5
1.1 Al – Qur’an
2.1.2 Pengertian Al-Qur’an..........................................................................5
2.1.3 Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an.............................................................6
2.1.4 Isi Pokok Ajaran Islam........................................................................8
2.1.5 Fungsi, Tujuan dan Kedudukan Al-Qur’an.........................................8
2.1.6 Nama-nama Al-Qur’an dan Kandungan............................................9
2.1.7 Tafsiran Al-Qur’an...........................................................................10
2.2. Al- Sunnah
2.2.1 Pengertian Sunnah ...........................................................................12
2.2.2 Kedudukan dan Fungsi Sunnah........................................................12
2.2.3 Klasifikasi Sunnah............................................................................14
2.3 Ijtihad
2.3.1 Pengertian Ijtihad..............................................................................16
2.3.2 Landasan Ijtihad................................................................................16
2.3.4 Prinsip-prinsip Ijtihad........................................................................17
2.3.5 Macam-macam Ijtihad.......................................................................18
BAB III PENUTUP..............................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20

BAB I

2
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara kelangsunagn jujukan dari sumber pemahaman tentang


agama Islam adalah seseorang yang sebagai pembawa ajaran tersebut
yaitu Nabi Muhammad SAW. Yang kemudia sesuatu yang memberikan
wahyu tersebut yaitu malaikat Jibril dan darimana sumber wahyu
tersebut adalah Allah SWT ketiga komponen tersebut adalah awal dari
lahirnya sumber ajaran agama Islam.
Baru setelah kita ketahui tentang dimana dan siapa awal dari
lahirnya sumber ajaran Islam maka kita akan memperoleh sumber
ajaran Islam baru setelah itu kita dapat mempelajadi tentang agama
Islam dengan total. Dengan sumber ajaran Islam tersebut nantinya
seseorang akan terarah dalam mempelajari agama Islam yang tidak
akan menyimpang ke segala arah sehingga akan menjadi tersistematis
dalam pemahaman tersebut. Tanpa sumber ajaran Islam dengan baik
dan benar.
Pada kenyataanya bila studi Islam hanya mengandalkan pemikiran
manusia saja tanpa didasari oleh bukti-bukti sumber dari ajaran Islam
maka akan menjadi sebuah keadaan anthroposentris meskipun manusia
mungkin saja memperoleh kebenaran tanpa sumber ajara agama Islam
dalam mempelajari agama Islam dengan kemampuan intelektual
manusia dalam menalarkan tentang agama Islam sesuai yang
dibudayakan oleh bahasa Arab.

1.2 Rumusan Masalah


Pada makalah ini penulis akan membahas masalah :
1. Apa pengertian dari Al-Qur’an ?
2. Apa pengertian dari Sunnah atau Hadist ?
3. Apa pengertian dari Ijtihad ?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengetahui lebih dalam lagi tentang Al-Qur’an
2. Dapat mengetahui lebih banyak lagi tentang Sunnah atau Hadist
3. Dapat mengetahui lebih detail apa itu Ijtihad.

BAB II

3
PEMBAHASAN

2. 1 Al- Qur’an
2.1.2 Pengertian Al-Qur’an

Al- Qur’an adalah Kitab Suci ( Kalam Ilahi) yang diwahyukan


Allah SWT kepada Nabi Muhammad SA. Ia berfungsi sebagai rahmat
dan petunjuk bagi manusia dalam menjalankan hidup dan
kehidupannya. Secara etimologis kata benda Al- Qur’an berasal dari
kata kerja qara’a yang mengandung arti (1) mengumpulkan atau
menghimpun (2) membaca atau mengkaji. Jadi kata Al- Qur’an berarti
kumpulan atau himpunan atau bacaan. Arti ini dapat dilihat dalam
surah Al- Qiyamah (75) ayat 17 dan 18.
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkan
(didalam) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah
selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu”.
Definisi Al- Qur’an secara tertimologis adalah seperti yang banyak
diurungkan oleh para ulama adalah Firman Allah ( Kalamullah) yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. (melalui malaikat jibril)
untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia, dan merupakan
ibadah dalam membacanya.
Berdasarkan definisi tersebut, maka wahyu atau firman Allah yang
diturunkan kepada para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad
SAW. Tidak dinamakan Al-Qur’an, sebab setiap wahyu atau kitab suci
yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul, Allah langsung
memberikan nama kitab suci tersebut. Seperti wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Musa dinamakan Taurat, atau wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Isa dinamakan Injil, atau wahyu yang diturunkan Nabi
Dawaud dinamakan Zabur, bahkan ada pula wahyu allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak dimuat dalam Al-
Qur’an atau tidak dinamakan Al-Qur’an, melainkan disebut dengan
Hadist Qudsi, atau Hadist Rabbani atau Hadist Ilahi. Yang dimaksud
dengan hadist ini adalah sesuatu yang dikabarkan Allah kepada Nabi
dengan melalui ilham atau mimpi, kemudian Nabi menyampaikan
makna dari ilham atau mimpi tersebut dengan ungkapan kata Nabi
sendiri.
Begitu juga penamaan Kitab Suci Al-Qur’an, langsung diberikan
oleh Allah SWT. Melalui wahyu-nya seperti terdapat dalam surat Al-
Baqarah (2): 185, Al-An’am (6): 19, Thaha (20): 2, Asy-Syura (42): 7
dan surat Al-Hasyr (59): 21.

