Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Prematur
1. Pengertian
Menurut WHO, bayi prematur adalah bayi lahir hidup sebelum usia
kehamilan minggu ke -37. The american academy of pediatric, mengambil
batasan 38 minggu untuk menyebut prematur. Bayi prematur atau bayi pre-
term adalah bayi yang berumur kehamilan 37 minggu tanpa
memperhatikan berat badan namun sebagian besar bayi lahir dengan berat
badan kurang dari 2500 gram adalah bayi prematur.
2. Faktor Predisposisi
a. Faktor Maternal
Toksenia, hipertensi, malnutrisi / penyakit kronik, misalnya
diabetes mellitus kelahiran premature ini berkaitan dengan adanya
kondisi dimana uterus tidak mampu untuk menahan fetus, misalnya
pada pemisahan premature, pelepasan plasenta dan infark dari plasenta
b. Faktor Fetal
Kelainan Kromosomal (misalnya trisomi antosomal), fetus multi
ganda, cidera radiasi.
3. Patofisiologi
Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan
yang belum cukup bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan
dismaturitas. Artinya bayi lahir cukup bulan (usia kehamilan 38 minggu),
tapi berat badan (BB) lahirnya lebih kecil ketimbang masa kehamilannya,
yaitu tidak mencapai 2.500 gram. Biasanya hal ini terjadi karena adanya
gangguan pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan yang disebabkan
oleh penyakit ibu seperti adanya kelainan plasenta, infeksi, hipertensi dan
keadaan-keadaan lain yang menyebabkan suplai makanan ke bayi jadi
berkurang.
Gizi yang baik diperlukan seorang ibu hamil agar pertumbuhan
janin tidak mengalami hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan bayi
dengan berat normal. Dengan kondisi kesehatan yang baik, system
reproduksi normal, tidak menderita sakit, dan tidak ada gangguan gizi pada
masa pra hamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi lebih besar
dan lebih sehat daripada ibu dengan kondisi kehamilan yang sebaliknya.
Ibu dengan kondisi kurang gizi kronis pada masa hamil sering melahirkan
bayi BBLR, vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi, terlebih lagi
bila ibu menderita anemia.
4. Data Fokus
a. Data Fokus Subjektif
1) Usia ibu
2) Penyakit dalam kehamilan
3) Paritas
4) Riwayat partus prematurus
5) Ketuban Pecah Dini
6) Perdarahan antepartum
7) Gemelli
b. Data Fokus Objektif
1) Pemeriksaan antropometri
2) Palpasi leopold
5. Diagnosa
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman
persalinan preterm. Tidak jarang kontraksi yang timbul pada kehamilan
tidak benar-benar merupakan ancaman proses persalinan. Beberapa kriteria
dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm, yaitu:
a. Kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3
kali dalam waktu 10 menit
b. Adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)
c. Perdarahan bercak
d. Perasaan menekan daerah serviks
e. Pemeriksaan serviks menunjukan telah terjadi pembukaan sedikitnya 2
cm, dan penipisan 50-80%
f. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina ischiadika
g. Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya
persalinan preterm
h. Terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu
6. Penatalaksanaan
Untuk menanggani bayi premature yang hipotermi, maka bayi bisa
dirawat di incubator. Agar bayi bisa mempertahankan suhu pada 370C
maka incubator diatur pada suhu 350 C dengan berat badan < 2 kg dan
untuk bayi dengan berat badan 2–2,5 kg adalah 340 C. (Sarwono, 2007).
Cara lain yang lebih mudah adalah dengan Metode Kanguru. Metode
Kanguru adalah sebuah metode perawatan bayi yang baru lahir dengan cara
meletakan bayi di dada ibu (skin to skin) untuk menyalurkan kehangatan
pada bayi. Tujuannya kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayi dapat
menurunkan hilangnya panas melalui konduksi dan radiasi serta bertujuan
untuk mempertahankan neutral thermal environment/NTE, yaitu kisaran
suhu lingkungan sehingga bayi dapat mempertahankan suhu tubuhnya tetap
normal dengan metabolisme basal minimum dan kebutuhan oksigen
terkecil. Metoda ini dapat juga dilakukan untuk bayi sehat. Sehingga
dengan kontak langsung kulit ibu bayi ini kebutuhan dasar dari bayi berupa
kehangatan, ASI, kasih sayang dan perlindungan bisa dipenuhi.

B. BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah)


a. Pengertian
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat
kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi (berat lahir adalah
berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir).BBLR sampai saat ini
masih merupakan masalah di Indonesia, karena merupakan penyebab
kesakitan dan kematian pada masa neonatal. Menurut SKRT 2001, 29%
kematian neonatal karena BBLR. Masalah yang sering timbul sebagai
penyulit BBLR adalah hipotermia, hipoglikemia, hiperbilirubin, infeksi
atau sepsis dan gangguan minum.
b. Faktor predisposisi
a. Faktor ibu :
1) Penyakit
Mengalami komplikasi kehamilan, seperti : anemia sel berat,
perdarahan antepartum, hipertensi, preeclampsia berat, eklampsia,
infeksi selama kehamilan (infeksi kandung kemih dan ginjal),
Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual,
HIV/AIDS, malaria, TORCH.
2) Usia ibu
Kejadian prematuritas tertinggi adalah kehamilan pada usia <
20 tahun atau lebih dari 35 tahun, Kehamilan ganda ( multi
gravida), Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek ( kurang
dari 1 tahun), Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya
3) Ibu perokok
4) Ibu peminum alcohol
5) Ibu pecandu obat narkotik
6) Penggunaan obat antimetabolik.
7) Keadaan sosial ekonomi
a) Kejadian tertinggi terdapat pada golongan social ekonomi
rendah
b) Mengerjakan aktivitas fisik beberapa jam tanpa istirahat
c) Keadaan gizi yang kurang baik
d) Pengawasan antenatal yang kurang
e) Kejadian prematuritass pada bayi yang lahir dari perkawinan
yangtidak sah, yang ternyata lebih tinggi bila dibandingkan
dengan bayi yang lahir dari perkawinan yang sah.
b. Faktor janin
1) Kelainan kromosom (trisomy autosomal)
Trisomi Autosom : bila kromosom yang ada 3 adalah
autosom. Syndroma Down atau trisomi 21, dengan kromosom
nomor 21 ditemukan 3 buah. Selanjutnya dikenal juga trisomi 18
atau Syndroma Edward dan trisomi 13 atau Syndroma Patau.
Dikatakan bahwa kelebihan trisomi ada hubungannya dengan usia
ibu yang meningkat. Terutama pada trisomi 21, insidennya 1 dari
2000 kelahiran dari ibu kurang dari 25 tahun, tetapi insidennya
menjadi 1 dari 100 kelebihan pada ibu dengan umur lebih dari 40
tahun.
Trisomi kromosom seks : bila terjadi tidak memperlihatkan
kelainan fisik yang karakteristik pada waktu bayi atau anak-anak,
tetapi baru diketahui setelah dewasa. Pada kelainan XXX (wanita)
atau XXY (pria) dapat dibedakan berdasarkan pemeriksaan
kromatin seks lengkap, yaitu kromatin X dan kromatin Y.
2) Infeksi janin kronik (inklusi situmegali, rubella bawaan)
3) Disautonomia familial
4) Radiasi
5) Kehamilan ganda/ kembar (gamely)
6) Aplasia pancreas

c. Faktor plasenta
1) Berat plasenta berukuran atau berongga atau keduanya
(hidramnion)
2) Luas permukaan berkurang
3) Plasentitis vilus ( bakteri, virus dan parasite)
4) Infark
5) Tumor (korioangioma, mola hidatidosa)
6) Plasenta yang lepas
7) Sindrom plasenta yang lepas
8) Sindrom transfusi bayi kembar (sindrom parabiotik)

d. Faktor lingkungan
1) Bertempat tinggal di dataran tinggi
2) Terkena radiasi
3) Terpapar zat beracun
c. Patofisiologis
Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan
yang belum cukup bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan
dismaturitas. Artinya bayi lahir cukup bulan (usia kehamilan 38 minggu),
tapi berat badan (BB) lahirnya lebih kecil ketimbang masa kehamilannya,
yaitu tidak mencapai 2.500 gram. Biasanya hal ini terjadi karena adanya
gangguan pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan yang disebabkan
oleh penyakit ibu seperti adanya kelainan plasenta, infeksi, hipertensi dan
keadaan-keadaan lain yang menyebabkan suplai makanan ke bayi jadi
berkurang.
Gizi yang baik diperlukan seorang ibu hamil agar pertumbuhan janin
tidak mengalami hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan bayi dengan
berat normal. Dengan kondisi kesehatan yang baik, system reproduksi
normal, tidak menderita sakit, dan tidak ada gangguan gizi pada masa pra
hamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi lebih besar dan lebih
sehat daripada ibu dengan kondisi kehamilan yang sebaliknya. Ibu dengan
kondisi kurang gizi kronis pada masa hamil sering melahirkan bayi BBLR,
vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi, terlebih lagi bila ibu
menderita anemia.
Anemia dapat didefinisikan sebagai kondisi dengan kadar Hb berada
di bawah normal. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu gangguan
yang paling sering terjadi selama kehamilan. Ibu hamil umumnya
mengalami deplesi besi sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin
yang dibutuhkan untuk metabolisme besi yang normal. Selanjutnya mereka
akan menjadi anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun sampai di
bawah 11 gr/dl selama trimester III. Kekurangan zat besi dapat
menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik sel
tubuh maupun sel otak. Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin
didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, anemia pada bayi yang
dilahirkan, hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan
kematian perinatal secara bermakna lebih tinggi. Pada ibu hamil yang
menderita anemia berat dapat meningkatkan resiko morbiditas maupun
mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur
juga lebih besar.

