Anda di halaman 1dari 10

Bentuk penegakan hukum internasional selama ini adalah melalui forum penyelesaian

sengketa internasional (international dispute settlement). Untuk hal tersebut, 501 Hans Kelsen
menyatakan bahwa penyelesajan sengketa internasional merupakan bentuk perwujudan
penegakan hukum internasional. 502 Lebih jauh lagi, sebagaimana dikatakan oleh Martin
Dixon, agar ketentuan hukum internasional menjadi suatu sistem hukum yang berlaku efektif,
harus terdapat ketentuan-ketentuan tentang penyelesaian sengketa. 503 Forum penyelesaian
sengketa ini telah dipraktikkan sejak lama dan telah teruji dalam rangka mengupayakan
penyelesaian sengketa yang sedini mungkin dan seadil-adilnya untuk menegakkan hukum
internasional. 504 Lebih tegas dikatakan Merrills bahwa hal yang paling signifikan pada
hukum internasional sebagai sistem hukum yang efektif adalah masalah penegakan hukum.
505 Penegakan hukum ini dapat dilaksanalkan dengan adanya sanksi internasional atau
tuntutan melalui ajudikasi terhadap negara yang melakukan pelanggaran (hukum
internasional 506 atau perbuatan melawan hukum internasional.
Hubungan antara prinsip tanggung jawab negara (the principles of state responsibility)
dan penyelesaian sengketa internasional (the settlement of International disputes) ini menurut
D.W. Greig merupakan dua aspek utama pada tuntutan internasional atau
pertanggungjawaban internasional yang dilakukan oleh suatu negara (dan/atau badan hukum
internasional) terhadap negara lainnya. 507
Berdasarkan uraian tersebut, dalam pembahasan ini pada dasarnya Penulis membagi
dua babak penulisan, yaitu prinsip tanggung jawab negara sebagai landasan penegakan
hukum internasional (termasuk perkembangan konsep tanggung jawab negara terhadap
tindak pidana internasional) dan forum penyelesaian sengketa internasional sebagai sarana
pertanggungjawaban negara untuk menegakkan hukum internasional.

Penyelesaian Sengketa Internasional Menurut Piagam PBB dalam Penegakan Hukum


Intemasional
Penyelesaian sengketa internasional timbul karena adanya sengketa internasional yang para
pihaknya adalah negara ataupun subjek hukum internasional lain yang bukan negara. 200 Hal
yang dimaksud dengan sengketa internasional, baik dalam piagam PBB maupun ketentuan
hukum internasional lainya, tidak dirumuskan secara jelas. Pasal 34 Piagam PBB hanya
mengatakan bahwa: ".. setiap situasi yang menyebabkan friksi atau pergesekan internasional
akan menimbulkan sengketa...".509 Untuk mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan
sengketa internasional tersebut, dapat dilihat dalam putusan Mahkaman Peradilan Permanen
Internasional dalam kasus Mavromatis pada rahun 1924. Putusan mahkamah internasional
tersebut mendefinisikan "sengketa" sebagar: "a disagreementon a pointoflaworfact, a
conflictof legal viewsorinterestbetween (wo person",10 J.G. Merrills, dalam bukunya
International Dispute Settlement, mendefinisikan sengketa sebagai berikut.
A dispute maybe defined as a specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy
in which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter-claim or denial by
another" 511
Dari uraian definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sengketa adalah
ketidaksepakatan ataupun ketidaksamaan pandangan tentang suatu masalah yang berkaitan
atas suatu fakta, hukum, kebijakan, atau kepentingan yang diklaim oleh satu pihak (negara)
dan ditentang oleh pihak (negara) lainnya sehingga menimbulkan friksi secara internasional.
Dengan uraian itu pula dapat disimpulkan bahwa persengketaan, dalam hal ini sengketa
antarnegara, dapat berupa persengketaan hukum ataupun politik 512
Bentuk perwujudan persengketaan (hukum) ini, menurut hemat Penulis, adalah
adanya pelanggaran kesepakatan atau perjan jian internasional dan lebih luas lagi
pelanggaran kewajiban internasional. Kewajiban internasional ini timbul, bukan saja karena
diatur oleh perjanjian internasional, tetapi juga oleh kaidah-kaidah hukum internasional yang
terbentuk melalui kebiasaan internasional ataupun prinsip-prinsip hukum umum. 513 Dengan
demikian, sengketa yang menimbulkan kewajiban negara untuk bertanggung jawab atas
perbuatan melawan hukum internasionalnya. Terhadap perbuatan melawan hukum
internasional ini, baik yang termasuk delik internasional maupun international tort bahkan
tindak pidana internasional, bentuk penyelesaiannya selalu melalui forum-forum
penyelesaian sengketa internasional 514 yang akan dibahas berikut ini.
Dalam membahas suatu cara penyelesaian persengketaan internasional, perlu adanya
pembahasan tentang bentuk-bentuk penyelesaian persengketaan internasional yang dikenal
secara teoretis ataupun praktik-praktik internasional yang ada. Dalam membahas bentuk-
bentuk penyelesaian persengketaan internasional, perlu diketahui bahwa yang dimaksud
adalah metode penyelesaian sengketa internasional.
Dalam Piagam PBB juga dikenal adanya penyelesaian sengketa secara damai yang
termuat dalam Bab VI dan bentuk penyelesaian yang digolongkan dengan menggunakan
kekerasan yang termuat dalam Bab VII Piagam PBB. Metode penyelesaian sengketa
internasional tersebut adalah:
1. Penyelesaian sengketa secara damai (peaceful means of settlement disputes);
2. Penyelesaian sengketa dengan cara kekerasan (forcible or crucified means of
settlement disputes).