4
2.1.3 Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an
Al- Qur’an tidak  diturunkansecarasekaligus, Al-Qur’an
turunsecaraberangsu-angsurselama  22 tahun 2 bulan 22 hari.  Para
ulamamembagimasaturunnya Al-qur’an  ini di bagimenjadiduaperiode,
yaituperiodeMekkahdanperodeMadinah.
PeriodeMekkahberlangsungselama 12
tahunyaitumasakenabianRasulullah SAW dansurat-surat yang
turunpadawaktuinitergolongsuratmakkiyah. SedangkanperiodeMadinah
yang dimulaisejakperistiwahijrah yang berlangsungselama 10
tahundansurat yang turunpadawaktuitudisebutsuratMadaniyah.
Al- Qur’an terdiridari 114 surah, 30 juz, dan 6.236
ayatmenuruthafsh, 6.262 ayatmenurutriwayat Ad-dur, atau 6.214
ayatmenurutriwayatWarsy. Ayat 0 ayat yang
turunpadaperiodemekkah( ayatMakkiyah ) sekitar 4.780 ayat yang
tercakupdalam 86 surah. Ayat-ayat yang turunpadaperiodeMadinah
( ayatMadaniyah ) sekitar 1.456 ayat yang tercakupdalan 28 surahAl-
Qur’an diturunkankepadaNabi Muhammad SAW melaluiberbagaicara,
antara lain :
MalikatJibrilmemasukkanwahyuitu  kedalamhatiNabi Muhammad
SAW tanpamemperlihatkanwujudaslinya. Nabi saw tiba-
tibasajamerasakanwahyuitutelahberadadidalamhatinyaMalikatJibrilmen
ampakkandirinyasebagaimanusialaki-lakidanmengucapkan kata-kata
dihadapanNabiSAW.WahyuturunkepadaNabi SAW
sepertigemerincinglonceng. MenurutNabi SAW carainilah yang paling
beratdirasakan, sampai-sampaiNabi SAW
mencucurkankeringatmeskipunwahyuituturundimusimdingin yang
sangatdingin.Malikatjibrilturunmembawawahyudenganmenampakkanw
ujud yang aslinya. Setiap kali mendapatwahyuNabi SAW
lalumenghafalnya. Beliaudapatmengulangiwahyu yang
diterimatepatsepertiapa yang telahdisampaikanjibrilkepadanya.
Kodifikasiataupengumpulan Al-
Qur’an  sudahdimulaisejakzamanRasulullah SAW, bahkansejak Al-
Qur’an diturunkansetiap kali saatNabi SAW menerimawahyu, Nabi
SAW langsungmembacakannyadihaapan para sahabat. KarenaNabi
SAW memangdiperintahkanuntukmengajarkan Al- Qur’an
kepadamereka.

DisampingituNabi SAW,menyuruhmerekauntukmenghafalkanayat-
ayat yang telahdiajarkan, Nabi SAW jugamemerintahkan para

5
shabatutukmenuliskannyadiataspelepah-pelepahkurma, lempeng-
lempenganbatu, dankeping-kepingtulang.

SaatRasulullah SAW masihhidup, adabeberapa orang yang


ditunjukuntukmenulis Al-Qur’an yaitu Zaid bin Zabit, Ali bin
Abithalib, Muawiyah bin abuSofyan, Ubay bin Kaab.
Nabijugamemerintahkan para sahabatutukmenuliskannyadiataspelepah-
pelepahkurma, lempeng-lempenganbatu, dankeping-kepingtulang.
Pengumpulan Al- Qur’an  padazamanNabi Muhammad SAW
terdapatduacarayaitu :
1. parasahabatlangsungmenghafalkannyasetiap kali Rasulullah SAW
menerimawahyu.
2. parasahabatmenulislangsungwahyu yang diturunkandari Allah SWT
kepadaNabi SAW selamakurunwaktukuranglebih 23 tahun
Padamasapemerintahan Abu Bakar,
padamasakekhalifahannyaterdapatperang yang
sangatbesar( perangRidda ). Dan menewaskan para hafish yang
signifikan. Hal inimembuat Umar bin khatabsangatkhawatir,
iamenyuruh Abu Bakaruntukmengumpulkanseluruhtulisan Al- Qur’an.
Al- Qur’an  yangpadasaatitutersebarkepada para sahabat Abu
Bakar. Abu Bakarmenyuruh Zaid bin Zabituntukmengkordinir.
Setelahselesai, yang menyimpanmushaftersebutadalah  AbuBakar.
Padamasa Usman bin Affanterdapatkeragamandalammembaca Al-
Qur’an, yang menyebabkanadanyaperbedaandialekantarasuku-suku yang
berbeda-beda.   Usman bin Affankhawatirdenganperbedaantersebut,
iainginmenyalindanmembukukan Al-Qur’an ataumenjadikanmushaf.
Dalammelakukanpembukuanini   Usman bin Affanmenyuruh Zaid bin
Zabit, Abdullah bin Azzubar, Said bin Al-ash, Abdulrahman bin Al-
harisi bin hysam. Hinggapadasaatini Al-
Qur’an  yangkitapakaiadalahhasildaritransformasipadazaman Usman bin
Affan.
tidaklagiterjadiperbedaanpembacaaan Al- Qur’an  maka Al-
Qur’an  diberiharakat. Pemberianharakatinidilakukankarenabanyak orang
yang masukislamtidakpahamdengan Al- Qur’an  berbedadengan orang
arab yang sudahmengenal Al- Qur’an, angmemberikanharakatpada Al-
Qur’an   adalah Abu Al-
aswanAdwalinamunbelumsempurnasehinggadisempurnakanolehNashir
bin AshimdanYahya bin Ya’mar.

