Anda di halaman 1dari 7

A.

Klasifikasi Bahan Toksik


1. Berdasarkan sumbernya, bahan toksik dapat diklasifikasikan sebagaiberikut:
a. Toksin tanaman
b. Toksin hewan
c. Toksin lingkungan (air, tanah,udara)
2. Berdasarkan senyawanya:
a. Logam berat
b. Senyawa organik
c. Racun gas
3. Berdasarkanpenggunaannya:
a. Obat-obatan
b. Pestisida
c. Pelarut organik
d. Logam berat
B. Toksisitas
Dalam bidang toksikologi sudah dikenal adanya Postulat Paracelcus: “All
substances ar epoisons; there isn one which is not a poison. The right dose
differentiates a poison from a remedy”," Semua zat adalah racun, tidak ada yang bukan
racun. Dosis yang tepat yang membedakan racun dariobat."
Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan diartikan
sebagai zat yang berpotensi memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi
tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis,
konsentrasi racun direseptor “tempatkerja”, sifat zat tersebut, kondisi bio organisme atau
sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan.
Sehingga apabila menggunakan istilah toksik atau toksisitas, maka perlu untuk
mengidentifikasi mekanisme biologi dimana efek berbahaya itu timbul.Sedangkan
toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya
menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu
organisme.
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan
bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang
informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme
biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia
tersebutberbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah
tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada
mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya
ituterjadi.
Pada umumnya efek berbahaya atau efek farmakologik timbul apabila terjadi
interaksi antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua
aspek yang harus diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan
organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik
atau toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik
atau toksokinetik) aspek ini akan lebih detail dibahas pada sub bahasan kerja toksik.
Telah dipostulatkan oleh Paracelcus, bahwa sifat toksik suatu tokson sangat
ditentukan oleh dosis (konsentrasi tokson pada reseptornya). Artinya kehadiran suatu zat
yang berpotensial toksik di dalam suatu organisme belum tentu menghasilkan juga
keracunan. Misal insektisida rumah tangga (DDT) dalam dosis tertentu tidak akan
menimbulkan efek yang berbahaya bagi manusia, namun pada dosis tersebut
memberikan efek yang mematikan bagi serangga. Hal ini disebabkan karena konsentrasi
tersebut berada jauh dibawah konsentrasi minimal efek pada manusia. Namun sebaliknya
apabila kita terpejan oleh DDT dalam waktu yang relatif lama, dimana telah diketahui
bahwa sifat DDT yang sangat sukar terurai dilingkungan dan sangat lipofil, akan terjadi
penyerapan DDT dari lingkungan ke dalam tubuh dalam waktu relatif lama. Karena sifat
fisiko kimia dari DDT, mengakibatkan DDT akan terakumulasi (tertimbun) dalam waktu
yang lama di jaringan lemak. Sehingga apabila batas konsentrasi toksiknya terlampaui,
barulah akan muncul efek toksik. Efek atau kerja toksik seperti ini lebih dikenal dengan
efek toksik yang bersifat kronis.
Toksin Clostridium botulinum, adalah salah satu contoh tokson, dimana dalam
konsentrasi yang sangat rendah (10-9 mg/kg berat badan), sudah dapat mengakibatkan
efek kematian. Berbeda dengan metanol, baru bekerja toksik pada dosis yang melebihi
10g. Pengobatan parasetamol yang direkomendasikan dalam satuperiode 24 jam adalah 4
g untuk orang dewasa dan 90 mg/kg untuk anak-anak. Namun pada penggunaan lebih
dari 7 g pada orang dewasa dan 150 mg/kg pada anak-anak akan menimbulkan efek
toksik. Dengan demikian, resiko keracunan tidak hanya tergantung pada sifat zatnya
sendiri, tetapi juga pada kemungkinan untuk berkontak dengannya dan pada jumlah yang
masuk dan diabsorpsi. Dengan lain kata tergantung dengan cara kerja, frekuensi kerja
dan waktu kerja. Antara kerja (atau mekanisme kerja) sesuatu obat dan sesuatu tokson
tidak terdapat perbedaan yang prinsipil, ia hanya relatif. Semua kerja dari suatu obat
yang tidak mempunyai sangkut paut dengan indikasi obat yang sebenarnya, dapat
dinyatakan sebagai kerjatoksik.
Kerja medriatik (pelebaran pupil), dari sudut pandangan ahli mata merupakan
efekterapiyangdinginkan,namunkerjahambatansekresi,dilihatsebagaikerjasamping yang
tidak diinginkan. Bila seorang ahli penyakit dalam menggunakan zat yang sama untuk
terapi, lazimnya keadaan ini manjadi terbalik. Pada seorang anak yang tanpa
menyadarinya telah memakan buah Atropa belladonna, maka mediaris maupun mulut
kering harus dilihat sebagai gejala keracuanan. Oleh sebab itu ungkapan kerja terapi
maupunkerjatoksik tidak pernah dinilai secara mutlak. Hanya tujuan penggunaan suatu
zat yang mempunyai kerja farmakologi dan dengan demikian sekaligus berpotensial
toksik, memungkinkan untuk membedakan apakah kerjanya sebagai obat atau sebagai
zat racun.
Tidak jarang dari hasil penelitian toksikologi, justru diperoleh senyawa obat baru.
Seperti penelitian racun (glikosida digitalis) dari tanaman Digitalis purpurea dan lanata,
yaitu diperoleh antikuagulan yang bekerja tidaklangsung, yang diturunkan dari zat racun
yang terdapat didalam semanggi yang busuk. Inhibitor asetilkolinesterase jenis ester
fosfat, pada mulanya dikembangkan sebagai zat kimia untuk perang, kemudian
digunakan sebagai insektisida dan kini juga dipakai untuk menangani glaukoma.