Macam-macam Forum Penyelesaian Sengketa Internasional secara Damai


Penggunaan metode penyelesaian sengketa secara damai ini telah disepakati oleh negara-
negara pendiri PBB dan secara yuridis telah dituangkan dalam Pasal 2 ayat 3 dan 4 Piagam
PBB. Dalam ketentuan Piagam tersebut dinyatakan bahwa seluruh anggota PBB sepakat
untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui penyelesaian secara damai yang
mengacu kepada perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan dan menghindarkan
menggunakan cara-cara yang berbahaya (kekerasan). 515 Sebagaimana yang dinyatakan
dalam ketentuan Pasal 2 (3) dan Pasal 33 Piagam serta Resolusi Majelis Umum PBD 2625
(XXV) tahun 1970, negara-negara diharuskan sesegera mungkin mencari penyelesaian
sengketa internasionalnya melalui perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase,
penyelesaian yudisial, penyelesaian melalui badan-badan regional atau bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa secara damai lainnya.

Perundingan
Bentuk penyelesaian melalui perundingan dianggap sebagai bentuk penyelesaian sengketa
yang dianggap kurang formal. Bentuk penyelesaian sengketa ini justru sering dilakukan
dalam menyelesaikan sengketa internasional yang dilakukan negara-negara sebelum
menggunakan bentuk penyelesaian sengketa lain. Perundingan dalam upaya penyelesaian
sengkata ini biasanya dilakukan dalam jalur diplomatik. Namun, terselenggaranya forum ini
biasanya dengan bantuan pihak (negara) ketiga, melalui jasa-jasa baik (good officies) atau
mediasi. Jasa- jasa baik ataupun mediasi sebenarnya merupakan bentuk forum penyelesaian
sengketa tersendiri yang dalam penyelesaiannya juga melalui atau menggunakan teknik
perundingan. Dengan demikian, antara perundingan ansich di satu pihak dan perundingan
dengan mediasi serta jasa- jasa baik di pihak lain merupakan bentuk forum penyelesaian
sengketa yang saling melengkapi. Artinya perundingan dapat diselenggarakan dengan adanya
keterlibatan pihak ketiga, yaitu dalam bentuk jasa baik dan mediasi, sedangkan pelaksanaan
forum jasa baik dan mediasi sendiri menggunakan mekanisıne perundingan.
Forum penyelesaian sengketa melalui perundingan ini banyak dipraktikkan oleh
negara-negara yang didahului dengan mekanisme konsultasi. 516 Pentingnya mekanisme dan
nilai konsultasi ini dalam upaya merundingkan suatu persengketaan yang akan diselesaikan
adalah memberikan informasi-informasi yang berguna untuk terselenggaranya forum
perundingan tersebut 517 Kecenderungan berkembangnya lembaga konsultasi dewasa ini di
dalam proses perundingan diatur oleh instrumen atau persetujuan internasional. 518 Ada dua
proses konsultasi, yaitu konsultasi sebelum dan sesudah ter jadinya peristiwa. Dua langkah
konsultasi tersebut adalah langkah konsultasi dalam rangka pemberitahuan (notification) dan
persetujuan awal (prior consent). Tanpa kedua langkah tersebut, biasanya perundingan tidak
dapat berjalan. Langkah konsultasi dalam rangka penyelesaian sengketa melalui forum
perundingan ini dapat dilihat dalam kasus antara Amerika Serikat dengan Kanada di dalam
memulai perundingan mengenai masalah antitrust. 519 Tindakan konsultasi juga e pada saat
Australia-New ZealandFree Trade Agreement pada tanggal 31 Desember 1965, dan untuk
komunikasi, dalam United States-Soviet Memorandum of Understanding pada tanggal 20
juni 1961. 520 Sementara itu, dalam hal ter jadinya krisis komunikasi, dapat dilakukan secara
"hot line" antara Washington dengan Moskow, Nilai suatu perundingan yang
berkesinambungan diperlihatkan dalam pembentukan United States-Soviet Intermediate-
RangeNuclearAgreement (INF) paca bulan Desember 1987, menyusul perundingan-
perundingan yang gagal yang dilakukan oleh kedua negara sebelumnya di Rey javik, Islandia.
521 Meskipun perundingan-perundingan selanjutnya mengalami kegagalan, perundingan ini
telah dapat menjernihkan beberapa masalah yang masih menggantung. 522