6
2.1.4 Isi Pokok Ajaran Islam

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi


Muaahmmad SAW, yang mengandung petunjuk-petunjuk bagi umat
manusia. Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka
yang infin mecapai kebahagian dunia dan akhirat. Al-Qur’an tidak hanya
untuk suatu umat atau untuk suatu abad, tetapi untuk seluruh umat
manusia dan untuk sepanjang masa. Oleh karena itu, luas ajaran-
ajarannya sama dengan luasanya umat manusia.

2.1.5 Fungsi, Tujuan dan Kedudukan Al-Qur’an

Adapun fungsi dan tujuan Al-Qur’an diturunkan sebagai berikut :

1. Sebagai Petunjuk Manusia. Sudah tidak diragukan lagi bahwa Al-


Qur’an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah,
syari’ah, dan akhlak. Dan Allah SWT tela menugasakan Rasul SAW
untuk memberikan keterangan yang lengkap.
2. Sumber Pokok Ajaran Islam. Sudah tidak disangkal lagi bahwa
didalam Al-Qur’an Allah telah menerangkan segala sesuatu yang
diperlukan manusia, baik didunia maupun di akhirat. Di dalam Al-
Qur’an, Allah SWT telah menjelaskan kaidah-kaidah syari’at serta
hukum-hukumnya yang cocok untuk diterapkan didalam disegala
zaman dan tempat, serta diperuntukkan bagi seluruh umat manusia.
Tidak dibatasi untuk suatu golongan atau suatu bangsa saja. Dan
didalam Al-Qur’an, Allah menerangkan hukumnya menyeluruh,
akidah yang tegas, dalil atau hujjah yang kuat dan akurat untuk
menyatakan kebenaran agama islam. Karena itulah, maka Al-Qur’an
dapat berlaku sepanjang zaman, hukum-hukumnya yang menyeluruh
terus dijadikan sumber hukum bagi hukum-hukum yang lain.
3. Peringatan dan Pelajaran Bagi Manusia. Di dalam Al-Qur’an, banyak
terdapat kisah para Nabi atau Rasul besera umatnya. Ada yang
mengungkapkan kebaikan-kebaikannya yaitu kepatuhan dan ketaatan
umat kepada Rasulnya, dan ada yang mengungkapkan keburukan-
keburukan yaitu keingkaran dan kesombongan umat kepada Rasulnya.

