Anda di halaman 1dari 66

BAB II

TIN JAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS

2.1.1 Definisi

HIV merupakan suatu virus RNA (Ribonucleic Acid) bentuk sferis dengan

diameter 1.000 angstrom yang termasuk retrovirus dari family Lentivirus. Proses

infeksi ini akan berjalan dari waktu ke waktu yang menimbulkan penurunan jumlah

sel limfosit CD4 dan mengakibatkan terjadinya AIDS (Merati dan Djauzi, 2009).

HIV adalah retrovirus yang memiliki hubungan dengan virus leukemia sel-T

manusia yang menginfeksi hewan dan juga manusia (Sadock, 2010).

AIDS adalah penyakit virus yang menyebabkan kolapsnya sistem imun dan

bagi kebanyakan penderita mengalami kematian dalam 10 tahun setelah diagnosis

(Corwin, 2009).

AIDS didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit

dengan karakteristik defisiensi kekebalan tubuh yang berat dan merupakan

manifestasi stadium akhir infeksi virus HIV (Notoatmodjo, 2011).

8
9

AIDS adalah sindrom akibat defisiensi imunitas selular tanpa penyebab lain

yang diketahui dan ditandai dengan infeksi oportunistik keganasan yang berakibat

fatal. Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan berkurang zat kekebalan

tubuh yang prosesnya tidaklah terjadi seketika, melainkan sekitar 5-10 tahun setelah

seseorang terinfeksi oleh HIV (Rampengan, 2007).

2.1.2 Epidemiologi

Kasus HIV/AIDS ditemukan oleh Gottlieb pada musim semi tahun 1981.

Jumlah penderita meningkat demikian cepat sehingga pada bulan Mei 1985

diperkirakan jumlahnya sudah mencapai 12.000 kasus (Budimulja dan Daili, 2009).

Statistik yang berasal dari Amerika Serikat merupakan statistik yang paling mutakhir

dan terlengkap, sehingga pusat perhatian HIV akan didasarkan pada data dari

Amerika. Data ini cukup juga mewakili sebagian besar data dari negara maju. Namun

demikian, kecenderungan di negara sedang berkembang kadang-kadang berbeda

secara bermakna dan kecenderungan ini akan disorot secara khusus jika diperlukan

(Robbins, 2007).

Pada tahun 1985, Chermann dan Barre-Sinoussi melaporkan bahwa penderita

AIDS di seluruh dunia mencapai angka lebih dari 12.000 orang dengan perincian

lebih dari 10.000 kasus di Amerika Serikat, 400 kasus di Prancis, dan sisanya di

Negara Eropa lainnya, Amerika Latin, dan Afrika. Satu tahun kemudian dilaporkan

pula, bahwa jumlah kasus AIDS di Amerika Serikat telah meningkat menjadi 15.000
10

kasus dan di Prancis 455 kasus (Rokhmah, 2013). Laporan lain dari Acheson, Inggris

tahun 1985, memperkirakan bahwa di Inggris sebanyak 10.000 orang telah terinfeksi

oleh virus AIDS, sedangkan di Amerika Serikat angka infeksi mencapai satu juta

orang dan 6.000 orang diantaranya meninggal setelah menderita full-blown AIDS.

Dari sejumlah orang tersebut di atas yang terinfeksi virus HIV, diperkirakan sebanyak

10-20% diantaranya akan berkembang menjadi penderita AIDS yang sesungguhnya

(Sardjito, 2010).

Sejak tahun 1985 sampai tahun 1996 kasus HIV/AIDS masih amat jarang

ditemukan di Indonesia. Sebagian besar ODHA pada periode itu berasal dari

kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat

dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama

disebabkan akibat penularan narkotika suntik. Sampai dengan akhir Maret 2005

tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh

dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan

jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV berkisar 90.000 sampai 130.000

orang (Djoerban dan Djauzi, 2009).

2.1.3 Etiologi

Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983

yang pada waktu itu diberi nama LAV (Lymphadenopathy Virus), sedangkan Robert
11

Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu dinamakan

HTLV-III (Human T-Cell Leukemia Virus III) (Djoerban dan Djauzi, 2009).

Sampai dengan tahun 1994 diketahui ada dua subtipe virus HIV, yaitu HIV 1

dan HIV 2. HIV 1 penyebarannya meluas hampir di seluruh dunia, sedangkan HIV 2

ditemukan pada pasien-pasien Afrika Barat dan Portugal. HIV 2 lebih mirip “monkey

virus” yang disebut SIV (Simian Immunodeficiency). Antara HIV 1 dan HIV 2 intinya

mirip, tetapi selubung luarnya sangat berbeda (Notoatmodjo, 2011).

Etiologi AIDS secara virologik termasuk retrovirus, yaitu famili Retroviridae,

yang anggota-anggotanya dapat ditemukan pada semua kelas vertebrata termasuk

manusia. Pada awalnya virus HIV dimasukkan dalam subfamilia Oncovirinae, tetapi

kemudian dikoreksi menjadi termasuk ke dalam subfamili Lentivirinae, sehingga

didapatkan bahwa virus HIV dimasukkan dalam genus Lentivirus, subfamili

Lentivirinae, dan familia Retroviridae (Astari et al, 2009). Retrovirus merupakan

suatu virus RNA yang mampu membuat DNA (Deoxyribose Nucleic Acid) dari RNA

dengan pertolongan enzim reverse transcriptase yang kemudian disisipkan dalam

DNA sel hospes sebagai mesin genetik. Dengan demikian virus mampu

menggunakan mesin replikatif sel hospes untuk memproduksi dirinya, maupun

berbagai zat yang mampu mentransformasikan sel hospes menjadi sel maligna

(Sardjito, 2010).
12

Virus HIV ini terdiri dari inti (core) dengan lapisan luar bernama amplop

(envelope). Envelope HIV berfungsi sebagai alat penting untuk menempelkan virus

tersebut pada sel induk (sel hidup yang diserang, biasanya sel T-Helper), kemudian

melubangi dinding sel induk tersebut. Envelope terdiri dari banyak komponen

glikoprotein dan diantaranya yang penting adalah gp160, gp140, dan gp120.

Identifikasi laboratorik terhadap profil glikoprotein ini sangat menunjang diagnosis

keberadaan envelope virus dalam tubuh manusia. Bagian inti (core) HIV berfungsi

penting untuk replikasi virus di dalam sel induk yang terdiri dari beberapa komponen

protein dan yang paling penting adalah p24, p16, p15, dan enzim reverse

transcriptase (Rampengan, 2007).

2.1.4 Patogenesis

Menurut Price (2005), perjalanan virus HIV hingga terjadinya proses infeksi

dan replikasi dilalui oleh 3 tahap, yaitu :

1. Penularan dan masuknya virus

HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata,

sekresi vagina atau serviks, urine, ASI (Air Susu Ibu), dan air liur. Tiga cara

utama penularan adalah kontak dengan darah, kontak seksual, dan kontak

ibu ke bayi. Setelah virus ditularkan akan terjadi serangkaian proses yang

kemudian menyebabkan infeksi.


13

2. Perlekatan virus

Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya atau

kapsul viral terdiri dari lemak lapis ganda yang mengandung banyak tonjolan

protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein : gp120 dan gp41. Gp

mengacu pada glikoprotein, dan angka mengacu kepada masa protein dalam

ribuan Dalton. Gp120 adalah selubung permukaan eksternal duri dan gp41

adalah bagian transmembran.

Terdapat suatu protein matriks yang disebut p17, yang mengelilingi segmen

bagian dalam virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang

disebut p24. Di dalam kapsid, p24 terdapat dua untai RNA identik dan

molekul pre-formed reverse transcriptase, integrase, dan protease yang sudah

terbentuk. HIV adalah suatu retrovirus, sehingga materi genetik berada dalam

bentuk RNA, bukan DNA. Reverse transcriptase adalah enzim yang

mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel

sasaran. Enzim-enzim lain yang menyertai RNA adalah integrase dan

protease.

Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai

afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4 berfungsi

mengkoordinasikan sejumlah imunologis yang penting. Hilangnya fungsi

tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif.


14

HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki

molekul reseptor membran CD4. Sejauh ini sasaran yang disukai oleh HIV

adalah limfosit T Penolong (T-Helper) positif CD4, atau sel T4 (limfosit

CD4). Gp120 HIV berikatan kuat dengan limfosit CD4 sehingga gp41 dapat

memperantarai fusi membran virus ke membran sel. Baru-baru ini ditemukan

bahwa dua korereseptor permukaan sel, CCR5 atau CXCR4 diperlukan, agar

glikoprotein gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4.

Korereseptor ini menyebakan perubahan-perubahan konformasi sehingga

gp41 dapat masuk ke membran sel sasaran.

Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit dan

makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai

reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat

politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia, seperti sel Natural

Killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel Langerhans, sel dendritik

(yang terdapat di permukaan mukosa tubuh), sel mikroglia, dan berbagai

jaringan tubuh.

Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4, maka berlangsung serangkaian

proses kompleks yang apabila berjalan lancar dapat menyebabkan

terbentuknya partikel-partikel virus baru dari sel yang terinfeksi. Limfosit

CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau

mungkin mengalami siklus-siklus replikasi sehingga menghasilkan banyak


15

virus. Infeksi pada limfosit CD4 juga dapat menimbulkan sipatogenisilitas

melalui beragam mekanisme, termasuk apoptosis (kematian sel terprogram),

anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau pembentukan sinsitium (fusi

sel).