d. Data fokus
a. Data fokus subjektif
1) Umur ibu
2) Riwayat persalinan sebelumnya
3) Jumlah paritas, jarak kelahiran sebelumnya
4) Kenaikan berat badan ibu selama hamil
5) Aktivitas ibu yang berlebihan
6) Trauma pada ibu (termasuk post coitus trauma)
7) Penyakit yang diderita selama hamil
8) Obat-obatan yang diminum selama hamil
b. Data fokus objektif
1) Berat lahir kurang dari 2500 gram
2) Untuk BBLR kurang bulan:
Tulang rawan telinga belum terbentuk, Masih terdapat nalugo
(rambut halus pada kulit), Refleks masih lemah, Alat kelamin
luar : pada perempuan labium mayu belum menutup labium
minus, pada laki-laki belum terjadi penurunan testis dan kulit
testis rata (rugae testis belum terbentuk).
3) Untuk BBLR kecil untuk masa kehamilan :
Tidak dijumpai tanda prematuritas, Kulit keriput, Kuku lebih
panjang.
e. Diagnosa
Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk
menegakkan mencari etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya BBLR :
a. Umur ibu
b. Riwayat hari pertama haid terakir
c. Riwayat persalinan sebelumnya
d. Paritas, jarak kelahiran sebelumnya
e. Kenaikan berat badan selama hamil, Aktivitas
f. Penyakit yang diderita selama hamil
g. Obat-obatan yang diminum selama hamil

Yang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara
lain :
a. Berat badan
b. Tanda-tanda prematuritas (pada bayi kurang bulan)
c. Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa
kehamilan).

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :


a. Pemeriksaan skor ballard
b. Tes kocok (shake test), dianjur untuk bayi kurang bulan
c. Darah rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia fasilitas diperiksa
kadar elektrolit dan analisa gas darah.
d. Foto dada ataupun babygram diperlukan pada bayi baru lahir dengan
umur kehamilan kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau
didapat/diperkirakan akan terjadi sindrom gawat nafas.
f. Penatalaksanaan
a. Manajemen umum, setiap menemukan BBLR, lakukan manajemen
umum sebagai berikut :
1) Stabilisasi suhu, jaga bayi tetap hangat
2) Jaga jalan napas tetap bersih dan terbuka
3) Nilai segera kondisi bayi tentang tanda vital, pernapasan, denyut
jantung, warna kulit dan aktifitas
4) Bila bayi mengalami gangguan napas, dikelola gangguan
5) napas
6) Bila bayi kejang, hentingan kejang dengan antikonvulsanBila bayi
dehidrasi, pasang jalur intravena, berikan cairan rehidrasi IV
7) Kelola sesuai dengan kondisi spesifik atau komplikasinya
b. Pemberian minum
Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang
cukup dengan cara apapun :
1) Periksa apakah bayi puas setelah menyusu
2) Catat jumlah urin setiap bayi buang air kecil untuk menilai
kecukupan minum (paling kurang 6 kali sehari)
3) Periksa pada saat ibu meneteki, apabila satu payudara dihisap, ASI
akan menetes dari payudara yang lain
4) Timbang bayi setiap hari, hitung penambahan/pengurangan berat,
sesuaikan pemberian cairan dan susu, serta catat hasilnya
5) Bayi dengan berat 1500-2500 gram tidak boleh kehilangan berat
badan lebih 10% dari berat badan lahirnya pada 4-5 hari pertama
6) Apabila kenaikan berat badan bayi tidak adekuat, tangani sebagai
masalah kenaikan berat badan tidak adekuat.
7) Apabila bayi telah menyusu ibu, perhatikan cara pemberian ASI
dan kemampuan bayi mengisap paling kurang sehari sekali
8) Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya
naik 20 gram/hari selama 3 hari berturut-turut, timbang bayi 2 kali
seminggu.

C. Hipoglikemia
1. Pengertian
Hipoglikemia ialah suatu penurunan abnormal kadar gula darah atau
kondisi ketidaknormalan kadar glukosa serum yang rendah. Keadaan ini
dapat didefinisikan sebagai kadar glukosa di bawah 40 mg/dL setelah
kelahiran berlaku untuk seluruh bayi baru lahir atau pembacaan strip
reagen oxidasi glukosa di bawah 45 mg/dL yang dikonfirmasi dengan uji
glukose darah.
Kondisi Hipoglikemi ini lebih berbahaya daripada Hiperglikemi
(kebalikan dari Hipo, kadar gula darahnya diatas normal). Saat
Hipoglikemi oksigen yang sampai ke otak bisa sangat kurang. Kekurangan
oksigen di otak, fatalnya, bisa menyebabkan “Koma”. Selain itu keadaan
minim oksigen ini kalau sering terjadi bisa menimbulkan menurunnya daya
ingat bahkan menjadi “Idiot”.
Hipoglikemia bisa disebabkan oleh: Pelepasan insulin yang berlebihan
oleh pankreas; Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang
diberikan kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar gula
darahnya; kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal.
Hipoglikemia adalah masalah serius pada bayi baru lahir, karena dapat
menimbulkan kejang yang berakibat terjadinya hipoksia otak. Bila tidak
dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan pada susunan saraf
pusat bahkan sampai kematian.
Dalam keadaan normal, tubuh mempertaankan kadar gula darah antara
70-110 mg/dL. Pada diabetes, kadar gula darah terlalu tinggi; pada
hipoglikemia, kadar gula darah terlalu rendah. Kadar gula darah yang
terlalu rendah memnyebabkan berbagai sistem organ tubuh mengalami
kelainan fungsi.
Otak merupakan organ yang sangat peka terhadap kadar gula darah
yang rendah karena glukosa merupakan sumber energi otak yang utama.
Otak memberikan respon terhadap kadar gula darah yang rendah dan
melalui sistem saraf, merangsang kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin
(adrenalin). Hal ini akan merangsang hati untuk melepaskan gula agar
kadarnya dalam darah tetap terjaga. Jika kadarnya menurun, maka akan
terjadi gangguan fungsi otak.

