OLEH :
dr. Gita Putri Santoso
1
DAFTAR ISI
Judul.........................................................................................................................1
Daftar Isi...................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................12
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................26
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Tidak jarang, penderita DM yang sudah parah menjalani
amputasi anggota tubuh karena terjadi pembusukan.Untuk menurunkan kejadian dan keparahan
dari Diabetes Melitus tipe 2 maka dilakukan pencegahan seperti modifikasi gaya hidup dan
pengobatan seperti obat oral hiperglikemik dan insulin (Depkes RI, 2014).
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui etologi dan faktor predisposisi terjadinya Diabetes Melitus
1.2.2 Mengetahui penegakan diagnosis Diabetes Melitus
1.2.3 Mengetahui penatalaksanaan Diabetes Melitus
1.3 Manfaat
Laporan kasus ini memilki manfaat untuk mengkritisi suatu kasus guna meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan tentang Diabetes Mellitus bagi penulis maaupun pembaca.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : Ny. M
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Pedagang
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Dasri, Tegalsari
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran. Dialami sejak tadi malam. Menurut
keluarga, awalnya pasien tidak nyambung diajak berbicara, setelah itu pasien pingsan. Lalu
mulai sadar kembali dengan pembicaraan yang ngelantur. Pasien hanya mengerang-ngerang.
Menurut keluarga sejak 1 minggu terakhir pasien mengalami penurunan nafsu makan.
Pasien juga mengeluh mual namun tidak muntah. Pasien juga sempat mengeluh pusing kepala.
Riwayat pengobatan:
5
Riwayat keluarga:
GCS 121
BB : 63 kg BP: 160/100 mmHg
TB : 145 cm PR: 93 x/menit, regular kuat
BMI : 29,9 RR: 19 x/mnt
Kesan Overweight Tax: 36,20 C
SpO2: 98% RA
6
Sonor Sonor
Auskultasi: V V Rh - - Wh - -
V V -- --
V V -- --
Rounded, soefl, bising usus (+) normal, liver span 8 cm, Traube’s
Abdomen space tympani, bruit (-), shifting dullness (-c), epigastric
tenderness (-), nyeri tekan suprapubic (-).
Ekstremitas Akral hangat, edema tungkai -/-
Tanggal S O A P
GDA : 21
8
membaik. Hipoglikemi +
Pasien sudah A-/I-/C-/D- Hipertensi stage
sadar. V/V, Rh (-), Wh II
Mengeluh (-) S1 S2
lemas. single,m(-) g(-)
BU(+) N, NT(-)
Akral Hangat,
edema (-), CRT
<2
GDA : 110
GDA : 220
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Diabetes Mellitus adalah penyakit kronik yang terjadi diakibatkan kegagalan pankreas
memproduksi insulin yang mencukupi atau tubuh tidak dapat menggunakan secara efektif insulin
yang diproduksi. Hiperglikemia, atau peningkatan gula darah adalah efek utama pada DM tidak
terkontrol dan pada jangka waktu lama bisa mengakibatkan kerusakan serius pada syaraf dan
pembuluh darah. Diabetes Mellitus mempunyai sindroma klinik yang ditandai adanya poliuria,
polidipsia dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (kadar
glukosa puasa ≥ 126 mg/dl atau postprandial ≥ 200 mg/dl atau glukosa sewaktu ≥ 200 mg
(American Diabetes Association, 2014).
10
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau gangguan
fungsi insulin (resistensi insulin), (Roglig, 2004).
3.2 Epidemiologi
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita lebih berisiko
mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh
yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di
Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus didunia
adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia yang menderita diabetes mellitus, dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita
diabetes mellitus tipe 1 (Diabetes Prevention Program Research Group, 2002).
3.3 Klasifikasi
1. Diabetes Melitus Tipe I
Dekstruksi sel β, menjurus ke defisiensi insulin absolut,
- Autoimun
- Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe II
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai
yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
3. Diabetes Mellitus yang Berhubungan dengan Keadaan/Sindrom Lainnya
11
Defek genetik fungsi sel β, defek genetik kerja insulin, penyakin eksokrin pankreas
(contoh : pankreatitis), endokrinopati (contoh : akromegali), karena obat/zat kimia
(contoh : pentamidin ), infeksi (contoh L CMV), imunologi (antibodi anti reseptor
insulin), penyakit genetik lain (Sindrom Down, Turner).