3. Replikasi virus

Setelah terjadi fusi sel virus, virus masuk ke bagian tengah sitoplasma limfosit

CD4. Setelah itu nukleokapsid dilepas, maka terjadi transkripsi terbalik-

(reverse transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan

(cDNA) untai-ganda virus. Integrase HIV membantu cDNA virus ke dalam

inti sel pejamu. Apabila sudah terintegrasi ke dalam kromosom sel pejamu,

maka dua untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus menghasilkan

RNA messenger (mRNA), yang meninggalkan inti sel dan masuk ke dalam

sitoplasma. Protein-protein virus dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan

yang telah mengalami splicing (penggabungan) setelah RNA genom

dibebaskan ke dalam sitoplasma. Tahap akhir produksi virus membutuhkan

suatu enzim virus yang disebut HIV protease, yang memotong dan menata

protein virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus,

membentuk partikel virus menular yang menonjol dari sel yang terinfeksi.

Sewaktu menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel tersebut akan terbungkus

oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. HIV yang baru terbentuk sekarang

dapat menyerang sel-sel rentan lainnya di seluruh tubuh.


16

Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat hanya

terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam darah. HIV ditemukan dalam

jumlah besar di dalam limfosit CD4 dan makrofag di seluruh limfoid pada

semua tahap infeksi. Partikel-partikel virus juga telah dihubungkan dengan

sel-sel dendritik folikular, yang mungkin memindahkan infeksi ke sel-sel

selama migrasi melalui folikel-folikel limfoid.

Walaupun selama latensi klinis tingkat viremia dan replikasi virus di sel-sel

mononukleus darah perifer rendah, namun pada infeksi ini tidak ada latensi

yang sejati. HIV secara terus menerus terakumulasi dan bereplikasi di organ-

organ limfoid. Sebagian data menunjukkan bahwa terjadi replikasi dalam

jumlah sangat besar dan pertukaran sel yang sangat cepat, dengan waktu

paruh virus dan sel penghasil virus di dalam plasma sekitar 2 hari. Aktivitas

ini menunjukkan bahwa terjadi pertempuran terus menerus antara virus dan

sistem imun pasien.

2.1.5 Patofisiologi

Menurut Brashers (2007), riwayat alamiah dan imunologi infeksi HIV

memiliki kriteria lain, yaitu :

 Cara lain yang merupakan cara virus mengurangi jumlah dan fungsi sel

CD4 meliputi :
17

- Beberapa strain HIV (menginduksi sinsitia) menyebabkan sel CD4 yang

terinfeksi berkoalisi dengan sel CD4 tak terinfeksi sehingga

menjadikannya tidak fungsional.

- HIV menurunkan jumlah glutation dalam sel CD4 sehingga

menginduksi apoptosis.

- HIV menyebabkan produksi glikoprotein bebas (gp120) dan

melepaskannya ke dalam aliran darah, yang melekatkan diri ke reseptor

CD4 tak terinfeksi dan menyebabkan destruksi imun sel CD4 yang

sehat.

 Setelah beberapa minggu, tercapailah keadaan yang mantap dan latensi

klinis sehingga sistem imun sudah mampu mengurangi jumlah virus

dalam darah dengan membunuh sel CD4 fungsional yang baru.

 Replikasi virus berlangsung dengan kecepatan sangat tinggi di dalam

darah dan dengan kecepatan yang lebih rendah dalam limfanodi dan

tempat-tempat yang terlindungi lain. Tingkat penurunan virus dalam

darah (beban virus atau titer virus) yang mampu dicapai sistem imun

menentukan kecepatan perburukan klinis.

 Bersamaan dengan itu, kemampuan sumsum tulang memproduksi sel

CD4 jatuh sampai di bawah yang diperlukan untuk mengganti lagi sel

CD4 yang terbunuh dan terjadilah imunosupresi. Fase laten secara klinis
18

memberikan fase 2 sampai 4 tahun gejala kronis dan meningkatkan titer

virus tetapi bukan keadaan penyakit yang mengancam jiwa.

 Di akhir periode laten klinis, struktur limfanodi mulai hancur melepaskan

virus yang lebih aktif ke dalam sirkulasi. Titer virus meningkat dan kadar

CD4 jatuh di bawah kadar yang diperlukan untuk mencegah infeksi

oportunistik yang mengancam jiwa.

Dengan bereplikasinya virus HIV, akan dapat menyebabkan kematian sel atau

membuat infeksi virus tersebut menjadi laten. Infeksi HIV menimbulkan perubahan

patologi yang bisa terjadi langsung melalui destruksi sel-sel CD4, sel-sel imun lain,

dan sel-sel neuroglia, atau secara tidak langsung melalui efek sekunder disfungsi sel-

T CD4 dan imunosupresi yang diakibatkan (Rachmawati, 2013).

Dalam sel tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,

sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, maka seumur hidup ia akan tetap

terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap

AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10

tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan

gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan

gambaran penyakit yang kronis sesuai dengan sistem kekebalan tubuh yang juga

bertahap (Djoerban dan Djauzi, 2009).


19

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.

Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi akut, 3-6 minggu setelah

terinfeksi. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).

Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada

sekelompok kecil orang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2

tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progressor). Seiring makin

memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala akibat

infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah,

pembesaran kalenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dll.

(Djoerban dan Djauzi, 2009).

Walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala, secara bertahap

sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk dan akhirnya

pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat sehingga pasien masuk ke dalam

tahap AIDS. Manifestasi awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah

kerusakan mikro arsitektur folikel kalenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di

jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian

besar replikasi HIV terjadi di kalenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi

(Djoerban dan Djauzi, 2009).


20

2.1.6 Manifestasi Klinis

Menurut Rampengan (2007), sebagai manifestasi klinis utama dari AIDS

dibagi atas 3 gejala yang terdiri dari :

a. Gejala Non-Spesifik

 Demam

 Gangguan pertumbuhan

 Kehilangan berat badan (>10%)

 Hepatomegali

 Limfadenopati

Limfadenopati persisten di seluruh tubuh (persistent generalized

lymphadenopathy) yang terjadi sekunder karena fungsi sel-sel CD4

mengalami kerusakan (Kowalak, 2011).

 Splenomegali

 Parotitis

 Diare

b. Gejala Spesifik

 Gangguan tumbuh kembang

 Gangguan pertumbuhan otak

 Defisit motoris yang progresif


21

 Lymphoid intertitial pneumonitis

 Tumor

Jenis tumor yang sering menyerang penderita AIDS adalah :

1. Sarkoma Kaposi

Sarkoma kaposi adalah kanker sistem vaskular yang ditandai oleh

lesi kulit berwarna merah yang biasanya mengenai orang tua

(usia>60 tahun), tetapi pada penderita AIDS dijumpai pada orang

muda (usia<60 tahun). Kelainan ini agak spesifik untuk penderita

AIDS. Berbagai kanker muncul pada pasien AIDS akibat tidak

adanya respons imun selular terhadap sel-sel neoplastik. Sebagian

besar individu pengidap sarkoma kaposi terinfeksi melalui

hubungan homoseksual (Corwin, 2009).

2. Limfoma ganas

Limfoma ganas menyerang (usia<60 tahun) dan mengenai susunan

saraf pusat, sumsum tulang, dan rektum.

 Infeksi Oportunistik

Infeksi oportunistik melibatkan hampir semua sistem dalam tubuh dan

gejala yang ditimbulkan bergantung pada kuman penyakit yang

menyerang. Manifestasi terhadap infeksi oportunistik, antara lain :


22

1. Manifestasi pada Paru

- Pneumocystis Carini Pneumonia (PCP)

Pada umumnya infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi

paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas,

dan demam.

- Cytomegalo Virus (CMV)

Pada manusia, virus ini 50% hidup sebagai kemensal pada paru

tetapi dapat menyebabkan penyakit pneumocystis (merupakan

penyebab kematian pada 30% penderita AIDS). Pneumonia difus

timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.

- Mycobacterium tuberculosis

Biasanya ini timbul lebih dini dan penyakit cepat menjadi TB

Milier dan cepat menyebar ke organ lain di luar paru.

2. Manifestasi pada Gastrointestinal

Tidak ada nafsu makan, diare kronis, berat badan turun lebih 10%

per bulan. Diare dan berkurangnya lemak tubuh sering terjadi pada

pasien AIDS. Diare terjadi akibat infeksi virus dan protozoa. Infeksi

jamur (thrush) di mulut dan esofagus menyebabkan nyeri hebat

sewaktu menelan dan menguyah serta ikut berperan menyebabkan

berkurangnya lemak dan gangguan pertumbuhan (Corwin, 2009).


23

3. Manifestasi Neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang

biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang

umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati, dan

neuropati perifer. Pada susunan saraf pusat juga memiliki gejala

lainnya, seperti sakit kepala, defek motorik, kejang, dan perubahan

kepribadian. Pasien dapat menjadi buta dan akhirnya koma. Banyak

dari gejala tersebut timbul karena infeksi bakteri dan virus pada SSP

yang menyebabkan peradangan otak. HIV juga secara langsung

merusak sel-sel otak (Corwin, 2009).

 Penyakit tertentu yang lain

- Kardiomiopati

- Aritmia

- Kelainan hematologik (anemia, trombositopenia)

- Glomerulopati

- Kelainan kulit

c. Kelainan imunologik pada awal infeksi

 Hipo/hipergamaglobulinemia

 Jumlah sel limfosit T CD4 menurun

 Menurunnya rasio sel limfosit T CD4 (Th): T CD8 (Ts)


24

 Limfopenia absolute

Menurut Budimulja dan Daili (2009), pembagian tingkat klinis penyakit

infeksi HIV dibagi sebagai berikut :

I. Tingkat klinis 1 (asimptomatik/LGP)

1. Tanpa gejala sama sekali.

2. LGP (Limfadenopati Generalisasi Persisten).

Pada tingkat ini penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan

aktivitas normal.