7
2.1.6 Nama-Nama Al-Qur’an dan Kandungannya

1. Al- Furqan, artinya pembeda atau pemisah. sebagai pedoman hidup dan
kehidupan manusia. Al-Qur’an menyajikan norma dan etika secara jelas,
tegas dan tuntas, sehingga terpisahkan antara norma-norma yang hak dan
yang batil. Nama ini terdapat dalam surat Al-Furqan (25): 1.
2. Al- Dzikr, artinya peringatan. Nama ini menunjukkan fungsi Al-Qur’an
saaebagai motivator amal, yaitu agar manusia beramal baik dan konsisten
dengan kebijakannya, sebab seluruh amal akan diminta
pertanggungjawabannya kelak dihari pembalasan. Nama ini terdapat dalam
surat Al- Hijr (15): 9.
3. Al- Huda, artinya petunjuk. Nama ini menunjukkan fungsi Al-Qur’an
selaku petunjuk yang hanya dengannya manusia dapat mencapai ridha
Allah. Nama ini terdapat dalam surat At-Taubah (9):33.
4. Al- Kalam, artinya ucapan atau pembicaraan. Nama ini menunjukkan
bahwa Al-Qur’an seluruhnya ucapan Allah. Dalam kaitan ini terkandung
jaminan bahwa Al-Qur’an itu suci dan lurus sebab datang dari yang Maha
Suci dan Maha Benar. Nama ini terdapat dalam surat At-Taubah (9): 6.
5. Al- Kitab, artinya sesuatu yang ditulis. Dalam nama ini terkandung isyarat
perintah kepada Nabi agar menuliskan wahyu Allah, dan mengandung
prediksi bahwa Al-Qur’an akan menjadi mushaf abadi yang dapat ditulis
dan dibaca. Nama ini terdapat dalam surat Al- Kahfi (18): 1.
6. Al- Nuur, artinya cahaya. Nama ini menunjukkan fungsi Al-Qur’an sebagai
penerang atau pemberi cahaya dalam kegelapan. Hati manusia berada
didalam rongga dada, ia gelap dengan kungkungan jasad luar manusia dan
semakin gelap lagi lantaran perbuatan manusia. Al- Qur’an memantulkan
cahaya Allah dan karenanya ia mampu menembus bungkus jasad manusia
dan menyinari rongga dadanya sehingga kegelapan menjadi sirna. Nama
ini terdapat dalam surat An-Nisa (4): 174.
7. Al- Syifa, artinya obat (penawar). Nama ini menunjukkan bahwa Al-
Qur’an memiliki fungsi sebagai obat, penawaran atau penyembuhan.
Sasaran penyembuhannya adalah segala macam bentuk penyakit hati,
seperti kecemasan, kegelisahan, kekecewaan dan hal-hal yang
mengakibatkan kegoncangan dan keresahan. Di sini Al-Qur’an dapat
menjadi faktor penyembuhan yang dapat memberikan ketenangan dan
ketentraman. Nama ini terdapat surat Al- Isra (17): 82.

Isi kandungan Al- Qur’an, pada garis besarnya mengandung pokok-


pokok ajaran sebagai berikut :

1. Prinsip-prinsip keimanan, yakni doktrin kepercayaan untuk meluruskan


dan menyempurnakan keyakinan dan kepercayaan, seperti keimanan
kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhirat dan lain-lain.

8
2. Prinsip-prinsip syari’ah, yakni hukum-hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan manusia, dan hubungan
manusia degan mahluk lainnya atau alam sekitarnya.
3. Janji dan ancaman, seperti janji kepada orang-orang yang berbuat baik,
dan ancaman kepada orang-orang yang berbuat jahat atau dosa.
4. Sejarah atau kisah-kisah masa lalu, seperti kisah para Nabi dan Rasul,
orang-orang sholeh, masyarakat atau bangsa-bangsa terdahulu.
5. Ilmu pengetahuan, yakni informasi-informasi tentang manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, langit, bumi, matahari, bulan, bintang dan lain
sebagainya.

2.1.7 Tafsiran Al-Qur’an


Terdapat dua jenis tafsiran jika dilihat dari sumbernya: Pertama
Tafsir bi al-Ma’tsur , Kedua Tafsir bi al-Ra’yi. Tafsir bi al-Ma’tsur
adalah penafsiran Al-Qur’an yan didasarkan pada penjelasan Al-Qur’an
sendiri, penjelasan Rasul, penjelesan para sahabat, dan penjelasan para
tabi’in yang langsung bertemu dengan para sahabat Nabi. Sedangkan,
Tafsir bi al-Ra’yi , adalah tafsir yang penjelsannya berdasarkan hasil
ijtihad dan pemikiran penafsiran sendiri, setelah ia mengetahui bahasa
arab dan metodenya atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kajian Al-
Qur’an. Adapun berdasarkan metodenya, jenis tafsiran Al-Qur’an
meliputi :
1. Metode Tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari
uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan,
kiatan antara pemisah yang satu dengan yang lainnya dengan bantuan
Nabi, para sahabat dan tabi’in.
2. Metode Ijmali (Global), yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
secara global. Artinya seorang penafsir (mufassir) berupaya
menjelasakna makna ayat-ayat Al-Qur’an denga uraian singkat dan
jelas, sehingga mudah dipahami oleh semua orang. Metode ini
sebagaimana metode tahlili, dilakukan terhadap ayat per ayat dan
surat per surat sesuia dengan urutannya dalam mushaf, sehingga
tampak keterkaitan antara makna satu ayat dengan ayat yang lainnya
dan antara satu surat dengan surat yang lainnya.
3. Metode Muqaran (Komparasi), menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan merujuk kepada penjelasan-penjelasan para ahli tafsir,
kemudian membandingkannya.
4. Metode Maudlu’i (Tematik), yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
berdasarkan tema yang telah ditetapkan. Dalam metode ini, yang
pertana dilakukan adalah menetapkan tema, kemudian mencari ayat-
ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan tema tersebut. metode ini
tidak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara berururan dari ayat ke

9
ayat, melainkan dicari ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang
sedang dibahas.

Sedangkan tafsir dilihat dari coraknya meliputi keanekaragaman.


Hal ini karena para ahli tafsir hanya mampu menafsirkan Al-Qur’an
sesuai dengan kemampuan dan hak otoritas keilmuannya. Di
samping itu, kemajuan-kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan
(sains) berimplikasi pula kepada cara menafsirkan Al-Qur’an,
sehingga para pakar ilmu pengetahuan mencoba menafsirkan Al-
Qur’an dengan pendekatan ilmu pengetahuan yang mereka miliki.
Sebab itulah lahir corak-corak tafsir yang mempunyai
kecenderungan terhadap bidang-bidang tertentu sebagai indikator
adanya spesialisasi para mufassir itu sendiri. Di antara corak-corak
tafsir tersebut adalah :
1. Tafsir Sufistik, corak tafsir ini berupaya menafsirkan Al-Qur’an
dalam prespektif tasawuf, baik tasawuf yang bersifat teoritis ataupun
tasawuf yang besifat praktis.
2. Tafsir Fiqh, yaitu tafsir yang menjelasakna ayat-ayat Al-Qur’an
dengan menggunakan pendekatan ilmu fiqih.
3. Tafsir Falsafi, corak tafsir ini berupaya menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an secara filosofis.
4. Tafsir Ilmi, yaitu yang menyingkapi ayat-ayat Al-Qur’an
berdasarkan ilmu pengetahuan. Munculnya corak tafsir ini sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta metode
yang relevan digunakannya adalah metode tematik (maudlu’i).
5. Tafsir Adab al-ijtima’i, corak tafsir ini berupaya menjelaskan ayat-
ayat Al-Qur’an yang dihubungkandengan kemasyarakatan dan
berupaya mengatasi masalah-masalah yang dihadapi umat islam
secara khusus dan permasalahan umat lainnya secara umum.

10
2.2 Al – Sunnah

2.2.1 Pengertian Sunnah (Hadist)


Ditinjau dari segi bahasa terdapat perbedaan arti antara kata sunnah
dan hadist. Sunnah berarti : tata cara, tradisi atau perjalanan,
sedangkan Hadist berarti : berita, ucapan atau pernyataan atau sesuatu
yang baru. Dalam arti teknis, istilah Sunnah identik dengan Hadist,
atau dalam pengertian secara istilah tidak ada perbedaan arti antara
Sunnah dan Hadist, yaitu : “Informasi atau segala sesuatu yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW, berupa ucapan (qauliyah,
pebuatan (fi’liyah), atau persetujuannya (taqririyah) dan sebagainnya”.
Berdasarkan definisi tersebut, Sunnah dan Hadist dapat dibagi
kepada tiga bagian :
1. Sunnah Qauliyah, yaitu Sunnah dalam bentuk perkataan atau
ucapan Rasulullah SAW. Yang menerangkan hukum-hukum, tata
cara atau maksud ayat-ayat Al-Qur’an, seperti sabdanya: “Barang
siapa membuat Sunnah (suatu cara) yang baik dalam islam, maka
ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya dan pahala sebesar
yang diberikan kepada pengikutnya dengan tidak berkurang
sedikitpun darinya. Dan barang siapa yang membuat Sunnah
(suatu cara) yang buruk dalam islam, maka ia kan menerima
dosanya dan dosa sebesar yag diberikan kepada pengikutnya
dengan tidak berkurang sedikitpun darinya” (HR. Muslim).
2. Sunnah Fi’liyah, yaitu sunnah dalam bentuk perbuatan yang
menerangkan cara melaksanakan ibadah (shalat, wudhu, haji dan
lain-lain).
3. Sunnah Taqririyah, yaitu ketetapan Rasulullah SAW. Atau
diamnya terhadap perkataan dan perbuatan para sahabatnya, atau
nabi membiarkannya, tidak menegur atau melarangnya.

2.2.2 Kedudukan dan Fungsi Sunnah


Allah telah menetapkan hukum-hukum dan menurunkannya secara
bertahap melalui para nabi dan rasul-nya, supaya menjadi pedoman
hidup manusia dalam memperoleh kebahagiaan didunia dan akhirat.
Islam merupakan agama Allah yang terakhir, dan syari’atnya terhimpun
dalam Kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan kepda nabi Muhammad
SAW.
Sebagai syari’at terakhir, islam menghimpun seluruh syari’at yang
diturunkan Allah sebelumnya, dengan memperbaiki dan
menyempurnakannya, sehingga Al-Qur’an merupakan dan memuat
undang-undang dasar yang bersifat komprehesif dan universal.

11
Landasan yang lebih jelas tentang kedudukan Sunnah dan Hadist
dijadikan sumber ajaran islam, adalah :
1. Al-Qur’an, banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang
keharusan taat dan mengikuti Rasul atau Sunnahnya, seperti ayat-
ayat tersebut QS. An-Nisa (4):59, Al-Hasyr (59):7, dan Al-Ahzab
(33):21.
2. Hadist (Sunnah) Rasul, di antaranya : “Telah aku tinggalkan bagimu
dua perkara, dan kamu tidka akan tersesat selama berpegang teguh
kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah
Rasulnya”.
3. Unsur Iman dan Ijma’, umat islam telah sepakat bahwa diantara
Rukun Iman adalah percaya bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan
Allah (Rasulullah), dan sepakat pula untuk taat mengamalkan
seluruh ajaran dan ketentuannya, sebagimana mereka sepakat untuk
taat mengamalkan Ak-Qur’an dan menjadikan sebagai sumber
ajaran.

