Step 7
1. ETIOLOGI
Asma Bronkhial
Serangan akut umumnya timbul akibat pajanan terhadap faktor
pencetus, seperti infeksi virus atau alergen. Selain itu, asma dapat
pula dicetuskan oleh cuaca dingin, kegiatan jasmani,
gastroesofageal refluks, dan ketidakstabilan emosi (psikis).
Etiologi asma masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli,
namun secara umum terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diantaranya riwayat
atopi, pada penderita asma biasanya mempunyai keluarga dekat
yang juga memiliki alergi. Hipereaktivitas bronkus ditandai dengan
saluran napas yang sangat sensitif terhadap berbagai rangsangan
alergen atau iritan. Jenis kelamin, pada pria merupakan faktor
risiko asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma
pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.
Menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih berjumlah
sama dan bertambah banyak pada perempuan usia menopause.
Obesitas, ditandai dengan peningkatan Body Mass Index 10 (BMI)
> 30kg/m2. Mekanismenya belum diketahui pasti, namun diketahui
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.12 Alergen dalam lingkungan tempat tinggal seperti
tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang
seperti anjing, kucing, dll adalah faktor lingkungan yang dapat
mencetuskan terjadinya asma. Begitu pula dengan serbuk sari dan
spora jamur yang terdapat di luar rumah. Faktor lainnya yang
berpengaruh diantaranya alergen makanan (susu, telur, udang,
kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan
penyedap, pengawet, dan pewarna makanan), bahan iritan (parfum,
household spray, asap rokok, cat, sulfur,dll), obat-obatan tertentu
(golongan beta blocker seperti aspirin), stress/gangguan emosi,
polusi udara, cuaca, dan aktivitas fisik.
2. PATOFISIOLOGI
Asma Bronkhial
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas
saluran napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan
napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan
adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan
pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas
saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan
melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi
sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon
terhadap berbagai macam rangsang. Dikenal dua jalur untuk bisa
mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang
didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan
diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil
olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong )
terutama Th2 . Sel T penolong inilah yang akan memberikan
intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma
membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk
mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin
(PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,
tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan
mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi
otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan
8 permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi
sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein
melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga
menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang
dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan,
udara dingin, dan stress.13 Selain merangsang sel inflamasi,
terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-alergik
dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran
napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus
vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak
ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi,
inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf
memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel
mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
2. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi
saluran nafas dan tanda yang khas adalah adanya mengi (wheezing)
pada auskultasi. Namun pada sebagian penderita dapat ditemukan
suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada pengukuran
faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas.
3. Pemeriksaan penunjang
- Spirometri
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP <
75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
- Pemeriksaan eosinofil total
Pada asma eosinofil total dalam darah meningkat.
Diagnosis banding:
Dewasa
• Penyakit Paru Obstruksi Kronik
• Bronkitis kronik
• Gagal Jantung Kongestif
• Batuk kronik akibat lain-lain
• Disfungsi larings
• Obstruksi mekanis (misal tumor)
• Emboli Paru
Anak
• Benda asing di saluran napas
• Laringotrakeomalasia
• Pembesaran kelenjar limfe
• Tumor
• Stenosis trakea
• Bronkiolitis
Bronkiolitis
Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori-atas akibat virus, seperti
pilek ringan, batuk, dan demam. Satu hingga 2 hari kemudian akan
timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat
ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi,
muntah setela batuk, rewel, dan penurunan nafsu makan.2Batuk kering
dan mengi khas bronkiolitis.
2. Pemeriksaan fisik
- Takipnea
- Takikardi
- Peningkatan suhu diatas 38,5o
- Dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis.
- Wheezing
Karena obstruksi saluran nafas bawah akibat respon inflamasi akut
sehingga timbul ekspirasi memanjang (wheezing). Biasanya mengi
tidak berespon terhadap bronkodilator.
- Nafas cuping hidung dan retraksi intercostal
- Merupakan usaha pernapasan untuk mengatasi obstruksi.
- Auskultasi paru: ronki
- Bisa terjadi sianosis
- Apnea
- Bisa terjadi jika gejala menghebat , terutama pada bayi < 6 minggu.
3. Pemeriksaan penunjang
1) Saturasi oksigen
Dilakukan setiap anak dating ke RS dengan bronkiolitis. Bayi dengan
saturasi oksigen kurang dari sama dengan 92% memerlukan
perawatan di ruang intensif. Bila saturasi oksigen > 94%,
dipertimbangkan untuk rawat jalan.
2) Pemeriksaan darah tepi
Dapat diemukan leukositosis karena infeksi virus. Untuk
menyingkirkan etiologi lain, meski seringkali tidak khas.
3) Analisis gas darah
Tidak bersifat rutin, namun dilakukan pada distress pernapasan berat
dan kemungkinan mengalami gagal napas. Didapatkan gambaran
hiperkarbia karena adanya air trapping.