II. Tingkat klinis 2 (dini)

1. Penurunan berat badan lebih dari 10%.

2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroik,

prurigo, onikomikosis, ulkus pada mulut yang berulang dan kelilitis

angularis.

3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir.

4. Infeksi saluran nafas bagian atas berulang, misalnya sinusitis. Pada

tingkat ini penderita telah menunjukkan gejala, tetapi aktivitas tetap

normal.

III. Tingkat klinis 3 (menengah)

1. Penurunan berat badan lebih dari 10%.

2. Diare kronik lebih dari 1 bulan tanpa diketahui sebabnya.


25

3. Demam yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang

timbul ataupun terus menerus.

4. Kandidosis mulut.

5. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukoplakia).

6. Tuberkulosis Paru setahun terakhir.

7. Infeksi bakterial berat, misalnya pneumonia.

IV. Tingkat klinis 4 (lanjut)

1. Badan menjadi kurus HIV wasting syndrome, yaitu karena berat badan

turun lebih dari 10% dan diare kronis tanpa diketahui sebabnya selama

lebih dari 1 bulan.

2. Pneumocystis carinii.

3. Toxoplasmosis otak.

4. Cryptococcosis dengan diare lebih dari 1 bulan.

5. Cryptococcosis diluar paru.

6. Infeksi sitomegalo virus pada organ tubuh kecuali di limfa, hati atau

kelenjar getah bening.

7. Infeksi virus herpes simpleks di mukokutan lebih dari 1 bulan atau di

alat dalam (visceral) lamanya tidak di batasi.

8. Mikosis apasaja (misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis) yang

endemik, menyerang banyak organ tubuh (diseminata).

9. Kandidosis esofagus, trakea, bronkus, atau paru.


26

10. Mikobakteriosis atipik asiminata.

11. Septicemia salmonella non thypoid.

12. Tuberkulosis di luar paru.

13. Limfoma.

14. Sarkoma Kaposi.

15. Ensefalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu gangguan kognitif atau

disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif

sesudah beberapa minggu dan bulan, tanpa dapat ditemukan penyebab

lain kecuali HIV.

2.1.7 Diagnosis

Menurut Rampengan (2007), mengemukakan diagnosis HIV/AIDS

didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan klinis, dan hasil pemeriksaan

laboratorium. Penegakan diagnosisnya adalah :

1. Pada anamnesis; lahir dari ibu dengan resiko tinggi, lahir dari ibu dengan

pasangan resiko tinggi, penerima transfusi darah dan komponennya,

pengguna obat parenteral, kebiasaan seksual yang keliru.

2. Terdeteksinya virus HIV melalui pemeriksaan laboratorium uji ELISA,

Western Blot, dan Polymerase Chain Reaction.

3. Adanya tanda-tanda imunodefisiensi.

4. Adanya gejala infeksi oportunistik.


27

Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi oportunistik

atau sarkoma kaposi pada usia muda. Kemudian dilakukan uji serologis untuk

mendeteksi zat anti HIV (ELISA, Western Blot).

Menurut Kowalak (2011), CDC telah mengembangkan matriks klasifikasi

HIV/AIDS yang mendefenisikan AIDS sebagai suatu keadaan sakit yang ditandai

oleh satu atau lebih penyakit yang menjadi indikator bersama hasil pemeriksaan

laboratorium yang membuktikan adanya infeksi HIV dan penyebab kemungkinan

imunosupresi lain. Penegakan diagnosis AIDS meliputi satu atau lebih pemeriksaan

berikut ini :

 Keberadaan infeksi HIV yang sudah dipastikan.

 Jumlah sel CD4 yang kurang dari 200 sel/ul.

 Keberadaan satu atau lebih keadaan penyakit akibat infeksi HIV.

Menurut Rampengan (2007), pemeriksaan laboratorium pada kasus

HIV/AIDS adalah sebagai berikut :

1. Pemeriksaan ELISA

Pada dasarnya diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada biakan sel,

kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polistiren atau sumur

microplate. Serum atau plasma yang akan diperiksa, diinkubasikan

dengan antigen tersebut selama 30 menit sampai 2 jam kemudian dicuci.


28

Tes ELISA mempunyai sensitivitas dan spesitifitas cukup tinggi

walaupun hasil tes negatif ini tidak dapat menjamin bahwa seseorang

bebas 100% dari HIV-1 terutama pada kelompok resiko tinggi.

Akhir-akhir ini tes ELISA telah menggunakan antigen recombinan yang

sangat spesifik terhadap envelope dan core. Antibodi terhadap envelope

ditemukan pada setiap penderita HIV stadium apa saja. Sedangkan

antibodi terhadap p24 (protein dari core) bila positif berarti penderita

sedang mengalami kemunduran/deteriorasi.

2. Pemeriksaan Western Blot

Pemeriksaan Western Blot cukup sulit, mahal, interpretasinya

membutuhkan pengalaman, dan lama pemeriksaan sekitar 24 jam. Cara

kerja tes Western Blot adalah dengan meletakkan HIV murni pada

polyacrylamide gel yang diberi arus elektroforesis sehingga terurai

menurut berat protein yang berbeda-beda, kemudian dipindahkan ke

nitrocellulose. Nitrocellulose ini diinkubasikan dengan serum penderita.

Antibodi HIV dideteksi dengan memberikan antibodi anti-human yang

sudah dikonjugasi dengan enzim yang menghasilkan warna bila diberi

suatu substrat.

3. PCR (Polymerase Chain Reaction)

PCR adalah cara in vitro untuk memperbanyak target sekuen spesifik

untuk analisis cepat atau karakterisasi, walaupun material yang


29

digunakan pada awal pemeriksaan sangat sedikit. Pada dasarnya PCR

meliputi beberapa perlakuan, yaitu denaturasi, hibridisasi dari primer

sekuen DNA pada bagian tertentu yang diinginkan.

2.1.8 Penatalaksanaan

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.

Namun data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan

bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat antiretroviral,

disingkat obat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat

infeksi HIV. Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV

dan pulihnya kerentanan ODHA terhadap infeksi oportunistik. Pengobatan untuk

menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral.

Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu :

a. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang

menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,

toxoplasmosis, sakoma kaposi, limfoma, kanker serviks.

b. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang

lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial

dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga

kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian


30

dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik

amat berkurang (Djoerban dan Djauzi, 2009).

Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi lebih

baik. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse

transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan

inhibitor protease. Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan

seksama, karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV

direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang

termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangat

berat tanpa melihat jumlah limfosit CD4. Obat ini juga direkomendasikan pada

pasien asimptomatik dengan limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm³. Pasien

asimptomatik dengan limfosit CD4 200-350 sel/mm³ dapat ditawarkan untuk

memulai terapi. Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah

kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan

dengan keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat antiretroviral

lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudim

/lamivudim dengan nevirapin. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak

dengan pemberian obat ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar

mengingat sudah ada beberapa bayi di Indonesia yang tertular HIV dari ibunya.

Efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi adalah sebesar 10-30%. Artinya dari 100

ibu hamil yang terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi yang akan tertular. Sebagian
31

besar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan, dan sebagian kecil melalui

plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi dari air susu ibu. Obat ARV yang di

anjurkan untuk PTMCT (Prevention of Mother to Child Transmission) adalah

zidovudim atau nevirapin. Pemberian nevirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak

dinilai sangat mudah untuk diterapkan dan ekonomis. Sebetulnya pilihan yang

terbaik adalah pemberian ARV yang dikombinasi dengan operasi Caesar, karena

dapat menekan penularan sampai 1% (Djoerban dan Djauzi, 2009).

2.1.9 Komplikasi

Menurut Saputra (2009), komplikasi pada penderita HIV/AIDS adalah

sebagai berikut :

1. Paru-paru

 Pneumonia

 Limfoma

 Pneumonitis Interstitial Limfoid

 Pneumonitis non-spesifik

2. Saluran Cerna

 Kandidiasis

 Herpes Simplex

 Stomatitis Aftosa
32

3. Sistem saraf

 Meningoensefalitis

 Mielopati

 Neuropati perifer

 Demensia

 Meningitis

 Ensefalitis

 Mielopati Vacuolar

4. Mata

 Retinitis CMV (menurunnya ketajaman pandangan dengan atau tanpa

kebutaan).

2.1.10 Pencegahan

Menurut Budimulja dan Daili (2009), pencegahan yang dapat dilakukan

untuk mengurangi penularan penyakit adalah sebagai berikut :

 Kontak seksual harus dihindari dengan orang yang diketahui menderita

AIDS dan orang yang sering menggunakan bius intravena.

 Mitra seksual multiple atau hubungan seksual dengan orang yang

mempunyai banyak teman kencan seksual, memberikan kemungkinan

lebih besar mendapat AIDS.


33

 Cara hubungan seksual yang dapat merusak selaput lendir rektal, dapat

memperbesar kemungkinan mendapatkan AIDS. Senggama anal pasif

yang pernah dilaporkan pada beberapa penelitian menunjukkan korelasi

tersebut. Walaupun belum terbukti, kondom dianggap salah satu untuk

menghindari penyakit kelamin dan cara ini masih merupakan anjuran.

 Kasus AIDS pada orang yang menggunakan obat bius intravena dapat

dikurangi dengan cara memberantas kebiasaan buruk tersebut dan

melarang penggunaan jarum suntik bersama.

 Semua orang yang tergolong beresiko tinggi AIDS seharusnya tidak

menjadi donor. Di Amerika Serikat soal ini dipecahkan dengan adanya

penentuan zat anti-AIDS dalam darah melalui cara ELISA.

 Para dokter harus ketat mengenai indikasi medis transfusi darah autolog

yang dianjurkan untuk dipakai.