4. Diabetes Mellitus Gestasional (kehamilan) [ CITATION ADA10 \l 18441 ].
3.4 Etiologi
Kombinasi antara faktor genetik, faktor lingkungan, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin merupakan penyebab DM tipe 2. Faktor lingkungan yang berpengaruh seperti
obesitas, kurangnya aktivitas fisik, stres, dan pertambahan umur (KAKU, 2010). Faktor risiko
juga berpengaruh terhadap terjadinya DM tipe 2. Beberapa faktor risiko diabetes melitus tipe 2
antara lain berusia ≥ 40 tahun, memiliki riwayat prediabetes ( A1C 6,0 % - 6,4 % ), memiliki
riwayat diabetes melitus gestasional, memiliki riwayat penyakit vaskuler, timbulnya kerusakan
organ karena adanya komplikasi, penggunaan obat seperti glukokortikoid, dan dipicu oleh
penyakit seperti HIV serta populasi yang berisiko tinggi terkena diabetes melitus seperti
penduduk Aborigin, Afrika, dan Asia (Ekoe et al., 2013).
3.5 Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pancreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan diketahui bahwa kegagalan
sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot,
liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi
glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi
glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep
tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya untuk
menurunkan HbA1c saja
12
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada gangguan
multiple dari patofisiologi DM tipe-2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat progresivitas
kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta pancreas
saja yang berperan sentral dalam pathogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain
berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet (gambar-1)
Gambar-1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam pathogenesis hiperglikemia
pada DM tipe-2 (Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New
Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)
Secara garis besar pathogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut:
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta
sudah sangat berkurang. Obat anti diabetic yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah
metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
13
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam
plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan
yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini
adalah tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar disbanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2
hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping
hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-
glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glucagon
yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu
yang normal. Obat yang menghambat sekresi glucagon atau menghambat reseptor
glucagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose
coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
14
absorbs melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya
tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen
SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh
obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obesitas
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di
jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.
15
3.7 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
- Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria Diagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori
minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). (B)
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke dalam
kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah
puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara
100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah TTGO
antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
• Didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis pre-diabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
16
menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Tabel 3. 1 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis Diabetes Melitus
3.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang
diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati
dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
17
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
Langkah-langkah penatalaksanaan khusus pada Diabetes Melitus meliputi :
1. Edukasi
2. Terapi Nutrisi Medis
3. Jasmani
4. Terapi Farmakologis
Obat Antihiperglikemis Oral
Oabt Antihperglikemia Suntik
Terapi Kombinasi
3.8.2 Jasmani
18
Latihan jasmani yang dianjurkan adalah sebanyak 3-5 kali per minggu selama
sekitar 30-45 menit, dengan total latihan 150 menit per minggu. Namun, yang harus
diperhatikan adalah antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan yang
dianjurkan adalah yang bersifat aerobik seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging,
dan berenang.
Sebelum melakukan latihan, dianjurkan untuk memeriksakan glukosa darah.
Apabila glukosa darah <100 ml/dL maka konsumsi karbohidrat terlebih dahulu, namun
apabila >250 ml/dL, latihan jasmani ditunda terlebih dahulu.
20
Gambar 3.1 Algoritma Penatalaksanaan DM Tipe 2 (PERKENI, 2015)
Tabel 3.1 Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti hiperglikemik (sumber: Standard of
Medical Care in Diabetes- ADA 2015) (PERKENI, 2015)
Kelas Obat Keuntungan Kerugian Biaya
Biguanide Metformin - Tidak - Efek samping Rendah
menyebabkan gastrointestinal
hipoglikemia - Risiko asidosis
- Menurunkan laktat
kejadian CVD - Defisiensi vit
b12
- Kontra indikasi
pada CKD,
asidosis,
hipoksia,
dehidrasi
Sulfonilurea - Glibenclamide - Efek - Risiko Sedang
- Glipizide hipoglikemik hipoglikemia
- Gliclazide kuat - Berat badan ↑
- Glimepiride - Menurunkan
komplikasi
mikrovaskuler
Metiglinides Repaglinide - Menurunkan - Risiko Sedang
glukosa hipoglikemia
postprandial - Berat badan ↑
TZD Pioglitazone - Tidak - Barat badan Sedang
menyebabkan meningkatkan
hipoglikemia - Edema, gagal
- ↑ HDL jantung
- ↓ TG - Risiko fraktur
- ↓ CVD event meningkat pada
wanita
21
menopause
Penghambat Acarbose - Tidak - Efektivitas Sedang
α menyebabkan penurunan A1C
glucosidase hipoglikemia sedang
- ↓ Glukosa darah - Efek samping
postprandial gastro intestinal
- ↓ CVD event - Penyesuaian
dosis harus
sering dilakukan
Penghambat - Sitagliptin - Tidak - Angioedema, Tinggi
DPP-4 - Vildagliptin menyebabkan urtica, atau efek
- Saxagliptin hipoglikemia dermatologis
- Linagliptin - Ditoleransi lain yang
dengan baik dimediasi respon
imun
- Pancreatitis
akut?