Toksisitas adalah pernyataan kemampuan racun menyebabkan timbulnya gejala


keracunan. Toksisitas ditetapkan di laboratorium, umumnya menggunakan hewan coba
dengan cara ingesti, pemaparan pada kulit, inhalasi, gavage, atau meletakkan bahan
dalam air, atau udara pada lingkungan hewan coba.
Toksisitas dapat dinyatakan dengan ukuran sebagai berikut:
a. LD50 yaitu jumlah (dosis) efektif senyawa kimia yang mampu menyebabkan kematian
50% populasi hewan coba yang terpapar dengan berbagai cara, dinyatakan dengan
satuan mg/kg berat badan. Semakin tinggi LD50, semakin rendah adalah toksisitas.

Tabel 1.1 Toksisitas menurut kategori LD50

Kategori LD50
Supertoksik < 5 mg/kg
Amat sangat toksik 5 – 50 mg/kg
Sangat toksik 50 – 500 mg/kg
Toksik sedang 0,5 – 5 g/kg
Toksik ringan 5 – 15 g/kg
Praktis tidak toksik > 15 g /kg

LC50 yaitu konsentrasi senyawa kimia dalam lingkungan (air dan udara) yang
menyebabkan kematian 50% populasi hewan coba dalam jangka waktu tertentu.
Dinyatakan dengan satuan mg/L ( part per million = ppm)
b. ED50 (dosis efektif) adalah dosis yang menyebabkan efek spesifik selain mematikan
pada 50% hewan.
c. Ambang dosis adalah tingkat dosis rendah ini dimana tidak ada efek yang dapat
diamati. Ambang batas diperkirakan ada untuk efek tertentu, seperti efek toksik akut;
tapi tidak untuk yang lain, seperti efek karsinogenik.
Toksisitas dapat dinyatakan dengan peristilahan sebagai berikut:
a. Karsinogen
Zat karsinogenik dikaitkan dengan penyebab atau peningkatan kanker pada manusia
dan hewan. Contoh: benzena, vinil klorida, formaldehid, dioksan, dan akrilamida.

b. Mutagen
Mutagen adalah zat yang mengubah informasi genetik suatu organisme, biasanya
dengan mengubah DNA. Mutagen biasanya juga karsinogen karena mutasi sering
menyebabkan kanker. Contoh mutagen termasuk etidium bromida, formaldehid,
dioksan, dan nikotin.
c. Teratogen
Teratogen adalah zat yang menyebabkan kerusakan pada janin atau embrio selama
kehamilan, yang menyebabkan cacat lahir sementara ibu tidak menunjukkan tanda
toksisitas. Teratogen umum meliputi etanol, senyawa merkuri, senyawa timbal, fenol,
karbon disulfida, toluena dan xilena.
Toksisitas juga dapat dinyatakan berdasarkan waktu hingga timbulnya gejala
keracunan (onset), yaitu:
a. Toksisitas akut, jika efek timbul segera atau paparan durasi pendek dalam hitungan
jamsampaiharisetelahterpaparbahantoksik. Efek akut dapat reversible atau tidak
dapat dipulihkan.
b. Toksisitas subakut, jika gejala keracunan timbul dalam jangka waktu setelah sedang
(minggu sampai bulan) setelah terpapar bahan toksik dalam dosis tunggal
c. Toksisitas kronis, jika akibat keracunan baru timbul setelah terpapar bahan toksik
secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang (dalam hitungan tahun)
atau bahkan dekade. Efek kronis terjadi setelah terpapar dalam waktu lama (bulan,
tahun, dekade) dan bertahan setelah paparan telahberhenti.