2.1.11 Prognosis

Sepuluh tahun setelah infeksi HIV, 50% penderita akan mengalami AIDS.

Prognosis AIDS buruk karena HIV menginfeksi sistem imun terutama CD4 dan

akan menimbulkan destruksi sel tersebut, akibatnya banyak sekali penyakit yang

dapat menyertainya (Budimulja dan Daili, 2009).

2.2 TB Paru

2.2.1 Definisi
34

TB Paru adalah infeksi yang disertai dengan nekrosis oleh mikrobakteria

yang menyerang organ paru (Saputra, 2009).

TB Paru adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui

udara yang dihirup ke dalam paru (Notoatmodjo, 2011).

TB Paru merupakan infeksi saluran napas bawah. Penyakit ini disebabkan

oleh mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis, yang biasanya ditularkan

melalui inhalasi percikan ludah (droplet) dari satu individu ke individu lainnnya,

dan membentuk kolonisasi di bronkiolus atau alveolus (Corwin, 2009).

2.2.2 Epidemiologi

Basil TB dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebrata

thoraks yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg-Jerman dari kuburan

zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran

dinding piramid Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM (Amin dan Bahar, 2009).

TB Paru ditemukan di semua negara di seluruh dunia. Saat perhubungan

antar negara masih sulit, masih ada beberapa rumpun suku bangsa yang bebas TB

Paru (misalnya suku Eskimo sebelum kedatangan orang-orang Denmark dan

beberapa suku penghuni pulau-pulau terpencil di Samudera Pasifik). Namun,

dengan makin mudahnya perhubungan antar negara sejak abad XVI, sekarang TB

Paru sudah merupakan penyakit mancanegara (Danusantoso, 2012).


35

Di dunia diperkirakan terdapat 8 juta terserang TB Paru dengan kematian 3

juta orang. Menurut WHO, kematian wanita karena TB Paru lebih banyak daripada

kematian karena kehamilan, bersalin, dan nifas. Oleh karena itu, WHO

mencanangkan kedaruratan global pada tahun 1993, karena diperkirakan penduduk

dunia telah terinfeksi kuman TB Paru (Sarwani et al, 2012).

Pada bulan Maret 1993, WHO mendeklarasikan TB Paru sebagai global

health emergency. TB Paru dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting

karena lebih kurang 1/3 penduduk terinfeksi oleh mikrobakterium TB Paru. Pada

tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB Paru yang tercatat di seluruh dunia. Sebagian

besar kasus ini terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Di antara mereka,

75% berada di usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan

tingginya prevalensi, maka lebih dari 65% dari kasus TB Paru yang baru dan

kematian yang muncul terjadi di Asia (Amin dan Bahar, 2009).

Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB Paru ke-3 tertinggi di dunia

setelah China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB Paru di China, India, dan

Indonesia berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan

kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 pada tahun 1998.

Prevalensi nasional terakhir TB Paru diperkirakan 0,24% (Saptawati et al, 2012).

2.2.3 Etiologi

Menurut Danusantoso (2013), TB Paru disebabkan oleh basil TB

(Myobacterium tuberculosis) dengan detail-detailnya sebagai berikut :


36

1. M. tuberculosis termasuk family Myobacteriaceae yang mempunyai

berbagai genus, satu diantaranya adalah Mycobacterium, dan salah satu

spesiesnya adalah M. tuberculosis.

2. M. tuberculosis yang paling berbahaya bagi manusia adalah type humanis

(kemungkinan infeksi type bovines saat ini dapat diabaikan, setelah

hygiene peternakan makin ditingkatkan).

3. Basil TB mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Sifat ini

dimanfaatkan oleh Robert Koch untuk mewarnainya secara khusus.

Karena itu, kuman ini disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).

4. Karena pada umumnya Myobacterium tuberculosis tahan asam, secara

teoritis BTA belum tentu identik dengan basil TB. Namun karena dalam

keadaan normal penyakit paru yang disebabkan oleh Myobacterium lain

(yaitu M. atipik) jarang sekali ditemukan, dan dalam praktik, BTA

dianggap identik dengan basil TB. Di negara dengan prevalensi

HIV/AIDS yang tinggi, penyakit paru yang disebabkan M.atipik makin

sering ditemukan. Dalam kondisi seperti ini, perlu sekali diwaspadai

bahwa BTA belum tentu identik dengan basil TB. Mungkin saja, BTA

yang ditemukan adalah Mycobacteriosis.

5. Kalau bakteri-bakteri lain hanya memerlukan beberapa menit sampai 20

menit untuk mitosis, basil TB memerlukan waktu 12 sampai 24 jam.


37

6. Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa

menit saja akan mati. Ternyata kerentanan ini juga terjadi terhadap

gelombang cahaya ultraviolet. Basil TB juga rentan terhadap panas-basah,

sehingga dalam 2 menit saja hasil TB yang berada dalam lingkungan

basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100ºC. Basil TB juga akan

terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alkohol 70% atau lisol 5%.

2.2.4 Patogenesis

Menurut Amin dan Bahar (2009), patogenesis TB Paru adalah sebagai

berikut :

1) Tuberkulosis primer

Penularan TB Paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar

menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap

dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet,

ventilasi yang buruk, dan kelembapan. Dalam suasana lembap dan gelap, kuman

dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh

orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat

masuk ke alveolaus bila ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman akan dihadapi oleh

neutrofil. Kemudian dihadapi oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati

atau dibersihkan oleh makrofag dan keluar dari percabangan trachea bronchial

bersama gerakan silia dengan sekretnya.


38

Kuman menetap di jaringan paru dan berkembang biak dalam sitoplasma

makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya yang bersarang di

jaringan paru dan akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil yang disebut

sarang primer atau efek primer atau sarang (focus) ghon. Sarang primer ini dapat

terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka

terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal,

jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri

masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal,

tulang. Bila masuk masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh

bagian paru dan menjadi TB Milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan

saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local) dan juga diikuti pembesaran

kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis local

+ limfadenitis regional = komplek primer (Ranke). Semua proses ini memakan

waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :

 Sembuh sama sekali tanpa menimbulkan cacar, ini yang banyak terjadi.

 Sembuh dengan sedikit meninggalkan garis-garis bekas berupa garis

fibrotik, klasifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia

yang luasnya >5mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivitas lagi

karena kuman yang dormant.

 Berkomplikasi dan menyebar secara :


39

a) Perkontinuitatum, yakni menyebar di sekitarnya.

b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru

disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan

ludah sehingga menyebar ke usus.

c) Secara limfogen, ke organ-organ tubuh lainnya.

d) Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.

2) Tuberkulosis pasca primer (tuberkulosis sekunder)

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post

primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%.

Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol,

penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini mulai

dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior lobus

superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke

nodus hiler paru.

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-

10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri atas sel-

sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi

oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.


40

TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda

menjadi TB usia tua (eldery tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman,

virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi :

 Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

 Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan

serbukan jaringan fibrosis, ada yang membungkus diri menjadi keras,

menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma

berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian

tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan

keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas

ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena

infiltrasi jaringan fibrosis dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas

sekrerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena

hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh

makrofag dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk

perkijuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi

pada imunodefisiensi pada usia lanjut.

Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat :

a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi

kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB

Milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk ke


41

lambung dan selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini selanjutnya

mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi

TB endobronchial dan TB endotracheal atau empiema bila ruptur ke

pleura.

b. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.

Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif

kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas

adalah kolonisasi oleh fungus seperti Astergillus dan kemudian menjadi

Mycetoma.

c. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga

menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang

berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti

bintang disebut stellate shaped.

Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni :

a. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan

lagi.

b. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap

dan sempurna.

c. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat

sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi

kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga.


42

2.2.5 Faktor Resiko

Menurut Suryo (2010), beberapa faktor resiko yang menyebabkan penyakit

TB Paru adalah sebagai berikut :

1) Faktor umur

Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu

umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari-

hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada panti

penampungan orang-orang gelandangan, menunjukkan bahwa

kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara

bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru-paru

biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75%

penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif, yaitu 15-50 tahun.

2) Faktor jenis kelamin

Di benua Afrika banyak tuberkulosis, terutama menyerang laki-laki

hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada

wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9% pada wanita. Antara

tahun 1985-1987 penderita TB Paru laki-laki cenderung meningkat

sebanyak 2,5% sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun

0,7%.
43

3) Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap pengetahuan

seseorang. Diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat

kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru sehingga dengan

pengetahuan yang cukup, maka seseorang akan mencoba untuk

mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu, tingkat

pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.

4) Pekerjaan

Jenis pekerjaan menentukan faktor resiko apa yang harus dihadapi setiap

individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu, paparan

partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya

gangguan pada saluran pernapasan. Paparan kronis udara yang tercemar

dapat meningkatkan morbiditas. Tertutama terjadinya gejala penyakit

saluran pernapasan dan umumnya TB Paru. Jenis pekerjaan seseorang

juga mempengaruhi pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak

terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya konsumsi makanan dan

pemeliharaan kesehatan. Selain itu juga akan mempengaruhi

kepemilikan rumah (konstruksi rumah). Dalam hal jenis kontruksi rumah

dengan mempunyai pendapatan yang kurang, maka konstruksi rumah

yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan

mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.


44

5) Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko

untuk mendapatkan kanker paru, penyakit jantung koroner, bronkitis

kronis, dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan

resiko untuk terkena TB Paru sebanyak 2,2 kali. Dengan adanya

kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB

Paru.

6) Kepadatan hunian kamar tidur

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan

dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini

tidak sehat karena di samping menyebabkan kurangnya konsumsi

oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi

akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.

