Anda di halaman 1dari 5

Nama : Neneng Setyowati

NIM/Kelas : A12019062/2B
Matkul : Keperawatan Kesehatan Jiwa I
Dosen : Ibu Tris

TUGAS MERESUME
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA DI DUNIA DAN DI
INDONESIA SERTA STIGMA KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

Perkembangan Keperawatan Jiwa di Dunia dan di Indonesia

Perkembangan keperawatan jiwa dimulai sejak jaman peradaban. Pada masa ini suku
bangsa Yunani dan Arab percaya bahwa gangguan jiwa disebabkan karena tidak berfungsinya
organ otak. Pengobatan pada masa ini telah mengabungkan berbagai pendekatan pengobatan
seperti: memberikan ketenangan, mencukupi asupan gizi yang baik, melaksanakan kebersihan
badan yang baik, mendengarkan musik dan melakukan aktivitas rekreasi.Perkembangan
keperawatan jiwa pada abad 21 lebih menekankan pada upaya preventif melalui
pengembangan pusatkesehatan mental, praktek mandiri, pelayanan di rumah sakit dan
pelayanan day care sertamengidentifikasi pemberian asuhan keperawatan pada kelompok
berisiko tinggi dan pengembangan sistem management patient care dengan pendekatan
multidisipliner.

A. Di Dunia :
Perkembangan keperawatan jiwa di dunia dimulai pada

a. Masa Peradaban
Masa ini dimulai antara tahun 1770 sampai dengan tahun 1880, ditandai
dengan dimulainya pengobatan terhadap pasien gangguan mental. Para masa ini, suku
bangsa Yunani, Romawi maupun Arab percaya bahwa gangguan mental (emosional)
diakibatkan karena tidak berfungsinya organ pada otak. Pengobatan yang digunakan
pada masa ini telah mengabungkan berbagai pendekatan pengobatan seperti:
memberikan ketenangan, mencukupi asupan gizi yang baik, melaksanakan kebersihan
badan yang baik, mendengarkan musik dan melakukan aktivitas rekreasi.
Hippocrates bapak kedokteran abad 7 SM, menerangkan bahwa perubahan
perilaku atau watak dan gangguan mental disebabkan karena adanya perubahan 4
cairan tubuh atau hormon, yang dapat menghasilkan panas, dingin, kering dan
kelembaban. Seorang Dokter Yunani Galen, mengatakan ada hubungan antara
kerusakan pada otak dengan kejadian gangguan mental dan perubahan emosi. Pada
masa itui suku bangsa Yunani telah menggunakan sistem perawatan yang modern
dimana telah digunakannya kuil sebagai rumah sakit dengan lingkungan yang bersih,
udara yang segar, sinar matahari dan penggunaan air bersih. Untuk menyembuhkan
pasien dengan penyakit jiwa/gangguan mental pasien diajak untuk melakukan
berbagai aktifitas seperti bersepeda, jalan-jalan, dan mendengarkan suara air terjun,
musik yang lembut dll.

b. Masa Pertengahan
Masa ini merupakan periode pengobatan modern pasien gangguan jiwa. Bapak
Psikiatric Perancis Pinel, menghabiskan sebahagian hidupnya untuk mendampingi
pasien gangguan jiwa. Pinel menganjarkan pentingnya hubungan pasien-dokter dalam
“pengobatan moral". Tindakan yang diperkenalkan nya adalah menerapkan
komunikasi dengan pasien, melakukan observasi perilaku pasien dan melakukan
pengkajian riwayat perkembangan pasien.