Kelompok Umur Glokuse <mg/dl  Darah Plasma/serum

Bayi/anak <40 mg/100 ml <45 mg/100 ml

Neonatus

* BBLR/KMK <20 mg/100 ml <25 mg/100 ml

* BCB

0 - 3 hr <30 mg/100 ml <35 mg/100 ml

3 hr <40 mg/100 ml <45 mg/100 ml

2. Etiologi
Hipoglikemia biasa terjadi jika seorang bayi pada saat dilahirkan
memiliki cadangan glukosa yang rendah (yang disimpan dalam bentuk
glikogen).
Penyebab lainnya adalah Prematuritas, Post-maturitas, dan Kelainan
fungsi plasenta (ari-ari) selama berada didalam kandungan.
Hipoglikemia juga bisa terjadi pada bayi yang memiliki kadar insulin
yang tinggi. Bayi yang ibunya menderita diabetes seringkali memiliki
kadar insulin yang tinggi karena ibunya memiliki kadar gula darah yang
tinggi, sejumlah besar darah gula ini melewati plasenta dan sampai ke janin
selama masa kehamilan. Akibatnya, janin menghasilkan sejumlah besar
insulin.
Peningkatan kadar insulin juga ditemukan pada bayi yang menderita
penyakit hemolitik berat.
Kadar Insulin yan tinggi menyebabkan kadar gula darah menurun
dengan cepat pada jam-jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan ,
dimana aliran gula dari plasenta secara tiba-tiba terhenti.
Hipoglikemia dapat disebabkan oleh berbagai kelainan mekanisme
kontrol pada metabolisme glukose, antara lain : inborn erors of
metabolism, perubahan keseimbangan endokrin dan pengaruh obat-obatan
maupun toksin

3. Patofisiologi
a. Hipoglikemi sering terjadi pada  BBLR, karena cadangan glukosa
rendah.
b. Pada ibu DM terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin
sehingga respon insulin juga meningkat pada janin. Saat lahir di mana
jalur plasenta terputus maka transfer glukosa berhenti sedangkan
respon insulin masih tinggi (transient hiperinsulinism) sehingga terjadi
hipoglikemi.
c. Hipoglikemi adalah masalah serius pada bayi baru lahir, karena dapat
menimbulkan kejang yang berakibat terjadinya hipoksi otak. Bila tidak
dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan pada susunan saraf
pusat bahkan sampai kematian. 
d. Kejadian hipoglikemi lebih sering didapat pada bayi dari ibu dengan
diabetes melitus.
e. Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan
hidup selama proses persalinan dan hari-hari pertama pasca lahir.
f. Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada
karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya  pada
asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan.

4. Diagnosa
Anamnesis :
a. Riwayat bayi  menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan
pernapasan
b. Riwayat bayi premature
c. Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
d. Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
e. Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
f. Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
g. Bayi yang beresiko terkena hipoglikemia
1) Bayi dari ibu diabetes (IDM)
2) Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA)
3) Bayi yang kecil untuk masa kehamilan (SGA)
4) Bayi prematur dan lewat bulan
5) Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)
6) Bayi puasa
7) Bayi dengan polisitemia
8) Bayi dengan eritroblastosis
9) Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-
simpatomimetik dan beta blocker.

5. Diagnosa Banding
Insufisiensi adrenal, kelainan jantung, gagal ginjal, penyakit SSP,
sepsis, asfiksia, abnormalitas metabolik (hipokalsemia, hiponatremia,
hipernatremia, hipomagnesemia, defisiensi piridoksin).
6. Gejala Klinis
Gejala hipoglikemia jarang terjadi sebelum kadar gula darah mencapai
50mg/dL.
Gejala nya antara lain:
a. Jitteriness
b. Sianosis
c. Kejang atau tremor
d. Letargi dan menyusui yang buruk
e. Apnea
f. Tangisan yang lemah atau bernada tinggi
g. Hipotermia
h. RDS

7. Penatalaksanaan bagi Bayi


1) Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu
dimonitor dalam 3 hari pertama :
a) Periksa kadar glukosa saat bayi datang/umur 3 jam
b) Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa
normal dalam 2 kali pemeriksaan
c) Kadar glukosa ≤  45 mg/dl atau gejala positif tangani hipoglikemia
d) Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari
penanganan hipoglikemia selesai

2) Penanganan hipoglikemia dengan gejala :


a) Bolus glukosa 10% 2 ml/kg pelan-pelan dengan kecepatan 1
ml/menit
b) Pasang jalur iv D10 sesuai kebutuhan (kebutuhan infus glukosa 6-8
mg/kg/menit).
Contoh : BB 3 kg, kebutuhan glukosa 3 kg x 6 mg/kg/mnt = 18
mg/mnt = 25920 mg/hari. Bila dipakai D 10% artinya 10 g/100cc,
bila perlu 25920 mg/hari atau 25,9 g/hari berarti perlu 25,9 g/ 10 g x
100 cc= 259 cc D 10% /hari.
Atau cara lain dengan GIR
Konsentrasi glukosa tertinggi untuk infus perifer adalah 12,5%, bila
lebih dari 12,5% digunakan vena sentral.
Untuk mencari kecepatan Infus glukosa pada neonatus dinyatakan
dengan GIR.
Kecepatan Infus (GIR) = glucosa Infusion Rate

GIR (mg/kg/min) = Kecepatan cairan (cc/jam) x konsentrasi Dextrose (%)


                                                                6 x berat (Kg)

Contoh : Berat bayi 3 kg umur 1 hari


Kebutuhan 80 cc/jam/hari  = 80 x 3 = 240 cc/hari  = 10 cc/jam

GIR = 10 x 10 (Dextrose 10%) = 100 = 6 mg/kg/min


6 x 3                            18

a. Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap 3 jam
b. Bila kadar glukosa masih < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala,
ulangi seperti diatas
c. Bila kadar 25-45 mg/dl, tanpa gejala klinis :
1. Infus D10 diteruskan
2. Periksa kadar glukosa tiap 3 jam
3. ASI diberikan bila bayi dapat minum
d. Bila kadar glukosa ≥ 45 mg/dl dalam 2 kali pemeriksaan
1. Ikuti petunjuk bila kadar glukosa sudah normal
2. ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah infus
diturunkan pelan-pelan
3. Jangan menghentikan infus secara tiba-tiba
3) Kadar  glukosa darah < 45 mg/dl tanpa gejala :
a) ASI teruskan
b) Pantau, bila ada gejala manajemen seperti diatas
c) Periksa kadar glukosa tiap 3 jam/ sebelum minum, bila :
(1) Kadar < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala tangani
hipoglikemi
(2) Kadar 25-45 mg/dl naikkan frekwensi minum
(3) Kadar ≥ 45 mg/dl manajemen sebagai kadar glukosa normal
4) Kadar glukosa normal
a) IV teruskan
b) Periksa kadar glukosa tiap 12 jam
c) Bila kadar glukosa turun, atasi seperti diatas
d) Bila bayi sudah tidak mendapat IV, periksa kadar glukosa tiap 12
jam, bila 2 kali pemeriksaan dalam batas normal, pengukuran
dihentikan.
5) Persisten hipoglikemia (hipoglikemia lebih dari 7 hari)
a. Konsultasi endokrin
b. Terapi : kortikosteroid  hidrokortison 5 mg/kg/hari 2 x/hari iv atau
prednison 2 mg/kg/hari per oral, mencari kausa hipoglikemia lebih
dalam.
c. Bila masih hipoglikemia dapat ditambahkan obat lain :
somatostatin, glukagon, diazoxide, human growth hormon,
pembedahan. (jarang dilakukan
D. Asfiksia
1. Definisi
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia sebagai berikut:
a. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Asfiksia adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada
saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan
hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.
b. World Health Organization (WHO)
Asfiksia adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir.
c. America Academy of Pediatric (AAP)
d. Seorang neonatus bisa disebut asfiksia apabila memenuhi kondisi
sebagai berikut:
1) Adanya asidosis (pH <7) pada darah arteri umbilikalis
2) Nilai nilai APGAR setelah menit kelima tetap 0-3
3) Manifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik
iskemik enselopati)
4) Adanya gangguan sistem multiorgan, seperti gangguan
kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau
sistem renal (Prambudi, 2013).
Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang
dan enselopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang
mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki
risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai
pertimbangan utama (Lee, et.al, 2008).
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama
kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat
gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin,
akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada
masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian
besar asfiksia bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin,
karena itu penilaian janin selama masa kehamilan, persalinan memegang
peranan yang sangat penting untuk keselamatan bayi. Gangguan yang
timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai
anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus dan bayi
mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal pada saat lahir (Depkes
RI, 2008).
Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi, adalah :
a. Faktor ibu
Hipoksia ibu dapat menimbulkan hipoksia janin dengan
segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi kerena
hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia
dalam. Gangguan aliran darah uterus dapat mengurangi aliran
darah pada uterus yang menyebabkan berkurangnya aliran
oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering ditemukan pada
keadaan seperti gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni,
hipotoni, atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, hipotensi
mendadak pada ibu karna perdarahan, hipertensi pada penyakit
eklamsi dan lain-lain.
b. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan
kondisi plasenta. Asfiksi janin akan terjadi bila terdapat gangguan
mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan
plasenta, dan lain-lain.
c. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan gangguan aliran
darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat
pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini
dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit
leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-
lain.
d. Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada BBL dapat terjadi karena
pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu
secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan
janin, trauma yang terjadi pada persalinan mosalnya perdarahan
intra cranial, kelainan kongenital pada bayi masalnya hernia
diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernafasan, hipoplasia
paru dan lain-lain. (Depkes RI, 2008)

3. Patofisiologi
Kesulitan pada bayi di masa transisi terjadi karena bayi kekurangan
oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan
mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi
penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan.
Pada beberapa kasus, arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi
walaupun paru-paru sudah terisi dengan udara atau oksigen (Perinasia,
2006).
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol
pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah
ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan
pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong
kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian jika
kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi kegagalan fungsi
miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan
tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan
berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan
oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang
irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi
yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda
klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot
dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen;
bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada
otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen
pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang
kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu
(pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan
sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah (Perinasia,2006).
Bayi dapat berada pada fase antara apnu primer dan apnu dan
seringkali keadaan yang membahayakan ini dimulai sebelum atau selama
persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai berapa lama bayi telah
berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik tidak dapat
membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan
yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan
yang membahayakan itu (Perinasia, 2006). Jika bayi menunjukkan tanda
pernapasan segera setelah dirangsang, itu adalah apnu primer. Jika tidak
menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan apnu sekunder.
Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam keadaan apnu
sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai
pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir
sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi
yang sangat cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung (Perinasia,
2006).
Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat,
ternyata tidak memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka
keadaan yang membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan
tekanan darah, telah jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini,
pemberian kompresi dada dan obat-obatan mungkin diperlukan untuk
resusitasi (Perinasia, 2006).

4. Penanganan Asfiksia
a. Pengkajian klinis
Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal (2009) pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk
melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga hal penting,
yaitu :
1) Pernafasan
Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan
cermat. Lakukan auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan
abnormal, seperti pergerakan dada asimetris, nafas tersengal, atau
mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya adekuat (frekuensi
baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau
tidak sama sekali.
2) Denyut jantung
Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks
atau merasakan denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100
atau <100 kali per menit. Angka ini merupakan titik batas yang
mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang signifikan.
3) Warna
Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah
muda. Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal
pada beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin
mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi
berwarna merah muda, biru, atau pucat. Ketiga observasi tersebut
dikenal dengan komponen skor apgar. Dua komponen lainnya
adalah tonus dan respons terhadap rangsangan menggambarkan
depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia kecuali
jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak berhubungan.
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5
menit sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai
segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi
berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi,
maka penilaian ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus
dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu hasil
penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan akan
membahayakan terutama pada bayi yang mengalami depresi berat
(Saifuddin, 2009).
Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan
keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam
upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya
resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit.
Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih
diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua
kali penilaian menunjukkan nilai 8 dan lebih (Saifuddin, 2009).

Skor Apgar dapat dilihat pada Tabel berikut


0 1 2
Appereance Biru/ pucat Tubuh Tubuh dan
( Warna Kulit) kemerahan, ekstremitas
ektremitas biru kemerahan
Pulse Tidak ada < 100x/menit >100x/menit
(Denyut nadi)
Grimance Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
(Reflek)
Activity Tidak ada Fleksi lemah Aktif
(Tonus otot)
Respiration Tidak ada Lemah merintih Tangisan kuat
(Usaha nafas)

b. Penegakkan Diagnosis
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap
terjadinya asfiksia neonatorum.
2) Pemeriksaan fisik
a) Bayi tidak bernafas atau menangis
b) Denyut jantung kurang dari 100x/menit Tonus otot menurun
c) Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium,
atau sisa mekonium pada tubuh bayi
d) BBLR
(1) Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat
menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat:
(a) PaO2 < 50 mm H2O
(b) PaCO2 > 55 mm H2
(c) pH < 7,30
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan
resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang diarahkan pada
kecurigaan atas komplikasi, berupa darah perifer lengkap
, analisis gas darah sesudah lahir, gula darah sewaktu,
elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium), ureum
kreatinin, laktat, pemeriksaan radiologi/foto dada,
pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi,
pemeriksaan USG Kepala, pemeriksaan EEG, CT scan
kepala (Depkes RI, 2008).
c. Penatalaksanaan
Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi
dalam mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun
sejumlah kecil membutuhkan berbagai derajat resusitasi.
1) Persiapan resusitasi
a) Satu tenaga terampil terlatih untuk resusitasi, yang dapat
melakukan resusitasi secara lengkap
b) Tenaga tambahan
c) Peralatan resusitasi yang memadai
d) Tindakan pencegahan infeksi (Prambudi, 2013)
2) Peralatan/bahan yang disiapkan
Perlengkapan penghisapan :
a) Bulb Syringe / balon penghisap
b) Alat penghisap lendir
c) Kateter penghisap, ukuran 5, 6, 8, 10, 12, 14 Fr
d) Penghisap mekanik, tabung, dan selangnya
e) Penghisap mekonium/konektor
Perlengkapan ventilasi balon dan sungkup :
a) Balon resusitasi neonatus dengan katup pelepas tekanan
b) Reservoar oksigen untuk memberikan O2 90-100%
c) Sungkup wajah dengan bantalan pinggir, ukuran untuk
neonatus cukup bulan dan prematur
d) Oksigen dengan prematur aliran (flowmeter) dan pipa
oksigen
Peralatan intubasi :
a) Laringoskop dengan daun lurus, No. O (prematur) dan
No. 1 (neonatus cukup bulan)
b) Lampu dan baterai cadangan untuk laringoskop
c) Pipa ET 2,5; 3; 3,5; 4 mm
d) Stilet
Obat-obatan/bahan
a) Epinefrin 1:10.000
b) Obat pengembang volume/plasma expander, satu/lebih
dari:
(1) Salin normal
(2) Larutan ringer laktat
(3) Darah utuh (whole blood) golongan darah O negatif
c) Natrium bikarbonat 4,2%
d) Dekstrosa 10%
e) Nalokson
f) Aqua steril
g) Kateter umbilikal/pengganti kateter umbilikal
(Prambudi, 2013)

3) Resusitasi neonatus
Secara garis besar pelaksanaan resusitasi adalah sebagai berikut:
a) Langkah Awal Resusitasi
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan
menjawab 3 pertanyaan:
(1) apakah bayi cukup bulan?
(2) apakah bayi bernapas atau menangis?
(3) apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung
dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin dan tidak
dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di
dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering
untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari
salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu
atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara
berurutan:
b) Langkah awal dalam stabilisasi
1) Memberikan kehangatan
2) Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan
kepalanya
3) Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
4) Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan
meletakkan pada posisi yang benar
c) Ventilasi tekanan positif
1) Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar.
2) Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan
ventilasi) dan tekanan ventilasi harus sesuai.
3) Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit.
4) Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut.
Nafas pertama setelah lahir, membutuhkan: 30-40 cm
H2O. Setelah nafas pertama, membutuhkan: 15-20 cm
H2O. Bayi dengan kondisi atau penyakit paru-paru yang
berakibat turunnya compliance, membutuhkan: 20-40
cm H2O. Tekanan ventilasi hanya dapat diatur apabila
digunakan balon yang mempunyai pengukuran tekanan.
5) Observasi gerak dada bayi: adanya gerakan dada bayi
turun naik merupakan bukti bahwa sungkup terpasang
dengan baik dan paru-paru mengembang. Bayi seperti
menarik nafas dangkal. Apabila dada bergerak
maksimum, bayi seperti menarik nafas panjang,
menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang
berarti tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat
menyebabkan pneumothoraks.
6) Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat
dipakai sebagai pedoman ventilasi yang efektif. Gerak
paru mungkin disebabkan masuknya udara ke dalam
lambung.
7) Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar
dengan menggunakan stetoskop. Adanya suara nafas di
kedua paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi
mendapat ventilasi yang benar.
8) Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada
terlalu berkembang, kurangi tekanan dengan
mengurangi meremas balon. Apabila dada kurang
berkembang, mungkin disebabkan oleh salah satu
penyebab berikut: perlekatan sungkup kurang
sempurna, arus udara terhambat, dan tidak cukup
tekanan. Apabila dengan tahapan diatas dada bayi masih
tetap kurang berkembang sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakea dan ventilasi pipa-balon (Saifuddin, 2009).
d) Kompresi dada
1) Teknik kompresi dada ada 2 cara:
(a) Teknik ibu jari (lebih dipilih)
(1) Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari
tangan melingkari dada dan menopang
punggung
(2) Lebih baik dalam megontrol kedalaman dan
tekanan konsisten
(3) Lebih unggul dalam menaikan puncak
sistolik dan tekanan perfusi coroner
2) Teknik dua jari
(1) Ujung jari tengah dan telunjuk/jari manis dari 1
tangan menekan sternum, tangan lainnya
menopang punggung
(2) Tidak tergantung
(3) Lebih mudah untuk pemberian obat
(4) Kedalaman dan tekanan
(5) Kedalaman ±1/3 diameter anteroposterior dada
(6) Lama penekanan lebih pendek dari lama
pelepasan curah jantung maksimum
e) Koordinasi VTP dan kompresi dada
1 siklus : 3 kompresi + 1 ventilasi (3:1) dalam 2 detik
Frekuensi: 90 kompresi + 30 ventilasi dalam 1 menit (berarti
120 kegiatan per menit)
Untuk memastikan frekuensi kompresi dada dan
ventilasi yang tepat, pelaku kompresi mengucapkan “satu –
dua – tiga - pompa-…” (Prambudi, 2013).
Ikterus
1. Pengertian
Ikterus adalah keadaan transisional normal yang mempengaruhi hingga 50% bayi
aterm yang mengalami peningkatan progresif pada kadar bilirubin tak terkongjugasi
dan ikterus pada hari ketiga (Myles, 2009). Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata
Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera
mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena
pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Bilirubin
merupakan produk utama pemecahan sel darah merah oleh sistem retikuloendotelial.
Kadar bilirubin serum normal pada bayi baru lahir < 2 mg/dl. Pada konsentrasi > 5
mg/dl bilirubin maka akan tampak secara klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit
dan membran mukosa yang disebut ikterus. Ikterus akan ditemukan dalam minggu
pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada
50% bayi cukup bulan (aterm) dan 75% bayi kurang bulan (preterm). (Winkjosastro,
2007)

2. Klasifikasi ikterus
Ikterus fisiologis adalah :
a. Ikterus yang timbul pada hari kedua atau ketiga lalu menghilang setelah sepuluh
hari atau pada akhir minggu kedua.
b. Tidak mempunyai dasar patologis
c. Kadarnya tidak melampaui kadar yang membahayakan
d. Tidak mempunyai potensi menjadi kern-ikterus
e. Tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi
f. Sering dijumpai pada bayi dengan berat badan lahir rendah.
Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis apabila sesudah pengamatan dan pemeriksaan
selanjutnya tidah menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi
berkembang menjadi kern-icterus. Kern-icterus (ensefalopati biliaris) ialah suatu
kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak.(Sarwono, 2008)
Ikterus patologis
Adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi
dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown
menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup
bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg
%. (Sarwono, 2002).
a. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama
b. Ikterus dengan kadar bilirubin > 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan atau > 10
mg% pada neonatus kurang bulan.
c. Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin > 5 mg% per hari.
d. Ikterus pada BBLR yang terjadi hari ke 2-7
e. Ikterus pada BBLR dengan pewarnaan kuning melebihi/melewati daerah muka
f. Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah :
 Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama setelah lahir
 Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg % atau lebih setiap 24 jam
 Ikterus yang disertai : a. Berat lahir kurang dari 2000 gram
b. Masa gestasi kurang dari 36 minggu
c. Asfiksia,hipoksia,dan sindroma gawat nafas pada neonatus
d. Infeksi
e. Trauma lahir pada kepala
f. Hipoglikemia ,
g. Hiperosmolaritas darah
h. Proses hemolisis
i. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia kurang dari 8 hari atau 14 hari

3. Tanda Dan Gejala


Gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
1. Gejala akut :
gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi,
tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik :
tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi
yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis,
gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
Sedangkan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada
kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin
darah mencapai sekitar 40 µmol/l.
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu
dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
a. Dehidrasi, Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
b. Pucat, Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan
darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.
c. Trauma lahir, Bruising, sefalhematom (peradarahan kepala), perdarahan tertutup
lainnya.
d. Pletorik (penumpukan darah). Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh
keterlambatan memotong tali pusat.
e. Letargik dan gejala sepsis lainnya.
f. Petekiae (bintik merah di kulit). Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis
atau eritroblastosis.
g. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) Sering berkaitan dengan
anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
h. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
i. Omfalitis (peradangan umbilikus)
j. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
k. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
l. Feses dempul disertai urin warna coklat. Pikirkan ke arah ikterus obstruktif.
4. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena
a. Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur
lebih pendek.
b. Produksi bilirubin serum yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas
darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.
c. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibatasidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom
criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
d. Gangguan transportasi karena kurangnya albumin yang mengikatbilirubin.Bilirubin
dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
e. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan dalam liver (karena infeksi atau
kerusakan sel liver). Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab
lain.

6. Penegakan Diagnosis
a. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan
apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit
diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara
evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat
keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan
skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut. WHO
dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut:
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan
buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tekan kulit bayi
dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan
subkutan. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian
tubuh yang tampak kuning.

b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah
tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum
harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil). Beberapa senter menyarankan
pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2
minggu.
c. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja
dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan
panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan
representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat
yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai
menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh
pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining,
bukan untuk diagnosis.
9. Penatalaksanaan Ikterus
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir: Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama-
tama diperhatikan oleh
salah seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat
tersebut melihat bahwa bayi yang mendapatkan sinar matahari di
bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan
dengan bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut
mulai melakukan penelitian mengenai pengaruh sinar terhadap
hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa disamping sinar
matahari, sinar lampui tertentu juga mempunyai pengaruh dalam
menurunkan kadar bilirubin pada bayi prematur yang diselidikinya.
Terapi sinar tidak hanya bermanfaat untuk bayi kurang bulan tetapi
juga efektif terhadap hiperbilirubinemia oleh sebab lain. Pengobatan cara
ini menunjukkan efek samping yang minimal, dan belum pernah
dilaporkan efek jangka panjang yang berbahaya.
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar, yang perlu diperhatikan:
a. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas
mungkin dengan membuka pakaian bayi.
b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel
reproduksi bayi.
c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak
yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh
bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.
h. Pengawasan nutisi/ASI
Pemberian nutrisi harus dilakukan dengan cermat.

DERAJAT KRAMER

Anda mungkin juga menyukai