Ak Syariah

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

1.

Akuntansi dalam Islam

Dalam istilah Islam yang menggunakan istilah arab, akuntansi disebut


sebagai Muhasabah. Secara umum muhasabah memiliki dua (2) pengertian
pokok yaitu:
1) Muhasabah dengan arti Musa'alah (perhitungan) dan munaqasyah
(perdebatan). Kemudian dilanjutkan dengan pembalasan yang sesuai
dengan catatan perbuatannya. Proses Musa'alah dapat diselesaikan secara
individu atau dengan perantara orang lain, atau dapat pula dengan
perantara Malaikat, atau oleh Allah sendiri pada hari kiamat nanti.
2) Muhasabah dengan arti pembukuan/ pencatatan keuangan seperti yang
diterapkan pada masa awal munculnya Agama Islam. Juga diartiakan
dengan penghitungan modal pokok serta keuntungan dan
kerugian.Muhasabah juga berarti pendataan, pembukuan, dan semakna
dengan Musa'alah, perdebatan, serta penentuan imbalan/ balasan seperti
yang diterapkan dalam lembaga-lembaga Negara, lembaga Baitul Maal,
undang-undang wakaf, Mudharabah, dan serikat-serikat kerja.
Adapun kata hisab yang searti dengan kata muhasabah, memiliki arti:
 Hisab dalam arti menghitung dan mendata
 Hisab dalam arti perhitungan, pembalasan, dan perdebatan (dalam hal ini
Sama dengan muhasabah)
 Hisab dengan arti muhasabah dan munaqasyah di hari kiamat
 Hisab dengan arti merasa cukup dengan kelapangan karunia yang
diberikan Allah tanpa ikatan dan tekanan

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian


Akuntansi dalam Agama Islam adalah:
a. Pembukuan keuangan (menghitung dan mendata semua transaksi
keuangan)
b. Perhitungan, Perdebatan, dan Pengimbalan

Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai


kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan
dari sumber-sumber syariah islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh
seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis,
pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam
menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

2. Praktik Akuntansi dalam Kekhalifaan/pemerintahan Islam


Kewajiban zakat berdampak pada didirikannya institusi Baitul Mal oleh
Nabi Muhammad SAW yang befungsi sebagai lembaga penyimpan zakat
beserta pendapatan lain yang diterima oleh negara. Hawari (1989) dan Zaid
(2001) mengungkapkan bahwa pemerintahan Rasulullah memiliki 42 pejabat
yang digaji yang terspesialisasi dalam peran dan tugas tersendiri. Adnan dan
Lapatjo (2006) memandang bahwa praktik akuntansi pada lembaga Baitulmal
di zaman Rasulullah baru berada pada tahap penyiapan personal yang
menangani fungsi-fungsi lembaga keuangan negara. Pada masa tersebut, harta
kekayaan yang diperoleh negara langsung didistribusikan setelah harta
tersebut diperoleh. Dengan demikian, tidak terlalu diperlukan pelaporan atas
penerimaan dan pengeluaran Baitul Mal. Hal sama berlanjut pada masa
Khalifah Abu Bakar as Siddik. 
Perkembangan Pemerintahan Islam hingga meliputi Timur Tengah, Afrika
dan asia di zaman khalifah Umar bin Khattab telah meningkatkan penerimaan
negara secara signifikan. Dengan demikian, kekayaan negara yang disimpan di
Baitulmal juga semakin besar. Para sahabat merekomendasikan perlunya
pencatatan untuk pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran negara.
Selanjutnya, khalifah Umar bin Khattab mendirikan unit khusus yang bernama
Diwan (dari kata dawwana = tulisan) yang bertugas membuat laporan
keuangan Baitulmal sebagai bentuk akuntabilitas Khalifah atas dana Baitulmal
yang menjadi tanggungjawabnya (Zaid, 2001). 
Selanjutnya, reliabilitas laporan keuangan pemerintah dikembangkan oleh
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (681-720 M) berupa praktik pengeluaran bukti
penerimaan uang. Kemudian Khalifah Al Waleed bin Abdul Malik (705-715
M) mengenalkan catatan dan register yang terjilid dan tidak terpisah seperti
sebelumnya (Lasyin,1973, dalam Zaid, 2001). 
Evolusi perkembangan pengelolaan buku akuntansi mencapai tingkat
tertinggi pada masa Daulah Abbasiah. Akuntansi diklasifikasikan pada
beberapa spesialisasi, antara lain akuntansi peternakan, akuntansi pertanian,
akuntansi bendahara, akuntansi konstruksi, akuntansi mata uang, dan
pemeriksaan buku (auditing) (Zaid, 2001). Pada masa itu, sistem pembukuan
telah menggunakan model buku besar., yang meliputi sebagai berikut. 
(1) Jaridah Al-Kharraj (mirip receivable subsidiary ledger), merupakan
pembukuan pemerintah terhadap piutang pada individu atas zakat tanah,
hasil pertanian, serta hewan ternak yang belum dibayar dan cicilan yang
telah dibayar (Lasyin,1973, dalam Zaid, 2001). Piutang dicatat di satu
kolom dan cicilan pembayaran dikolom yang lain. 
(2) Jaridah An-Nafaqat (jurnal pengeluaran), merupakan pembukuan yang
digunakan untuk mencatat pengeluaran Negara. 
(3) Jaridah Ai-Mal (Jurnal dana), merupakan pembukuan yang digunakan
untuk mencatat penerimaan dan pengeluaran dana zakat. 
(4) Jarida Al-Musadareen, merupakan pembukuan yang digunakan untuk
mencatat penerimaan denda atau sita dari individu yang tidak sesuai
syariah, termasuk dari pejabat yang korup. 
Adapun untuk pelaporan, telah dikembangkan berbagai laporan
akuntansi, antara lain sebagai berikut. 
a) Al-Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan pengeluaran yang
dibuat setiap bulan (Bin Jafar, 1981, dalam Zaid, 2001). 
b) Al-Khitmah al-jame’ah, laporan keuangan komprehensif yang
berisikan gabungan antara laporan laba rugi dan neraca (pendapatan,
pengeluaran, surplus dan deficit, belanja untuk asset lancar maupun
asset tetap) yang dilaporkan di akhir tahun. Dalam perhitungan dan
penerimaan zakat, utang zakat yang diklasifikasikan dalam laporan
keuangan menjadi tiga kategori, yaitu collectable debts, doubtful debts,
dan uncollectable debts (Lasyin,1973, dalam Zaid, 2001).