Selain istilah toksisitas, obat–obat narkotik adan psiko tropika, juga senyawaa
diktif dapat mengakibatkan ketagihan. Berkaitan dengan hal ini dikenal istilah toleransi,
habituasi danadiksi.
Pada orang-orang yang memulai penggunaan obat karena ada gangguan medis/
psikis sebelumnya, penyalahgunaan obat terutama untuk obat-obat psikotropika, dapat
berangkat dari terjadinya toleransi, dan akhirnya ketergantungan. Menurut konsep
neurobiologi, istilah ketergantungan (dependence) lebih mengacu kepada ketergantungan
fisik, sedangkan untuk ketergantungan secara psikis istilahnya adalah ketagihan
(addiction). Pada bagian ini akan dipaparkan secara singkat tentang toleransi obat.
Toleransi obat sendiri dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu : toleransi
farmakokinetik, toleransi farmakodinamik, dan toleransi yang dipelajari (learned
tolerance).
Toleransi farmakokinetika adalah perubahan distribusi atau metabolisme suatu obat
setelah pemberian berulang, yang membuat dosis obat yang diberikan menghasilkan kadar
dalam darah yang semakin berkurang dibandingkan dengan dosis yang sama pada
pemberian pertama kali. Mekanisme yang paling umum adalah peningkatan kecepatan
metabolisme obat tersebut. Contohnya adalah obat golongan barbiturat. Obat ini
menstimulasi produksi enzim sitokrom P450 yang memetabolisir obat, sehingga
metabolisme atau degradasinya sendiri ditingkatkan. Karenanya, seseorang akan
membutuhkan dosis obat yang semakin meningkat untuk mendapatkan kadar obat yang
sama dalam darah atau efek terapetik yang sama. Sebagai tambahan infromasi,
penggunaan barbiturate dengan obat lain juga akan meningkatkan metabolisme obat lain
yang digunakan bersama, sehingga membutuhkan dosis yang meningkat pula.

Toleransi farmakodinamika merujuk pada perubahan adaptif yang terjadi di dalam


system tubuh yang dipengaruhi oleh obat, sehingga respon tubuh terhadap obat berkurang
pada pemberian berulang. Hal ini misalnya terjadi pada penggunaan obat golongan
benzodiazepine, di mana reseptor obat dalam tubuh mengalami desensitisasi, sehingga
memerlukan dosis yang makin meningkat pada pemberian berulang untuk mencapai efek
terapetik yang sama.
Toleransi yang dipelajari (learned tolerance) artinya pengurangan efek obat dengan
mekanisme yang diperoleh karena adanya pengalaman terakhir.
Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapatmenyebabkan ketergantungan
fisik, dimana tubuh telah beradaptasi dengan adanya obat, dan akan menunjukkan gejala
putus obat (withdrawl symptom) jika penggunaan obat dihentikan. Ketergantungan obat
tidak selalu berkaitan dengan obat-oba tpsikotropika ,namun dapat juga terjadi pada obat-
obatnon-psikotropika, seperti obat-obat simpatomimetik dan golongan vasodilator nitrat.
Di sisi lain, adiksi atau ketagihan obat ditandai denganadanyadorongan, keinginan untuk
menggunakan obat walaupun tahu konsekuensi negatifnya. Obat-obat yang bersifat adiktif
umumnya menghasilkan perasaan euphoria yang kuat danr eward, yang membuat orang
ingin menggunakan dan menggunakan obat lagi. Adiksi obat lama kelamaan akan
membawa orang pada ketergantungan fisik juga.
Mekanisme terjadinya adiksi
Untuk menjelaskan tentang adiksi, perlu dipahami dulu istilah system reward pada
manusia. Manusia, umumnya akan suka mengulangi perilaku yang menghasilkan sesuatu
yang menyenangkan. Sesuatu yang menyebabkan rasa menyenangkan tadi dikatakan
memiliki efek reinforcement positif. Reward bisa berasal secara alami, seperti makanan,
air, sex, kasih sayang, yang membuat orang merasakan senang ketika makan, minum,
disayang, dll. Bisa jugaberasal dari obat-obatan. Pengaturan perasaan dan perilaku ini ada
pada jalur tertentu di otak, yang disebut reward pathway (Gambar1.2). Perilaku-perilaku
yang didorong oleh reward alami ini dibutuhkan oleh mahluk hidup
untuk survived (mempertahankan kehidupan).