7) Pencahayaan

Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri

patogen di dalam rumah, misalnya basil TB Paru. Oleh karena itu, rumah

yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Semua

jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya

proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Penularan kuman TB

Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari.


45

8) Ventilasi

Ventilasi mempunyai banyak fungsi, fungsi pertama adalah untuk

menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini

berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah

tersebut tetap terjaga. Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk

membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri

patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus.

Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya

adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap didalam

kelembapan (humiditas) yang optimum.

9) Kondisi rumah

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit

TB Paru. Atap, dinding, dan lantai dapat menjadi tempat

perkembangbiakan kuman. Lantai dan dinding yang sulit dibersihkan

akan menyebabkan penumpukan debu sehingga akan dijadikan sebagai

media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycobacterium

tuberculosis.

10) Kelembapan Udara

Kelembapan udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,

dimana kelembapan yang optimum berkisar 60% dengan temperatur

kamar 22ºC-30ºC. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar
46

matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di

tempat yang gelap dan lembap.

11) Status Gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang

mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dengan

dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih.

Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan

daya tahan tubuh dan respon imunologik terhadap penyakit.

2.2.6 Manifestasi Klinis

Menurut Amin dan Bahar (2009), keluhan yang dirasakan pasien TB Paru

dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien yang ditemukan TB Paru tanpa

keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan terbanyak adalah :

 Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang

panas badan dapat mencapai 40-41 0C. Serangan demam pertama dapat

sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Keadaan ini

sangat diengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya

infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.

 Batuk / Batuk Darah

Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang


47

keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,

mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan

paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan

bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian

setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).

Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh

darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada

kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

 Sesak napas

Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas.

Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang

infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

 Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang

sudah mencapai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi

gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.

 Malaise

Penyakit TB Paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering

ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan makin kurus

(berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat
48

malam. Gejala malaise ini makin lama, makin berat dan terjadi hilang

timbul secara tidak teratur.

Menurut Saputra (2009), gejala pada TB Paru mungkin juga pada tempat

lain terdapat pembesaran kalenjar limfe, abses dingin, disuria, hematuria,

pembengkakan tulang, dan deformitas tulang. Selain itu, pada anak-anak juga

didapati Meningitis tuberkulosa yang timbul dengan gejala sakit kepala yang mula-

mula ringan, demam, anoreksia, pusing, dan koma. Pada anak-anak juga cenderung

menderita bentuk yang lebih berat seperti tuberkulosis miliaris dan meningitis.

2.2.7 Diagnosis

Menurut Danusantoso (2012), diagnosis TB Paru secara teoritis didasarkan

atas anamnesis, pemeriksaan fisik, tes tuberkulin, foto rontgen paru, pemeriksaan

bakteriologik, dan akhir-akhir ini ditampilkan juga pemeriksaan serologik.

1. Anamnesis

Keluhan seorang penderita TB Paru sangat bervariasi, mulai dari sama

sekali tak ada keluhan sampai dengan keluhan-keluhan yang serba

lengkap.

 Keluhan umum : malaise, anoreksia, badan semakin kurus, cepat lelah.

 Keluhan karena infeksi kronis : panas badan yang tak tinggi (subfebril)

dan keringat malam (lebih tepat disebut berkeringat pada waktu subuh,

pada jam-jam 02.30-05.00 yaitu saat orang sehat tak berkeringat).


49

 Keluhan karena ada proses patologik di paru dan pleura : batuk dengan

atau tanpa dahak, batuk darah, sesak, dan nyeri dada. Keluhan-keluhan

ini dapat berdiri sendiri atau didapatkan bersama-sama. Makin banyak

keluhan-keluhan ini didapatkan, makin besar kemungkinan TB Paru.

2. Pemeriksaan fisik

Pada orang dewasa, biasanya penyakit ini mulai di daerah paru atas kanan

atau kiri, yang disebut ’fruh infiltrat’. Pada auskultasi, hanya akan-

ditemukan ronki basah halus sebagai satu-satunya kelainan pemeriksaan

jasmani. Bila proses infiltratif ini semakin meluas dan menebal, juga akan

didapatkan fremitus yang menguat, bersama dengan redup pada perkusi,

suara napas bronkial, serta bronkoponi yang menguat.

Bila sudah terjadi kavitas, akan ditemukan gejala-gejala kavitas, berupa

suara timpani pada perkusi yang disertai suara napas amporis. Sebaliknya

bila terjadi atelektasis, misalnya pada ‘destroyed lung’, suara napas

setempat akan melemah sampai hilang sama sekali.

Pada umumnya, selalu akan didapatkan ronki basah, mengingat bahwa

selalu pula terbentuk sekret dan jaringan nekrotik. Makin banyak sekret

dan makin banyak besar bronkus tempat sekret itu berada, makin kasarlah

ronki yang didengar.


50

3. Tes tuberkulin

Tes ini bertujuan untuk memeriksa kemampuan reaksi hipersensitivitas

tipe lambat (tipe IV), yang dianggap dapat mencerminkan potensi sistem

imunitas seluler seseorang, khususnya terhadap basil TB. Pada seorang

yang belum terinfeksi basil TB, sistem imunitas seluler tentunya belum

terangsang untuk melawan basil TB, dengan demikian tes tuberkulin akan

negatif. Sebaliknya bila seseorang pernah terinfeksi basil TB, dalam

keadaan normal, sistem ini sudah akan teransang secara efektif 3-8

minggu setelah infeksi primer dan tes tuberkulin positif (yaitu didapatkan

diameter indurasi 10-14 mm pada hari ketiga atau keempat dengan dosis

PPD 5 TU intrakutan).

4. Pemeriksaaan serologik

Berbeda dengan tes tuberkulin, tes serologik menilai Sistem Imunitas

Humoral (SIH), khususnya kemampuan produksi suatu antibodi dari kelas

IgG terhadap sebuah antigen dalam basil TB. Tentunya bila seseorang

belum pernah terinfeksi basil TB, SIH-nya belum di aktifkan. Dengan

demikian, tes ini akan negatif. Sebaliknya, bila orang sudah pernah

terinfeksi, SIH-nya sudah membentuk IgG tertentu sehingga hasil tes ajan

menjadi positif.
51

5. Foto rontgen paru

Pada stadium permulaan, TB Paru mungkin akan lolos pada pemeriksaan

jasmani, tetapi dengan pemeriksaan foto paru semua ‘fruh infiltrat’ pasti

akan dapat diketahui. Di sinilah letaknya kepentingan pemeriksaan foto

paru untuk diagnosis dini TB Paru. Pada umumnya, kelainan-kelainan

yang dapat dijumpai pada foto paru seorang penderita TB Paru akan

bervariasi mulai dari bintik kapur, garis fibrotic, bercak infiltrate,

penarikan trakea atau mediastinum ke sisi yang sakit, kavitas, sampai ke

gambaran suatu atelektasis. Kelainan-kelainan ini dapat berdiri sendiri,

tetapi dapat pula ditemukan bersama-sama. ‘Destroyeed lung’ merupakan

contoh khas dalam hal ini. Pada keadaan ini, ditemukan sekaligus

atelektasis, kavitas, dan fibrosis dengan penarikan-penarikan mediastinum

ke sisi yang sakit. Yang dimaksud dengan ‘vanishing lung’ ialah adanya

suatu kavitas yang teramat besar dalam suatu paru sehingga boleh

dikatakan seluruh paru tersebut telah berubah menjadi suatu kavitas.

6. Pemeriksaan sputum (secretbronchus, bahan aspirasi cairan pleura, dsb.)

Teknik pemeriksaan sputum sekarang ini bermacam-macam, tetapi pada

dasarnya hanya berkisar pada pemeriksaan mikroskopis, perbenihan dan

tes resistensi. Selain sputum, spesimen lain yang harus diperiksa adalah

sekret bronkus yang dikeluarkan dengan bronkoskop, bahan aspirasi

cairan pleura, dan getah lambung (sebelum makan pagi).


52

Pada hakekatnya ada kemungkinan sebagai berikut :

 Mikroskopik akan menghasilkan BTA (Basil Tahan Asam) (+) atau (-).

 Perbenihan akan menunjukan hasil (+) atau (-).

Secara teoritis BTA (+) masih mungkin bukan Mycobacterium

tuberculosis, melainkan dapat juga myobacterium atipik, kemungkinan

ini sangat kecil dan dalam praktek dapat diabaikan, sehingga BTA (+)

dapat dianggap sebagai Mycobacterium tuberculosis (+).

Tentunya nilai tertinggi pemeriksaan sputum adalah hasil perbenihan

yang positif, yakni yang tumbuh ialah hasil TB yang sesungguhnya. Di

samping itu, pemeriksaan ini cukup mahal dan memakan waktu 3

minggu.

Oleh sebab itu diambil praktisnya, sekali sputum BTA (+) sudah

dianggap cukup untuk menentukan diagnosis TB Paru dan sudah dapat

dibenarkan untuk pemberian pengobatan spesifik dalam rangka

penyembuhan penderita yang bersangkutan.

2.2.8 Penatalaksanaan

Menurut Danusantoso (2012), untuk penyembuhan penderita TB Paru

memerlukan 2 komponen pokok penyembuhan. Yang pertama adalah pengobatan,

yaitu obat-obatan tuberkulostatika, paduannya, dosisnya, dan lamanya pengobatan.

Yang kedua adalah kepatuhan penderita meminum obat, termasuk keamanan obat-
53

obat yang dipakai. Agar tercapainya keberhasilan dalam pengobatan TB Paru, harus

memenuhi beberapa prasyarat berikut ini :

 Kepatuhan

Secara global, WHO memberikan prioritas pada directly-observed

treatment dalam pemberantasan TB Paru akibat kurangnya kepatuhan

penderita untuk meminum obat. Apabila penderita tidak tekun meminum

obat-obatnya, hasil akhirnya hanyalah kegagalan penyembuhan ditambah

dengan timbulnya basil TB yang multiresisten.

 Komponen obat

Saat ini hanya ada 5 obat yang dibenarkan untuk dipakai secara massal,

yaitu Isoniazid (H), Rifampicin (R), Streptomycin (S), Pyrazinamid (Z),

dan Ethambutol (E). Semua obat di atas bekerja secara bakterisidal

terhadap basil yang sedang berkembang biak secara aktif, tetapi hanya

(R), (H), dan (Z) yang mempunyai sterilisasi lesi-lesi TB Paru, yaitu

membunuh basil-basil yang disebut “persisters” (sedang tak berkembang

biak). (S) hanya bekerja ekstraseluler. (H), (R), dan (E) bekerja baik di

dalam maupun di luar sel, sedangkan (Z) hanya bekerja intraseluler.

Regimen penyembuhan terbaik harus berintikan (H)+(R) (bakterisidal dan

mempunyai efek sterilisasi intra maupun ekstraseluler). Regimen ini

sebaiknya diperkuat dengan obat ketiga dan keempat untuk mencegah


54

resistensi sekunder, sekaligus menjamin bahwa walaupun ada resistensi

primer terhadap salah satu obat, penderita tetap masih bisa disembuhkan.

Regimen kedua yang terbaik adalah (H)+(S)+(Z) (juga bakterisidal dan

mempunyai efek sterilisasi intra maupun ekstraseluler), namun karena

tidak mengandung (R), daya bakterisidalnya agak kurang. Regimen ini

sebaiknya diberikan untuk jangka waktu yang lebih panjang demi

mempertahankan efek terapeutiknya.

 Ritme

Sebaiknya untuk 8 minggu pertama, obat hendaknya diberikan setiap hari.

Setelah itu, barulah obat diberikan secara intermitten, yaitu 2-3 kali setiap

minggu. Dan ternyata cara ini tak kalah efektif dengan pemberian dosis

harian.

 Dosis

Pemberian yang terbaik adalah pagi hari, 1 jam sebelum makan demi

tercapainya absorbsi dalam usus semaksimal mungkin (kecuali (S) harus

diberikan dengan suntikan I.M).

 Lamanya terapi dan hasil akhir

Apabila dipakai obat berintikan (H)+(R) yang diperkuat obat ketiga

dan/atau keempat dengan lama penyembuhan selama 9 bulan, akan dapat

dicapai angka kesembuhan mendekati 100% dan hampir tak ada

kekambuhan. Namun bila hanya dipakai pengobatan 6 bulan saja, akan


55

dicapai angka kesembuhan di atas 90%, tetapi nantinya akan disusul

dengan kekambuhan 20-30%.

Untuk paduan tanpa (R), mau tidak mau, demi menjamin tingginya angka

keberhasilan, lamanya masa penyembuhan harus diteruskan sampai 1

tahun penuh. Selanjutnya diteruskan dengan (H) saja setiap hari selama

paling sedikit 6 bulan.

Tabel 2.1 Pemberian Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

PEMBERIAN PEMBERIAN

NO NAMA OBAT HARIAN INTERMITTEN

Isoniazid (H) 300-400 mg 700-800 mg


1.
(+ Vit. B6) 10 mg 10-20 mg

Sumber
2. : Danusantoso
Rifampicin (R) Halim, 2012
450-600 mg 10-20 mg

3. Pyrazinamid (Z) 25 mg/kg BB _

4. Streptomycin (S) 0,75-1 gram 1 gram

5. Ethambutol (E) 25 mg/kg BB 45-50mg/kg BB

 Efek samping

Dari kelima obat ini, (H) adalah yang paling aman dengan efek samping

paling jarang dan paling ringan, apalagi bila disertai dengan vitamin B 6

10 mg.
56

Ethambutol (E) juga cukup aman bila diperhatikan dosisnya, yaitu untuk

orang dewasa, dalam 2 bulan pertama, 25 mg/kg BB/hari, untuk

selanjutnya dosis diturunkan menjadi 15 mg/kg BB. Bila dosis setelah 2

bulan tetap 25 mg/kg BB/hari, akan dapat dijumpai efek samping berupa

kemunduran ketajaman penglihatan dan buta warna hijau-merah. Karena

gejala toksik (E) terutama mengenai mata, (E) tidak boleh diberikan pada

balita, mengingat mereka belum dapat mengeluhkan mulai adanya efek

samping. Jarang-jarang juga dapat dijumpai skin-rash.

Rifampicin (R) cukup jarang menimbulkan efek samping yang sampai

memaksa penghentian pemakaiannya. Kalau hal ini sampai terjadi, sangat

disayangkan karena (R) adalah tuberkulostatika yang sangat ampuh. Efek

samping yang timbul biasanya ringan dan jarang sekali berat. Sering kali

hanya berupa seperti gejala flu (sakit kepala, mual, dsb) yang akan hilang

sendiri tanpa pengobatan khusus. Penderita perlu diberi pengertian bahwa

keluhan ini sama sekali tak berbahaya dan akan hilang sendiri. Kadang-

kadang dapat pula timbul urtikaria (skin-rash) yang memerlukan

pengobatan dengan anti-histamin.

Pyrazinamid (Z) lebih sering menimbulkan efek samping yang memaksa

penghentian pemakaiannya, seperti rasa mual hebat yang disertai nyeri

ulu hati dan muntah.


57

Streptomycin (S) dapat menimbulkan rasa kesemutan di sekitar mulut dan

muka beberapa saat setelah obat disuntikkan. Juga dapat timbul urtikaria

dan (skin-rash), tetapi yang akan memaksa penghentian pemakaiannya

adalah gangguan keseimbangan dan/atau pendengaran. Sesekali dapat

timbul syok anafilaktik.

2.2.9 Komplikasi

Menurut Corwin (2009), komplikasi TB Paru adalah sebagai berikut :

 Penyakit yang parah dapat menyebabkan sepsis yang hebat, gagal napas,

dan kematian.

 TB Paru yang resisten terhadap obat

Menurut Amin dan Bahar (2009), penyakit TB Paru bila tidak ditangani

akan dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dibagi atas :

- Komplikasi Dini: pleuritis, efusi pleura, emfiema, laryngitis, Poncet’s

arthropathy.

- Komplikasi Lanjut : Obstruksi Jalan Napas, Fibrosis Paru, Kor Pulmonal,

amiloidosis, karsinoma paru, Acute Respiratory Distress Syndrome

(ARDS).

2.2.10 Pencegahan

Menurut Saputra (2009), pencegahan terhadap TB Paru adalah sebagai

berikut :
58

 Perbaikan gizi dan kebersihan rumah akan mengurangi insiden dan

prevalensi penyakit. Faktor penting dalam pencegahan adalah identifikasi

kasus dini dan kontak melalui skrining, rontgen, dan tuberkulin.

 Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin) juga menolong menurunkan

prevalensi.

 Pengobatan kontak dengan obat yang efektif juga membantu

mengendalikan penyakit.

2.2.11 Prognosis

Menurut Danusantoso (2012), prognosis terhadap TB Paru dibagi atas :

 Bila tidak menerima pengobatan spesifik, Grzybowski menyimpulkan

bahwa penderita TB Paru :

- 25% akan meninggal dalam 18 bulan.

- 50 % akan meninggal dalam 5 tahun.

- 8-12,5% akan menjadi ‘chronic excretors’, artinya mereka ini terus-

menerus mengeluarkan basil TB dalam sputumnya. Mereka ini adalah

sumber penularan. Kedua kelompok di atas juga sempat menjadi

sumber penularan terlebih dahulu.

- Sisanya akan mengalami kesembuhan spontan dengan bekas berupa

proses fibrotik dan perkapuran. Dapat pula kesembuhan berlangsung

melalui resolusi sempurna sehingga tidak meninggalkan bekas.

 Bila diberikan pengobatan spesifik


59

Bisa dikatakan bahwa hampir semua penderita TB Paru dapat

disembuhkan, walaupun nantinya ada beberapa kasus kambuh. Artinya,

minimal basil TB yang aktif telah berhasil dibunuh, walaupun mungkin

sekali masih ada tersisa yang ‘dormant’. Yang perlu diperhatikan adalah

bahwa pengobatan spesifik hanya bekerja membunuh basil TB saja.

Kelainan paru yang sudah ada pada saat pengobatan spesifik dimulai

(misalnya proses fibrotik) tak akan hilang.

 Bila pengobatan spesifik tidak memenuhi syarat

Apabila pengobatan yang dilakukan tidak memenuhi syarat, bukan saja

penderita tidak sembuh, melainkan basil TB yang tadinya masih sensitif

terhadap obat-obat yang dipakaipun akan menjadi resisten. Dengan

demikian penderita ini menjadi lebih sukar disembuhkan dan dapat

menularkan basil-basil yang resisten ini pada sekelilingnya.

2.3 HIV-TB Paru (Infeksi Oportunisik)

2.3.1 Definisi

Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan

tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal

dari luar tubuh, maupun yang sudah ada di dalam tubuh manusia, namun dalam

keadaan normal dapat terkendali oleh kekebalan tubuh manusia (Yunihastuti et al,

2005).
60

TB Paru merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada ODHA di

Indonesia. Infeksi HIV akan memudahkan terjadinya infeksi Mycobacterium

tuberculosis. ODHA mempunyai resiko lebih besar menderita TB Paru

dibandingkan non-HIV (Yunihastuti et al, 2005).