Mediasi
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa bentuk penyelesaian sengketa melalui forum mediasi
pada dasarnya adalah melalui perundingan. Namun, yang membawa para pihak yang
bersengketa ke forum perundingan tersebut adalah pihak ketiga. Pihak (negara-negara) ketiga
yang berperan sebagai mediator ini biasanya aktif memberikan masukan berupa solusi-solusi
yang memungkinkan dalam rangka penyelesaian masalah. Mediator ini merupakan peserta
yang aktif dalam proses penyelesaian sengketa, yaitu mengajukan proposal, menyampaikan
proposal dari dan ke masing-masing pihak, serta mempunyai otoritas untuk menilai dan
menginterpretasikan proposal dari masing-masing pihak tersebut. 523 Misalnya prakarsa
Pemerintah Uni Soviet untuk mempertemukan dua pihak yang bersengketa, yaitu India dan
Pakistan pada tahun 1965-1966.

Jasa-jasa Baik
Sebagaimana penyelesaian sengketa melalui forum mediasi, penyelesajan sengketa melalui
jasa-jasa baik adalah bentuk penyelesaian sengketa secara damai melalui pihak ketiga. Pihak
ketiga ini menawarkan jasa- jasa baik, baik secara individu maupun organisasi internasional.
Bentuk jasa baik organisasi internasional misalnya PBB pada tahun 1947 dalam kasus antara
Indonesia dengan Belanda. 524 Perbedaan antara jasa baik demgan mediasi adalah dalam
persoalan tingkat keterlibatan pihak ketiga tersebut. Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga
menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan
untuk menyelesaikan tanpa terlibat dalam perundingan-perundingannya. Pihak ketiga dalam
jasa baik ini hanya melakukan penyelidikan tentang persoalan-persoalan atau aspek-aspek
dalam sengketa tersebut. Dengan telah dipertemukannya kedua pihak yang bersengketa itu
dan diberikannya gambaran umum tentang beberapa persoalan berkairan dengan
persengketaan itu sendiri, selesailah tugas pemberi jasa baik tersebut. 525

Konsiliasi
Istilah konsiliasi mempunyai arti luas dan sempit. Dalam pengertian luas, konsiliasi
mencakup berbagai macam metode yang melibatkan negara lain atau badan-badan penyelidik
dan komite-komite penasihat yang tidak berpihak. Dalam pengertian sempit, konsiliasi berarti
penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komisi atau komite untuk membuat laporan beserta
usulan- usulan kepada para pihak yang tidak mengikat. Hakim Manly O. Hudson mengatakan
bahwa konsiliasi adalah: "Suatu proses penyusunan usulan-usulan penyelesaian setelah
diadakan penyelidikan mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu pendirian-
pendirian yang saling bertentangan. Para pihak dalam sengketa itu tetap bebas menerima atau
menolak proposal-proposal yang dirumuskannya tersebut". 526 Dengan demikian, para pihak
mempunyai kebebasan untuk memutuskan apakah alkan menerima atau menolak syarat-
syarat penyelesaian yang diusulkan oleh komisi. Hal ini berarti posisi dan peran komisi
berbeda dengan arbitrator dalam forum arbitrase. Oleh karena itu, konsiliasi dapat digunakan
untuk berbagai jenis sengketa internasional. Komisi-komisi dalam konsiliasi diatur dalam
Titel III Konvensi the Hague 1899 dan Bagian IlII dari Konvensi theHague 1907 untuk
penyelesaian sengketa internasional secara damai. 527 Komisi tersebut dapat dibentuk
melalui perjanjian khusus antara para pihak dan bertugas menyelidiki serta melaporkan
situasi dan fakta dengan ketentuan bahwa sifat isi laporan tidak mengikat. Beberapa contoh
komisi yang dibentuk melalui perjanjian adalah Bryan Treaties 1913, BrusselsTreaties 17
Maret 1948, dan BogotaPact 1948, serta Liability Convention 1972 dalam penyelesaian
sengketa untuk tuntutan ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh jatuhnya space
objects. 528

Penyelidikan
Bentuk penyelesaian sengketa ini sebenarnya adalah menetapkan suatu fakta atau berupa
pencarian fakta. 529 Penetapan fakta ini tentunya tanpa diberikan rekomendasi-rekomendasi
layaknya peranan komisi dalam konsiliasi. Hal terpenting pada penyelidikan ini adalah
dilakukan oleh pihak yang independen dan tidak memihak. 530 Untuk hal itu, pada tanggal
18 Desember 1967, PBB mengeluarkan resolusi yang mengatakan pentingnya metode
pencarian fakta yang tidak memihak sebagai cara penyelesaian sengketa secara damai. 531
Berdasarkan resolusi itu juga, Sek jen PBB setiap tahunnya mengedarkan daftar nama para
ahli yang dicalonkan oleh negara-negara anggota. Sementara itu, sarana-sarana untuk
pencarian fakta itu dibentuk oleh Majelis Umum PBB berupa Panel for Inquiry and
Conciliation pada bulan April 1949. 532