Gambar 1.2 Jalur reward pada otak dan lokasi pengaruh obat
(Sumber: The Brain, from Top to Bottom)

Bagian penting dari reward pathway adalah bagian otak yang disebut : ventral
tegmental area (VTA), nucleus accumbens, dan prefrontal cortex. VTA terhubung
dengan nucleus accumbens dan prefrontal cortex melalui jalur reward ini yang akan mengirim
informasi melalui saraf. Saraf di VTA mengandung neurotransmitter dopamin,yang akan
dilepaskanmenujunucleusaccumbensdanprefrontalcortex. Jalur reward ini akan teraktivasi jika
ada stimulus yang memicu pelepasan dopamin, yang kemudian akan bekerja pada system
reward.
Obat-obat yang dikenal menyebabkan adiksi/ketagihan seperti kokain, misalnya,
bekerja menghambat re-uptake dopamin, sedangkan amfetamin, bekerja meningkatkan
pelepasandopamindarisarafdanmenghambatre-uptake-nya,sehinggamenyebabkankadar
dopamin meningkat.

Mekanisme adiksi obat-obat golongan opiat


Reseptor opiate terdapat sekitar reward pathway (VTA, nucleus accumbens dan
cortex), dan juga pada pain pathway (jalur nyeri) yang meliputi thalamus, brainstem, dan
spinal cord. Ketika seseorang menggunakan obat-obat golongan opiat seperti morfin, heroin,
kodein, dll, maka obat akan mengikat reseptornya di jalur reward, dan juga jalur nyeri. Pada
jalur nyeri, obat-obat opiat akan memberikan efek analgesia, sedangkan pada jalur reward
akan memberikan reinforcement positif (rasa senang, euphoria), yang menyebabkan orang
ingin menggunakan lagi. Hal ini karena ikatan obat opiate dengan reseptornya di nucleus
accumbens akan menyebabkan pelepasan dopamin yang terlibat dalam system reward.
International Classification Disease 10 (Revisi ke 10 dari Klasifikasi Penyakit dan
Masalah Kesehatan Internasional), yang dikembangkan oleh WHO mendefinisikan sindrom
ketergantungan sebagai sekelompok fenomena fisiologis, perilaku dan kognitif dimana
penggunaan zat atau kelompok zat memperoleh “rasa” yang jauh lebih tinggi pada seseorang
daripada yang diperoleh sebelumnya. ICD10 tidak mengacu pada obat-obatan atau obat-
obatan terlarang, tetapi untuk zat psikoaktif yang digunakan sendiri karena sifat penguatnya,
dan juga zat non-terapeutik yang digunakan (WHO).

Konsep saat ini tentang ketergantungan obat

Ketergantungan obat biasanya melibatkan hal-hal berikut:


a. Ketergantungan psikologis adalah gangguan kontrol psikologis terhadap penggunaan
narkoba; Ini adalah hasil interaksi satu set farmakologis (faktor pengkondisian potensial),
factor psikologis(factor pengkondisian primer) dan factor social (pengaruh kelompok atau
akseptabilitas social obat)
b. Ketergantunganfisik, termasuk dalam sindrom withdraw lpada gangguan konsumsi kronis,
dalam waktu lama atau pada pengurangan dosis.
c. Toleransi adalah menurunnya kepekaan terhadap zat setelah pemberian berulang;
diwujudkan dengan kebutuhan untuk meningkatkan dosis untuk mencapai efek yang sama

Penyalahgunaan obat dan ketergantungan


Psikotoksisitas adalah perubahan perilaku yang serius, tingkat psikotik, setelah
penggunaan dosis tinggi yang berkepanjangan (terlihat jelas pada penggunaan alkohol,
barbiturat, kokain, LSD, amfetamin).
Ketergantungan adalah kelainan otak pada orang akibat penggunaan yang kemudian
telah mengubah struktur dan fungsi otak. Ketergantungan diekspresikan dalam bentuk
perilaku kompulsif, namun perilaku ini sangat terkait dengan perubahan otak yang terjadi
seiring berjalannya waktu, dengan penggunaan narkoba berulangkali. Dalam beberapa tahun
terakhir, secara genetic ditemukan ada keterkaitan dengan predisposisi individu untuk kurang
atau lebih rentan terkena ketergantungan obat.
Ketergantungan obat sulit dikendalikan karena keinginan penggunaan obat yang
kompulsif, yang menyebabkan pengguna berusaha mendapatkan obat untuk penggunaan
berulang, bahkan meskipun harus menghadapi konsekuensi kesehatan dan sosial yang negatif.
Begitu tergantung, individu sering gagal dalam usahanya untuk berhenti.

Anda mungkin juga menyukai