TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau demam berdarah dengue
(DBD) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue
dimana infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4
jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, melalui perantara
nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotipe dengue
terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotipe DEN-2 (IDAI, 2010).
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue
haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi
yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok. (Sudoyo, 2006).
Demam berdarah dengue merupakan salah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti,
yang ditandai dengan demam mendadak selama 2-7 hari tanpa penyebab yang
jelas disertai dengan lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai tanda
perdarahan di kulit berupa bintik merah, lebam (echymosis) atau ruam
(purpura). Kadang-kadang disertai dengan mimisan, berak darah, muntah
darah, kesadaran menurun atau renjatan (syok) (Panjaitan, 2015).
B. Epidemiologi
Demam Dengue (DD) endemik pertama dilaporkan di Batavia/Jakarta
oleh David Bylon pada tahun 1770, sedangkan demam berdarah dengue
18
19
(DBD) pertama kali diketahui di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968,
sementara konfirmasi virologi mulai diperoleh pada tahun 1970 (Lardo,
2013).
Angka kejadian DBD/DD terbanyak pada umur 5–10 tahun, 52 anak
(42,4%). Berdasarkan distribusi jenis kelamin, laki-laki lebih banyak 66
(54,6%) dibandingkan dengan perempuan 57 (45,4%). Sebagian besar kasus
mempunyai status gizi baik 82 (66,6%). Berdasarkan diagnosis kasus DBD
derajat 1 dan 2 lebih banyak dibandingkan DD dan SSD yaitu 59 (47,%)
anak. Sebagian besar SSD adalah infeksi sekunder 37(86%), sedangkan DD
sebagian infeksi primer 20 (95,3%) (Hartoyo, 2008).
Pada saat ini DBD di banyak negara di kawasan Asia Tenggara
merupakan penyebab utama perawatan anak di rumah sakit. Saat ini, jumlah
kasus masih tetap tinggi, rerata 10-25 kasus per 100.000 penduduk, namun
angka kematian telah menurun bermakna menjadi < 2%. Umur yang
terbanyak yang terkena infeksi virus dengue adalah kelompok umur 4–10
tahun, walaupun makin banyak kelompok umur lebih tua (Subaiki, 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi
yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak adanya kontrol vektor
nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan peningkatan sarana transportasi.
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor dari penyakit DBD (Subaiki,
2013).
C. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, family Flaviviridae.
Ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang mengandung virus
dengue dalam tubuhnya. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106
(Guerdan, 2010).
Berdasarkan sifat antigen dikenal ada empat serotipe virus dengue,
20
D. Klasifikasi
Menurut WHO (2011) dalam, klasifikasi infeksi virus dengue adalah
sebagai berikut.
21
Menurut IDAI (2014), peran sistem imun dalam infeksi virus dengue
adalah sebagai berikut.
Infeksi pertama kali (primer) menimbulkan kekebalan seumur hidup untuk
serotipe penyebab.
22
Pada DBD, terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi
pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites (IDAI,
2014).
Pemeriksaan rontgen foto dada posisi lateral dekubitus kanan, efusi
pleura terutama di hemitoraks kanan merupakan temuan yang sering dijumpai
(IDAI, 2014).
Pemeriksaan ultrasonografi dapat dipakai untuk menemukan asites dan
efusi pleura. Penebalan dinding kandung empedu (gall blader wall
thickening) mendahului manifestasi klinis kebocoran plasma lain.
Peningkatan nilai hematokrit (≥ 20% dari data dasar) dan penurunan kadar
protein plasma terutama albumin serum (> 0,5 g/dL dari data dasar)
merupakan tanda indirek kebocoran plasma. Kebocoran plasma berat
menimbulkan berkurangnya volume intravaskular yang akan menyebabkan
syok hipovolemi yang dikenal sebagai sindrom syok dengue (SSD) yang
memperburuk prognosis (IDAI, 2014).
Menurut IDAI (2014), manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase,
yaitu fase demam, kritis, serta konvalesens.
1. Fase demam
29
Pada kasus ringan, semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya
suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam
dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan tekanan darah,
hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran
plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran
plasma yang bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila
berat menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi.
Laboratorium
Trombositopenia (100.000 µl atau kurang).
Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler,
dengan manifestasi sebagai berikut:
- peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar
- penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan
- efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau
hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kerja
DBD.
31
Derajat Penyakit
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan ialah uji bendung.
Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab
dan anak tampak gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak teratur.
Isolasi virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk,
kultur sel nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21).
Deteksi asam nukleat virus
Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic
acid/RNA) dapat dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR).
Deteksi antigen virus dengue
Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilakukan saat ini adalah
pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue (NS-1 dengue antigen), yaitu
suatu glikoprotein yang diproduksi oleh semua flavivirus yang penting
bagi kehidupan dan replikasi virus.
Deteksi respons imun serum
Pemeriksaan respons imun serum berupa Haemaglutination inhibition test
(uji HI), complement fixation test (CFT), neutralization test (uji
neutralisasi), pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue.
32
Pemeriksaan penunjang
Menurut Karyanti (2014), pemeriksaan penunjang dalam membantu
menegakkan diagnosis demam berdarah dengue adalah sebagai berikut.
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1
setelah demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari
sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis
awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat
membedakan penyakit DD/DBD.
b. Uji serologi IgM dan IgG anti-dengue
Antibodi IgM anti-dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit,
mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/
menghilang pada akhir minggu keempat sakit.
Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada
hari sakit ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun.
Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti-dengue akan terdeteksi
pada hari sakit ke-2.
Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari
infeksi sekunder. Apabila rasio IgM:IgG > 1,2 menunjukkan infeksi
primer namun apabila rasio IgM:IgG < 1,2 menunjukkan infeksi
sekunder.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas
indikasi:
33
H. Diagnosis Banding
1. Demam chikungunya
Demam chikungunya adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus chikungunya yang merupakan genus Alphavirus termasuk
dalam family Togaviridae dan merupakan re-emerging diseases yang
sering menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di berbagai daerah di
kawasan Asia termasuk Indonesia. Gejala yang sering ditimbulkan infeksi
virus ini berupa demam mendadak disertai menggigil selama 2-5 hari.
Gejala demam biasanya timbul mendadak secara tiba-tiba dengan derajat
tinggi (> 40ºC). Demam kemudian menurun setelah 2-3 hari dan bisa
kambuh kembali 1 hari berikutnya. Demam juga sentiasa berhubungan
dengan gejala-gejala lainnya seperti sakit kepala, mual dan nyeri abdomen
(Maha dan Subangkit, 2014).
Nyeri sendi (arthralgia) dan nyeri otot (myalgia) bisa muncul pada
penderita chikungunya. Gejala ini dapat bertahan selama beberapa
minggu, bulan bahkan ada yang sampai bertahan beberapa tahun sehingga
dapat menyerupai Rheumatoid Artritis. Nyeri otot dapat terjadi pada
34
seluruh otot terutama pada otot penyangga berat badan seperti pada otot
bagian leher, daerah bahu dan anggota gerak. Pada kebanyakan penderita,
gejala peradangan sendi biasanya diikuti dengan adanya bercak kemerahan
makulopapuler yang bersifat non-pruritic. Bercak kemerahan ini sering
ditemukan pada bagian tubuh dan anggota gerak tangan dan kaki. Bercak
ini akan menghilang setelah 7-10 hari dan kemudian diikuti dengan
deskuamasi (Maha dan Subangkit, 2014).
2. Campak
Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh paramyxovirus, yang
menginfeksi traktus respiratorius atas dan kelenjar limfe regional. Infeksi
campak dibagi menjadi empat fase yaitu inkubasi, prodromal,
eksantematosa dan fase penyembuhan. Masa inkubasi 8-12 hari dari saat
pajanan sampai terjadinya gejala atau 14 hari setelah pajanan sampai
terjadinya ruam. Manifestasi klinis yang terjadi pada fase prodromal
adalah batuk, pilek, konjungtivitis, dan tanda patognomonik bercak koplik
(Rahayu dan Tumbelaka, 2002).
Gejala klasik campak berupa batuk, pilek dan konjungtivitis yang
makin berat, timbul selama viremia sekunder dari fase eksantematosa,
yang sering diikuti dengan demam tinggi (40-40,5˚C). Ruam macular
mulai timbul di kepala (sering kali di bagian bawah garis rambut) dan
menyebar ke sebagian besar tubuh dalam waktu 24 jam dengan arah
distribusi dari kepala ke kaudal. Ruam seringkali berkonfluensi. Ruam
akan menghilang dengan pola yang sama. Saat ruam menghilang terjadi
perubahan warna ruam menjadi kecoklatan dan kemudian mengalami
deskuamasi (Marcdante et al, 2014).
3. Demam skarlet
Demam skarlet adalah penyakit yang di sebabkan oleh Streptococcus
beta hemolyticus grup A. Masa inkubasi 1–7 hari, rata-rata 3 hari. Cara
penularan demam scarlet melalui droplet dari pasien yang terinfeksi atau
35
karier. Fokus infeksi demam scarlet adalah pada faring dan tonsil, jarang
pada luka operasi atau lesi kulit. Manifestasi klinis diawali timbulnya
gejala prodromal berupa demam panas, nyeri tenggorokan, muntah, nyeri
kepala, malaise dan menggigil. Dalam 12–24 jam timbul ruam yang khas.
Tonsil membesar dan eritem, pada palatum dan uvula terdapat eksudat
putih keabu-abuan (Rahayu dan Tumbelaka, 2002).
Pada lidah didapatkan eritema dan edema sehingga memberikan
gambaran strawberry tongue (tanda patognomonik). Ruam berupa erupsi
punctiform, berwarna merah yang menjadi pucat bila ditekan. Timbul
pertama kali di leher, dada dan daerah fleksor dan menyebar ke seluruh
badan dalam 24 jam. Erupsi tampak jelas dan menonjol di daerah leher,
aksila, inguinal dan lipatan poplitea. Pada dahi dan pipi tampak merah dan
halus, tapi didaerah sekitar mulut sangat pucat (circumoral pallor).
Beberapa hari kemudian kemerahan di kulit menghilang dan kulit tampak
sandpaper yang kemudian menjadi deskuamasi setelah hari ketiga.
Deskuamasi berbeda dengan campak karena lokasinya di lengan dan kaki.
Deskuamasi kemudian akan mengelupas dalam minggu 1-6 (Rahayu dan
Tumbelaka, 2002).
4. Demam tifoid
Demam tifoid atau dikenal dengan nama lain typhus abdominalis,
typhoid fever atau enteric fever adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi yang merupakan basil gram
negatif. Penularan bakteri ini terjadi secara fekal-oral melalui makanan
yang terkontaminasi dari bahan feses, muntahan maupun cairan badan dan
mengalami masa inkubasi dalam tubuh penderita selama 7-14 hari (WHO,
2009).
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan
dibanding penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10-20 hari. Setelah
masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak
enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Setelah fase
36
prodromal kemudian berlanjut ke fase klinis. Pada fase ini, gejala klinis
dari penyakit demam tifoid menjadi lebih jelas. Gejala-gejala klinis yang
rnulai nampak diantaranya adalah pusing, demam (dapat mencapai 40°C),
bradikardi relatif, malaise, anoreksia, perut terasa tidak enak, diare dan
konstipasi, coated tongue (lidah kotor di tengah, tepi dan ujung merah),
kadang lidah tremor, hepatosplenomegali, meteorismus, gangguan mental
berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis (Prasetyo, 2015).
5. Malaria
Malaria disebabkan oleh protozoa Plasmodium intraseluler yang
ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk Anopheles betina. Penderita
malaria biasanya menunjukan gejala utama demam tinggi yang bersifat
paroksismal disertai menggigil, berkeringat, dan nyeri kepala. Selain itu,
sering ditemukan kelelahan, anoreksia, nyeri punggung, mialgia, pucat,
dan muntah. Manifestasi klinis malaria pada anak berbeda dengan orang
dewasa, sehingga sering salah diintepretasikan dengan gastroenteritis akut
atau infeksi virus akut lainnya (Marcdante, 2014).
Diagnosis malaria dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris.
Secara klinis, sesuai rekomendasi WHO malaria dapat dicurigai
berdasarkan daerah epidemiologisnya (Liwan, 2015):
Di daerah non-endemis, diagnosis klinis malaria tidak berat harus
didasarkan pada kemungkinan paparan malaria (berpergian ke daerah
endemis) dan riwayat demam 3 hari terakhir tanpa gejala penyakit berat
lainnya.
Di daerah endemis, diagnosis klinis didasarkan pada riwayat demam
dalam 24 jam terakhir dan atau adanya gejala anemia (pucat pada
palmar merupakan tanda paling reliabel pada anak yang lebih muda).
Tetap perlu diperhatikan adanya gejala klasik seperti demam,
menggigil, pucat disertai splenomegali; dan gejala lain seperti nyeri
kepala, mual-muntah, nyeri otot-tulang, riwayat kejang (terutama bayi 5
tahun). Riwayat tinggal di daerah endemis malaria.
37
I. Komplikasi
Menurut Halstead (2016), pada umumnya demam dengue dapat sembuh
sendiri dan tidak berbahaya. Komplikasi pada bayi dan anak usia muda
biasanya berupa:
1. Dehidrasi
Akibat asupan yang kurang misalnya karena timbul muntah, perdarahan
berat.
2. Kejang demam
Demam tinggi dapat menyebabkan gangguan neurologi dan kejang
demam.
3. Gangguan elektrolit
J. Penatalaksanaan
1. Tata laksana demam beradarah dengue tanpa syok
Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air tajin, air
sirup, susu, untuk mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran
plasma, demam, muntah/diare.
Berikan parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal atau
ibuprofen karena obat-obatan ini dapat merangsang terjadinya
perdarahan.
Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
- berikan hanya larutan isotonik seperti Ringer Laktat/Asetat
- kebutuhan cairan parenteral
Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
38
Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit
secara nasal.
Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti ringer laktat/asetat
secepatnya.
Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid
20 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan
pemberian koloid 10-20 ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin
menurun, pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi; berikan
transfusi darah/komponen.
Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer
mulai membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga
10 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6
jam sesuai kondisi klinis dan laboratorium.
Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48
jam.
39
K. Pencegahan
41
2. Pengendalian biologis
Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent
biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang
sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor
DB/DBD adalah dari kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan
jentik (ikan adu/ikan cupang) dan cyclop (Copepoda).
a. Predator
Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa digunakan
untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya, dan yang
paling mudah didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah
adalah ikan pemakan jentik. Di Indonesia, ada beberapa ikan yang
berkembang biak secara alami dan bisa digunakan adalah ikan kepala
timah dan ikan cetul. Namun, ikan pemakan jentik yang terbukti efektif
42
b. Bakteri
Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan digunakan
untuk larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva vektor adalah
kelompok bakteri. Dua spesies bakteri yang sporanya mengandung
endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus thuringiensis
serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS). Endotoksin merupakan
racun perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam saluran
pencernaan larva. Keunggulan agen biologis ini tidak mempunyai
pengaruh negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran.
Kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan sampai
sekarang masih harus disediakan oleh pemerintah melalui sektor
kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana
spora telah berkecambah maka agen tersebut tidak efektif lagi.
3. Pengendalian kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:
- Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion),
berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu
tertentu.
- Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan
air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
43
4. Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan
ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan
motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara
berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah
mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3 M plus, yaitu
menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus
seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan
kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan
insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa
jentik berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat.
5. Perlindungan individu
Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat
dilakukan secara individu dengan menggunakan repellent, menggunakan
pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan panjang dan celana
panjang bisa mengurangi kontak dengan nyamuk meskipun sementara.
Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk di dalam keluarga bisa
memasang kelambu pada waktu tidur dan kasa anti nyamuk.
Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent:
obat nyamuk bakar, vaporize mats (VP), dan repellent oles anti nyamuk
bisa digunakan oleh individu. Pada 10 tahun terakhir dikembangkan
kelambu berinsektisida atau dikenal sebagai insecticide treated nets (ITNs)
dan tirai berinsektisida yang mampu melindungi gigitan nyamuk.
Amerika Latin dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada fase ini uji
klinis dilakukan pada anak-anak dengan populasi besar. Di Asia Tenggara
penelitian fase III akan berakhir tahun 2017, namun efikasi dan keamanan
sudah dapat dilihat sejak tahun 2015. Berdasarkan penelitian terakhir
tersebut didapatkan bahwa secara umum vaksin ini mempunyai efikasi
56,5 % dan vaksin Dengue ini dapat menurunkan resiko perawatan rumah
sakit sebanyak 80% serta mengurangi resiko menderita Dengue yang berat
sebesar 93% bila diberikan pada anak diatas usia 9 tahun. Selain itu,
vaksin ini juga memiliki keamanan yang baik terbukti dengan tidak
ditemukannya efek samping yang berat. Vaksin virus Dengue ini sudah
mencakup keempat serotipe dari virus Dengue yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3, dan DEN-4.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan vaksin ini memiliki hasil
efikasi terbaik pada anak usia 9-16 tahun, sedangkan apabila diberikan di
bawah usia 9 tahun akan meningkatkan resiko untuk dirawat karena
infeksi dengue dan meningkatkan resiko mendapatkan dengue yang berat,
khususnya pada anak dengan kelompok usia 2-5 tahun. Jadi,
vaksin Dengue dapat diberikan pada anak usia 9-16 tahun sebanyak 3 kali
dengan jarak pemberian 6 bulan. Pemberian vaksin juga dapat dimulai
kapan saja sejak anak berusia 9 hingga 16 tahun.
Karena vaksin Dengue belum masuk ke dalam program imunisasi
nasional maka saat ini vaksin tersebut belum terdapat di Puskesmas. Saat
ini, vaksin hanya terdapat pada klinik/rumah sakit terdekat atau pada
praktek dokter anak swasta. Harga vaksin masih cukup mahal yaitu sekitar
1 juta rupiah per 1 kali pemberian vaksin. Namun, harga tersebut relatif
lebih murah bila dibanding dengan biaya perawatan anak di RS jika
terkena demam berdarah apalagi jika harus dirawat intensif di ICU.