Arbitrase
Arbitrase adalah suatu lembaga penyelesaian sengketa yang sudah cukup tua, tetapi
berdasarkan sejarah modern, yang diakui adalah sejak adanya perjanjian internasional yang
dilakukan antara Amerika serikat dan Inggris yang terkenal dengan Jay Treaty 1794.
Perjanjian ini dimaksudkan untuk membentuk tiga joint mixed commission untuk
menyelesaikan beberapa perselisíhan tertentu yang tidak dapat diselesaikan selama
perundingan treaty tersebut. Meskipun komisi-komisi itu tidak dapat dikatakan sebagai
organ-organ penyelesaian terhadap pihak ketiga, dua dari ketiga komisi ini berhasil dan
hasilnya telah membangkitkan lagi minat baru terhadap proses arbitrasi yang telah
mengalami kelesuan sejak sekitar dua abad yang lalu. Suatu dorongan lainnya terhadap
arbitrase diberikan oleh Alabama Claims Award 1872 antara Amerika serikat dan Inggris.
Sebagaimana dikatakan oleh Hakim Manly O. Hudson, Alabama Claims Arbitration
berhasil mengembangkan lembaga arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa dan
mendorong aktivitas luar biasa di bidang arbitrase internasional. Hal itu terbukti dalam tiga
dekade sejak iahun 1872, Alabama Claims Arbitration mampu menyelesaikan ratusan perkara
dengan sangat baik. Perkembangan bentuk penyelesaian sengketa ini juga ditetapkan secara
yuridis di dalam beberapa hukum internasional, yaitu dengan cara menetapkan klausul-
klausul yang mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada forum arbitrase di dalam
beberapa konvensi internasional. Arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa
internasional sebenarnya mempunyai prosedur yang persis sama sebagaimana prosedur
arbitrase yang dikenal dalam hukum nasional, yaitu menyerahkan sengketa kepada para
arbitrator. Arbitrator ini adalah orang tertentu yang dipilih secara bebas oleh para pihak dan
mereka itulah yang memutuskan tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan
hukum. Namun, pengalaman yang diperlihatkan dalam praktik internasional menunjukkan
bahwa hanya beberapa sengketa internasional yang menyangkut masalah hukum yang
diserahkan kepada para arbitrator untuk diselesaikan berdasarkan hukum. Hal tersebut juga
dibuktikan dengan adanya beberapa perjan jian internasional yang menyepakati bahwa
sengketa-sengketa di antara para pihak, terutama masalah penafsiran ketentuan-ketentuan
konvensi internasional atau dalam hal penerapan ketentuan-ketentuan konvensi, harus dia
jukan kepada arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketanya.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini juga dimaksudkan untuk mengarahkan
penyelesaian sengketa tersebut agar didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan atau ex aequo et
bono, walaupun secara khusus beberapa pengadilan arbitrase diinstruksikan untuk
menerapkan hukum internasional. Hasil keputusan-keputusan arbitrase ini ternyata mampu
memecahkan persoalan-persoalan di antara negara negara yang bersengketa dan banyak
menemukan kaidah-kaidah hukum internasional. Menurut Hakim Manly O. Hudson, arbitrasi
sebagai tangan utama dalam legislasi internasional.