4) Foto rontgen thorax
Dapat ditemukan gambaran hiperinflasi paru dan patchy infiltrate
(tidak spesifik dan dapat ditemukan pula di asma, pneumonia, serta
aspirasi), peningkatan diameter AP pada foto lateral, air trapping,
diafragma datar, atelectasis. Pemeriksaan foto thorax juga
dipertimbangkan pada bayi dengan diagnosis meragukan atau
penyakit atipikal. Pada bronkiolitis tipikal sebaiknya foto thorax tidak
dilakukan.
5) Menemukan etiologi (RSV) dengan kultur virus, PCR, rapid test dan
titer antibody pada fase akut dan konvalens.
Diagnosis Banding
1) Asma bronchial
Kedua penyakit ini sulit dibedakan pada episode pertama, namun
adanya kejadian mengi berulang, tidak adanya gejala prodromal
infeksi virus, dan adanya riwayat keluarga dengan asma dan atopi
dapat membantu menegakkan diagnosis asma.1
2) Benda asing
Terdapat riwayat tersedak atau wheezing tiba tiba dan biasnya
wheezing unilateral. Terdapat air trapping dengan hipersonor dan
pergeseran mediastinum serta adanya tanda kolaps paru.
4. TATA LAKSANA
Asma Bronkhial
Penatalaksanaan Asma Bronkial :
1. Pasien disarankan untuk mengidentifikasi serta mengendalikan
faktor pencetusnya.
2. Perlu dilakukan perencanaan dan pemberian pengobatan jangka
panjang serta menetapkan pengobatan pada serangan akut sesuai
tabel di bawah ini.
.
Bronkiolitis
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi,
tetapi berhubung hal ini tidak selalu dikerjakan dan makan waktu maka
dalam praktek diberikan pengobatan polifragmasi. Penisilin diberikan
50.000 U/kgbb/hari dan ditambah dengan kloramfenikol 50-75 mg/kgbb/
hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti
ampisilin. Pengobatan diteruskan sampai anak bebas panas selama 4-5
hari. Anak yang sangat sesak nafasnya memerlukan pemberian cairan
intravena dan oksigen. Jenis cairan yang digunakan adalah campuran
Glukosa 5% dan NaCl 0,9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan
KCl 10 mEq/500ml botol infuse. Banyaknya cairan yang diperlukan
sebaiknya dihitung dengan menggunakan rumus Darrow. Karena ternyata
sebagian besar penderita jauh ke dalam asidosis metabolik akibat kurang
makan dan hipoksia, dapat diberikan koreksi dengan perhitungan
kekurangan basa sebanyak -5mEq.
Bronkiolitis
- Prognosis
Sebagian besar kasus bronkiolitis akan sembuh sendiri dalam 7-
10 hari. Rawat inap dibutuhkan pada 2% dari keseluruhan
kasus, sebagian besar pada anak berusia
- Komplikasi
Acute respiratory distress syndrome (ARDS), pneumotoraks,
penyakit paru kronis. Beberapa studi menunjukkan bahwa
bronkiolitis akut berat pada bayi ' berhubungan dengan
terjadinya asma pada usia 3 tahun.
6. PERAN DOKTER KELUARGA
- Bio : Dapat mendiagnosis pasien dengan tepat dan memberi
tatalaksana tepat pada pasien.
- Psiko : Dapat menangani kekhawatiran keluarga pasien denga
memberi tatalaksana yang tepat pasien.
- Sosial : Pasien harus diawasi dan dijauhkan dari pajanan allergen agar
tidak terjadi mengi berulang.
7. AIK
Q.S Ar-Ra’d, ayat 11 sebagai berikut:
َّن هللاَ ال يُ َغيِّ ُر َما بِقَوْ ٍم َحتَّى يُ َغيِّرُوا َما بِأ َ ْنفُ ِس ِه ْم
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi
Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.
3. Junawanto I, Goutama IL, Syivani. Diagnosis dan Penanganan
Terkini Bronkiolitis pada Anak. CDK. 2016; 43(6):
4. Subanada IB, Setyanto DB, Supriyanto B, Boediman I. Faktor-
Faktor yang Berhubungan dengan Bronkiolitis Akut. Sari Pediatri.
April 2009; 10(6):
5. Tanto C. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculaplus; 2014
6. Sidhartani M. Bronkiolitis. Dalam : Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2008: 333-347
7. Siregar SP. Faktor atopi dan asma bronkial pada anak. Sari
Pediatri.2000;2:23-28.
8. IDI. Panduan praktik Klinis bagi dokter di Fasilitas Pelayanan
Primer. Edisi 1 cetakan 2. 2017
9. Mansbach JM. Respiratory viruses in bronchiolitis and their link to
recurrent wheezing and asthma. Clin Lab Med. 2009