c. Abad 18, 19, dan 20


Abad 18 dan 19
William Ellis seorang praktisi kesehatan mengusulkan perlunya pendamping
yang terlatih dalam merawat pasien dengan gangguan jiwa. Pada tahun 1836, William
Ellis mempublikasikan Treatise on Insanity yaitu pentingnya pendamping terlatih bagi
pasien gangguan jiwa karena pendamping terlatih rterbukti efektif didalam
memberikan
ketenangan dan harapan yang lebih baik bagi kesembuhan pasien. Bejamin Rush
bapak
Psikiatric Amerika tahun 1783, menulis tentang pentingnya kerja sama dengan rs jiwa
dalam memberikan bantuan kemanusiaan terhadap pasien gangguan jiwa. Pada tahun
Tahun 1843, Thomas Kirkbridge mengadakan pelatihan bagi dokter di rumah sakit
Pennsylvania mengenai cara merawat pasien gangguan jiwa. Tahun 1872,
didirikannya pertama kali sekolah perawat di New England Hospital
Women’sHospital Philadelphia, tetapi tidak untuk pelayan pskiatrik.
Tahun 1882 didirikannya pendidikan keperawatan jiwa pertama di McLean
Hospital di Belmont, Massachusetts. Dan pada tahun 1890 diterimanya lulusan
sekolah perawat bekerja sebagai staff keperawatan di rumah sakit jiwa. Diakhir abad
19 terjadi perubahan peran perawat jiwa yang sangat besar, dimana peran tersebut
antara lain menjadi contoh dalam pengobatan pengobatan pskiatrik seperti, menjadi
bagian dari tim kesehatan, mengelola pemberian obat penenang dan memberikan
hidroterapi (terapi air).

Abad 20
Keperawatan jiwa pada abad ini ditandai dengan terintegrasinya materi keperawatan
psikiatrik dengan mata kuliah lain. Pembelajaran dilaksanakan melalui pembelajaran
teori, praktek dilaboratorium, praktek klinik di RS dan Masyarakat. Tingkat
pendidikan yang ada pada abad ini adalah D.III, Sarjana, Pasca Sarjana dan Doktoral.
Fokus pemberian asuhan keperawatan jiwa pada abad 21 adalah mengembangkan
asuhan keperawatan berbasis komunitas dengan menekankan upaya preventif melalui
pengembangan pusatkesehatan mental, praktek mandiri, pelayanan di rumah sakit,
pelayanan day care (perawatan harian) yaitu pasien tidak dirawat inap hanya rawat
jalan,kunjungan rumah dan hospice care (ruang rawat khusus untuk pasien gangguan
jiwa yang memungkinkan pasien berlatih untuk meningkatkan kemampuan diri
sebelum kembali ke masyarakat). Selain itu dilakukan identifikasi dan pemberian
asuhan keperawatan pada kelompok berisiko tinggi berupa penyuluhan mengenai
perubahan gaya hidup yang dapat mengakibatkan masalah gangguan kesehatan jiwa.
Selain itu dikembangkan pula sistem management pasien care dimana peran seorang
manager adalah mengkoordinasikan pelayanan keperawatan dengan menggunakan
pendekatan multidisipliner.

B. Di Indonesia :
Sejarah dan perkembangan keperawatan jiwa di Indonesia sangatdipengaruhi oleh faktor
sosial ekonomi akibat penjajahan yang dilakukan oleh kolonial Belanda, Inggris dan
Jepang. Perkembangannya dimulai pada masa penjajahan Belanda sampai pada masa
kemerdekaan.
a. Zaman Penjajahan Belanda
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat merupakan penduduk
pribumi yang disebut Velpeger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga orang
sakit. Tahun 1799 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Rumah Sakit Binen
Hospital di Jakarta, Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas Kesehatan Rakyat yang
bertujuan untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda. Jenderal Daendels
juga mendirikan rumah sakit di Jakarta, Surabaya dan Semarang, tetapi tidak diikuti
perkembangan profesi keperawatan, karena tujuannya hanya untuk kepentingan
tentara Belanda.

b. Zaman Penjajahan Inggris (1812-1816)


