Anda di halaman 1dari 5

TUGAS PANCASILA

Oleh
Ghama Yaskara Luli 532419004

Universitas Negeri Gorontalo


Fakultas Teknik
Jurusan Informatika
2020

PERTANYAAN
1. Mengalisis Pasal Pasal Dalam UUD 1945 Tentang Pengaturan Hak Asasi Manusia
2. Kondisi Pengegakan Hukum Di Indonesia

JAWABAN
1.
 UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap
pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup,
meskipun dalam
Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah
satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

 Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan
“Hakhak
dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut : “Peraturan-peraturan
undang-undang tentang melakukan hak-hak kebebasan-kebebasanyang
diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak
dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan
yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan
untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan, dan
kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”.

 Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM


(Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut “Melakukan
hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat
dibatasi dengan peraturan-peraturan undang- undang semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak
serta kebebasan- kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang
adil untuk ketenteraman, kesusilaan, dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat
yangdemokratis”

 UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28 J nampaknya melanjutkan paham


konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya,
yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah
diuraikan di atas. Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang
HAM sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, yang
kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini
tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan
konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga
memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya
pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):

 UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan
dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Namun,
Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi
dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam
hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan.

 Dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah
dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”,
termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan
hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, dapat ditafsirkan bahwa Pasal 28 I
ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28 J ayat (2), sehingga hak
untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat
mutlak.

 Dari sudut ilmu perundang-undangan, kritik terhadap Undang-undang Nomor 39


Tahun 1999 ini mencakup antara lain: Terdapat ketentuan yang tidak memuat
norma atau kaidah, dan hal ini ditunjukkan dengan adanya Bab mengenai asas-
asas dasar. Asas-asas dasar pada prinsipnya bukan merupakan kaidah atau norma
hukum. Jadi, asas tidak perlu secara eksplisit dimuat dalam undang-undang
melainkan akan menjiwai pasal-pasal yang ada dalam UU bersangkutan.

2. Indonesia adalah negara hukum yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan
dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun
selalu dan hanya dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen.
Dimanapun juga, sebuah Negara menginginkan Negaranya memiliki penegak- penegak hukum
dan hukum yang adil dan tegas dan bukan tebang pilih. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi
dan pengistimewaan dalam menangani setiap kasus hukum baik PIDANA maupun PERDATA.
Seperti istilah di atas, 'Runcing Kebawah Tumpul Keatas' itulah istilah yang tepat untuk
menggambarkan kondisi penegakkan hokum di Indonesia. Apakah kita semua merasakannya?
Apakah kita bisa melihat kenyataanya? Saya yakin pasti seluruh masyarakat Indonesia juga
melihat kenyataanya.
Kondisi Hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik daripada pujian. Berbagai
kritik diarahkan baik yang berkaitan dengan penegakkan hukum , kesadaran hukum , kualitas
hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan
juga lemahnya penerapan berbagai peraturan.
Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan
masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang mempunyai
jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau
aturan negara dilanggar.
Ada pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum
tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil.
Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi tetapi juga dipermainkan
seperti barang dagangan . Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah
berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat hukumyangmorat-
marit.
Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di
peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang
gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini.
Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti anak dibawah umur
saudara Hamdani yang 'mencuri' sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja di
Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, serta Kholil dan
Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum seberat
beratnya.

Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik
negara dapat bebas berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang
hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama.
Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nuda.
Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut. Tidak
ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak
Golongan III menjadi miliyader dadakan yang diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi
hanya dikenai 6 tahun penjara, kasus Bank Century dan yang masih hangat saat ini Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK), Akhil Mochtar ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan.
Dalam operasi itu, KPK telah menyita uang dollar Singapura senilai Rp 3 miliar yang
menunjukkan penegakan hukum di bangsa Indonesia dalam kondisi awas, hampir semua kasus
diatas prosesnya sampai saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal semua kasus
tersebut begitu merugikan Negara dan masyarakat kita. Kapankan ini semua akan berakhir ?
Kondisi yang demikian buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan
kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan
hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Merusak keadilan atau bertindak tidak adil
tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat.

Anda mungkin juga menyukai