- Hospitalisasi
akibat gagal
jantung
Penghambat - Dapagliflozin Tidak - Infeksi Tinggi
SGLT2 - Canagliflozin* menyebabkan urogenital
- Empagliflozin* hipoglikemia - Poliuria
- ↓ berat badan - Hipovolemia/
- ↓ tekanan darah hipotensi/
- Efektif untuk pusing
semua fase DM - ↑ ldl
- ↑ creatinin
(transient)
Agonis - Liraglutide - Tidak - Efek samping Tinggi
reseptor - Exenatide* menyebabkan gastro intestinal
GLP-1 - Albiglutide* hipoglikemia (mual/ muntah/
22
- Lixisenatide* - ↓ glukosa darah diare)
- Dulaglutide* postprandial - ↑ denyut
- ↓ beberapa jantung
faktor risiko CV - Hyperplasia ccell
atau tumor
medulla tiroid
pada hewan
coba
- Pankreatitis
akut
- Bentuknya
injeksi
- Butuh latihan
khusus
Insulin a. Rapid-acting - Responnya - Hipoglikemia Bervariasi
Analogs universal - Berat badan ↑
- Lispro - Efektif - Efek mitogenik ?
- Aspart menurunkan - Dalam sediaan
- Glulisine glukosa darah injeksi
acting
-Human NPH
d. Basal insulin
analogs
- Glargine
- Detemir
- Degludec*
e. Premixed
(beberapa
23
tipe)
* saat ini obat belum tersedia di Indonesia
Monitoring
Hasil pengobatan DM harus dipantau secara teratur dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Meliputi :
- Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
24
- Glukosa darah 2 jam setelah makan, atau
- Glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan
Tujuan :
- Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
2. Pemeriksaan HbA1C
- Untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi, HbA1c diperiksa setiap 3 bulan
(E), atau tiap bulan pada keadaan HbA1c yang sangat tinggi (> 10%).
- Pada pasien yang telah mencapai sasran terapi disertai kendali glikemik yang stabil
HbA1C diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun.
3. Pemeriksaan Glukosa Darah Mandiri
- Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan darah kapiler.
- PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan suntik insulin beberapa kali perhari
(B) atau pada pengguna obat pemacu sekresi insulin.
- Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (untuk
menilai ekskursi glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia),
dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang
tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala.
Sasaran Pengendalian DM
No Parameter Sasaran
.
1. IMT (kg/m2) 18,5 - < 23*
2. Tekanan darah sistolik <140
(mmHg)
3. Tekanan darah diastolik <90
(mmHg)
4. Glukosa darah preprandial 80-130**
kapiler (mg/dl)
5. Glukosa darah 1-2 jam PP <180**
kapiler
(mg/dl)
6. HbA1c (%) <7 (atau individual)
25
7. Kolesterol LDL (mg/dl) <100 (<70 bila resiko
kardiovaskular sangat
tinggi)
8. Kolesterol HDL (mg/dl) Laki-laki >40 ; Perempuan
>50
9. Trigliserida (mg/dl) <150
3.9 Komplikasi
3.9.1. Krisis Hiperglikemia Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap.Status
Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan glukosa
darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat (330-380 mOs/ml), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.