Gubernur Jenderal Inggris ketika itu dijabat oleh Raffles sangat
memperhatikan kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya yaitu kesehatan adalah
milik setiap manusia, ia melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki derajat
kesehatan penduduk pribumi antara lain melakukan pencacaran umum, cara perawatan
pasien dengan gangguan jiwa dan kesehatan para tahanan setelah pemerintahan
kolonial kembali ke tangan Belanda, kesehatan penduduk Indonesia menjadi lebih
baik. Pada tahun 1819 didirikanlah RS. Stadverband di Glodok Jakarta dan pada tahun
1919 dipindahkan ke Salemba yang sekarang bernama RS. Cipto Mangunkusumo
(RSCM). Antara tahun 1816 hingga 1942 pemerintah Hindia Belanda banyak
mendiirikan rumah sakit di Indonesia. Di Jakarta didirikanlah RS. PGI Cikini dan RS.
ST Carollus. Di Bandung didirikan RS. ST. Boromeus dan RS Elizabeth di Semarang.
Bersamaan dengan itu berdiri pula sekolah-sekolah perawat.

c. Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)


Pada masa penjajahan Jepang, perkembangan keperawatan di Indonesia
mengalami kemundurandan merupakan zaman kegelapan,Pada masa itu, tugas
keperawatan tidak dilakukan oleh tenaga terdidik dan pemerintah Jepang mengambil
alih pimpinan rumah sakit. Hal ini mengakibatkan berjangkitnya wabah penyakit
karena ketiadaan persediaan obat.

d. Zaman Kemerdekaan
Empat tahun setelah kemerdekaan barulah dimulai pembangunan bidang
Kesehatan yaitu pendirian rumah sakit dan balai pengobatan. Pendirian sekolah
keperawatan dimulai pertama kali tahun 1952 dengan didirikannya Sekolah Guru
Perawat dan sekolah perawat setingkat SMP. Tahun 1962 didirikan Akademi
Keperawatan milik Departemen Kesehatan di Jakarta bertujuan untuk menghasilkan
Sarjana Muda Keperawatan. Tahun 1985 merupakan momentum kebangkitan
keperawatan di Indonesia, karena Universitas Indonesia mendirikan PSIK (Program
Studi Ilmu Keperawatan) di Fakultas Kedokteran. Sepuluh tahun kemudian PSIK FK
UI berubah menjadi Fakultas Ilmu Keperawatan.Setelah itu berdirilah PSIK-PSIK
baru
seperti di Undip, UGM, UNHAS dll.

Stigma Kesehatan Jiwa di Indonesia

Gangguan jiwa merupakan penyakit yang dialami oleh seseorang yang mempengaruhi
emosi, pikiran atau tingkahlaku mereka, diluar kepercayaan budaya dan kepribadian mereka,
dan 4 menimbulkan efek yang negative bagi kehidupan mereka atau kehidupan keluarga
mereka (Maramis, 2005: 3).
Pelayanan Kesehatan Jiwa bagi setiap orang dan jaminan hak orang dengan masalah
kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa, belum dapat diwujudkan secara optimal. Hak
mereka sering terabaikan, baik secara sosial maupun hukum. Secara sosial masih terdapat
stigma di masyarakat sehingga keluarga menyembunyikan keberadaan anggota keluarga yang
menderita gangguan jiwa. Hal ini menyebabkan terbatasnya akses terhadap layanan
kesehatan. Sedangkan secara hukum, peraturan perundang-undangan yang ada belum
komprehensif sehingga menghambat pemenuhan hak-hak mereka.
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
sangat penting dan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari seluruh jajaran
Pemerintahan dan juga seluruh masyarakat. Stigmatisasi dan diskriminasi yang masih sering
dialami oleh orang dengan gangguan jiwa, antara lain dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan
dari pekerjaan, ditelantarkan oleh keluarga bahkan dipasung. Stigma beroperasi layaknya
penjara. Bukan penjara dalam pengertian fisik yang mengurung narapidana, melainkan
penjara dalam relasi sosial. Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang
merupakan konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang
dibangun oleh aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme.
Berdasarkan atas fakta lapangan serta studi pustaka yang dilakukan, bentuk-bentuk
stigma pada penderita gangguan jiwa yang masih terjadi dan secara tidak langsung merupakan
bukti belum berjalannya undang-undang no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa dapat di
lihat dalam dua hal, yakni public stigma (stigma berasal dari masyarakat) dan self stigma
(stigma berasal dari penderita dan keluarganya sendiri). Bentuk-bentuk public stigma yang
ditemukan antara lain penolakan, pengucilan, kekerasan. Adapun bentuk-bentuk self stigma
antara lain prasangka buruk, merasa bersalah, ketakutan serta kemarahan.