2.3.2 Epidemiologi

Di dunia, TB Paru dikenal sebagai pembunuh utama oleh satu jenis kuman.

TB Paru masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama (Amin dan

Bahar, 2009). Dengan munculnya epidemik HIV/AIDS di dunia, jumlah penderita

TB Paru meningkat. Oleh karena itu, WHO mencanangkan kedaruratan global pada

tahun 1993, karena menurut Ditjen PPML & PLP (2001) diperkirakan ¼ penduduk

dunia telah terinfeksi kuman TB Paru (Mulyadi, 2012).

Menurut Notoatmodjo (2011), infeksi HIV terbukti merupakan faktor yang

memudahkan timbulnya tuberkulosis pada orang yang terinfeksi M.tuberculosis.

Resiko terkena TB Paru pada orang yang terinfeksi HIV setiap tahunnya 5-10%,

namun resiko seumur hidup (lifetime risk) tinggi sekali, yaitu sekitar 50% (Pokdisus

AIDS FKUI, 1998) di daerah dengan prevalensi tinggi TB Paru dan HIV bersama-

sama, terbukti kenaikan jumlah penderita TB Paru meningkat cepat. Tim WHO

memperkirakan 4% penderita TB Paru baru pada tahun 1990-an merupakan infeksi

bersama antara TB Paru dan HIV. Setelah tahun 2000 persentase tersebut

meningkat menjadi 14%. Apabila diestimasi jumlah kasus baru TB Paru di

Indonesia setiap tahunnya 500.000 orang maka jumlah penderita HIV/AIDS-TB


61

Paru setiap tahunnya diperkirakan sebesar 20.000 orang. Dengan jumlah sebesar itu,

infeksi ganda HIV/AIDS-TB Paru telah menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Angka kesakitan TB Paru pada penderita HIV/AIDS menempati nomor 2 setelah

kandidiasis mulut.

2.3.3 Etiologi

Pada HIV/AIDS-TB Paru didapatkan 2 etiologi, yaitu Mycobacterium

tuberculosis (humanis) dan HIV. Bisa saja seseorang menderita terlebih TB Paru

terlebih dahulu, lalu mendapatkan HIV/AIDS atau sebaliknya. Tetapi secara klinis,

maupun pengobatannya, jalur mana yang terjadi tidak relevan sama sekali.

Diagnosis maupun terapinya sama saja, yang berbeda adalah prognosisnya

(Danusantoso, 2012).

2.3.4 Patofisiologi

Dengan sistem imunitas seluler yang melemah, para ODHA kemungkinan

besar akan timbul penyakit TB Paru, baik melalui jalur re-infeksi endogen, maupun

re-infeksi eksogen. Dengan demikian, HIV adalah faktor utama peningkatan resiko

TB Paru. Adanya ko-infeksi basil TB pada seorang ODHA akan memperparah dan

mempercepat turunnya sistem imunitas orang tersebut. Dan seringkali pula,

manifestasi pertama AIDS adalah TB paru (maupun luar paru) dan TB sekaligus

menjadi sebab kematian dalam waktu yang singkat sekali (Danusantoso, 2012).

2.3.5 Manifestasi Klinis


62

Menurut Danusantoso (2012), gambaran klinis terhadap ko-infeksi TB-HIV

adalah sebagai berikut :

A. Komponen TB Paru

1. Keadaan umum

Keadaan umum sangat jelek dan akan menjadi semakin nyata dan

progresif pada pasien HIV-TB Paru, karena AIDS sendiri juga

mengakibatkan penurunan keadaaan umum, sehingga gejala ini timbul

dalam waktu yang lebih cepat. Keluhan subfebril dan diare juga sering

dikemukakan.

2. Keluhan-keluhan yang berasal dari paru yang sakit.

Keluhan TB Paru, yaitu batuk, merupakan keluhan yang dominan pada

pasien HIV-TB Paru. Pada TB Paru-HIV, sesak napas dapat timbul

walaupun kerusakan paru belum begitu luas, karena ada pembengkakan

kelenjar-kelenjar getah bening di sekitar hilus yang dapat menghambat

aliran masuk keluarnya udara ke dalam dan maupun keluar paru.

Disamping itu, adanya peningkatan kebutuhan oksigen sehubungan

dengan meningkatnya metabolisme akibat dari ko-infeksi ini. Keluhan

nyeri dada (unilateral) hanya akan timbul bila ada pleuritis eksudatif

(karena tidak ada saraf sensoris dalam paru) dan proses fibrotik yang

sampai pada pleura. Proses fibrotik lalu diikuti retraksi sehingga timbul

rasa nyeri. Pada pasien TB Paru-HIV, nyeri dada lebih sering dijumpai,
63

mengingat komplikasi pleuritis eksudatif sering ditemukan dengan/tanpa

proses TB Paru yang nyata, bahkan bisa bilateral.

B. Komponen HIV/AIDS

1. Keadaan umum

Pada umumya keadaan pasien jelek sekali dan berat badannya turun

dengan drastis. Biasanya berat badan turun di atas 5 kg hanya dalam

beberapa bulan terakhir saja. Kemunduran nafsu makan akan akan lebih

mempengaruhi kondisi pasien. Dengan kondisi tersebut pasien akan

merasakan badannya sangat tidak nyaman, tidak segar dan tidak

bertenaga. Seringkali disertai juga dengan panas badan yang tidak terlalu

tinggi (subfebril). Namun kadang-kadang panas badan bisa juga agak

tinggi dengan/tanpa diare.

2. Limfadenopati

Kondisi pasien juga akan merasakan timbulnya benjolan-benjolan di leher

kanan-kiri (kalau sudah besar-besar dapat menyerupai ‘bull neck’,

kadang-kadang juga di ketiak (axilla) dan di selangkangan (inguinal).

Semua ini terjadi karena kelenjar getah bening membengkak, termasuk

pula disekitar hilus dan paratrakeal.

3. Piodermi
64

Kadang-kadang juga tampak luka kecil di kulit pasien yang ditemukan di

banyak tempat sekaligus. Lesi ini perlu sekali dibedakan dengan acne

vulgaris yang hanya ditemukan di dada dan punggung saja.

4. Infeksi oportunistik pada mukosa mulut dan kulit

Keluhan pasien juga terdapat pada mulut dan lidah yang timbul bercak-

bercak putih (candidiasis). Kadang-kadang bercak putih ini dapat

melapisi seluruh mukosa mulut maupun lidah, sehingga indera

pengecapan terganggu. Juga dapat ditemukan sariawan (aphtae) yang bisa

agak luas. Necritizing gingivitis juga cukup sering ditemukan. Kadang-

kadang, bisa ditemukan dermato-mycosis (pityriasis versicolor) yang luas

dan merata, sehingga kulit yang terkena tampak putih, seolah-olah baru

saja dibedaki.

2.3.6 Diagnosis

Menurut Danusantoso (2012), penegakan diagnosa HIV-TB Paru didasarkan

pada :

1. Anamnesa

Pada anamnesa didapatkan keluhan - keluhan berdasarkan komponen

TB Paru dan komponen HIV/AIDS.

2. Pemeriksaan Fisik
65

Secara pemeriksaan fisik, dalam menegakkan HIV-TB Paru

ditemukan kelainan-kelainan, diantaranya :

 Pada inspeksi, kadang-kadang tampak bahwa ada sisi yang agak

ketinggalan pada pernapasan. Temuan ini akan terjadi apabila ada

pleuritis eksudatif atau atelektasis yang cukup luas. Atelektasis

terjadi karena lumen suatu bronkus yang besar terhimpit oleh

kelenjar getah bening setempat yang membengkak.

 Pada palpasi, dapat ditemukan nyeri tekan unilateral dan bilateral

karena adanya pleuritis eksudatif setempat. Di tempat yang sama

ditemukan fremitus yang melemah. Sebaliknya, bila hanya

ditemukan fremitus melemah tanpa nyeri tekan setempat, perlu

diduga kemungkinan adanya atelektasis apalagi kalau disertai

pembengkakan kelenjar-kelenjar getah bening yang nyata,

misalnya adanya suatu bull neck.

 Pada perkusi, dapat ditemukan suara redup (sampai pekak) di

thoraks bagian bawah. Suara redup sampai pekak ini juga dapat

ditemukan pada atelektasis.

 Pada auskultasi, akan dapat didengar suara napas yang melemah

sesuai dengan lokasi maupun luasnya pleuritis eksudatif atau

atelektasis. Ronki basah halus sampai sedang dapat didengar di

daerah-daerah infiltrat (karena komponen TB). Pada HIV-TB


66

Paru, ronki basah ini umumnya mulai terdengar di lapangan atas

unilateral maupun bilateral. Mula-mula bunyinya halus, tetapi

dengan meluasnya infiltrat, suara semakin kasar dan lokasinya

juga mulai turun. Lokasinya sering di perihiler dan lapangan

bawah, baik unilateral maupun bilateral.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Komponen TB Paru

 Pemeriksaan Foto Rontgen Paru dan CT-Scan

Pada foto rontgen paru maupun CT-Scan adalah gambaran

dengan apa yang didapatkan pada pemeriksaan fisik diagnostik,

yaitu infiltrat di sekitar hilus dan/atau di lapangan bawah paru

yang bisa unilateral maupun bilateral. Untuk dapat menentukan

kelainan-kelainan ini dengan cepat, perlu dibuat CT-Scan

karena pembesaran kelenjar getah bening akan tampak dengan

jelas, bahkan dapat diukur besarnya.