3.9.2. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah suatu gejala klinis yang ditandai dengan penurunan konsentrasi
glukosa darah pada kadar tertentu yang dapat menyebabkan munculnya gejala atau tanda seperti
penurunan kesadaran dan atau stimulasi sistem saraf simpatis (Osama et al, 2016). Hipoglikemia
didasarkan pada rendahnya kadar glukosa darah pada seseorang (Manaf, 2011). Hipoglikemia
didefinisikan sebagai keadaan dimana kadar glukosa plasma lebih rendah dari 70 mg/dL
(American Diabetes Association, 2015). Hipoglikemia dapat muncul disebabkan abnormalitas
dalam mekanisme homeostasis glukosa dan juga bisa disebabkan reaksi insulin (Osama et al,
2016).
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl. Hipoglikemia
adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem
otonom, seperti adanya whipple’s triad:
26
- Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- Kadar glukosa darah yang rendah
- Gejala berkurang dengan pengobatan.
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah rendah tetapi
menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak semua pasien diabetes mengalami
gejala hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah.Penurunan
kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan
disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan
sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga
harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Pengawasan
glukosa darah pasien harus dilakukan selama
24-72 jam, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi
dengan OHO kerja panjang. Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada
pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan
pengawasan yang lebih lama.
Pasien dengan resiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai kemungkinan hipoglikemia
simtomatik ataupun asimtomatik pada setiap kesempatan.
Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa
Tanda Gejala
27
- Perubahan sikap
- Gangguan kognitif
- Pandangan kabur
- Diplopia
Faktor Resiko
a. Usia
Usia dari pasien memiliki pengaruh terhadap terjadinya hipoglikemia. Menurut
Lefebvre (2003), gejala hipoglikemia muncul lebih berat dan terjadi pada kadar glukosa
darah yang lebih tinggi pada orang tua dibanding dengan usia yang lebih muda.
Sedangkan menurut Studenski (2011) dalam buku ajar Harrison’s Princle of
Internal Medicine 18th Ed dikemukankan bahwa hipoglikemia pada penderita diabetes
usia lanjut lebih sulit diidentifikas karena simptom autonomik dan neurogenik terjadi
pada kadar glukosa darah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan penderita diabetes
pada usia yang lebih muda. Sedangkan reaksi metabolik dan efek cedera neurologisnya
sama saja antara pasien diabetes muda dan usia lanjut. Simptom autonom hipoglikemia
sering tertutupi oleh penggunaan betablocker. Penderita diabetes usia lanjut memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hipoglikemia daripada penderita diabetes usia
lanjut yang sehat dan memiliki fungsi yang baik (Studenski et al, 2011).
b. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik atau olahraga berperan dalam pencegahan dan penanganan
diabetes. Olahraga dapat memicu penurunan berat badan, meningkatkan sensitivitas
28
insulin pada jaringan hepar dan perifer, meningkatkan pemakaian glukosa, dan
kesehatan sistem kardiovaskuler (Younk et al, 2011).
Namun pada penderita diabetes dengan pengendalian glukosa darah yang intensif,
olahraga dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia bila tanpa disertai
penyesuaian dosis terapi insulin, dan atau suplementasi karbohidrat. Hipoglikemia dapat
terjadi saat berolah raga, sesaat setelah berolahraga, ataupun beberapa jam setelah
berolahraga. Beberapa studi terakhir menemukan bahwa hipoglikemia setelah olah raga
dipengaruhi oleh kegagalan sistem otonom pada penderita diabetes (Osama et al, 2016).
Pada saat olah raga terjadi penurunan insulin secara fisiologis, sedangkan pada
penderita diabetes yang tergantung pada terapi insulin eksogen, penurunan insulin
fisiologis ini tidak terjadi karena insulin yang beredar di dalam tubuh adalah insulin
eksogen dan tidak dapat dikendalikan oleh pankreas (Younk et al, 2011).
Berbeda dengan penurunan sekresi insulin yang tidak terjadi pada penderita
diabetes, pada saat berolah raga sekresi glukagon dari sel – sel alfa pankreas tetap terjadi
pada penderita diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Hilangnya penurunan kadar insulin juga
menghambat proses glikogenolisis dan glukoneogenesis karena kadar insulin yang relatif
tinggi beredar dalam darah (Younk et al, 2011).
Pada penderita diabetes juga terjadi kegagalan sekresi epinefrin. Secara fisiologis,
epinefrin berfungsi meningkatkan glikogenolisis dan menghambat pemakaian glukosa
pada saat olahraga (Osama et al, 2016).
d. Kelebihan Insulin
Kelebihan insulin yang beredar di dalam tubuh menyebabkan glukosa terabsorbsi
jaringan terlalu banyak sehingga menyebabkan keadaan hipoglikemia. Hal ini bisa
terjadi pada berbagai keadaan seperti pada penderita diabetes dengan pemberian insulin
29
terlalu banyak, penurunan produksi glukosa endogen, peningkatan penggunaan glukosa
oleh tubuh dan peningkatan sensitivitas terhadap insulin (Studenski et al, 2011).
e. Frekuensi Hipoglikemia
Pasien yang sering mengalami hipoglikemia akan mentoleransi kadar glukosa
darah yang rendah dan mengalami gejala hipoglikemia pada kadar glukosa darah yang
lebih rendah daripada orang normal (Cryer et al, 2003).
g. Terapi insulin
Terapi insulin dapat menyebabkan hipoglikemia karena apabila kadar glukosa
darah turun melampaui batas normal, tidak terjadi fisiologi penurunan kadar insulin dan
pelepasan glukagon, dan juga refleks simpatoadrenal (Cryer, 2008).
Berdasarkan berbagai penelitian klinis, terbukti bahwa terapi insulin pada pasien
hiperglikemia memperbaiki luaran klinis. Insulin, selain dapat memperbaiki status
metabolik dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga memiliki efek lain yang
bermanfaat, antara lain perbaikan inflamasi (Suastika et al, 2006).
h. Gangguan Ginjal
Hipoglikemia pada gangguan fungsi ginjal dapat diakibatkan oleh penurunan
glukoneogenesis, kerja insulin yang berlebih, clearance obat yang kurang baik atau
berkurangnya asupan kalori. Pada gangguan fungsi ginjal dapat terjadi penurunan
kebutuhan insulin karena perubahan pada metabolisme dan ekskresi insulin (insulin
clearance) (Alsahli & Gerich, 2015). Insulin eksogen secara normal dimetabolisme oleh
ginjal. Pada gangguan fungsi ginjal, waktu paruh insulin memanjang karena proses
degradasi insulin berlangsung lebih lambat (Cavanaugh, 2007).
30
3.9. 3. Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada penyandang DM.
Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri pada saat beraktivitas dan
berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun sering juga tanpa disertai
gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada
penderita.
- Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
3.9.4. Mikroangiopati
- Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko atau
memperlambat progresi retinopati
- Neuropati : pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor penting
yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan risiko amputasi.
Gejala yang sering adalah kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan terasa lebih
sakit di malam hari.
31
BAB IV
PEMBAHASAN
Definisi
Hipoglikemia adalah suatu gejala klinis yang ditandai dengan penurunan konsentrasi
glukosa darah pada kadar tertentu yang dapat menyebabkan munculnya gejala atau tanda seperti
penurunan kesadaran dan atau stimulasi sistem saraf simpatis (Osama et al, 2016). Hipoglikemia
didasarkan pada rendahnya kadar glukosa darah pada seseorang (Manaf, 2011). Hipoglikemia
didefinisikan sebagai keadaan dimana kadar glukosa plasma lebih rendah dari 70 mg/dL
(American Diabetes Association, 2015). Hipoglikemia dapat muncul disebabkan abnormalitas
dalam mekanisme homeostasis glukosa dan juga bisa disebabkan reaksi insulin (Osama et al,
2016).
Pada kasus ini, pasien datang dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS.
Pada saat di IGD dilakukan pemeriksaan pada pasien menggunakan GDA stick.
Dan hasil yang di dapatkan adalah 21 mg/dl. Maka dari itu, pasien tersebut bisa
dikategorikan menjadi pasien Hipoglikemi
32
- Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- Kadar glukosa darah yang rendah
- Gejala berkurang dengan pengobatan.
Tanda Gejala
Pada kasus ini, Pasien sudah memenuhi kriteria dari tanda dan gejala hipoglikemia.
Pada saat ke IGD pasien datang dg adanya penurunan kesadaran. Kemudian dilakukan
pemeriksaan Gula Darah Acak menggunakan GDA stick. Dan didapatkan hasil 21
mg/dl.
Kemudian dilakukan koreksi pada hipoglikemi pasien menggunakan D40% dan
D10%, keadaan pasien membaik.
Faktor Resiko
Usia
33
Usia dari pasien memiliki pengaruh terhadap terjadinya hipoglikemia. Menurut
Lefebvre (2003), gejala hipoglikemia muncul lebih berat dan terjadi pada kadar glukosa
darah yang lebih tinggi pada orang tua dibanding dengan usia yang lebih muda.
Sedangkan menurut Studenski (2011) dalam buku ajar Harrison’s Princle of
Internal Medicine 18th Ed dikemukankan bahwa hipoglikemia pada penderita diabetes
usia lanjut lebih sulit diidentifikas karena simptom autonomik dan neurogenik terjadi
pada kadar glukosa darah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan penderita diabetes
pada usia yang lebih muda. Sedangkan reaksi metabolik dan efek cedera neurologisnya
sama saja antara pasien diabetes muda dan usia lanjut. Simptom autonom hipoglikemia
sering tertutupi oleh penggunaan betablocker. Penderita diabetes usia lanjut memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hipoglikemia daripada penderita diabetes usia
lanjut yang sehat dan memiliki fungsi yang baik (Studenski et al, 2011).
Keterlambatan Intake Glukosa
Berkurangnya asupan karbohidrat atau glukosa pada pasien hiperglikemia karena
terlambat makan atau menjalani puasa dengan tidak mengurangi dosis obat – obatan
antidiabetes, dapat terjadi hipoglikemia karena berkurangnya asupan glukosa dari saluran
cerna (Cryer et al, 2003).
Konsumsi Obat Hipoglikemik Oral
Penggunaan obat hipoglikemik oral yang memiliki cara kerja meningkatkan sekresi
insulin pada pankreas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Obat – obat tersebut
antara lain dipeptydilpeptidase-4 inhibitor, glucagon-like peptide-1, golongan glinide,
golongan sulfonylurea: glibenclamide, glimepiride (Soeatmadji, 2008).
Pasien atas nama Ny. M dengan usia 65 tahun, merupakan salah satu faktor resiko
hipoglikemia. Menurut sumber, pasien dengan usia yang lebih tua memiliki factor resiko
yang lebih besar dibandingkan dengan pasien dengan usia muda.
Menurut keluarga, dalam 7 hari SMRS pasien mengakami penurunan nafsu makan.
Maka dari itu, intake glukosa ke dalam tubuh pasien berkurang drastis. Sedangkan pasien
masih mengkonsumsi obat DM dengan rutin.
Menurut sumber, salah satu OAD yang sering menyebabkan efek samping hipoglikemi
adalah golongan sulfonylurea. Pasien dalam kasus ini, meminum OAD golongan
sulfonylurea dengan rutin.
34
BAB V
KESIMPULAN
Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe 2) adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau
ganguan fungsi insulin yang terjadi melalui 3 cara yaitu rusaknya sel-sel B pankreas karena
pengaruh dari luar (virus, zat kimia, dll), penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas,
atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Penderita diabetes melitus biasanya
mengeluhkan gejala khas seperti polifagia, polidipsia, poliuria, namun berat badan turun dengan
cepat, mudah lelah, dan kesemutan. Kejadian DM Tipe 2 lebih banyak terjadi pada wanita sebab
wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Peningkatan Kejadian
Diabetes Melitus tipe 2 di timbulkan oleh faktor faktor seperti riwayat diabetes melitus dalam
keluarga, umur, obesitas, tekanan darah tinggi, dyslipidemia, toleransi glukosa terganggu, kurang
aktivitas, riwayat DM pada kehamilan.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus dapat dilakukan dengan pemilihan obat oral
hiperglikemik dan insulin serta modifikasi gaya hidup seperti diet , dan olahraga teratur untuk
menghindari komplikasi.
Namun,, Diabetes Mellitus sendiri memiliki beberapa komplikasi. Salah satu komplikasi
yang paling sering terjadi pada pasien diabetes mellitus adalah Hipoglikemi. Hipoglikemi sendiri
merupadakan salah satu komplikasi kegawatan yang harus segera dilakukan penatalaksanaan.
Karena apanila gula darah pada pasien DM terlalu rendah, bisa menyebabkan komplikasi yang
lebih berat lagi bahkan kematian.
35
Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi akut dari diabetes mellitus. Kebanyakan
terjadi pada pasien diabetes mellitus yang mendapat terapi insulin atau sulfonilurea. Selain itu
juga dapat terjadi karena aktifitas fisik yang berlebih atau intake yang kurang atau terlambat.
Pasien dan orang-orang terdekatnya perlu mengetahui tanda-tanda dan cara menangani
hipoglikemia untuk mengurangi dampak yang parah. Sebagian besar pasien hipoglikemia dapat
ditangani dengan baik dan mampu bertahan dari keadaan hipoglikemia.
Untuk pasien ini, pasien diketahui menderita DM sejak 10 tahun yang lalu. Pasien
merupakan pengguna obat anti Diabetes Mellitus dan bukan pengguna insulin. Pasien
menggunakan 1 jenis obat yaitu golongan sulfonilurea.
Kemungkinan hipoglikemia pada pasien ini ada 2 hal. Yaitu obat-obatan dan asupan yang
kurang. Salah satu obat yang digunakan pasien mungkin adalah sulfonilurea, yang cara kerjanya
meningkatkan sekresi insulin oleh pankreas dan meningkatkan jumlah serta performance dari
reseptor insulin2. Golongan sulfonilurea diketahui mempunyai efek hipoglikemik yang poten,
sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makanan yang ketat. Sementara
beberapa hari ini, asupan makanan pasien kurang, dan konsumsi obat tetap berjalan. Kadar
glukosa darah lebih rendah dari biasanya, dan insulin dipicu oleh obat-obatan. Akibat kerja
insulin, glukosa masuk ke dalam sel, dan kadar glukosa darah menurun drastis sehingga terjadi
hipoglikemia.
36
DAFTAR PUSTAKA
Alsahli M & Gerich JE. 2015. Hypoglycemia in Patients with Diabetes and Renal Disease. J
Clin Med. 2015 May; 4(5): 948–964.
Briscoe VJ, Davis SN. 2006. Hypoglycemia in type 1 and type 2 diabetes: Physiology,
pathophysiology, and management. Clin Diabetes, Volume 24: 115 – 21
Cavanaugh KL. 2007. Diabetes Management Issues for Patients With Chronic Kidney Disease.
Clinical Diabetes; 25: 90 – 7
Cryer PE. 2008. The Barrier of hypoglycemia in diabetes. Diabetes, Volume 57: 3169 – 75
Cryer PE, Davis SN, Shamoon H. 2003. Hypoglycemia in diabetes. Diabetes Care, Volume 26:
1902 – 12
Holt P. 2009. Hypoglycemia. In: Diabetes in Hospital: A Fractical Approach for Healthcare
Proffesionals, 1st ed. Hong Kong SNP Best Typesetter;: pp 61.-70
Kalra S., Mukherjee J J., Venkataraman S., Bantwal G., Shaikh S., Saboo B., Das A K. dan
Ramachandran A. 2013. Hypoglycemia: The Neglected Complication. Indian J Endocrinol
Metab. 2013 Sep-Oct; 17(5): 819–834
37
Kushner P. 2011. Minimizing the risk of hypoglycemia in patients with type 2 diabetes melitus.
Diabetes, Metabolic Syndrome, and Obesity. Targets and Therapy, Volume 3: 49–53
Lefebvre PJ, Scheen AJ. 2003. Hypoglycemia. In: Porte D, Sherwin RS, Baron A (eds.)
Ellenberg & Rifkin’s Diabetes Melitus. 6th ed. New York: Mc Graw Hill: 122 – 8
Manaf A. 2011. Hipoglikemi : Pendekatan Klinis dan Penatalaksanaan. In : Buku Ajar Penyakit
Dalam Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Shafiee G., Tehrani M M., Pajouhi M & Larijani B. 2012. The importance of hypoglycemia in
diabetic patients. Journal of Diabetes & Metabolic Disorders, Vol 20112 :11-17 DOI:
10.1186/2251-6581-11-17
Soeatmadji D W. 2008. Hipoglikemia Iatrogenik. In: Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1900 – 6
Studenski S. 2011. Clinical Problems of Aging. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci
AS, Hauser SL, Loscalzo J (eds.) Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. New
York: Mc Graw Hill;: 783 – 4
Suastika K, Soeatmaji D W, Asdie HA, Adam JM, Soegondo S, Manaf A. 2003. Petunjuk
Praktis Terapi Insulin. Jakarta. Perkeni. 5 – 6
Younk LM, Mikeladze M, Tate D, Davis SN. 2011. Exercise-related hypoglycemia in diabetes
mellitus. Expert Review Endocrinology Metabolism, Vol 6: 93 – 108
38