Penyelesaian Yudisial
Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian melalui forum mahkamah pengadilan
internasional, yang dibentuk sesuai dengan ketentuan hukum internasional dan dalam
penyelesaian sengketa menggunakan kaidah-kaidah hukum internasional. Feradilan
internasional yang dibentuk oleh hukum internasional adalah Mahkamah Peradilan
Internasional atau International CourtofJustice di Den Haag, Belanda. Mahkamah tersebut
dibentuk berdasarkan hukum internasional melalui perjanjian internasional, yaitu Statuta
Mahkamah Peradilan Internasional. Penetapan Mahkamah Peradilan Internasional dilakukan
dalam sidang terakhir Ma jelis Liga Bangsa-bangsa pada tanggal 18 April 1946 untuk
mengganti dan membubarkan Mahkamah Peradilan Permanen Internasional.
Penyelesaian Sengkata di Bawah Naungan PBB
Bentuk penyelesaian sengketa ini didasarkan pada Pasal 2 Piagam PBB, terutama butir ketiga
yang mengatur bahwa seluruh anggota PBB harus diupayakan menyelesaikan sengketa di
antarà mereka sedemikian rupa agar perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan
tidak terancam Adapun macam penyelesaian sengketa yang digunakan dalam penyelesaian
sengketa menurut PBB dilakukan sebagaimana yang ditetapkan dalam Bab VI Piagam. Pasal
33 menyatakan bahwa negara-negara yang tersangkut dalam persengketaan yang terus-
menerus yang akan membahayakan terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional
pertama-tama harus mencari penyelesaian sengketanya dengan jalan perundingan,
penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian yudisial, melalui badan-badan atau
persetujuan tingkat regionalnya atau dengan cara-cara damai lainnya. 533 Dengan demikian,
bentuk penyelesaian melalui PBB ini pada dasarnya sama dengan bentuk penyelesaian secara
damai yang telah dikenal dan dipraktikkan masyarakat internasional sebelum adanya lembaga
internasional seperti LBB ataupun PBB. Namun demikian, dalam bentuk penyelesaian di
bawah naungan PBB ini, inisiatif untuk menyelesaikan sengketa bisa datang dari organ PBB
yang dalam hal ini adalah Dewan Keamanan PBB atau Majelis umum PBB. Dengan kata
lain, tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa internasional di antara masyarakat
(negara-negara) internasional beralih ke Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB. Namun
demikian, kekuasaan Dewan Keamanan ternyata lebih luas, yaitu Dewan Keamanan diberi
wewenang untuk menyelenggarakan kebijaksanaan oleh PBB secara cepat dan tegas. De wan
Keamanan dapat melakukan tindakan terhadap dua jenis sengketa, yaitu: (i) sengketa-
sengketa yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional; (ii) kasus-
kasus yang mengancam perdamaian dan melanggar perdamaian, atau tindakan-tindakan
agresi. Dalam menanggulangi sengketa pertama, Dewan Keamanan dapat menganjurkan
kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketanya secara damai seperti perundingan,
penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau penyelesaian yudisial. 534 Akan tetapi,
Dewan Keamanan berwenang melakukan tindakan-tindakan apa saja, baik sementara maupun
final, untuk mencegah atau menghentikan kasus-kasus yang mengancam atau melanggar
perdamaian, terutama agresi. 535
Dewan Keamanan dapat menyelidiki setiap pertikaian atau keadaan yang dapat
menimbulkan pertentangan internasional atau menimbulkan suatu pertikaian. Artinya Dewan
Keamanan berwenang untuk menentukan apakah berlangsungnya pertikaian atau keadaan
tersebut dapat membahayakan terpeliharanya perdamaian serta keamanan internasional. Pada
bentuk penyelesaian sengketa di bawah naungan organisasi internasional ini, inisiatif
menyelesaikan sengketa dapat dilakukan oleh para anggota yang sedang bersengketa dengan
cara meminta perhatian kepada Dewan Keamanan atau Majelis Umum. Namun demikian,
negara-negara yang bukan anggota PBB dapat meminta permohonan penyelesaian sengketa
kepada Dewan Keamanan atau Majelis Umum. Dalam melaksanakan permohonan
penyelesaian sengketa yang diminta oleh para pihak yang bersengketa, Majelis Umum dapat
mempertimbangkan asas-asas umum kerja sama dalam memelihara perdamaian dan
keamanan internasional, termasuk asas-asas mengenai perlucutan senjata dan pengaturan
persenjataan dan memberikan anjuran-anjuran yang berkaitan dengan asas-asas tersebut
kepada para anggotanya atau Dewan Keamanan. Pada waktu Dewan Keamanan men jalankan
kewajiban yang ditetapkan Piagam tersebut yang berkaitan dengan perselisihan dan
keadaannya, Majelis Umum tidak boleh mengajukan suatu anjuran yang berkenaan dengan
perselisihan dan keadaan tersebut, kecuali diminta oleh Dewan Keamanan. Bentuk
penyelesaian secara damai yang ditetapkan PBB terbuka, yaitu adanya bentuk penyelesaian
berupa resort to regional agencies or arrangements atau berupa other peaceful Means of tha
town choice.
Macam-macam Forum Penyelesaian Sengketa dengan Kekerasan 536
Bentuk penyelesan sengketa ini biasanya digunakan apabila upaya-upaya penyelesaian secara
damai tidak tercapai. Maka, dapat digunakan atau dilakukan dengan cara penyelesaian secara
paksa atau forciblesettlement. Berdasarkan Bab VII Piagam, prinsip penyelesaian sengketa
dengan kekerasan terdiri dari sebagai berikut.

Restorsi
Restorsi adalah bentuk tindakan pembalasan oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan
tidak pantas atau tidak patut 537 ataupun karena kerugian yang diakibatkan oleh tindakan
dari negara lain yang sebenarnya sah (lawful). 538 Metode semacam pembalasan dendam
tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan tidak bersahabatI dari negara yang
kehormatannya dihina. Tindakan balas dedam tersebut sah atau dibenarkan oleh hukum
internasional, yang bentuk perwujudannya misalnya perenggangan hubungan diplomatik,
pencabutan hak-hak istimewa diplomatik, atau dengan jalan penarikan diri dari konsensi-
konsensi fiskal atau bea. 539
Menurut J.G. Starke, dalam praktik sulit untuk menentukan secara tepat syarat-syarat
mengenai tindakan balasan berupa restorsi ini. 540 Lebih jauh Starke mengatakan bahwa
restorsi tidak harus merupakan tindakan balas dendam. 541 Berkaitan dengan penggunaan
tindakan restorsi secara sah ini sebenarnya dapat merujuk pada ketentuan Piagam PBB.
Dalam Pasal 3 ayat 2 Piagam PBB dinyatakan bahwa negara-negara anggota harus
menyelesaikan sengketa-sengketa mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga
tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasionai, serta keadilan. Dengan
demikian, apabila restorsi membahayakan perdamaian dan keamanan internasional serta
keadilan, tidak dibenarkan berdasarkan Piagam.

Pembalasan
Bentuk penyelesaian sengketa ini dikenal dengan tindakan pembalasan, yaitu metode-metode
yang dipakai oleh negara-negara dalam mengupayakan untuk memperoleh ganti rugi dari
negara-negara lain. 542 Tindakan pembalasan (reprisal) sebenarnya sama dengan restorsi,
yaitu tindakan tindakan pembalasan dengan tindakan yang sah, tetapi dalam pembalasan
dimungkinkan penggunaan cara- cara ilegal. Dahulu metode ini dilakukan dengan cara
penyitaan harta benda atau penahanan orang-orang.
Metode pembalasan ini dapat diartikan sebagai tindakan pemaksaan yang dilakukan
oleh suatu negara terhadap negara lain untuk menyelesaikan sengketa yang disebabkan oleh
tindakan ilegal atau tindakan yang tidak sah oleh negara lain tersebut. 543 Tindakan
pembalasan ini dapat berupa pemboikotan barang-barang tertentu terhadap suatu negara,
embargo ekonomi, demontrasi kekuatan senjata (showofforce), atau berupa serangan bom.
Praktik internasional menunjukkan bahwa tindakan pembalasan berupa embargo minyak oleh
negara-negara Arab penghasil minyak terhadap negara-negara warat yang mendukung Israel,
yaitu pada tahun 1973-1974 menjadi sesuatu yang kontroversial. Berkaitan dengan apakah
tindakan embargo ini sanaau tidak, tidak diperoleh titik temu.
Dari berbagai praktik internasional dapat ditetapkan bahwa suatu pembalasan hanya
dapat dibenarkan apabila negara yang menjadi sasaran pembalasan tersebut telah melakukan
pelanggaran internasional. Pembalasan tidak dapat dibenarkan apabila negara pelanggar itu
tidak diminta ganti rugi akibat kesalahannya atau tindakan pembalasan itu melebihi
proporsinya dari kerugian yang ditimbulkan dari tindakan pelanggaran hukum internasional
tersebut. 544 Beberapa contoh tindakan pembalasan yang pernah dipraktikkan oleh negara-
negara adalah tindakan pengusiran orang-orang Hongaria dari Yugoslavia pada tahun 1935
yang merupakan bentuk tindakan balas dendam terhadap Hongaria atas pembunuhan Raja
Alexander dari Yugoslavia di Marsailles. 555 Tindakan pembalasan juga pernah dipraktikkan
oleh Jerman, berupa pengeboman pelabuhan Almeria, Spanyol pada tahun 1937 atas tindakan
pesawat-pesawat tempur Spanyol yang memborbardir kapal perang Deuthschland. Peristiwa
yang paling dramatis adalah tindakan yang dprakarsai oleh Amerika Serikat terhadap Libya
berupa pemboman melalui pesawat udara terhadap sasaran-sasaran di dalam wilayah Libya
pada tanggal 15 April 1986 yang diklaim sebagai pembalasan atas tindakan-tindakan Libya
yang melakukan kekejaman yang tidak pandang bulu terhadap orang-orang Amerika
termasuk pemboman pada tanggal 5 April 1986 di sebuah diskotik di Jerman Barat yang
sering dikunjungi oleh tentara Amerika Serikat yang menyebabkan lebih dari 50 orang
Amerika menderita luka-luka. 546
Terhadap peristiwa ini, beberapa penulis berpendapat bahwa pembalasan hanya dapat
dibenarkan apabila tujuannya adalah untuk menghasilkan penyelesaian yang memuaskan atas
suatu sengketa. Oleh karena itu, prinsip yang dikemukakan di atas menyatakan bahwa
pembalasan tidak boleh dilakukan, kecuali jika perundingan untuk memperoleh ganti rugi
dari negara yang melanggar tersebut gagal. Dengan demikian, tindakan pembalasan harus
dilakukan hanya untuk menghentikan pelanggaran hukum internasional dari pihak lawan. 547
Misalnya ketika Inggris pada tahun 1939-1940 menyita barang-barang ekspor Jerman di atas
kapal-kapal netral sebagai balasan terhadap atas penenggelaman secara tidak sah kapal-kapal
dagang oleh ranjau-ranjau laut magnetis yang disebarkan oleh Jerman. 548
Sebagaimana halnya dalam tindakan restorsi, penggunaan pembalasan ini juga harus
sesuai dengan ketentuan Piagam. Tindakan pembalasan seiain harus memperhatikan Pasal 3
ayat 2 Piagam, juga harus sesuai dengan Pasal ayat 2 Piagam yang menentukan bahwa
negara-negara anggota PBB harus menahan diri untuk melakukan tindakan kekerasan
terhadap integritas atau kemerdekaan politik suatu negara.

Blokade Damai (Pacific Blocade)


Penggunaan kekerasan dengan melalui blokade damai biasanya digunakan untuk memaksa
dalam menyelesaikan sengketa internasional, misalnya untuk menaati permintaan ganti rugi.
Blokade damai ini dapat dilakukan dengan cara memblokade pelabuhan dari negara yang
ditumtut untuk menggani rugi tersebut. Blokade secara damai pertama kali dilakukan pada
tahun 1872 dan pada tahun itu pula terjadi 20 kali pemblokadean. Blokade secara damai ini
pada umumnya dilakukan oleh negara-negara lemah. Namun, metode penyelesaian dengan
kekerasan ini juga sering disalahgunakanon negara-negara besar yang bertindak secara
bersama-sama untuk kepentingan negara-negara yang bersangkutan. Kepentingan tersebut
bisa ditujukan untuk menghentikan kerusuhan di suatu negara tertentu, memaksakan
perjanjian-perjanjian internasional yang sudah diratifikasinya, atau mencegah perang, seperti
dalam kasus blokade terhadap Yunani pada tahun 1886 untuk menjamin dilucutinya sen jata-
sen jata pasukan Yunani yang berada di dekat perbatasan dan cara tersebut dapat
menghindarkan konflik dengan Turki.
Manfaat bentuk penyelesaian sengketa ini adalah dapat menghindari bentuk
penyelesaian sengketa dengan kekerasan lainnya seperti perang dan blokade biasanya bersifat
fleksibel. Penulis setuju dan mendukung penerapan blokade damai sebagai bentuk
penyelesaian sengketa internasional. Persetujuan ini dilakukan dengan ketentuan bahwa
blokade damai ini tidak dilanjutkan dengan tindakan perampasan kapal-kapal yang melanggar
atau menerobos blokade tersebut, sebagaimana yang telah dipraktikkan Inggris. Penerapan
blokade damai sebagai penyelesaian sengketa ini juga tidak diwajibkan untuk mengikat bagi
kapal-kapal negara ketiga. Prinsipnya adalah suatu negara dapat melakukan blokade terhadap
kapal-kapal negara ketiga hanya karena terjadinya perang antara negara yang bersengketa
tersebut.

Intervensi
Intervensi atau campur tangan suatu negara terhadap negara lainnya adalah suatu tindakan
yang sebenarnya melanggar prinsip hukum internasional, yaitu kedaulatan negara. Akan
tetapi, dalam keadaan tertentu, intervensi ini dapat dijadikan bentuk penyelesaian sengketa
dengan kekerasan.
Dalam kondisi tertentu, hukum internasional memberikan hak kepada suatu negara
untuk melakukan intervensi ke negara lain. Bentuk intervensi yang diperbolehkan oleh
hukum internasional adalah: (1) intervensi secara kolektif sebagaimana yang diatur oleh
Piagam; (2) intervensi yang dilakukan oleh suatu negara dalam rangka melindungi hak-hak
dan kepentingan, serta keselamatan jiwa para warga negaranya di luar negeri; (3) intervensi
untuk pembelaan diri, yang dilakukan untuk menghindarkan serangan bersenjata yang nyata-
nyata; (4) dalam menangani urusan sebuah protektorat yang berada di bawah dominionnya,
dan (5) jika negara yang mengalami intervensi itu dipersalahkan secara terang-terangan
karena melanggar hukum internasional yang menyangkut negara yang melakukan intervensi
itu, mísalnya negara tersebut telah melakukan intervensi dengan melanggar hukum.
Penggunaan penyelesaian sengketa dengan cara intervensi kolektif ini harus
didasarkan atas kewajiban yang telah ditetapkan oleh Piagam. Intervensi ini dilakukan dalam
rangka melaksanakan Bab VII Piagam, yang dilaksanakan oleh Dewan Keamanan. Intervesi
ini juga dapat dilakukan untuk melaksanakan hukuman atas dasar Resolusi Majelis Umum
PBB, yaitu didasarkan atas "Uniting for Peace Resolution". Pelaksanaan intervensi dalam
rangka penyelesaian sengketa ini juga harus dilakukan dengan tidak mengancam integritas
wilayah atau kemerdekaan politik negara yang diintervensi sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat 4 Piagam. Untuk masalah yang berada dalam yurisdiksi suatu negara, berdasarkan Pasal
2 ayat 7 Piagam, PBB dilarang melakukan intervensi terhadap negara itu. Penggunaan
intervensi kolektif untuk menyelesaikan sengketa internasional dapat dilakukan atas dasar
perjan jian pertahanan bersama, seperti yang diatur dalam Pakta Atlantik Utara 1949.
Tindakan intervensi ini hanya digunakan dalam rangka pembelaan diri Pasal 51 Piagam atau
countermeasure yang hanya dilakukan pada saat tindakan melawan hukum internasional itu
tejadi atau masih terjadi. 549 Penggunaan intervensi kolektif ini berbeda dengan intervensi
kolektif dalam rangka Pasal 53 Piagam yang menyatakan bahwa apabila dibutuhkan, DK
dapat menggunakan organisasi regional untuk melakukan tindakan kekerasan atas dasar
persetujuannya. Sementara itu, untuk negara-negara musuh (pada PD II), persetujuan tersebut
dikecualikan.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan intervensi dalam rangka membela diri
didasarkan pada Pasal 51 Piagam. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, negara-negara
anggota PBB tidak dilarang untuk melakukan tindakan intervensi apabila ada suatu serangan
(sengketa) yang mengancam keselamatan integritas wilayah kedaulatan politiknya. Tindakan
intervensi atas dasar membela diri ini dilakukan untuk menjaga keamanan negaranya.
Tindakan pembelaan diri dengan cara intervensi ini juga dapat dilakukan atas dasar keadaan
genting, baik karena perang saudara atau revolusi di suatu negara atau karena dapat di jadikan
alasan untuk melakukan intervensi. Bentuk intervensi ini dirasakan sangat relatif, misalnya di
Spanyol pada tahun 1936-1938 terjadi perang saudara (civilwar) yang berdasarkan
pertimbangan di atas dimungkinkan negara tetangganya melakukan tindakan intervensi ke
Spanyol, tetapi negara-negara Eropa tidak menggunakan prinsip pembelaan diri untuk
melakukan intervensi. Di lain pihak Inggris dan Prancis pada tahun 1956 melakukan
intervensi dengan kekerasan terhadap Mesir di Zona Terusan Suez, dengan dalih untuk
melindungi kepentingan-kepentingan mereka yang terancam akibat konflik Mesir-Israel.
Mesir pada waktu itu belum dianggap bersalah untuk kemudian dihukum dengan diintervensi
secara kolektif, Tindakan kedua negara ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai negara di
seluruh dunia, sebagaimana tercermin dari sikap Majelis Umum PBB yang mengutuk sebagai
inter alia suatu pelanggaran terhadap Piagam PBB.

War and Non-war Armed Action


Bentuk penyelesaian sengketa ini dilakukan apabila tidak ada upaya penyelesaian sengketa
lainnya atau sudah tidak ada alternatif lain, selain menyerah kalah kepada negara yang
menyerang atau menaklukannya. Maka, dilawan dengan peperangan. Berkaitan dengan
Piagam PBB, bentuk penyelesaian sengketa ini merupakan pelaksanaan Bab VII Pasal 41 dan
42. Dewan Keamanan dapat memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan penggunaan
kekuatan senjata sebagaimana telah ditetapkan dalam keputusannya (Resolusi DK) dan
Dewan Keamanan dapat meminta kepada anggota PBB untuk melaksanakan tindakan-
tindakan tersebut. Apabila tindakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 tidak mencukupi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Dewan Keamanan dapat mengambil tindakan dengan
menggunakan angkatan udara, laut, atau darat untuk memulihkan perdamaian dan keamanan
internasional.
Dalam melakukan tindakan dengan menggunakan kekuatan bersen jata ini, Dewan
Keamanan, berdasarkan Pasal 43 dapat menggunakan baik angkatan perang maupun segala
fasilitas yang ada di negara-negara anggota dan bentuk bantuan lainnya termasuk hak-hak
lalu lintas dalam rangka terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional. Permintaan
Dewan Keamanan tersebut didasari atas persetujuan atau persetujuan khusus dengan negara
yang diminta bantuan. Tindakan Dewan Keamanan sebagaimana diatur dalam Pasal 41, 42,
dan 43 pernah dilaksanakan dalam kasus invasi Irak terhadap Kuwait yang menghukum Irak
atas tindakan melawan hukum internasional yang merupakan pelanggaran berat terhadap
perdamaian dan keamanan internasional.
Penyelesaian sengketa internasional yang diselesaikan dengan cara peperangan,
setelah berdirinya PBB misalnya adalah kasus penyerbuan Korea Utara terhadap Korea
Selatan dan kasus Irak menginvasi Kuwait. Kedua kasus ini dilakukan oleh PBB. Sementara
itu, Yugoslavia melakukan tindakan pelanggaran terhadap kemanusiaan di Kosovo yang
dilakukan oleh NATO dan invasi Argentina terhadap Kepulauan Falkland, yang dilakukan
oleh Inggris atas dasar Pasal 51 Piagam (self-defence).
Dari seluruh uraian tentang macam-macam penyelesaian sengketa internasional, dapat
disimpulkan bahwa forum penyelesaian sengketa internasional pada dasarnya menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum atau pelanggaran hukum, baik dilakukan oleh para pihak yang
bersengketa maupun oleh pihak ketiga, baik negara maupun lembaga internasional.
Penyelesaian metode sengketa internasional yang digunakan untuk menyelesaikan
pelanggaran hukum, baik pelanggaran perjanjian maupun pelanggaran kewajiban
internasional pada dasarnya merupakan manifestasi penegakan hukum internasional.

Anda mungkin juga menyukai