a. Public Stigma Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa


Ruang-ruang gerak orang dengan masalah kejiwaan sangat terbatas, ini terlihat dari
sikap masyarakat/lingkungan sekitar yang terkesan “memusuhi” dengan cara melalukan
penolakan secara halus dengan tidak melibatkan mereka (secara sengaja) dalam proses
interaksi. Sikap penolakan terhadap penderita gangguan jiwa juga terlihat dari adanya
kecenderungan keluarga/masyarakat untuk menjadikan Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat
pembuangan bagi orang dengan gangguan jiwa.
Pengucilan sosial pada orang yang memiliki masalah gangguan jiwa memberi dampak
bagi perilaku, kesembuhan dan partisipasi dalam masyarakat. Mereka juga memiliki
pengalaman isolasi sosial yang berakibat pada semua jenis hubungan, baik dengan teman
atau keluarga. Pengucilan ini menyebabkan juga mereka tidak mendapatkan
keseimbangan akses informasi, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan peluang sosial
lainnya yang dapat memperparah pengucilan sosial mereka, implikasinya menyebabkan
mereka dihakimi, tidak dihargai bahkan dinyatakan sebagai orang yang berbahaya.
Stigma yang masih melekat kuat dalam ranah masyarakat, menyebabkan para
penderita gangguan jiwa yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan
mendapatkan perlakuan seperti selalu harus berdiam diri di dalam kamar yang terkunci,
tidak boleh keluar rumah, tangan atau kaki yang dirantai, bahkan dilakukan pembalokan
di sepasang kakinya dengan alasan pembenaran supaya tidak mencederai dirinya ataupun
menyakiti/melukai orang lain di sekitarnya.

b. Self Stigma Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa


Adanya pandangan bahwa gangguan jiwa tidak mungkin bisa disembuhkan dan orang
yang menderitanya tidak mungkin bisa berfungsi secara normal di masyarakat
menimbulkan kerumitan karena para penderita gangguan jiwa semakin menarik diri, tidak
mau terbuka karena takut dihakimi dan dihinakan, implikasinya menyebabkan penderita
tidak mau mencari pertolongan ketika gejala-gejala gangguan jiwa mulai dirasakan.
Adanya perasaan merasa bersalah dari pihak keluarga akhirnya menyebabkan perilaku
pencarian bantuan terhadap penderita menjadi tertunda. Dengan adanya anggota keluarga
yang menderita gangguan jiwa membuat keluarga seolah‐olah memiliki bibit yang buruk,
sehingga keluarga merasa bersalah, merasa malu secara sosial dan kehilangan harga diri.
Keluarga dalam hal ini sering menyalahkan diri sendiri atas sakit yang diderita anggota
keluarganya. Rasa bersalah juga bisa berasal dalam diri pasien dalam bentuk keyakinan
bahwa penyebab gangguan yang dialami karena lemahnya diri dalam cobaan/ujian hidup,
hukuman dari Tuhan ataupun kesalahan masa lalu.
Stigma terhadap gangguan jiwa semakin memperparah keadaan penderita gangguan
jiwa. Hal ini tentu saja menimbulkan kerumitan karena para penderita gangguan jiwa
semakin menarik diri, tidak mau terbuka karena takut dihakimi dan terhina. Masalah lain
yang sering muncul pada penderita gangguan jiwa khususnya dengan kasus pada penderita
gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan salah satunya adalah rasa marah/kemarahan
yang berlebihan. Pengungkapan amarah atau kemarahan penderita gangguan jiwa
merupakan suatu luapan perasaan emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan
yang meningkat dan dirasakan penderita sebagai ancaman, sekaligus dapat membuat
perasaan lega.

Anda mungkin juga menyukai