3. Praktek Akuntansi kekalifahan Islam dengan Buku Luca Pacioli


Pada tahun 1494, seseorang berkebangsaan italia bernama Luca Pacioli,
menerbitkan buku dengan judul Summa de Arithmetica Geometria,
Proportioni et Proportionalita (segala sesuatu tentang Aritmetika, Geometri,
dan Proporsi). Buku tersebut terbagi atas lima bagian yang banyak membahas
tentang ilmu matematika. Salah satu bab di dalamnya membahas tentang
pembukuan yang menekankan pada sistem pencatatan yang terjadi di Venice
lebih dari 200 tahun sebelumnya dan masih digunakan pada masa itu, dan
dikenal dengan nama metode Venice.
Melalui buku tersebut, Pacioli dianggap sebagai orang pertama yang
menggagas sistem tata buku berpasangan (double entry bookkeeping), sebuah
sistem baru dan dianggap sebagai revolusi dalam seni pencatatan dalam
bidang ekonomi dan bisnis. Hendriksen menyatakan bahwa jurnal yang dibuat
Pacioli sudah mirip dengan yang digunakan sekarang. Debit dicatat sebelah
kiri (deve dare/debere) dan kredit disisi kanan (deve avare/creed). Dalam
berbagai , Pacioli kemudian disebut sebagai “Bapak Akuntansi”.
Buku Summa de Arithmetica yang dibuat oleh Pacioli menimbulkan
banyak pertentangan. Salah satunya perkembangan akuntansi yang ditulis oleh
Pacioli sebenarnya bukanlah terjadi di Republik Italia kuno. Melainkan yang
terjadi adalah Italia mengetahui tentang akuntansi dan ilmu itu sampai kepada
mereka dari bangsa lain. Jadi Pacioli hanyalah menulis dan menjelaskan  dari
apa yang telah terjadi dan dipraktikkan pada masa itu, yang beredar di antara
para guru dan murid sekolah aritmatika dan perdagangan.
Selain itu, mengingat sejak abad ke-8 M, bangsa Arab berlayar sepanjang
pantai Arabia dan India dan berhenti di Italia untuk berdagang suatu barang
mewah yang tidak diproduksi oleh Eropa. Sedangkan Pacioli baru
menerbitkan buku Summa de Arithmetica pada Abad ke-15 yang menurut
sejarah pada akhir abad tersebut Eropa sedang terhenti perkembangannya dan
tidak dapat diharapkan adanya kemajuan yang berarti dalam metode
akuntansi. Pacioli juga dicurigai menulis bukunya didasarkan pada tulisan
Leonard of Piza, orang Eropa pertama yang menerjemahkan buku Aljabar
yang ditulis dalam bahasa Arab, yang berisikan dasar-dasar bookkeeping.
Dalam sejarah Islam, lebih satu abad sebelum buku Pacioli diterbitkan,
telah ada manuskrip tentang akuntansi yang ditulis oleh Abdullah bin
Muhammad bin Kiyah Al Mazindarani dengan judulRisalah Falakiyah Kitab
As Siyaqaat pada tahun 1363 M yang menggambarkan praktik double entry
bookkeeping masyarakat Muslim pada saat itu. Beberapa kaidah dalam
manuskrip tersebut yang terkait dalam praktik double entry adalah sebagai
berikut.
1) Harus mencatat pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat
sumber-sumber pemasukan tersebut.
2) Harus mencatat pengeluaran dihalaman sebelah kiri dan menjelaskan
pengeluaran-pengeluaran tersebut
Double entry bookkeeping diduga berasal dari Spanyol dengan alasan
bahwa kebudayaan dan teknologi Spanyol pada abad pertengahan tersebut
jauh lebih unggul dibanding dengan peradaban Italia dan Negara Eropa
lainnya. Sementara pada waktu itu, Spanyol adalah negara Muslim serta
merupakan pusat kebudayaan dan teknologi di Eropa.
Beberapa ahli sejarah Barat menyimpulkan bahwa masyarakat yang
dimaksud oleh Pacioli dalam bukunya adalah masyarakat dan bahkan
pemerintah Italia. Pendapat ini dipandang bertentangan dengan fakta terkait
mengenai tidak operasionalnya angka Romawi untuk digunakan dalam praktik
akuntansi yang sedemikian maju. Sementara, masyarakat Muslim pada waktu
itu telah mengembangkan penggunaan angka nol, yang kemudian disebut
dalam dunia akademik sebagai angka arab, untuk mengembangkan berbagai
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu bidang ilmu yang
menonjol pada waktu itu adalah ilmu matematika terutama bidang aljabar
(algebra) yang ditemukan dan dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim yang
sangat berkaitan dengan teknik double entry bookkeeping. Pengembangan
bidang ilmu tersebut sangatlah mungkin terkait dengan kebutuhan masyarakat
Muslim yang telah berkembang maju peradabannya pada waktu itu. Dengan
demikian, masyarakat yang dimaksud sangatlah mungkin masyarakat Muslim,
termasuk masyarakat berbagai daerah di Eropa yang terimbas oleh kemajuan
yang dicapai oleh peradaban Islam saat itu.

4. Pendekatan-pendekatan dalam Mengembangkan Akuntasi Syariah


Ada 3 pendekatan yang berkembang dikalangan pakar akuntansi dalam
perspektif islam dalam merumuskan bentuk akuntansi syariah, yaitu:
1) Pendekatan induktif berbasis akuntansi kontemporer
Pendekatan induktif berbasis akuntansi kontemporer biasanya
disingkat dengan pendekatan induktif. Berdasarkan Accounting and
Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI),
pendekatan ini menggunakan tujuan akuntansi keuangan barat yang sesuai
dengan organisasi bisnis orang islam dan mengeluarkan bagian yang
bertentangan dengan ketentuan syariah. Argumen yang mendukung
pendekatan ini  menyatakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dan
relevan dengan institusi yang memerlukannya. Selain itu, pendekatan ini
sesuai dengan prinsip ibaha (mubah) yang menyatakan bahwa segala
sesuatu yang terkait dengan bidang muamalah (aktivitas duniawi) boleh
dilakuakan sepanjang tidak ada larangan yang menyatakannya. Oleh sebab
itu, akuntansi merupakan sesuatu yang bersifat mualamalah, maka
akuntansi yang dikembangkan oleh masyarakat kapitalis merupakan hal
yang juga boleh digunakan di masyarakat islam sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran islam. Adapun argumen yang menentang
pendekatan ini menyatakan bahwa ini tidak bisa diterapkan pada
masyarakat yang kehidupannya wajib berlandaskan pada wahyu dan
dipandang merusak karena mengandung asumsi yang tidak islami.
Pendekatan induktif dipelopori oleh AAOIFI dan diikuti oleh
organisasi profesi akuntan diberbagai negara, termasuk Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI). Tujuan akuntansi syariah berdasarkan pendekatan ini
adalah untuk mengambil keputusan (decision usefulness) dan memelihara
kekayaan institusi (stewarship). Tujuan decision usefulness  dalam
pendekatan ini dinyatakan dalam AAOIFI dalan SFA nomor 1 paragraf 25:
“...to assist users of these reports in making decisions.”
Hal yang sama dinyatakan oleh IAI dalam KDPP-LKS (kerangka
dasar penyusunan dan Penyajian Laporan Lembaga Keuangan Syariah)
tahun 2007 paragraf 30:
“...menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan,
kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah yang
bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan
ekonomi.”
Adapun tujuan stewarship yang dinyatakan oleh AAOIFI dalam
SFA nomor 1 paragraf 33-34:
“ ...to contribute to the safeguarding of the assets and to the
enhancement of the managerial and productive capabilities of the
institutions.”
Demikian pula oleh IAI dalam KDPP-LKS paragraf 30
“...untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab
entitas syariah terhadap amanah dalam mengamankan dana,
menginvestasikannya pada tingkat keuntungan yang layak.”
Kedua tujuan ini merupakan sesuatu yang harus menjadi fokus
perhatian dalam instituasi islam.
2) Pendekatan Deduktif dari Sumber Ajaran Islam
Pendekatan ini diawali dengan menentukan tujuan berdasarkan
prinsip ajaran Islam yang terdapat dalam Alqur’an dan Sunah. Kemudian,
tujuan yang sudah ditentukan tersebut digunakan untuk mengembangkan
akuntansi kontemporer. Argumen yang mendukung pendekatan ini
menyatakan bahwa pendekatan ini akan meminimalisasi pengaruh
pemikiran sekuler terhadap tujuan dan akuntansi yang dikembangkan.
Adapun argumen yang menentang menyatakan bahwa pendekatan ini sulit
dikembangkan.
Pendekatan deduktif dipelopori oleh beberapa pemikir akuntansi
syariah, antara lain Iwan Triwuyono, Akhyar Adnan, Gaffikin, dan
beberapa pemikir lainnya. Adnan dan Gaffikin serta Triwuyono
berpandangan bahwa tujuan akuntansi syariah adalah pemenuhan
kewajiban zakat (pertanggungjawaban melalui zakat).
Triwuyono menyatakan bahwa penggunaan akuntansi berorientasi
zakat akan menghasilkan organisasi yang lebih Islami. Salah satu
implikasi penggunaan zakat sebagai tujuan zakat adalah akuntansi syariah
harus menerapkan current cost.  Akan tetapi, pendekatan deduktif sejauh
ini masih dalam tahap kajian dan belum teraplikasikan pada perusahaan.
3) Pendekatan Hibrid
Pendekatan ini didasarkan pada prinsip syariah yang sesuai dengan
ajaran Islam dan persoalan masyarakat yang akuntantansi syariah mungkin
dapat menbantu menyelesaikannya. Argumen yang mendukung
pendekatan ini menyatakan bahwa suatu metodologi Islam harus
memperhatikan relevansinya dengan masalah masyarakat yang
diidentifikasikan dan dianalisis dari sudut pandang Islam.
Penerapan pendekatan hibrid dipelopori oleh pemikir akuntansi
syariah seperti Shahul Hameed dan cukup banyak lulusan Internasional
Islamic University di Malaysia tempat beliau mengajar. Tujuan akuntasi
syariah dalam pendekatan ini menurut Hameed adalah mewujudkan
pertanggungjawaban Islam.
Akuntabilitas primer diwujudkan dalam bentuk manusia menaati
ketentuan  Allah (Alqur’an dan Sunah), sedang akuntabilitas sekunder
diwujudkan dalam bentuk menajer mengidentifikasi, mengukur, dan
melaporkan aktivitas sosioekonomi yang berkaitan dengan masalah
ekonomi, sosial, lingkungan, dan syariah compliance kepada investor.
Pendekatan hibrid secara parsial telah diterapkan dilingkungan
beberapa perusahaan konvensional. Hal ini dapat dilihat dari laporan
keuangan dan non-keungan perusahaan maupun disclosure perusahaan
yang memperhatikan tidak hanya masalah ekonomi, melainkan juga
masalah sosial dan lingkungan. Pendekatan hibrid mengapresiasi
perkembangan akuntasi sosial dan lingkungan di Eropa dalam tiga dekade
terakhir, dan menganggap itu perlu diaplikasiakan dalam akuntansi
syariah.
Di Eropa, saat ini sudah terdapat lembaga yang peduli dalam
mengembangkan isu lingkungan dan sosial seperti Global Reporting
Initiative (GRI) dan ACCA. GRI bergerak dalam mengkaji dan membuat
standar pelaporan perusahaan dengan konsep triple bottom line (ekonomi,
sosial, dan lingkungan). ACCA, organisasi profesi profesi akuntan di
Inggris, banyak mendorong pengungkapan lebih luas hal-hal yang
berkaitan dengan lingkungan hidup. Aspek selanjutnya yang perlu
dilakukan oleh pemikir akuntansi dalam prospektif Islam adalah
mengembangkan triple bottom linemenjadi four bottom line (ekonomi,
sosial, lingkungan, dan kesesuaian syariah.

DAFTAR PUSTAKA
http://fikriansyahadzaki.blogspot.com/2016/01/akuntansi-dalam-
pandangan-islam.html
https://kanalislam.blogspot.com/2014/08/praktik-akuntansi-pemerintahan-
islam.html
http://ainisianakkuliahan.blogspot.com/2013/09/sejarah-akuntansi.html

Anda mungkin juga menyukai