Ketiga landasan tersebut, sangat tepat bila didasari dengan fungsi


Sunnah terhadap Al-Qur’an yang secara garis besarnya meliputi lima
fungsi berikut ini :

1. Sunnah menguatkan hukum yang telah ditetapkan Al-Qur’an. Bila


terdapat ayat Al-Qur’an yang menyebutkan suatu perintah atau
larangan, maka sunnah tersebut.
2. Sunnha memberikan rincian terhadap pernyataan Al-Qur’an yang
masih global, baik rincian itu bersifat teoritis ataupun yang bersifat
praktis.
3. Sunnah mengikat atau membatasi makna-makna ayat Al-Qur’an yang
bersifat lepas atau umum atau mutlaq (taqyid al-muthalaqah).
4. Sunnah mengkhususkan atau memberi pengecualian terhadap
pernyataan Al-Qur’an yang bersifat umum (takhshish al-‘aam).
5. Sunnah menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan secara eksplisit
oleh Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an banyak hal yang tidak ditetapkan
secara eksplisit atau pasti. Dalam hal ini Sunnah berfungsi
menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan oleh Al-Qur’an.

12
2.2.3 Klasifikasi Sunnah (Hadist)
Terdapat beberapa istilah dalam tubuh hadist yang sangat erat
hubungannya dengan klasifikasi hadist atau macam-macamnya, di
antaranya adalah sebagai berikut : contoh tubuh hadist : Dari Umar bin
Khatab, ia berkata : Rasulullah SAW. Bersabda: “Hendaklah kamu
sekalian beriman kepada Allah, para malaikat-malikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir dan percaya kepada ketentuan
(qadar), baik mengenai qadar yang baik maupun yang buruk” (HR.
Imam Bukhari).
Tubuh Hadist diatas mencakup :
1. Sanad, adalah sandaran atau jalan yang menghubunhkan materi
hadist (matan) dari satu sahabat kepada sahabat yang lainnya
hingga sampai kepada sandaran pokok yaitu Nabi Muhammad
SAW. Sanad berarti juga orang yang meriwayatkan hadist.
2. Matan, yaitu materi berita atau pembicaraan yang diover oleh sanad
yang terakhir.
3. Rawi, adalah orang yang menyampaikan matan hadist sejak nabi
Muhammad hingga akhirnya sampai kepada para penghimpun
hadist, atau orang yang menuliskan matan hadist yang diterimanya
atau yang didengarnya dalam sebuah kitab.

Sehubungan dengan beberapa istilah tersebut, maka macam-


macam hadist dapat dilihat dari dua segi; Pertama, dari segi jumlah
orang yang meriwayatkannya (Rawi); Kedua, dari segi kualitas atau
mutu atau diterima dan ditolaknya hadist tersebut.
Dari segi jumlah orang yang meriwayatkannya, hadist atau
sunnah terdiri dari tiga macam :
1. Hadist Mutawatir, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh banyak
orang secara terus menerus tanpa terputus-putus hingga tercatat
dalam sebuah kitab.
2. Hadist Masyhur, adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak
orang pula secara terus menerus tanpa terputus-putus hingga
tercatat dalm sebuah kitab, tapi tidak mencapai derajat hadist
Mutawatir.
3. Hadist Aziz, adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang
kepada dua orang dan seterusnya demikian, hingga tercatat dalam
sebuah kitab atau kumpulan hadist.
4. Hadist Gharib, yaitu hadist yang diriwayatkan dari seorang kepada
seorang dan seterusnya demikian, hingga tercatat dalam sebuah
kitab atau kumpulan hadist.

13
5. Hadist Ahad, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau
tiga orang bahkan lebih, tetapi tidak mecapai syarat-syarat hadist
mutawatir dan masyhur.
Ditinjau dari segi kualitas hadist atau mutunya, maka terbagi
kepada :
1. Hadist Shahih, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh orang-orang
adil, baik dan jujur, serta kuat hafalannya, sempurna ketelitiannya,
sanadnya bersambung kepada Rasul, tidak mempunyai cacat, dan
tidak bertentangan dengan dalil atau periwayatan yang lebih kuat.
2. Hadist Hasan, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh orang-orang
adil, baik dan jujur, sanadnya bersambung kepada Rasul, tidak
mempunyai cacat, dan tidak bertentangan dengan dalil atau
periwayatan yang lebih kuat, tapi kekuatan hafalan dan ketelitian
perowinya kurang baik.
3. Hadist Dla’if, yaitu hadist yang lemah karena perowinya tidak baik
dan tidak adil, terputus sanadnya, punya cacat, bertentangan
dengan dalil atau periwayatan yang lebih kuat atau karena cacat
lainnya

Macam-macam hadist yang termasuk pada kategori Dla’if ini,


cukup banyak antara lain :
1. Hadist Maudlu’ , yaitu hadist yang dibuat oleh seseorang kemudian
disandarkan kepada Rasul.
2. Hadist Mudraj, yaitu hadist yang sanad atau matan nya bercampur
dengan yang bukan hadist, kemudian diduga sebagai hadist.
3. Hadist Mushahhaf, yaitu hadist yang berbeda dengan hadist yang
dorowaytkan oleh para rawai lainnya dan terdapat kelainan dalam
redaksi matan nya, baik huruf atau maknanya, juga terdapat
kelainan dalam sanadnya.
4. Hadist Mardud, yaitu hadist yang ditolak, karena diketahui bahwa
yang meriwayatkannya ahli bid’ah.
5. Hadist Saqiem, yaitu hadist yang arti dan tujuannya berlainan
dengan firman Allah (Al-Qur’an).
6. Hadist Majhul, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh orang yang
tidak dikenal di kalangan para ahli hadist.

Karena klasifikasi hadist banyak macam dan jenisnya, maka


para ulama, khususnya ulama hadist menetapkan ketentuan atau
kriteria, agar hadist tersebut tidak dijadikan sebagai pedoman atau
dalil. Kriteria larangan penggunaan hadist tersebut meliputi antara
lain :
1. Jika hadist itu bertentangan dengan fakta sejarah.

14
2. Jika hadist itu menuduh para sahabat dan keluarga Nabi, dengan
tuduhan yang tidak baik.
3. Jika hadist itu bertentangan dengan akal, atau bertentangan dengan
ajaran-ajaran islam yang terang dan jelas.
4. Jika masalah yang terdapat di dalam hadist itu tidak benar atau
kata-kata dan redaksi bahasanya tidak sesuai dengan idiom dan tata
bahasa Arab.
5. Jika masalah yang dibicarakan dalam hadist tidak sesuia atau tidak
pantas bagi martabat Nabi.

Berdasarkan pada beberapa uaraian diatas, jelaslah bahwa


mengikuti Sunnah Rasul (Hadist) merupakan suatu keharusan
dalam syari’at islam. Namun kendatipun demikian, kedudukan
hadist sebagai sumber ajaran islam, tidak sekuat Al-Qur’an.

2.3 Ijtihad

2.3.1 Pengertian Ijtihad


Secara tertimologis Ijtihad berarti “Menggerakan segala
keemampuan dengan semaksimal mungkin dalam mengungkapkan
kejelasan atau maksud hukum Islam untuk menjawab dan
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul”.
Mendudukan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam tentu tidak bisa
disejajarkan atau diperlakukan sama dengan dua sember pokok
lainnya;
Al-Qur’an dan Hadist. Ijtihad lebih tepat dilakuakn sebagai sumber
kekuatan, alat, atau cara untuk meneropong dua sumber pokok itu
dalam kaitannya degan fenomena-fenomena kehidupan.

2.3.2 Landasan Ijtihad


Dalam ajaran Islam, akal mendapatkan tempat yang sangat
berharga. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan suruhan
mempergunakan akal, sebagai mana dapat dilihat dari beberapa
firman-Nya, antara lain : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi orang yang menggunakan akal pikirannya” (QS.
Ali Imran (3): 190).
Sebagai bukti bahwa Ijtihad dilakukan juga oleh para sahabat
setelah Rasul wafat, yaitu oleh Abu Bakar ketika ia menjadai
Khalifah. Uman bin Khatab mengusulkan kepada Abu Bakar, agar Al-
Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf, mengingat telah banyak para
sahabat yang hafal Al-Qur’an meninggal dunia terbunuh dalam

15
peperangan. Pada umumnya Abu Bakar menolak, mengingat hal itu
tidak pernah dilaksanakan oleh Rasulullah. Kemudian Abu Bakar
menerimanya, mengingat bahwa hal itu merupakan suatu kebaikan
bagi kepentingan umat Islam agar kitab Sucinya tetap terpelihara
hingga akhir jaman.

Begitu juga pada masa Umar bin Khatab, ketika ia menjadi


khalifah. Dia tidak mengenakan atau menjatuhkan hukum potong
tangan terhadap orang yang mencuri. Hal ini dilakukan dengan penuh
pertimbangan Ijtihadiyah Umar bin Khatab yang berdasarkan kepada
kemanfaatan dan kemaslahatan.
Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Ijtihad dalam
Islam sangat perlu dilakukan, sehingga keberadaanya dijadikan
sumber ajaran setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini memiliki
landasan yang sangat kuat, baik landasan dari Al-Qur’an, Sunnah
ataupun Atsar.

2.3.3 Prinsip-prinsip Berijtihad


Tidak semua masalah dalam ajaran islam dapat atau boleh
ditetapkan hukumnya melalui ijtihad. Masalah-masalah yang sudah
ditetapkan hukumnya secara pasti dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak
boleh ditetapkan melalui ijtihad, seperti waktu shalat, hukum wajib
shalat, zakat, puasa dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, para ulama menetapkan wilayah-wilayah yang
boleh ditetapkan hukumnya melalui ijtihad, atau prinsip-prinsip bagi
seseorang yang ingin melakukan ijtihad. Prinsip-prinsip tersebut
meliputi :
1. Pada dasarnya, masalah yang ditetapkan melalui ijtihad melalui
ijtihad tidak melahirkan keputusan atau hukum yang bersifat
mutlak absolut. Sebab ijtihad, hanya merupakan aktivitas akal
manusia yang relatif dan terbatas, maka keputusan atau hukum
yang diperolehnya pun adalah relatif.
2. Suatu keputusan yang ditetapkan melalui ijtihad, mungkin berlaku
bagi seseorang, dan tidak berlaku bagi orang lain secara umum,
juga mungkin berlaku untuk suatu tempat atau waktu, dan tidak
berlaku bagi tempat atau waktu yang lain.
3. Ijtihad tidak berlaku dalam masalah-masalah yang sudah
ditetapkan hukumnya secara pasti dalam Al-Qur’an dan Hadist,
seperti ibadah-ibadah yang bersifat Mahdlah. Ijtihad hanya
berlaku dalam masalah-masalah yang bersifat zhanni, seperti
masalah-masalah ibadah ghaira mahzhah, atau masalah sosial,
politik, ekonomi dan sebagainya.

16
4. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor
motivasi, kemaslahatan dan kemanfaatan umum serta nilai-nilai
yang menjadi jiwa atau nafas Islam.
5. Keputusan hukum yang ditentukan melalui Ijtihad tidak boleh
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

2.3.4 Macam-macam Ijtihad


Dilihat dari segi metode, macam-macam ijtihad dapat dibedakan
kepada tiga macam berikut ini :
1. Qiyas (reasoning by analogy). Artinya mengukur atau
membandingkan, atau mempertimbangkan sesuatu dengan
membandingkan.
2. Istihan (preference), yaitu menetapkan suatu hukum terhadap
suatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip atau dalil-
dalil Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan kebaikan,
keadilan, kasih sayang dan lain sebagainya.
3. Maslahat Al-Mursalah (utility), yaitu menetapkan hukum
terhadap suatu persoalan ijtihadiyah atas dasar pertimbangan
kegunaan dan pemanfaatan.
Sedangkan macam ijtihad dilihat dari teknis pelaksanaanya,
terbagi menjadi dua macam yaitu :
1. Ijtihad Fardi, yaitu setiap ijtihad yang belum atau tidak
memperoleh kesepakatan atau persetujuan dari para mujtahid
lainnya, atau ijtihad yang dilakukan oleh satu orang (perorangan).
2. Ijtihad Jama’i, yaitu setiap ijtihad yang telah mendapatkan
kesepakatan atau persetujuan dari para mujtahid lainnya, atau
ijtihad yang dilakuakn oleh sekeplompok orang bersama-sama.

Bedasarkan beberapa uraian tentag ijtihad tersebut, dapat


dipastikan bahwa ijtihad akan terus diperlakukan sepanjang zaman,
terlebih-lebih di abad modern yang terus maju perkembangan
kehidupan berjalan dengan cepat. Di manapun dan kapanpun
melalui ijtihad inilah, kedua sumber pokok Al-Qur’an dan Sunnah
akan mampu memberikan jawaban dan solusi atau jalan yang
terbaik kepada umat manusia dalam mengatisipasi segala
permasalahan yang dihadapinya.

17
18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa sumber ajararan islam
adalah mempunyai tiga unsur awal mulanya pembentukan yaitu Al-
Qur’an, Sunnah atau Hadist, dan Ijtihad. Maka bila kemudian ditangkap
oleh kita ketiga unsur dari adanya sumber ajaran islam adalah Al –
Qur’an sebagai Kalamu Allah yang merupakan wahyu an Sunnah atau
Hadist sebagai bimbingan dan keteladanan Nabi Muhammad SAW
kepada umatnya dalam menjalani agama Islam dengan baik dan benar.
Setelah itu sahabat Rasulullah mempelajari Al Qur’an dan Hadist
tersebut sehingga mereka berpengetahuan dan mempunyai kebijakan
yang tidak diragukan lagi kebenarannya dan itulah Ijtihad para ulama
sebagai sumber ajaran Islam.

3.2 Saran
Bahwa dalam mempelajari agama islam adalah hendaknya dimulai
dari sumber ajaran agama tersebut dimana didalam sumber ajaran
tersebut terdapat hal yang mendasar untuk diketahui sehingga
pengetahuan mengenai ajaran agama Islam tersebut akan dicapai dan
diperoleh dengan baik dan benar .

19
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/dyahistiningtyas/5dadb4cdc0cfa1410d2e88e2/maca
m-macam-metode-ijtihad

20

Anda mungkin juga menyukai