 Pemeriksaan Laboratorium

Pada pasien HIV-TB Paru, BTA (+) jarang ditemukan di dalam

sputum (mungkin karena pasien sudah memeriksakan ke dokter

sebelum sebelum basil TB mencapai ≥100.000 batang/ml

sputum). Pemeriksaan sputum dengan kultur maupun PCR

sangat penting untuk memungkinkan pembuktian bakteriologis


67

HIV-TB Paru, disamping diperlukan untuk tes resistensi MTb

yang dihadapi. Dalam menegakkan HIV-TB Paru, pemeriksaan

laboratorium dilengkapi dengan pemeriksaan sputum dengan

kultur, sehingga nantinya bisa menentukan apakah

mycobacterium yang tumbuh ini betul-betul MTb atau

Mycobacterium atipik atau memang ada keduanya, hal ini

sangat penting untuk differensial diagnosanya. Pemeriksaan

sputum cukup dibatasi 2x saja, karena bila 2 spesimen pertama

memberikan hasil (-) kemungkinan hasil (+) dari spesimen ke 3

dalam praktek sangat kecil.

b. Komponen HIV/AIDS

 Pemeriksaan darah

Pada pemeriksaan darah tepi, seringkali didapatkan anemia

yang bervariasi dari ringan sampai berat serta leukopenia ringan

sampai berat yang disertai dengan limfopenia. Penurunan

jumlah leukosit secara menyeluruh maupun persentase limfosit

akan semakin parah sesuai dengan kemunduran keadaan pasien.

Semakin rendah jumlah limfosit, semakin jelek kondisi pasien

dan semakin banyak pula ditemukan berbagai komplikasi lain

disamping TB Paru. Rapid test biasanya baru akan menjadi (+)

sekitar 3 bulan pasca-infeksi HIV. Bila rapid test menunjukan


68

hasil HIV (+), pemeriksaan perlu sekali diikuti dengan

pemeriksaan jumlah CD4. Pola penurunan CD4 akan mengikuti

persentase limfosit pada pemeriksaan differensial. Bila

memungkinkan, tentunya viral load juga perlu diperiksa. Tak

jarang dijumpai gangguan hati (walau secara klinik belum tentu

tampak). Juga seringkali ada peningkatan satu atau lebih tumor-

marker yang mengisyaratkan bahwa ada kemungkinan sudah

timbul proses keganasan di organ-organ yang bersangkutan.

Untuk mendiagnosa HIV-TB Paru, maka yang pertama dilakukan adalah

mendeteksi HIV/AIDS. HIV/AIDS dideteksi dengan pemeriksaan Rapid Test.

Rapid test biasanya dikerjakan sekali bila sudah HIV (+). Namun bila hasil

pemeriksaan pertama HIV (-), biasanya oleh laboratorium segera diulang dengan

reagens dari sumber yang berbeda. Bila hasil kedua menunjukan HIV (+), maka

akan segera disusul dengan test ketiga dengan reagens dari sumber lainnya. Jika

didapatkan hasil HIV (+) 2x, pasien dinyatakan sebagai HIV (+). Bila hasil

keduanya menunjukkan borderline (+), sebaiknya pasien dirujuk ke laboratorium

yang lebih besar untuk dimintakan pemeriksaan secara Western blot, dan diulang

beberapa kali dalam 3 bulan berikutnya.

Untuk menentukan TB Paru (+) atau (-), maka dilakukan pemeriksaan BTA.

Dalam HIV-TB Paru sering dijumpai HIV (+) dan BTA (-), tetapi gejala-gejala

klinis dan radiologis mendukung kemungkinan adanya komponen TB Paru. Untuk


69

itu perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih spesifik, yaitu pemeriksaan sputum

dengan kultur MTb. Bila nanti hasil kultur MTb (+), maka HIV-TB Paru menjadi

diagnosa pasti. Bila hasil kultur MTb (-) disertai dengan pengobatan yang spesifik

dan diperoleh kemajuan klinis maupun radiologis yang nyata, maka HIV-TB Paru

menjadi diagnosa yang pasti juga. Bila HIV (-) dan BTA (+), jelas ini suatu TB

Paru yang murni saja. Namun keluhan-keluhan maupun gejala yang mencurigakan

kemungkinan HIV/AIDS, harus ditelaah lebih lanjut untuk bisa sampai menemukan

penyebabnya, agar dapat diberikan terapi yang tepat dengan segera. Bila HIV (-)

dan BTA (-), tetapi kultur sputum menunjukkan hasil MTb (+), maka akan

dilakukan pengulangan prosedur seperti yang di atas (Danusantoso, 2012).

2.3.7 Penatalaksanaan

Sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat ditemukan menentukan

obat penyembuh AIDS. Namun, telah ditemukan beberapa obat yang dapat

menghambat infeksi HIV dan beberapa yang secara efektif dapat mengatasi infeksi

oportunistik. Pada pengobatan penderita AIDS dibagi tiga, yakni :

1) Pengobatan terhadap virus HIV.

2) Pengobatan terhadap infeksi oportunistik.

3) Pengobatan pendukung.

Pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi infeksi oportunistik penyakit

TB Paru pada pengidap HIV/AIDS, merupakan pengobatan definitif seperti

pengobatan pada tuberkulosis biasa dengan sedikit perubahan. Pengobatan dimulai


70

dengan Isoniazid, Pyrazinamid, dan Rifampisin sampai hasil kultur resistensi

datang. Lama pengobatan yang dianjurkan 2 bulan, diteruskan dengan Isoniazid dan

Rifampicin selama 4-7 bulan. Pengaturan diet, istirahat, olahraga, dan pengobatan

psikologis, serta pendekatan keagamaan atau spiritual perlu mendapat perhatian

khusus (Notoatmodjo, 2011).

Pada prinsipnya, pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis) pada ODHA

tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antara OAT dan ARV, terutama

efek hepatotoksisitasnya harus sangat diperhatikan. Pada ODHA yang telah

mendapat obat ARV sewaktu diagnosa TB Paru ditegakkan, maka obat ARV tetap

diteruskan dengan evaluasi yang lebih diperketat. Pada ODHA yang belum terdapat

terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan kondisinya, tidak ada

interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida kecuali ddI yang

harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antisida.

Interaksi denngan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan

inhibitor protease. Obat ARV dianjurkan digunakan pada ODHA dengan TB Paru

adalah evafirenz. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82% dan

dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%. Namun, jika evafirenz tidak

memungkinkan diberikan, pada pemberian bersama rifampisin dan nevirapin, dosis

nevirapin tidak perlu dinaikkan (Djoerban dan Djauzi, 2009).

2.3.8 Pencegahan
71

Program pencegahan infeksi oportunistik TB Paru pada pengidap HIV/AIDS

dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1. Menghilangkan faktor resiko untuk terinfeksi HIV pada masyarakat

(pengidap TB Paru laten) dengan cara:

a) Menghindari kontak host dengan HIV.

b) Pemeriksaan diri untuk tes HIV yang disertai dengan konseling

sebelum dan sesudah tes.

c) Konseling sebelum tes HIV diberikan kepada orang yang

mempertimbangkan untuk tes HIV. Konseling ini mencakup

pemberian informasi mengenai aspek teknis dan medis tes HIV serta

kemungkinan dampak yang trejadi untuk seseorang yang terinfeksi

HIV maupun tidak. Dampak yang dibahas meliputi dampak sosial,

kejiwaan, hukum, medis, dan personal.

d) Konseling sesudah tes diberikan kepada orang yang telah mengetahui

hasilnya. Jenis konseling sesudah tes tergantung hasil tes, apakah

hasilnya negatif, positif, atau meragukan. Hal ini dikarenakan

berbedanya reaksi emosional masing-masing orang.

2. Menghilangkan faktor resiko untuk terinfeksi Myobacterium tuberculosis

pada pengidap HIV dengan cara :

a) Diberikan penjelasan tentang TB Paru dan perkembangannya pada saat

konseling.
72

b) Diskrining terhadap TB Paru secara klinis dan radiologis.

c) Bila terdapat kelainan paru harus dievaluasi terhadap kemungkinan TB

Paru aktif.

d) Bila terdapat di daerah endemik TB Paru harus dievaluasi secara

berkala terhadap penyakit TB Paru (setiap 6 bulan).

e) Bila tidak terdapat TB Paru aktif, maka diberikan terapi profilaksis.

Program pencegahan infeksi oportunistik TB Paru pada pengidap HIV/AIDS

akan lebih berhasil apabila program pencegahan AIDS berjalan baik dan disertai

dengan berhasilnya program pencegahan infeksi oleh kuman tuberkulosis.

2.3.9 Prognosis

Menurut Danusantoso (2012), mengemukakan bahwa apabila pengobatan

dilakukan secara disiplin (teratur dan terpantau), baik itu terapi ARV maupun OAT,

maka prognosisnya akan baik. Dalam pengobatannya, terapi ARV bersifat

hepatotoksik, sehingga pada pasien yang heparnya tidak dapat menoleransi obat-

obat ini, maka prognosisnya menjadi kurang baik, bahkan bisa mengakibatkan

timbulnya MDR-TB (Multidrug Resistant TB) dan XDR-TB (Extremely Drug

Resistant TB). ODHA yang tidak berhasil mendisiplinkan kehidupan pribadinya,

seringkali juga tidak menekuni terapi OAT maupun terapi ARV, tentunya hal ini

akan memperburuk prognosis dan memudahkan virus HIV menjadi resistensi

terhadap ARV yang dipakai sebelumnya.

2.4 Kerangka Konsep


73

Berdasarkan tujuan penelitian dan kajian teoritis yang telah dikemukakan di

atas, maka dapat disusun kerangka konsep seperti yang digambarkan di bawah ini:

Karakteristik pasien

berdasarkan:

Pasien HIV/AIDS
- Jenis Kelamin
disertai TB Paru
- Umur

- Pendidikan

- Pekerjaan

- Status Pernikahan

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai