Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA II

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

KELMPOK 3:
1. Areha Binar Febrinesa
2. Astri Wulandari
3. Celine Nahdaliin
4. Fina Fauziah
5.
6. Febbi Hikmah Hidayati
7. Fina Fauziah
8. Happy Ditia Putri Ayu Laksana Mentari
9. Mellynia Eka Pratiwy
10. Sopiah
STIKES IHCSAN MEDICAL CENTRE BINTARO
Jl. Jombang Raya No.56 Sektor IX Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan-Banten 154
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Segala puji bagi Allah swt yang


telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa
pertolongan- Nya mungkin penulis tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik.
Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi
Muhammad SAW.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang "Asuhan
Keperawatan Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga". Makalah ini masih jauh dari sempurna
dan memerlukan perbaikan tetapi dapat dijadikan salah satu referensi bagi pembaca.

Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca.
Demi kesempurnaan makalah ini penulis mengajak pembaca memberikan kritik dan saran
yang membangun. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologi. Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan
diantaranya adalah muka merah dan tegang, pandangan tajam, mengatupkan rahang
dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar – mandir, bicara kasar, suara tinggi
menjerit atau berteriak, mengancam secara verbal atau fisik, melempar atau memukul
benda/orang lain, merusak barang atau benda, tidak mempunyai kemampuan
mencegah/mengontrol perilaku kekerasan (Damaiyanti, 2010)
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia.
Dalam keluarga, manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang lain. Oleh
karena itulah umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam lingkungan
keluarga. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna
menumbuhkembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam kenyataannya
keluarga sering kali menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus penyimpangan atau
aktivitas ilegal lain sehingga menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan, yang
dilakukan oleh anggota keluarga satu terhadap anggota keluarga lainnya seperti
penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan. Situasi inilah yang lazim disebut dengan
istilah Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam
keseharian. Pada umumnya, dalam struktur kekerabatan di Indonesia kaum laki-laki
ditempatkan pada posisi dominan, yakni sebagai kepala keluarga. Dengan demikian,
bukan hal yang aneh apabila anggota keluarga lainnya menjadi sangat tergantung kepada
kaum laki-laki. Posisi laki-laki yang demikian superior sering kali menyebabkan dirinya
menjadi sangat berkuasa di tengah-tengah lingkungan keluarga. Bahkan pada saat laki-
laki melakukan berbagai penyimpangan kekerasan terhadap anggota keluarga lainnya
dimana perempuan dan juga anak menjadi korban utamanya tidak ada seorang pun dapat
menghalanginya.
Oleh karena itu para aktivis dan pemerhati perempuan sangat memperjuangkan
lahirnya. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Hal ini sangat dipahami bahwa bukan saja Konstitusi Indonesia telah secara tegas
dan jelas melindungi hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap tindakan
diskriminasi, namun kejadian-kejadian Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan
berbagai modus operandinya, mengakibatkan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT) menderita, pada umumnya mereka menjadi stress, depresi, ketakutan, trauma,
takut bertemu pelaku, cacat fisik, atau berakhir pada perceraian. Dari sisi pelaku, apabila
kasusnya terungkap dan dilaporkan, biasanya timbul rasa menyesal, malu, dihukum, dan
atau memilih dengan perceraian pula. Sehingga memerlukan pengaturan yang memadai,
termasuk perlindungan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi hak asasi perempuan dalam
rumah tangga.
Bangsa Indonesia patut merasa bersyukur, karena pada tanggal 22 September
2004 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yang diharapkan dapat
dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara lain
mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan terhadap
pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga, dengan tetap menjaga keutuhan demi
keharmonisan keluarga. Menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga. Secara umum Undang-Undang ini menjelaskan bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Apa yang
sesungguhnya ingin dicapai oleh undang-Undang ini adalah meminimalisir tindak pidana
Kekerasan dalam Rumah Tangga dan pada akhirnya adalah terwujudnya posisi yang
sama dan sederajat di antara sesama anggota keluarga. Posisi yang seimbang antara
suami dan istri, anak dengan orang tua, dan juga posisi yang setara antara keluarga inti
dengan orang-orang yang baik secara langsung
maupun tidak langsung menjadi bagian dari keluarga sementara saat itu dalam
keluarga. Seperti pembantu rumah tangga maupun sanak saudara yang kebetulan tinggal
dalam keluarga tersebut dengan tidak memberi pembatasan apakah mereka laki-laki atau
perempuan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga
2. Apa efidemiologi Kekerasan dalam Rumah Tangga
3. Apa etiologi Kekerasan dalam Rumah T angga
4. Apa dampak Kekerasan dalam Ruamah Tangga pada keluarga : usia sekolah, dewasa,
lansia
5. Bagaimana pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga
6. Bagaimana Asuahan Keperawatan Kekerasan dalam Rumah Tangga
B. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga
2. Menjelaskan efidemiologi Kekerasan dalam Rumah Tangga
3. Menjelaskan etiologi Kekerasan dalam Rumah Tangga
4. Menjelaskan dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga pada keluarga : usia sekolah,
dewasa, lansia
5. Menjelaskan pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga
6. Menjelaskan Asuhan Keperawatan Kekerasan dalam Rumah Tangga
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Berdasarkan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) No. 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa Kekerasan dalam Rumah
Tangga merupakan setiap perbuatan pada seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara hukum dalam lingkup rumah tangga. Yang
ditandai dengan hubungan antar anggota keluarga yang diwarnai dengan penyiksaan
secara verbal, tidak adanya kehangatan.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu dari permasalahan sosial
yang penting sekali dimana perempuan ditempatkan dalam posisi lebih rendah
dibandingkan laki-laki. (Darmono & Diantri, 2008)

Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosional, dan fisik


pada anak-anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan, dan penganiayaan lansia. (Sheila
L.Videbeck.2008)

B. Etiologi
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejadian kekerasan dalam
rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi :

1. Faktor individual (korban/perempuan) : kepercayaan/agama, umur, status


kependudukan, urutan anak dalam keluarga, pekerjaan diluar rumah, pendidikan
rendah, riwayat kekerasan saat masih anak-anak.
2. Faktor individual (pelaku/ laki-laki) : perbedaan umur, pendidikan rendah, pekerjaan,
riwayat mengalami kekerasan saat masih anak-anak, penggunaan obat-obatan atau
alkohol , kebiasaan berjudi, gangguan mental, penyakit kronis, mempunyai hubungan
diluar nikah dengan wanita lain.
3. Faktor sosial budaya : Menurut Helse et all, (2005) budaya patrilineal yang
menempatkan peran laki-laki sebagai pengontrol kekayaan, warisan keluarga
(termasuk nama keluarga) dan pembuat keputusan dalam keluarga serta konflik
perkawinan
merupakan predictor yang kuat untuk terjadinya kekerasan. Ada budaya yang
menganggap perilaku kekerasan suami terhadap istri adalah hal yang biasa. Perilaku
kekerasan yang di lakukan oleh suami ini di maksudkan untuk mengontrol keluarga.
4. Faktor sosio ekonomi : salah satu faktor utama terjadinya tindakan kekerasan adalah
kemiskinan. Faktor lain yang berhubungan adalah pengangguran, urbanisasi,
pengisolasian, diskriminasi, gender dalam lapangan pekerjaan.
5. Faktor religi : pemahaman ajaran agama yang keliru : suami salah persepsi dalam
agama “memukul istri” adalah hal yang wajar untuk mendidik istrinya dan persepsi
seperti itu terjadilah kekerasan dalam rumah tangga
6. Lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan kriminalitas yang tinggi
7. Kehidupan keluarga yang kacau, tidak saling mencintai dan menghargai, serta tidak
menghargai peran wanita
8. Kurang adanya keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga
9. Adanya perilaku meniru yang diserap oleh anak karena terbiasa melihat kekerasan
dalam rumah tangga. Pelaku juga memiliki perilaku yang temperamen tinggi, mudah
tersinggung dan cepat marah kepada istri karena tidak patuh terhadap suami.
10. Beban pengasuhan anak : istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban
sebagai pengasuh anak. ketika terjadi hal yang tidak diinginkan terjadap anak, maka
suami akan menyalahkan istri sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
11. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik : tindakan ini merupakan faktor
dominan yang dilakukan suami sebagai pelampiasan dari ketersinggungan atau
kekecewaan karena tidak dipenuhi keinginan suami. tindakan inni juga biasanya
dilakukan dengan tujuan agar istri jadi penurut. sehingga apa kata suami dapat dituruti
oleh istri
12. Frustasi : teori frustasi - agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk
mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu
pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat dalam
tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau
memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya : belum siap kawin, suami belum
memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.
13. Pendidikan yang rendah
Bagi pasangan suami-istri yaitu karna tidak ada nya pengetahuan bagi kedua nya
dalam hal bagaimana cara mengimbangi pasangan dan mengatasi keuangan yang
dimiliki pasangan dalam menyelaraskan sifat-sifat yang tidak cocok diantara
keduanya.
14. Cemburu yang berlebihan
Jika tidak adanya rasa kepercayaan antara satu dan lain maka akan timbul rasa
cemburu dan curiga dalam kadar yang sangat berlebihan. Sifat cemburu yang terlalu
tinggi ini bisa memicu terjadi nya kekerasan dalam rumah tangga.

C. Tanda/Pemeriksaan Pada korbanKDRT


Menurut Abrar (2001) Korban KDRT biasanya cenderung menutupi penderitaan fisik
dan psikologis yang dilakukan pasangannya, karena KDRT dianggap sebagai suatu hal
yang tabu. Adanya sikap posesif terhadap korban ataupun perilaku mengisolasi korban
dari dunia luar dapat dilihat sebagai tanda awal KDRT. Korban biasanya tampak depresi,
sangat takut pada pengunjung/pasien lainnya dan yang merawatnya, termasuk pegawai
rumah sakit. Mereka akan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Mereka
umumnya tak ingin orang sekitarnya melihat tanda-tanda kekerasan pada diri mereka.
Kontak mata biasanya buruk. Korban menjadi pendiam. Korban harus diperiksa secara
menyeluruh untuk memeriksa dengan teliti tanda-tanda kekerasan yang pada umumnya
tersembunyi. Korban juga akan mencoba untuk menyembunyikan atau menutupi luka-
lukanya dengan memakai riasan wajah tebal, leher baju yang tinggi, rambut palsu atau
perhiasan.
1. Karakteristik Luka
Orang yang mendapat siksaan fisik dari pasangannya sering mengalami cedera,
namun mereka cenderung menutupinya dengan mengatakan bahwa luka tersebut akibat
terjatuh/kecelakaan umum. Untuk membedakannya, perlu diketahui ciri-ciri khusus luka
akibat kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga. Karakteristik luka akibat KDRT,
biasanya menunjukkan gambaran sebagai berikut:
a. Luka bilateral, terutama pada ekstremitas.
b. Luka pada banyak tempat.
c. Kuku yang tergores, luka bekas sundutan rokok yang terbakar, atau bekas tali yang
terbakar.
d. Luka lecet, luka gores minimal, bilur.
e. Perdarahan subkonjungtiva yang diduga karena adanya perlawanan yang kuat antara
korban dengan pelaku.
2. Bentuk-Bentuk Luka

Adanya bentukan luka memberi kesan adanya kekerasan. Bentukan luka merupakan
tanda, cetakan atau pola yang timbul dengan segera di bawah epitel oleh senjata
penyebab luka. Bentuk luka dapat karena benda tumpul, benda tajam (goresan atau
tikaman) atau karena panas.
a. Kekerasan Tumpul
Kekerasan tumpul yang melukai kulit merupakan luka yang paling sering terjadi,
berupa luka memar, lecet, dan luka goresan. Adanya luka memar yang sirkuler
ataupun yang linier memberi kesan adanya penganiayaan. Luka memar parallel
dengan sentral yang bersih memberi kesan adanya penganiayaan dari objek linear.
Adanya bekas tamparan dengan bentukan jari juga harus dicatat. Luka memar
sirkuler dengan diameter 1–1,5 cm dengan tekanan ujung jari mungkin terlihat sama
dengan bentuk penjambretan. Bentukan-bentukan tersebut sering tampak pada
lengan atas bagian dalam dan area-area yang tidak terlihat waktu pemeriksaan fisik.
Penganiayaan dengan menggunakan ikat pinggang/kawat menyebabkan luka memar
yang datar, dan penganiayaan dengan sol/hak sepatu akan menyebabkan luka memar
pada korban yang ditendang.
b. Memar
Beberapa faktor mempengaruhi perkembangan luka memar, meliputi kekuatan
kekerasan tumpul yang diterima oleh kulit, kepadatan vaskularisasi jaringan,
kerapuhan pembuluh darah, dan jumlah darah yang keluar ke dalam jaringan sekitar.
Luka memar yang digunakan untuk identifikasi umur dan penyebab luka, tidak
selalu menunjukkan kesamaan warna pada tiap orang dan tidak dapat berubah dalam
waktu yang sama antara satu orang dengan orang lain. Beberapa petunjuk dasar
tentang penampakan luka memar sebagai berikut:
1) Waktu merah, biru, ungu, atau hitam dapat terjadi kapan saja dalam waktu 1 jam
setelah trauma sebagai resolusi dari memar. Gambaran warna merah tidak dapat
digunakan untuk memperkirakan umur memar.
2) Memar dengan gradasi warna kuning umurnya lebih dari 18 jam.
3) Meskipun warna memar kuning, coklat, atau hijau merupakan indikasi luka
yang lama, tetapi untuk mendapatkan waktu yang spesifik sulit.
c. Bekas Gigitan
Merupakan bentuk luka lain yang sering ada pada domestic violence. Beberapa
bentukan gigitan ini sulit untuk dikenali, misalnya penampakan memar semisirkuler
yang non spesifik, luka lecet, atau luka lecet memar, dan masih banyak lagi
gambaran

yang dapat dikenali karena lokasi anatomi dari gigitan dan pergerakan tidak tetap
pada kulit.
d. Bekas Kuku
Ada 3 macam tanda bekas kuku yang mungkin terjadi, bisa tunggal atau kombinasi,
yaitu sebagai berikut:
1) Impression marks: Bentukan ini merupakan akibat patahnya kuku pada kulit.
Bentuknya seperti koma atau setengah lingkaran.
2) Scratch marks: Bentuk ini superficial dan memanjang, kedalamannya sama
dengan kedalaman kuku. Bentukan ini terjadi karena wanita yang menjadi
korban berkuku panjang.
3) Claw marks: Bentukan ini terjadi ketika kulit terkoyak, dan tampak lebih
menyeramkan.
e. Strangulasi
Hanging, ligature, atau manual adalah 3 tipe dari strangulasi (penjeratan). Dua tipe
terakhir mungkin berhubungan dengan domestic violence.4
4) Ligature strangulation (garroting) dan Manual strangulation (throttling).
Ligature strangulation (garroting) merupakan bentuk strangulasi dengan
menggunakan tali, seperti kabel telepon/tali jemuran. Sedangkan Manual
strangulation (throttling) biasanya menggunakan tangan, dilakukan dengan
tangan depan sambil berdiri atau berlutut di depan tenggorokan korban.
5) Strack dan McLane melakukan penelitian pada 100 wanita yang dilaporkan
mengalami pencekikan oleh pasangan mereka dengan tangan kosong, lengan
ataupun menggunakan alat (kabel listrik, ikat pinggang, tali, peralatan mandi).
Petugas kepolisian melaporkan luka tidak tampak pada 62% wanita, luka
tampak minimal pada 22% dan luka yang signifikan seperti warna merah,
memar ataupun bekas tali yang terbakar pada 16% sisanya. Hampir 50% dari
para korban mengalami perubahan suara dari disfonia sampai afonia.
6) Disfagia, odinofagia, hiperventilasi, dispneu, dan apneu dilaporkan atau
ditemukan. Dengan catatan, laporan menunjukkan bahwa beberapa korban
dengan keadaan awal ringan, dapat meninggal dalam waktu 36 jam setelah
strangulasi.
7) Pada ligature strangulation sering tampak petechiae. Petechiae pada
konjungtiva terlihat sama banyaknya dengan petechiae pada daerah jeratan,
seperti wajah dan daerah periorbita.

8) Pada leher mungkin ditemukan goresan dan luka lecet dari kuku korban atau
kombinasi dari luka yang dibuat oleh pelaku dan korban. Lokasi dan luas
bervariasi dengan posisi pelaku (depan atau belakang) dan apakah korban atau
pelaku menggunakan satu atau dua tangan. Pada Manual strangulation korban
sering merendahkan dagunya dalam upaya melindungi leher, hal ini akan
mengaakibatkan luka lecet pada dagu korban dan tangan pelaku.
9) Luka memar tunggal atau area eritematous sering terlihat pada ibu jari pelaku.
Area dari luka memar dan eritema sering terlihat bersama, berkelompok pada
bagian samping leher, sepanjang mandibula, bagian atas dagu, dan di bawah
area supraklavikula.
10) Ligature mark terlihat dari halus sampai keras. Menyerupai lipatan kulit. Tanda
(misalnya pola seperti gelombang kabel telepon, seperti jalinan pita dari tali)
dapat memberi kesan korban telah dicekik. Sifat dan sudut pola ini diperlukan
untuk membedakan penggantungan dengan Ligature strangulation. Pada
Ligature strangulation, penekanan dari penjeratan biasanya horizontal pada
level yang sama dengan leher, dan tanda penjeratan biasanya di bawah kartilago
thyroid dan sering tulang hyoid patah. Pada penggantungan, penekanan
cenderung vertical dan berbentuk seperti air mata, di atas kartilago thyroid,
dengan simpul pada daerah tengkuk, di bawah dagu, atau langsung di depan
telinga. Tulang hyoid biasanya masih utuh.
11) Keluhan lainnya termasuk kehilangan kesadaran, defekasi, muntah yang tidak
terkontrol, mual dan kehilangan ingatan.

3. Distribusi Luka
Luka-luka pada KDRT biasanya mempunyai distribusi tertentu, sebagai berikut:
1. Luka pada domestic violence biasanya sentral.
2. Tempat luka yang umum adalah daerah yang biasanya tertutup oleh pakaian
(misalnya dada, payudara dan perut).
3. Wajah, leher, tenggorokan dan genitalia juga tempat yang sering mengalami
perlukaan.
4. Lebih dari 50% luka disebabkan karena kekerasan pada kepala dan leher. Pelaku
laki- laki menghindari untuk menyerang wajah, tetapi kemudian memukul kepala
bagian belakang.
5. Luka pada wajah dilaporkan pada 94% korban domestic violence.
6. Trauma pada maxillofacial termasuk luka pada mata dan telinga, luka pada jaringan
lunak, kehilangan pendengaran, dan patah pada mandibula, patah tulang hidung,
orbita dan zygomaticomaxillary complex.
Luka karena perlawanan, misalnya patah tulang, dislokasi sendi, keseleo, dan
atau luka memar dari pergelangan tangan atau lengan bawah dapat mendukung adanya
tanda dari korban untuk menangkis pukulan pada wajah atau dada. Termasuk luka pada
bagian ulnar dari tangan dan telapak tangan (yang mungkin digunakan untuk menahan
serangan). Luka lain yang umum ada termasuk luka memar pada punggung, tungkai
bawah, bokong, dan kepala bagian belakang (yang disebabkan karena korban
membungkuk untuk melindungi diri).
Luka lecet yang banyak atau luka memar pada tempat yang berbeda sering terjadi
memperkuat kecurigaan adanya domestic violence. Peta tubuh dapat membantu
penemuan fisik adanya kekerasan termasuk dengan memperhatikan kemungkinan tanda-
tanda kekerasan pada daerah-daerah yang tersembunyi. Terdapatnya luka yang banyak
dengan tahap penyembuhan yang bervariasi memperkuat dugaan adanya KDRT yang
berulang.

D. Dampak
Dampak KDRT terhadap Anak menurut Marianne James, Senior Research pada
Australian Institute of Criminology (1994) adalah :

1. Dampak terhadap Anak berusia bayi


Usia bayi seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam kaitannya dengan
kemampuan kognitif dan beradaptasi, menyatakan bahwa anak bayi yang
menyaksikan terjadinya kekerasan antara pasangan bapak dan ibu sering dicirikan
dengan anak yang memiliki kesehatan yang buruk, kebiasaan tidur yang jelek, dan
teriakan yang berlebihan. Bahkan kemungkinan juga anak-anak itu menunjukkan
penderitaan yang serius. Hal ini berkonsekuensi logis terhadap kebutuhan dasarnya
yang diperoleh dari ibunya ketika mengalami gangguan yang sangat berarti. Kondisi
ini pula berdampak lanjutan bagi ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam problem emosinya, bahkan
sangat terkait dengan persoalan kelancaran dalam berkomunikasi.
2. Dampak terhadap anak toddler
Dalam tahun kedua fase perkembangan, Dampak yang terjadi seperti seringnya sakit,
memiliki rasa malu yang serius, dan memiliki masalah selama dalam pengasuhan,
terutama masalah sosial, misalnya : memukul dan menggigit

3. Dampak terhadap Anak usia pra sekolah


Cumming (1981) melakukan penelitian tentang KDRT terhadap anak-anak yang
berusia TK, pra sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya bahwa Anak-anak
yang memperoleh rasa distress pada usia sebelumnya. Ini dapat dijelaskan bahwa
anak-anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial dari teman sebayanya, bahkan
tidak berkesempatan untuk berhubungan dengan kegiatan atau minat teman sebayanya
juga, maka mereka cenderung memiliki beberapa masalah yang terkait dengan orang
dewasa.
4. Dampak terhadap Anak Sekolah
Anak-anak mengalami masalah dalam kesehatan mentalnya, termasuk didalamnya
prilaku anti sosial dan depresi, anak mengalami mimpi buruk, ketakutan, nafsu makan
menurun, lamban dalam belajar, anak akan mengalami luka, cacat fisik, cacat mental,
bahkan kematian, menunjukkan perubahan perilaku dan kemampuan belajar, memiliki
gangguan belajar dan sulit berkonsentrasi, selalu curiga dengan orang lain.
5. Dampak kekerasan dalam rumah tangga pada dewasa (istri)
a. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri
menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan
tersebut
b. Kekerasa seksual mengakibatkan menurunkan atau bahkan hlangnya gairah
seks, karena istri menjadi ketakutan
c. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma,
rasa takut, marah meningkat, meledak-ledak, depresi.
d. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasnya pemenuhan kebutuhan sehari-
hari yang diperlukan istri dan anaknya.
6. Dampak kekerasan dalam rumah tangga pada lansia :
e. Merasa tidak dihargai
f. Merasa gagal mendidik anak
E. Pencegahan
1. Pencegahan primer : dengan cara memberikan penguatan pada individu dan keluarga
dengan membangun koping yang efektif dalam menghadapi stress dan
menyelesaikan masalah tanpa menggunakan kekerasan.
2. Pencegahan sekunder : dengan cara mengidentifikasi keluarga dengan resiko
kekerasan, penelataran, atau eksploitasi terhadap anggota keluarga, serta melakukan
deteksi dini terhadap keluarga yang mulai menggunakan kekerasan.
3. Pencegahan tersier : dilakukan dengan cara menghentikan tindak kekerasan yang
terjadi bekerja sama dengan badan hukum yang berwenang untuk menangani kasus
kekerasan.
4. Menyelenggarakan pendidikan orang tua untuk dapat menerapkan cara mendidik dan
memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
5. Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya
melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika
sewaktu-waktu terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
6. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
7. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat
yang ditimbulkan dari kekerasan dalam rumah tangga.
8. Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang
harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku
kekerasan dalam rumah tangga.
9. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin,
kondisi, dan potensinya.
10. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena kekerasan
dalam rumah tangga, tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga.
11. Perlu nya keimanan yang kuat dan aklaq yang baik juga berpegang teguh pada agama
nya masing-masing, sehingg kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi.
12. Harus ada nya komunikasi yang baik antar suami dan juga istri agar tercipta sebuah
rumah tangga yang rukun, harmonis.
13. Seorang istri mampu mengkoordinir berapa pun keuangan yang ada dalam keluarga,
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan keluaga yang
minim, sehingga kekurangan enkonomi yang minim dapat teratasi.
F. Tipe Kekerasan
1. Secara fisik, yaitu menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut
dengan rokok, melukai dengan senjata, dan sebagainya.
2. Secara psikologis, yaitu penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan,
melarang istri mengunjungi saudara atau teman-temannya, mengancam akan
dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan sebagainya.
3. Secara seksual (marital rape), yaitu kekerasan dalam bentuk pemaksaan dan
penuntutan hubungan seksual.
4. Secara ekonomi, yaitu tidak memberi nafkah istri, melarang istri bekerja, atau
membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi (Yusuf,2015)

G. Siklus Kekerasan

Kekerasan terjadi berulang-ulang dan kekerasan itu memang bersiklus seperti


lingkaran setan. Pada periode awal kekerasan terjadi suami sadra akan kesalahannya
dan segera meminta maaf kepada istrinya dan berusaha berdamai dengan berbagai
cara seperti memberikan hadiah ataupun mengucapkan “aku sayang kamu”. Dan pada
tahap ini berlangsung periode bulan madu dimana suami dan istri membaik dan
harmonis, pada periode ini bisa berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Dan ketika periode ini telah habis waktunya dengan timbulnya ketegangan kembali
yang kedua kalinya, maka kekerasan itu kembali terjadi dan dampak buruknya bagi
istri lebih besar dari kekerasan yang pertama.
H. Peran Perawat
1. Peran sebagai pendidik (educator)
Meningkatkan pengetahuan ibu dan keluarga mengenai kekerasan dalam rumah
tangga khususnya mengenai pengertian, jenis, serta dampak.
2. peran sebagai pemberi konseling (counselor)
Disini perawat maternitas dapat berperandengan fokus meningkatkan harga diri
korban, memfasilitasi ekspresi perasaan korban dan terutama untuk memberikan
informasi dan dukungan agar korban korban dapat mengambil langkah pengamanan.
konseling tidak hanya ditujukan untuk perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga. tetapi juga untuk pelaku. tujuannya adalah untuk mendorong pelaku untuk
mengambil tanggung jawab dalam menghentikan tindak kekerasan dan meningkatkan
kualitas hidupnya sendiri.
3. Peran sebagai pemberi pelayanan keperawatan (caregiver)
Peran perawat maternitas sebagai pemberi pelayanan keperawatan adalah memberikan
asuhan keperawatan mulai dari pengkajian hingga pemberian inteervensi dan
evaluasi.perawat harus meningkatkan kepekaan dengan tidak mengabaikan tanda-
tanda bekas perlakuan kekerasan, secara cepat dan dapat mengidentifikasikan
masalah, menentukan apakah wanuta terebut membutuhkan penanganan medis
ataupun terapi khusus.
4. Peran sebagai penemu kasus dan peneliti (case finder researcher)
Meningkatkan riset dan pendalaman dalam aspek prevensi, promosi dan deteksi dini.

5. Peran sebagai pembela (advokat) Berperan sebagai advokat, perawat harus senantiasa
terbuka untuk suatu kerja sama yang baik dengan lembaga penyedia layanan
pendampingan dan bantuan hukum, mengadakan pelatihan mengenai perlindungan
pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga, melatih kader- kader (LSM) untuk
mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.
6. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi (anjurkan segera lakukan
pemeriksaan visum), Pengaduan dan visum terhadap KDRT berupa kekerasan fisik
memang sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, seketika setelah KDRT terjadi. Hal
ini agar tanda-tanda fisik bekas penganiayaan tidak keburu hilang.
7. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan
dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
8. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif (Ruang
Pelayanan Khusus).
9. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban
dengan pihak kepolisian, dinas sosial, serta lembaga sosoal yang dibutuhkan korban
Sosialisasi Undang-Undang KDRT kepada keluarga dan masyarakat.
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Pengkajian

1. Biodata
Nama : Ny.-
Usia : 30 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan :-
Alamat :-
Pekerjaan :-
Agama :-

2. Keluhan Utama : Ibu klien mengatakan jika anaknya merasa tidak kuat lagi
dengan tindakan suaminya yang sering memukulinya.
3. Faktor Predisposisi :
 Kekerasan Fisik: Suami sering memukuli istri dengan tangan atau benda-
benda disekitarnya

 Kekerasan Psikis: Perilaku dan ucapan kasar dari suami kerap kali dilontarkan
pada sang istri

 Seksual: Suami sering memukuli bila istri tidak memenuhi kebutuhan suami
dan terkadang suaminya sering melakukan kekerasan dalam hubungan
seksual

 Kekerasan Ekonomi: Suami yang bekerja sebagai tukang becak sudah sering
tidak bekerja karena sepi penumpang, maka istri tidak menerima nafkah lagi
dari suaminya
4. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Composmentis
 TTV : TD : 140/90 mmHg RR 19x/m HR : 99 x /m
 Pemeriksaan Luka : Terdapat luka lebam/memar disekujur tubuh dan
terdapat luka gigitan di tubuh bagian depan klien.
 Psikososial : Klien tampak sering menangis dan ketakutan, sering
menyendiri dan tampak murung
 Status mental
 Penampilan : agak sedikit Kotor
 Pembicaraan : lambat,
 Aktivitas Motorik : klien tampak gelisah
 Interaksi selama wawancara : kontak mata kebawah
B. Analisa Data
MASALAH
DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
DS : Istri mengaku sering Faktor penyebab KDRT Ansietas
dipukuli oleh suami
dengan menggunakan
Keadaan ekonomi rendah,
tangan dan benda-benda
ketergantungan ekonomi istri
disekitar
terhadap suami
DO : terdapat luka lebam
disekujur tubuh,
klien tampak sering Pergeseran fungsi keluarga

menangis dan ketakutan


Stress dan cemas

Perasaan terancam

Kemarahan

Mekanisme koping tidak


adekuat

Pandangan bahwa suami


lebih berkuasa daripada istri
Tindakan dekstruktif dan
tidak asertif

Perilaku kekerasan terhadap


istri

Istri mengalami kecemasan

Ansietas
DS : - Perilaku kekerasan terhadap Harga diri rendah
DO : Tampak sering istri
menyendiri dan
ketakutan Pukulan dengan tangan dan
Murung. benda

Trauma Psikis

Gangguan konsep diri :


harga diri rendah
DS : - Perilaku kekerasan terhadap Gangguan integritas kulit
DO : terdapat luka di sekujur istri
tubuh
Lebam

Gangguan integritas kulit

C. Diagnosa dan Intervensi


No. Diagnosa Tujuan Intervensi
1. Gangguan integritas Tupan: integritas kulit 1. Observasi kondisi
kulit berhubungan klien terjaga. kulit,karakteristik luka,
dengan luka pukulan distribusi luka dan jenis luka
yang berulang Tupen: dalam 2x24 2. kaji penyebab semua luka
ditandai dengan luka jam kulit klien 3. Kompres dengan
lebam seluruh tubuh membaik, luka lebam menggunakan air es/air
dingin
sedikit-sedikit 4. Berikan perawatan kulit
hilang,klien tidak (lotion).
mengeluh kesakitan 5. Pertahankan kuku tetap
pendek.
6. Gunakan pakaian yang
longgar
7. perhatikan jadwal istirahan
klien

2. Ansietas b.d koping Tujuan 1. Sapa klien dengan ramah,


individu tid efektif Umum: baik verbal maupun
d.d klien tampak Klien dapat nonverbal (lakukan
sering menangis dan mengurangi komunikasi terpetik)
ketakutan ansietasnya sampai 2. Yakinkan klien dalam
tingkat sedang atau keadaan aman dan perawat
ringan. siap menolong dan
Khusus: mendampinginya
Klien percaya 3. Yakinkan bahwa kerahasiaan
terhadap perawat, klien akan tetap terjaga
ketakutan mulai 4. Tunjukkan sikap terbuka dan
menghilang dan jujur
tampak tegar 5. Perhatikan kebutuhan dasar
menghadapi dan beri bantuan untuk
masalahnya. memenuhinya
6. Kurangi stimulus lingkungan
dan batasi interaksi klien
dengan klien lain.
7. diskusikan semua masalah
yang dialami klien
8. berikan penjelasan dan
respon positif terhadap
masalah klien

3. Gangguan Konsep . tujuan umum:


diri: harga diri rendah . konsep diri baik dan 1. Berikan perhatian dan
b.d mampu penghargaan positif terhadap
mengkomunikasikan klien
d.d klien tampak perasaannya. 2. Dengarkan klien dengan
sering menyendiri . khusus: empati : berikan kesempatan
dan murung bicara (jangan di buru-buru),
. Membina hubungan tunjukkan perawat mengikuti
saling pembicaraan klien.
percaya.mampu 3. Bicara dengan klien penyebab
. Menyebutkan sering mengendiri.
penyebab menarik 4. Diskusikan akibat yang
diri,melakukan dirasakan dari menarik diri.
hubungan sosial 5. Diskusikan keuntungan
secara bertahap, berinteraksi dengan orang
klien – perawat, lain.
klien – kelompok, 6. Bantu klien mengidentifikasi
klien – keluarga. kemampuan yang dimiliki
klien untuk bergaul.
. 7. Lakukan interaksi sering dan
singkat dengan klien
8. Motivasi / temani klien untuk
berinteraksi dengan orang
yang dipercaya dan mampu
membantu permasalahan
klien
9. Bantu klien melakukan
aktivitas hidup sehari-hari
dengan interaksi.
10. Fasilitas hubungan klien
dengan keluarga secara
terapeutik.
11. Diskusikan dengan klien
setiap selesai interaksi atau
kegiatan
12. Beri pujian terhadap
kemampuan klien
mengungkapkan
perasaannnya
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan pada seseorang terutama
pada perempuan dalam bentuk penganiayaan fisik, emosional, seksual pada anak,
pengabaian anak dan lansia yang berakibat timbulnya kesengsaraan, kekerasan dalam
lingkup rumah tangga. Yang ditandai dengan hubungan antar anggota keluarga yang
diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan.
Kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena adanya beberapa faktor yaitu faktor
individual, sosio budaya, ekonomi, religi. Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa
kekerasan fisik, psikologi, seksual, dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan dalam
rumah tangga bisa berdampak pada korban seperti sakit fisik, cacat mental, merasa
ketakutan, menurunkan seksualitas, keterlambatan dalam belajar, merasa tidak dihargai,
depresi, dan bisa berakibat kematian.

B. Saran
Dengan telah membacanya makalah ini, mahasiswa/I diharapkan dapat mengerti,
mengetahui tentang Asuhan Keperawatan Kekerasan dalam Rumah tangga, serta
tindakan- tindakan yang akan diambil dalam membuat Asuhan Keperawatan yang
bermutu dan bermanfaat bagi pasien. Serta dituntut untuk bisa membandingkan antara
teori dan kasus yang terjadi di lapangan atau lahan praktek yang terkadang
ketidaksinkronan dan kesinkronan yang wajar. Semoga bermanfaat bagi semua
mahasiswa dan membantu dalam pembuatan Asuhan Keperawatan kelak.
DAFTAR PUSTAKA

Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan
Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.

At–Thahirah, Almira. 2006. Kekerasan Rumah Tangga Produk Kapitalisme (Kritik Atas
Persoalan KDRT). Bandung: UN

Darmono & Diantri, 2008. Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Dampaknya Terhadap
Kesehatan Jiwa. Jakarta: FK.UI

Efendy, Ferry Makhfudi.2009.Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktik


Dalam Keperawatan.Jakarta:Salemba Medika

Malikah. 2004. Eksplorasi Kinerja UU RI No 23 Tahun 2004. Tentang Penghapusan KDRT


dan Pengembangan Strategi Sosialisasi dan Edukasi. Jakarta

Sheila L.Videbeck. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:EGC

Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa.

Jakarta:EGC Yusuf, 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.

Jakarta:Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai