Anda di halaman 1dari 307

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/301348375

Otonomi Khusus Papua

Book · January 2012

CITATION READS

1 20,280

2 authors, including:

Nugraha Nugraha
Universitas Pendidikan Indonesia
46 PUBLICATIONS   13 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Effective School Management View project

 Total Realization of Regional Income and the Implications on Regional Financial Performance in West Java Province 2013-2017 View project

All content following this page was uploaded by Nugraha Nugraha on 18 April 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Dr. Stepanus Malak, M.Si.

OTONOMI KHUSUS
PAPUA
OTONOMI KHUSUS PAPUA
Diterbitkan oleh
Ar-raafi
©
Dr. Stepanus Malak, M.Si.

Layout isi, Sona Purwana


Sampul, Sona Purwana

ISBN : 978-602-97725-7-9
Pengantar Penerbit

Papua mendapat perlakuan khusus dalam pemban-


gunan. Selain Papua, Nangro Aceh Darussalam, Di Yog-
yakarta dan DKI Jakarta memiliki kekhasan dalam pem-
bangunannya. Ada beberapa faktor kekhasan kedaerahan
sehingga beberapa daerah tersebut mendapat kekhususan.
Latar belakang budaya, sosial, ekonomi, serta politik men-
jadi landasan kekhususan tersebut.
Khusus untuk Papua, selain faktor kesejahteraan,
banyak pihak menempatkan kekhususan Papua lebih karena
faktor politik. Apapun alasan dari hadirnya kekhususan
itu, pertanyaaan utamanya, apakah setelah diterapkannya
otonomi khusus di Papua, sudah sejahterakah masyarakat
Papua? Meratakah pembangunan di Papua. Bukan semata
pembangunan fisik infrastruktur tetapi pembangunan
manusianya juga mesti dijadikan tolok ukur berhasil atau
tidaknya otonomi khusus.
Walaupun demikian terlalu sempit bila menilai
keberhasilan otonomi khusus ini bila dilihat dari beberapa
tahun ini saja. Lebih adil bila kita menilai keberhasilan
otonomi khusus terhadap akselerasi pembangunan di Papua
ini dengan melihat apa yang telah dilakukan dan apa yang
sedang serta akan dilakukan. Sehingga dari waktu ke waktu
terlihat progres pembangunan. Apakah lebih baik atau jalan
di tempat, atau bisa saja malah semakin jauh dari harapan.
Lebih bijak bila menempatkan otonomi khusus ini bukan
sebagai program top down dari pusat. Alangkah bijaknya
bila melibatkan masyarakat Papua secara keseluruhan
dalam penerapan otonomi khusus. Seperti yang dilakukan
di NAD, faktor budaya dan sosial memiliki porsi tersendiri

Otonomi Khusus Papua iii


dalam penerapan otonomi khusus ini. Sehingga partisipasi
masyarakat Papua bukan sekedar pelengkap tetapi akotr
utama pembangunan.
Inti dari otonomi khusus adalah kepercayaan pusat
terhadap daerah otonomi khusus untuk mengelola sumber
daya alam dan manusia yang diarahkan pada pembangunan
yang lebih adil dan merata. Buku ini mengulas bagaimana
penerapan otonomi khusus di Papua bukan dari sisi politik
semata tetapi lebih kepada penerapan kebijakan publik.
buku ini bermanfaat bukan hanya untuk para akademisi
tetapi juga para praktisi serta pemangku kepentingan
kebijakan publik. Selamat membaca.

Penerbit

iv Otonomi Khusus Papua


Daftar Isi

PENGANTAR PENERBIT ............................................. iii


DAFTAR ISI .................................................................... v

BAB I PEMBANGUNAN PAPUA DAN FAKTOR-


FAKTOR KRITIS: TINJAUAN SINGKAT .................... 1

1. 1. Pembangunan di dan untuk atau pembangunan


Papua? ..................................................................... 1
1. 2. Perbaikan Administrasi Publik untuk
Pembangunan Papua .............................................. 7
1.3. Ada Kemajuan, Tetapi juga Ada Kekurangan ...... 14
1.4. Catatan Kritis Pembangunan Papua .................... 19
1.5. Faktor dan Variabel Kritis Otsus ................... 26
1.6. Faktor Kepercayaan (Trust) ................................... 32
1.7. Kebijakan Penting, Implementasi Lebih Penting . 39

BAB II KONDISI UMUM IMPLEMENTASI OTSUS... 47


2.1. Kondisi Terkini Otsus: No point to the return ....... 47
2.2. ‘Jasmerah’ Otsus .................................................... 52
2.3. Konteks Lahirnya Otsus ........................................ 59
2.4. Dinamika Implementasi Otsus ............................. 66
2.5. Implementasi Otsus: ‘Mendayung Diantara
Banyak Karang’ ...................................................... 72
2.6. Evaluasi Implementasi Otsus ................................ 79

BAB III OTSUS: NACESSARY BUT NOT


SUFFICIENT .................................................................. 85
3.1. Papua: ‘Land of Paradise’ ....................................... 85
3.2. Fakta Lain Dari Keunikan Papua ......................... 90

Otonomi Khusus Papua v


3.3. Keunikan Papua dalam NKRI .............................. 97
3.4. Otsus Dalam Sistem Desentralisasi Asimetris ..... 103
3.5. Penting, Tapi Tidak Luar Biasa ........................... 109
3.6. Pokok-pokok Otsus ................................................. 114

BAB IV GEOPOLITIK DAN INDIKATOR KUNCI ..... 121


4.1. Geopolitik Papua: At All Cost ................................ 121
4.2. Konteks Umum Papua ........................................... 128
4.3. IPM : Penting Tapi Bukan Satu satunya .............. 134
4.4. Indikator Kemiskinan ............................................ 139
4.5. Indikator Pendidikan ............................................... 145
4.6. Indikator Kesehatan .............................................. 151
4.7. Indikator Otsus: Kasus Sorong Raya .................... 157

BAB V AKTOR DAN FAKTOR IMPLEMENTASI ...... 175


5.1. Kondisi Faktor-faktor Otsus .................................. 175
5.2. Pemahaman Konteks dan Konten Kebijakan ...... 181
5.3. Pemerintah Daerah: Aktor Utama Pelaksana
Kebijakan ................................................................ 187
5.4. Peran dan Posisi Pemerintah Pusat dalam Otsus. 193
5.5. Peranan dan Posisi DPRP-PB dan MRP ............... 200
5.6. Faktor Pengelolaan Dana Otsus ........................... 206

BAB VI TEORI DAN KONSEP IMPLEMENTASI


KEBIJAKAN ................................................................... 213
6.1. Implementasi Alat Utama Mencapai Tujuan ....... 213
6.2. Aktivitas Implementasi Kebijakan ........................ 217
6.3. Model Implementasi Kebijakan ............................ 223
6.4. Model Grindle ......................................................... 231
6.5. Model Edwards III ................................................ 237
6.6. Model Mazmanian dan Sabatier ........................... 247

vi Otonomi Khusus Papua


6.7. Model Van Meter dan Van Horn ........................... 250
6.8. Model Hogwood dan Gunn ..................................... 254

BAB VII BEBERAPA AGENDA KEDEPAN ........... 259


7.1. Masih Banyak Faktor dan Agenda untuk
Diselesaikan ........................................................ 259
7.2. Otsus Bukan Lagi Pilihan, Kini Saatnya
Melaksanakan Otsus ........................................... 264
7.3. Beberapa Persoalan Kritis Lainnya .................... 270
7.4. Otsus: Bukan Bagi-bagi Uang Untuk
Perorangan .......................................................... 276
7.5. Otsus: Membangun Tata Kelola Pemerintahan
Yang Baik ........................................................... 283
7.6. Beberapa Agenda Ke Depan ............................... 288

Daftar Pustaka ............................................................ 295

Otonomi Khusus Papua vii


viii Otonomi Khusus Papua
BAB I

PEMBANGUNAN PAPUA DAN


FAKTOR-FAKTOR KRITIS:
TINJAUAN SINGKAT

1. 1. Pembangunan di dan untuk atau pembangunan


Papua?
Pertanyaan di sub judul tersebut diadaptasi dari sebuah
kajian antropologis yang dilakukan sejumlah tokoh Papua
dalam melihat pembangunan di Papua (Kemitraan: 2012).
Idealnya pembangunan yang berlangsung di tanah Papua
adalah pembangunan manusia Papua, bukan pembangunan
di atau untuk Papua, baik yang dilakukan orang Papua
sendiri atau orang lain untuk Papua. Pembangunan Papua
adalah pembangunan yang sesuai dengan karakter, nilai-
nilai dan jatidiri orang Papua, sehingga sejumlah kemajuan
yang dicapai adalah sesuatu yang sesuai atau selaras dengan
apa yang sesungguhnya menjadi keinginan orang Papua.
Sebaliknya sejumlah persoalan atau bahkan kegagalan yang
menghadang proses pembangunan yang tidak membuahkan
hasil bisa dimaknai tidak sejalan dengan karakter, nilai
nilai dan jati diri orang Papua.
Menurut studi Kemitraan (2012) yang melibatkan
berbagai tokoh terkemuka di Papua menyatakan, bahwa
“Kesalahan pertama yang menjadi sebab belum berhasilnya
OTSUS Papua sejak 2001 adalah kesalahan dalam
merumuskan paradigma pembangunan yang diperlukan
masyarakat Papua. Pembangunan yang dilakukan di
Papua mengasumsikan bahwa rasionalitas dan perilaku
administratif bersifat universal-manusiawi. Masyarakat
dianggap homogen dan tidak kreatif, sehingga pola
pembangunan disuatu wilayah dapat diterapkan juga
dengan cara yang sama di tempat lain. Akibat pandangan
seperti ini, maka para pemangku kebijakan gagal melihat
keunikan-keunikan manusia yang cenderung berbeda-beda,
akibatnya gagal menghadirkan dan menemukan solusi atas
masalah-masalah yang hendak diselesaikan”.
Bisa saja memang demikian kenyataannya bahwa dari
perspektif antropologis sebagaimana yang menjadi acuan
kajian tersebut pelaksanaan otonomi khusus dianggap gagal
mencapai tujuan dasarnya yaitu melakukan pembangunan
Papua, dan bukan melakukan pembangunan di atau untuk
Papua. Tetapi bisa saja berbeda hasilnya jika dilihat dari
sudut pandang atau perspektif ilmu administrasi publik
yang selanjutnya akan menjadi basis analisis buku ini
dalam melihat pelaksanaan Otsus. Adalah fakta bahwa ada
sejumlah hasil atau capaian positif di samping sejumlah
kekurangan atau bahkan kegagalan dalam pelaksanaan
otsus. Fakta tersebut adalah sesuatu yang bisa dimengerti
atau dipahami karena besarnya persoalan yang melingkupi
Otsus.
Terserah saja, jika ada sebagian kalangan yang
menilai atau memaknai pelaksanaan Otsus yang kini
menginjak tahun ke 13 sebagai sesuatu kegagalan atau
keberhasilan atau kedua-duanya sekaligus dalam derajat
penilaian yang berbeda-beda. Faktanya, tidak sedikit pihak,
terutama dari kalangan pemerintahan dan pelaksana
percepatan pembangunan Papua (UP4B) yang secara
tidak langsung menyatakan bahwa pembangunan Papua
telah berhasil dilaksanakan sebagaimana terlihat dari

2 Otonomi Khusus Papua


sejumlah perubahan dan kemajuan yang berhasil diraih.
Tentu saja, bahwa kemajuan itu masih memiliki sejumlah
kekurangan, baik yang sifatnya mendasar atau hanya bisa
dikatakan ringan dan wajar. Buku ini tentu saja berusaha
berada di tengah-tengahnya, dengan melihat sebuah fakta
pelaksanaan otsus sebagai sebuah realitas, bahwa ada
sejumlah kegagalan dalam pelaksanaan otsus, tetapi juga
ada sejumlah kemajuan yang harus diapresiasi.
Tetapi perlu dicatat bahwa bukan itu yang menjadi inti
buku ini, justru dari realitas itu buku ini berusaha membedah
lebih jauh dari sudut pandang yang lain yaitu sudut pandang
atau perspektif ilmu administrasi publik. Titik tolak yang
berbeda yang menjadikan buku ini lain dari sejumlah
buku yang melihatnya dari sisi politik atau antropologis
dan disiplin ilmu lainnya seperti sejarah misalnya. Aspek
politik, antropologis dan sejarah diperlukan sebagai bahan
dasar analisis yang penting karena pada dasarnya persoalan
otsus dan Papua pada umumnya memang sarat atau kental
dengan nuansa atau aspek politik, sosial ekonomi dan
antropologis.
Jika diantara beberapa buku yang mengkaji persoalan
otsus berusaha mendekatinya dari perspektif politik,
maka buku ini berusaha melihatnya dari perspektif yang
berbeda yaitu dari perspektif ilmu administrasi publik.
Pilihan pendekatan ini dilakukan karena dua alasan,
pertama minat dan ketertarikan penulis pada disiplin
ilmu administrasi publik. Kedua, sudah banyak buku yang
melihat otsus sejak kelahirannya hingga pelaksanaannya
yang kini menginjak 13 tahun dari perspektif politik dan
sejarah. Karena banyaknya buku atau kajian serupa, maka
beberapa diantaranya sejak awal bisa ditebak kesimpulan
dan arahnya, apakah pro atau anti otonomi khusus.

Otonomi Khusus Papua 3


Jika sejak awal yang diuraikan adalah sejumlah
kegagalan atau keburukan terkait pelaksanaan otsus
seolah ia tidak ada bedanya dengan kebijakan lain yang
pernah diterapkan di tanah Papua, maka kajian otsus
yang demikian hanya memperkuat kajian serupa yang ada
sebelumnya dan kesimpulannya kurang lebih sama yaitu
kegagalan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan.
Karena kebijakan yang dinilai adalah otsus, maka kebijakan
itu langsung divonis gagal dalam pelaksanaannya. Sebagai
konsekuensi dari kegagalan tersebut diperlukan langkah
politik lanjutan, mulai dari yang ekstrim sifatnya hingga
yang tergolong lunak atau moderat.
‘Framing’ atau konstruksi politik dalam bentuk
langkah lanjutan dari kesimpulan kegagalan otsus dalam
pendekatan yang tergolong ekstrim adalah dengan
mendorong atau mendesak segera dilakukannya upaya-
upaya politik dengan nama atau jargon meluruskan sejarah,
melakukan referendum atau tuntutan-tuntutan lain yang
intinya berusaha menegaskan bahwa kebijakan apapun
yang sifatnya ‘administratif’, tidak akan menyelesaikan
persoalan Papua sebelum akar persoalan dasar mengenai
‘sejarah’ Papua diselesaikan di forum internasional untuk
mendapatkan legitimasi baru yang sekaligus berarti
mencabut legitimasi lama hasil Pepera. Sementara bagi
mereka yang berusaha bersikap proporsional dan mendesak
langkah lanjutan setelah otsus dianggap gagal adalah
berusaha menyempurnakan kegagalan tersebut dengan
misalnya melakukan sejumlah perubahan kebijakan otsus,
baik terkait kewenangan, anggaran dan sumberdaya yang
diperlukan.
Berbeda halnya dengan pihak lain yang berada pada
posisi menegaskan bahwa otsus itu berhasil, meskipun

4 Otonomi Khusus Papua


tentu saja diakui banyak kekurangan dan kelemahan, maka
semua dianggap sebagai proses yang wajar. Konstruksi
berpikir dan pendekatan yang digunakan kelompok ini
hampir sama dengan kelompok lain yang memiliki posisi
lunak atau moderat yaitu berusaha mencari jalan pemecahan
yang tidak ‘meloncat’ pada upaya yang sifatnya menggugat
persoalan integrasi nasional. Bagi kelompok ini integrasi
Papua ke dalam NKRI dianggap sudah final, sehingga posisi
politik kelompok ini berseberangan secara diametral dengan
kelompok lain yang ‘apriori’ menilai otsus sebagai kebijakan
yang gagal.
Dalam beberapa hal buku ini berusaha melihat
dalam proporsi yang seimbang, tetapi tetap saja dalam
posisi yang berusaha melihat bahwa pelaksanaan otsus
ada yang berhasil dan ada juga yang belum berhasil atau
gagal, terutama jika dikaitkan dengan tujuan utama dari
sebuah kebijakan. Jika tujuan itu adalah kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat Papua, khususnya penduduk
lokal atau pribumi terutama yang tinggal di pedalaman dan
pegunungan, maka faktanya kedua hal tersebut masih jauh
dari harapan. Siapa saja mudah menemukan fakta bahwa
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Papua yang
tinggal di pedalaman dan pegunungan masih jauh dari
standar layak, apalagi jika dibandingkan dengan kondisi
serupa di wilayah lain di Indonesia.
Pertanyaannya adalah, apakah fakta-fakta tersebut
langsung bisa digunakan untuk memvonis bahwa
pelaksanaan otsus telah gagal mencapai tujuannya? Buku
ini tidak dalam posisi untuk menjawabnya karena ada
banyak argumen dan dasar alasan yang bisa digunakan
untuk memberi jawaban, apakah gagal atau diterima sebagai
sesuatu proses yang wajar terkait kompleksitas dan besarnya

Otonomi Khusus Papua 5


persoalan yang harus dihadapi oleh pemerintah dalam
melaksanakan otsus. Logika sederhana akan mengatakan
bahwa pelaksanaan otsus gagal jika disandingkan dengan
fakta yang ada bahwa semala 13 tahun masih banyak
ditemui fakta yang ironis dan memprihatinkan di tanah
Papua. Tetapi jika ada empati lebih dalam untuk kemudian
melihat masalah pelaksanaan otsus secara lebih dalam,
maka kegagalan tersebut bukan hanya bisa dimengerti
atau dimaklumi, tetapi tidak tepat jika dialamatkan semata
kepada pemerintah, baik pemerintah pusat atau pemerintah
daerah.
Sesungguhnya banyak persoalan yang lebih mendasar
dan tentu saja kompleks yang membuat sebuah kebijakan
yang sejak awal dimaksudkan untuk memberdayakan
masyarakat Papua itu belum mencapai hasil yang
diharapkan. Tentu saja buku ini ditulis berdasarkan empati
yang demikian, sehingga posisinya senantiasa berusaha
di tengah-tengah dan sekaligus mencari jalan keluar
setelah sebelumnya berusaha melihat persoalan Papua
secara lebih utuh. Terlepas dari posisi politik pihak-pihak
yang mencermati persoalan Papua, serta kesimpulan
apapun yang disematkan terhadap pelaksanaan otsus,
maka menurut penulis ada sesuatu yang lebih diperlukan
masyarakat Papua sekarang ini yaitu bagaimana mencari
jalan keluar untuk memperbaiki sejumlah kekurangan
dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ada.
Mengapa? Karena yang menjadi pokok persoalan
sesungguhnya berada di tingkat implementasi kebijakan,
dan bukan pada sisi substansi atau isi kebijakan (konten).
Saat ini aspek pelaksanaan atau implementasi jauh
lebih penting dibandingkan upaya untuk merubah atau
menyempurnakan kebijakan yang sudah ada, terlepas

6 Otonomi Khusus Papua


bahwa di dalam kebijakan otsus itu masih menyimpan
sejumlah persoalan yang perlu disempurnakan, antara lain
melalui revisi atau bahkan mencabutnya dengan mengganti
dengan sesuai yang sama sekali baru yang dianggap lebih
komprehensif, rinci dan kontekstual dengan persoalan
Papua yang kompleks dan multidiemnsional di berbagai sisi
dan sudutnya.

1.2. Perbaikan Administrasi Publik untuk Pemban-


gunan Papua
Jika sejumlah pihak menawarkan solusi politik untuk
menyelesaikan persoalan Papua, maka penulis dalam buku
ini menawarkan solusi administrasi publik yaitu dengan
memperbaiki tata kelola pemerintahan (governance) yang
dianggap cocok diterapkan untuk Papua. Menurut penulis,
solusi politik bukan jalan yang efektif, setidaknya untuk
saat ini ketika otonomi khusus telah berjalan lebih dari satu
dasawarsa. Solusi politik menjadi relevan jika dikaitkan
dengan kegagalan pembangunan Papua secara umum
dimana sudah tidak ada pilihan lain bagi masyarakat Papua
untuk mengembangan jati diri, nilai nilai dan karakternya
sebagai suku bangsa diantara suku-suku bangsa yang ada
di Indonesia.
Sesungguhnya persoalan otsus adalah persoalan
administrasi publik atau tata kelola pemerintahan,
meskipun di dalamnya ada unsur politik bahwa kebijakan
tersebut adalah salah satu jawaban atas kuatnya tuntutan
dari masyarakat Papua untuk merdeka lepas dari NKRI.
Ketika kebijakan otsus ditetapkan pada tahun 201, maka
sesungguhnya dimensi yang lebih mengemuka selanjutnya
adalah dimensi administrasi publik atau governance, yaitu
bagaimana melaksanakan dan mengelola kebijakan otsus

Otonomi Khusus Papua 7


dalam mencapai tujuannya. Jika ada persoalan dalam
pelaksanaan otsus, maka solusinya tidak langsung meloncat
ke persoalan politik, tetapi harus dikembalikan ke persoalan
sesungguhnya yaitu persoalan governance.
Jika setiap ada persoalan terkait hambatan atau
bahkan kegagalan pelaksanaan otsus langsung dikaitkan
dengan persoalan politik, apalagi meloncat pada isu
pelurusan sejarah, referendum atau langkah-langkah politik
praktis lainnya, maka sejatinya kita telah meloncat dari
akar persoalan sebenarnya yaitu kegagalan implementasi
sebuah kebijakan. Jika sedikit sedikit dikaitkan dengan
persoalan politik yang sesungguhnya berada di tataran
bagaimana kebijakan itu dirumuskan dan ditetapkan,
maka hal demikian merupakan langkah mundur (set
back), karena yang sejatinya sedang kita hadapi adalah
bagaimana melaksanakan kebijakan otsus, sambil berusaha
menyempurnakannya agar tujuan yang ditetapkan dan
menjadi dasar utama dalam kebijakan lebih mudah diraih.
Bagi sebagian kalangan memang lebih asyik dan
mudah untuk mempersoalkan pelaksanaan otsus dari sisi
politik dibandingkan jika ia dilihat dari sisi administrasi
publik atau governance. Diperlukan pemahaman yang lebih
dalam, karena bukan hanya yang nampak di permukaan
ketika melihat kegagalan atau keberhasilan sebuah
kebijakan dalam mencapai tujuannya. Ada banyak faktor
yang harus dicermati dan kemudian dianalisis sebelum
sampai pada kesimpulan bahwa faktor penyebab utama
kegagalan itu adalah isi atau substansi (konten) kebijakan,
sehingga kebijakan tersebut perlu dirubah untuk diganti
dengan yang baru.
Begitu juga jika yang dianggap menjadi penyebab
adalah faktor aparat pelaksana dan sasaran kebijakan,

8 Otonomi Khusus Papua


maka diperlukan langkah lanjutan yang biasanya jauh lebih
rumit dan menuntut kesabaran yang tinggi untuk menanti
hasilnya. Kebijakan lanjutan itu bisa berupa kebijakan
lain yang dimaksudkan untuk mengatasi hambatan atau
persoalan kualitas sumber daya pelaksana kebijakan atau
anggaran, baik jumlah dan alokasinya yang diperlukan
untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Tentunya
diperlukan sebuah kesabaran yang tinggi selama proses
pelaksanaan kebijakan dan kemudian menanti hasil yang
mungkin diperoleh.
Dan hasilnya terkadang tidak sesuai dengan harapan,
Bukan karena kebijakan itu tidak dilaksanakan, tetapi
kebijakan yang sudah dilaksanakan itu belum sesuai
dengan apa yang menjadi keinginan kita. Bisa saja sebuah
kebijakan yang dimaksudkan untuk melaksanakan otsus itu
sudah dijalankan sesuai proses dan prosedur, dimana tidak
ada uang satu sen pun yang hilang atau disalahgunakan
(abuse of power), tetapi tetap saja ada kemungkinan bahwa
kebijakan yang sudah dilaksanakan sesuai SOP tidak
atau belum mampu mencapai tujuan berupa hasil yang
diinginkan masyarakat Papua.
Barangkali itulah salah satu fakta dalam proses
pelaksanaan otsus di Papua selama ini. Apakah kebijakan
yang demikian dianggap gagal, sehingga kebijakan otsus
yang sudah ada itu dijadikan kambing hitam, kemudian
kita ramai ramai mendorong para pengambil kebijakan
untuk segera merubah atau menggantinya? Bukankah tidak
lebih baik memperbaiki persoalan administrasi publik atau
governance, sehingga proses pelaksanaan kebijakan otsus di
tanah Papua bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya dan
tentunya lebih mampu mencapai hasil yang diharapkan.

Otonomi Khusus Papua 9


Dalam perspektif ilmu administrasi publik, otsus
adalah sebuah alat (tool) atau instrumen untuk mencapai
tujuan. Tanpa bermaksud mengecilkan arti dan substansi
otsus yang sarat misi yang sifatnya politis, tetapi sejatinya
ia adalah alat untuk mencapai tujuan. Sebagai sebuah alat
dalam sebuah sistem besar, tentu saja ia bukan satu satunya
alat. Bahkan jika adalah salah satu alat yang dianggap
paling penting dan menjadi penyangga dari kebijakan lain
yang ada di Papua. Semua alat itu sejatinya memiliki peran
dan fungsi yaitu untuk mencapai tujuan. Bersama dengan
kebijakan atau alat yang lain, apapun jenis dan kualitas
alat itu diperlukan secara bersama-sama untuk mencapai
tujuan.
Dalam perspektif ini, keberadaan ilmu administrasi
publik yang menjadi dasar dan sekaligus pendekatan buku
ini menjadi sesuatu yang bukan hanya penting tetapi
juga sangat kontekstual digunakan untuk melihat dan
menganalisis persoalan pelaksanaan otsus di Papua yang
kata sebagian orang disebut gagal. Jika ia benar-benar
gagal, maka kegagalan tersebut adalah kegagalan kita
semua sebagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang
berperan penting dalam pelaksanaan sebuah kebijakan.
Jika yang menjadi aktor kunci dalam pelaksanaan
kebijakan otsus adalah pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, maka faktor kunci kegagalan atau
kekurangberhasilan itu harus dicari penyebabnya pada
organ pelaksana kebijakan, yaitu di organisasi pemerintahan
tingkat pusat atau juga organisasi pemerintahan tingkat
daerah, termasuk distrik (kecamatan) dan kampung
(kelurahan) yang ada di dalamnya. Begitu juga jika faktor
lingkungan dan target kebijakan menjadi salah satu faktor
penghambat atau bahkan penyebab kegagalan tersebut,

10 Otonomi Khusus Papua


maka masing-masing harus menjadi faktor yang mendesak
dibenahi, misalnya diberdayakan agar keberadaanya bukan
menjadi faktor penghambat tetapi sebaliknya menjadi
faktor yang mampu menjadi pendorong pelaksanaan otsus.
Atas dasar itu, tidak berlebihan jika dinyatakan,
bahwa lebih penting dan mendesak, setidaknya untuk saat
ini untuk melihat dan menganalisis pelaksanaan otsus dari
sisi administrasi publik dibandingkan menganalisisnya dari
sisi politik praktis. Dengan acuan analisis dan pendekatan
seperti ini diharapkan sejumlah solusi praktis bisa lebih
mudah ditemukan, setidaknya untuk sejumlah daerah
kabupaten/kota yang ada di tanah Papua, khususnya di
Papua Barat, lebih khusus lagi di kabupaten Sorong dimana
penulis menjadi salah satu aktor di dalamnya. Ada banyak
kisah menarik yang bisa dikemukakan terkait pelaksanaan
otsus di kabupaten Sorong karena dalam beberapa tahun
penulis dipercaya memimpin daerah tersebut.
Sebagai individu dan penduduk asli Papua, serta
berdasarkan pengalaman memimpin pemerintahan di
kabupaten Sorong, maka sulit bagi saya untuk sampai
pada kesimpulan yang dikotomis, misalnya menyatakan
pelaksanaan otsus telah gagal atau sebaliknya telah
sepenuhnya berhasil. Sesungguhnya tidak jawaban yang
dikotomis, kecuali jika tujuannya hanya untuk sebuah
sensasi atau sesuatu yang sejak awal sudah apriori.
Jika dilihat dari sudut pandang administrasi publik,
dimana penulis menjadi bagian di dalamnya, yaitu sebagai
pelaksana kebijakan, maka sesungguhnya persoalan
pelaksanaan otsus merupakan tugas besar dan sekaligus
berat untuk dipikul oleh pemerintah. Betapa tidak disebut
besar jika hingga kini masih ada sejumlah orang yang

Otonomi Khusus Papua 11


melihat otsus sebagai kebijakan bagi bagi uang untuk orang
Papua.
Adalah sebuah fakta jika kondisi alam Papua dan
penduduknya yang tersebar di berbagai penjuru tanah
Papua yang luas telah menyulitkan sejumlah upaya
pembangunan dan pemberdayaan yang dilakukan
pemerintah. Konsekuensinya sejumlah dana otsus yang
digelontorkan untuk Papua nampak terlalu kecil untuk
menghadapi besarnya persoalan Papua, tidak terkecuali
di kabupaten Sorong yang kini telah dimekarkan menjadi
beberapa kabupaten dan satu kota.
Belum lagi persoalan lain yang sesungguhnya tidak
kalah rumit yaitu kondisi sosial budaya dan politik Papua
yang demikian kompleks. Oleh karena itu untuk sampai
pada kesimpulan kegagalan atau keberhasilan pelaksanaan
otsus, adalah sesuatu yang terburu-buru hanya karena
faktanya kondisi masyarakat Papua masih memprihatinkan
sebagaimana terlihat dari rendahnya angka IPM (indeks
pembangunan manusia). Semua itu harus dicermati secara
jernih jika yang diinginkan adalah solusi dari persoalan
tersebut. Lain halnya jika solusi yang diinginkan adalah
solusi politik praktis dan bukan solusi administrasi publik
atau governance.
Dalam perspektif administrasi publik, upaya politik
untuk melakukan referendum apalagi langkah gerakan
bersenjata adalah sesuatu tindakan yang kontraproduktif
karena akan memperkeruh atau setidaknya menghalangi
upaya perbaikan tata kelola pemerintahan di Papua. Banyak
contoh ketika sebuah daerah di Papua masih muncul aksi
aksi politik dan gerakan bersenjata, maka daerah tersebut
menghadapi problema yang lebih rumit dalam menata
administrasi publik (governance) dibandingkan daerah lain

12 Otonomi Khusus Papua


yang relatif sepi dari aksi-aksi politik berbau makar dan
separatisme.
Sungguh sebuah pilihan yang sulit untuk menentukan
mana yang harus didahulukan, apakah solusi politik ataukah
solusi admnistrasi publik (governance). Sulit rasanya
untuk melakukannya kedua-duanya sekaligus, karena
ia seperti minyak dan air yang sulit disatukan, bahkan
cenderung menegasikan. Bagi mereka yang sejak awal
menuntut kemerdekaan dan melakukan aksi-aksi politik
praktis dan bersenjata sebagai pilihan, maka keberhasilan
dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan adalah
sebuah kegagalan dalam perjuangan mereka. Begitu juga
sebaliknya ketidakberhasilan otsus adalah sebuah amunisi
penting yang akan melegitimasi perjuangan mereka.
Tidak ada pilihan lain bagi siapa saja yang berkomitmen
untuk menegakkan integritas NKRI kecuali berusaha
mensukseskan pelaksanaan otsus. Buku ini adalah bagian
dari upaya tersebut. Melalui pendekatan administrasi
publik yang digunakan untuk membedah persoalan otsus
diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih
utuh terhadap persoalan pemerintahan di Papua dalam
menjalankan otsus.
Jika ada sejumlah fakta yang menunjukkan sejumlah
keberhasilan, bahkan uraian yang memberi penjelasan
semacam ‘apologi’ atau pembenaran akan sejumlah kesulitan
yang dihadapi pemerintah khususnya dalam melaksanakan
otsus, maka semua itu lebih dimaksudkan untuk memberi
gambaran yang lebih utuh atas sejumlah fakta lain yang
telah dikemukakan sejumlah pihak yang cenderung
bernada pesimis. Tujuannya agar terjadi keseimbangan
atau proporsionalitas pemahaman persoalan otsus sebelum

Otonomi Khusus Papua 13


sampai pada sebuah analisis yang diharapkan memberi
sebuah solusi.
Atas dasar itu, buku ini tidak bermaksud menjustifikasi
kegagalan atau keberhasilan pelaksanaan otsus, meskipun
kedua fakta itu diungkapkan, baik secara eksplisit atau
implisit. Keberadaan sejumlah analisis yang dilakukan bukan
untuk memberikan penilaian agar sampai ada kesimpulan
yang dikotomis, tetapi justru untuk mengantarkan pada
lahirnya sebuah solusi atau jalan keluar dari problematika
yang menghambat pelaksanaan otsus. Cara demikian
akan lebih baik dan lebih mampu membukakan upaya
untuk mencari penyelesaian komprehensif persoalan otsus
daripada meloncat kepada kesimpulan adanya kegagalan
atau sebaliknya keberhasilan.
Tidak ada solusi yang instant yang membuahkan hasil
cepat, termasuk jika cara yang digunakan tergolong radikal
atau drastis. Diperlukan sebuah proses yang panjang
sebelum sampai pada sebuah tujuan yang diinginkan.
Diperlukan sebuah kesabaran untuk menapaki setiap jalan
yang dibentangkan oleh otonomi khusus sebelum sampai
pada tujuan besar berupa kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat Papua. Sejarah berulang kali mencatat bahwa
pilihan berupa cara-cara yang drastis dan radikal seringkali
berbuah pada kerusakan yang lebih besar, setidaknya di
masa-masa awal perubahan itu berlangsung.

1.3. Ada Kemajuan, Tetapi juga Ada Kekurangan


Seperti pepatah lama, bahwa “tidak ada gading yang
tidak retak”, begitu juga dengan pelaksanaan otsus yang
tidak lepas dari sejumlah kekurangan atau kelemahan yang
sifatnya mendasar. Tetapi kelemahan atau kekurangan

14 Otonomi Khusus Papua


itu bukan by-design atau hasil rekayasa sejak awal agar
pelaksanaan tidak bisa dilaksanakan karena dianggap
mengancam integritas NKRI. Justru yang diharapkan adalah
sebuah keberhasilan, sehingga kita sebagai bangsa tidak
berulangkali disibukkan dan mendengar laporan tentang
persoalan kemanusiaan, persoalan politik, persoalan sosial
ekonomi yang menimpa orang Papua. Disamping kelemahan
dan kekurangan, maka sejumlah keberhasilan berupa
kemajuan dan pembangunan yang berhasil dilaksanakan,
meskipun tentu saja masih jauh dari harapan.
Memang demikian keadaannya bahwa harapan itu
senantiasa lebih tinggi daripada apa yang mampu dicapai,
demikian seterusnya. Tetapi hal demikian tidak berarti
bahwa upaya untuk menunjukkan sejumlah keberhasilan
dalam pelaksanaan otsus menjadi sesuatu yang tidak
penting. Justru, pengungkapan sejumlah fakta keberhasilan
atau kemajuan sangat penting untuk memberikan gambaran
yang lebih utuh dan sekaligus menguatkan motivasi untuk
melakukan sesuatu yang sudah baik menjadi lebih baik lagi.
Tidak dipungkiri bahwa sejumlah fakta apa yang
dikemukakan beberapa studi yang berkesimpulan bahwa
pelaksanaan otsus masih jauh dari harapan. Misalnya,
menurut Kemitraan (2012) dinyatakan bahwa model
pembangunan yang dijalankan untuk Papua sejauh ini
dianggap tidak tepat karena cenderung berorientasi kepada
modernisasi masyarakat karena dilandasi oleh nalar
modernisasi yang kuat.
“Padahal, orientasi kemajuan dengan ukuran-ukuran
material itu tidak kompatibel dengan eksistensi
budaya lokal Papua. Sementara di sisi lain, sistem
nilai, pandangan hidup dan tradisi orang Papua
cenderung tidak mudah menerima perubahan, bahkan

Otonomi Khusus Papua 15


dalam derajat tertentu agak anti perubahan. Oleh
adanya pembiaran terhadap benturan cara pandang
ini, maka tidak heran jika muncul anggapan bahwa
paradigma pembangunan Papua berlawanan dengan
paradigma budaya lokal. Para perancang kebijakan
yang teknokratis dan terus bersikukuh memegang cara
pandangnya bahkan menganggap budaya lokal Papua
sebagai penghambat (resistor) percepatan pembangunan
Papua. Apa yang dilakukan pertama kali untuk meraih
kemajuan adalah dengan merubah dan atau bahkan
menghilangkan budaya yang dianggap bertentangan
nilai-nilai kehidupan modern. Tetapi pada kenyataanya,
sifat agresif paradigma pembangunan teknokratik
tersebut mendapat perlawanan kultural dari orang
Papua sendiri sehingga keduanya berada pada posisi
saling menegasikan satu sama lain. Kondisi seperti
inilah yang dapat terlihat dari 10 tahun program
pembangunan daerah dalam bentuk OTSUS Papua
dan Papua Barat”.
Dengan kata lain, sejak awal model pembangunan yang
mengacu pada otsus itu sudah salah sejak awal, terutama
ketika ia dilaksanakan atau diimplementasikan, meskipun
prinsip prinsip dasar yang menjadi sandaran otsus tidak
dipersoalkan. Artinya ada persoalan administrasi publik
yang menjadi biang persoalan dan karenanya harus
diluruskan, sejak dari model pendekatan atau paradigma
yang digunakan, kemudian proses kebijakan itu dilakukan
hingga tujuan yang diinginkan. Menurut studi tersebut
dianggap ada yang misleading, sehingga sejumlah capaian
berupa pembangunan justru tidak membuahkan hasil
sebagaimana yang sejatinya dikehendaki oleh masyarakat
Papua yang notabene memiliki karakter, nilai-nilai dan jati

16 Otonomi Khusus Papua


diri yang berbeda kalau tidak disebut unik di tengah-tengah
suku bangsa lain di Indonesia.
Lebih jauh menurut studi yang dilakukan Kamitraan
(2012) dinyatakan bahwa meletakkan paradigma
pembangunan dan paradigma budaya lokal pada posisi
saling meniadakan tidak akan memberikan manfaat bagi
masyarakat Papua dan Papua Barat. Karena apa yang
ingin dicapai orang Papua bukan semata-mata kemajuan
pembangunan fisik material semata tetapi juga kenyamanan
dan kebahagiaan dalam artian pembangunan hal-hal yang
bersifat non-material. Bukan hanya badan atau fisiknya
yang dibangun tetapi juga jiwanya. Atas dasar itu studi
tersebut memberi usulan agar proses pembangunan dan
budaya lokal diletakkan pada posisi yang dialektis.
“Pembangunan merupakan sebuah proses
perkembangan yang merupakan refleksi atas sikap dan
respon masyarakat terhadap perubahan, sedangkan
budaya lokal menjadi katalisator agar pembangunan
yang dicapai tidak menyebabkan masyarakat
teralienasi dan kehilangan akar lokalitasnya. Pada
posisi ini, perlu dibangun jembatan penghubung antara
paradigma pembangunan dan paradigma budaya
lokal sehingga keduanya saling bersinergi untuk
meningkatkan kesejahteraan dan membangun marwah
masyarakat Papua dan Papua Barat sehingga sejajar
dengan wilayah-wilayah Indonesia lainnya”.
Kesimpulan awal yang dikemukakan oleh studi
Kemitraan (2012) tersebut tidak perlu dan tidak ada
gunanya disangkal apalagi dinafikan karena faktanya
memang demikian bahwa ada sejumlah persoalan dalam
pelaksanaan otonomi khusus yang mendesak dilakukan
perbaikan dan penyempurnaan. Hanya saja, keberadaan

Otonomi Khusus Papua 17


fakta lain juga perlu dikemukakan untuk menegaskan
bahwa selama pelaksanaan otonomi khusus itu ada banyak
capaian positif yang bisa dinikmati oleh masyarakat Papua.
Jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya, maka
capaian hasil pembangunan yang dilakukan pemerintah
sangat signifikan, setidaknya itu yang terjadi di kabupaten
Sorong dan sejumlah daerah hasil pemekaran wilayah ini.
Anda atau siapa saja akan melihat kabupaten Sorong
dan sekitarnya 5 atau sepuluh tahun mendatang dengan
wajah yang berbeda dari apa yang nampak saat ini. Dengan
langkah dan gerak pembangunan yang ada sekarang,
maka kemajuannya yang bisa dicapai ketika itu akan
eksponensial, meskipun kita tidak tahu siapa yang paling
menikmati sejumlah kemajuan tersebut, apakah orang asli
Papua ataukah orang lain, sehingga masyarakat Papua
hanya menjadi penonton di tanah kelahirannya.
Untuk itu bukan akselerasi pembangunan atau
kemajuannya yang kita cegah, karena hampir tidak
mungkin hal itu dilakukan kecuali kita semua akan mundur
ke belakang (set back). Fenomena tersebut sesungguhnya
secara alamiah akan berlangsung, karena kemajuan
dan pembangunan adalah sifat logis dari manusia untuk
senantiasa berubah dan memperbaiki diri. Yang perlu kita
persiapkan sekarang adalah mengantisipasinya sebaik
mungkin dan menyongsongnya agar masyarakat Papua-lah
yang akan mengambil peran penting dalam proses tersebut
dan menikmati hasilnya dibandingkan orang lain. Jika
tidak demikian, maka tidak ada bedanya kondisi Papua di
era kolonialisme Belanda dengan era sekarang ketika suku
bangsa Papua tidak bisa menjadi tuan di tanah kelahirannya
sendiri.

18 Otonomi Khusus Papua


Sebelum nasi menjadi bubur, dan kesempatan luas yang
diberikan oleh otsus berakhir, maka kita sebagai bangsa
Papua harus bersama-sama berbenah diri, mempersiapkan
segala sesuatunya agar kesempatan itu senantiasa berpihak
pada suku bangsa Papua. Semua itu harus direbut dan
diperjuangkan, karena tidak ada yang datang dengan cuma-
cuma, hanya karena belas kasih semata.
Seruan serupa sesungguhnya juga berlaku bagi seluruh
suku bangsa di Nusantara yang bergabung dalam sebuah
negara bangsa (nation-state) yang bernama Indonesia
untuk melakukan hal yang sama, karena pada dasarnya
persoalan dasar yang dihadapi substansinya adalah sama,
hanya saja jenis dan bentuknya yang berbeda. Bangsa
Indonesia harus bisa menjadi tuan di negerinya sendiri dan
menikmati sebesar-besarnya kemakmuran yang dihasilkan
oleh sumberdaya alam yang ada di Indonesia. Caranya
adalah dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan
sejumlah bekal yang diperlukan agar mampu bersaing
dengan suku bangsa lain di dunia.

1.4. Catatan Kritis Pembangunan Papua


Jika ada sebuah rekomendasi atau bahkan sesuatu
yang disebut sebagai temuan penelitian yang dilakukan
di Papua sesungguhnya adalah sesuatu yang kurang lebih
sama atau pernah diungkapkan di penjuru lain di tanah
Indonesia. Bahkan terhadap bangsa Indonesia sendiri hal
demikian juga berlaku dan penting diperhatikan demi
kemajuan pembangunan Indonesia yang seutuhnya. Yaitu
“membangun badan dan membangun jiwanya” sebagaimana
syair lagi kebangsaan Indonesia Raya, maka hal serupa
juga berlaku bagi suku bangsa Papua. Meskipun bukan
sesuatu yang baru, tetapi keberadaannya tetap penting

Otonomi Khusus Papua 19


untuk mengingatkan kesadaran kita sebagai bangsa yang
seringkali abai dalam memandang dan memaknai persoalan
krusial yang semestinya mendapat perhatian ekstra
sehingga peringatan serupa tidak berulangkali diusulkan
oleh para cerdik cendekia karena kebebalan nalar dan sikap
perilaku kita sebagai bangsa.
Apa yang terjadi dan sedang berlangsung di Papua
adalah sesuatu yang sesungguhnya telah dan sedang
terjadi di Indonesia pada umumnya. Yang berbeda adalah
model atau cara penanganannya. Keberadaan otonomi
khusus adalah sebuah model dan cara yang berbeda yang
diberlakukan untuk Papua. Intinya kurang lebih sama yaitu
dengan kebijakan otonomi luas yang berlaku secara umum
di Indonesia, dan otonomi khusus yang berlaku di Papua.
Disebut sama karena sesungguhnya ada persoalan
besar yang harus dikelola dengan sebaik baiknya yaitu
melalui apa yang populer disebut good governance. Semua
itu dilakukan agar proses pembangunan yang dilakukan
mampu mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Hal
mana sesungguhnya secara implisit juga diamanatkan oleh
konstitusi yang mempunyai misi utama mencerdaskan
kehidupan bangsa, mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan bersama.
Misi serupa dengan bahasa berbeda juga diemban oleh
kebijakan lain yang merupakan turunannya, termasuk
kebijakan yang bernama otonomi khusus yang berlaku
di Papua sejak tahun 2001. Jika faktanya masih ditemui
sejumlah kegagalan dalam pelaksanaannya, maka hal
serupa juga terjadi di derah lain di Indonesia. Jika di Papua
dijumpai berbagai persoalan yang secara substansial sangat
krusial, maka dalam konteks yang berbeda persoalan yang
krusial juga terjadi di daerah lain di Indonesia.

20 Otonomi Khusus Papua


Secara kualitatif sesungguhnya tidak ada yang
istimewa, antara persoalan yang dihadapi masyarakat
Papua dan masyarakat Indonesia pada umumnya, meskipun
secara kuantitatif bisa saja berbeda jenis dan jumlahnya.
Lain halnya jika dalam proses tersebut masyarakat Papua
nyata nyata didiskriminasi atau diperlakukan secara tidak
adil oleh kebijakan yang ada. Perlakuan yang berbeda
berdasarkan otonomi khusus justru sebuah pemihakan
yang sudah semestinya diberikan. Tetapi hal tersebut
tidak akan berbuah manis dengan sendirinya, kecuali
harus diperjuangkan atau diwujudkan melalui proses
pemerintahan yang baik.
Fakta berupa hadirnya sejumlah perubahan, baik itu
berupa pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan
dan jembatan, sarana pendidikan dan kesehatan, akses
komunikasi dan air bersih dan sebagainya adalah bukti
adanya perubahan dan telah dilakukannya pembangunan,
meskipun fakta demikian bisa dimaknai secara berbeda
atau dari sudut pandang yang lain, untuk tujuan yang
berbeda-beda karena adanya perbedaan titik tekan dan
tolak ukur atau parameter yang digunakan. Bagi sebagian
orang, perubahan sebagai hasil pembangunan itu bisa
dimaknai sebagai perubahan atau kemajuan yang tidak
diinginkan oleh masyarakat Papua karena dianggap tidak
sesuai dengan jati diri, nilai-nilai dan karakter orang Papua.
Tetapi bagi sebagian yang lagi bisa saja memiliki persepsi
atau pemaknaan yang berbeda, meskipun mereka sama-
sama mengakui adanya sejumlah kekurangan.
Misalnya sejumlah studi yang mendekati persoalan
Papua dari sisi politik praktis, diantaranya berkesimpulan
pentingnya sebuah tindakan politik baru untuk mencari
legitimasi baru sebagai basis dasar untuk mengatasi

Otonomi Khusus Papua 21


persoalan Papua. Ada juga studi lain yang melihat dari
aspek antropologis sebagaimana yang dilakukan Kemitraan
(2012), bahwa dalam beberapa hal studi ini melihat dalam
perspektif yang berbeda dengan sejumlah studi yang
umumnya dilakukan oleh kalangan pemerintah daerah
yang melihat dari sisi administrasi publik. Masing-masing
kesimpulan dari studi tersebut, selain berbeda juga memiliki
tujuan yang beragam karena perbedaan sudut pandang dan
kepentingan yang melandasinya.
Diantara studi tersebut ada yang secara terus terang
mengakui sejumlah perubahan dan kemajuan yang berarti,
tetapi dengan catatan kritis antara lain bahwa kemajuan
dan perubahan tersebut dalam beberapa kasus justru
tidak membawa hasil yang diinginkan masyarakat Papua.
Apapun kesimpulan dan rekomendasi yang ditelurkan
adalah sesuatu yang positif bagi proses pelaksanaan
otonomi khusus, sebagai sebuah diskursus yang diperlukan
bagi sebuah perbaikan dalam proses pelaksanaan sebuah
kebijakan yang tentu saja memiliki sejumlah kelemahan
baik yang sifatnya bawaan atau karena sejumlah faktor
yang mempengaruhinya. Mengenai beberapa faktor
krusial tersebut satu persatu akan dibahas dalam bab-bab
berikutnya.
Dari sudut pandang administrasi publik, maka
pembangunan sering dimaknai secara sederhana atau
simplistis yaitu sebagai kemampuan menarasikan dan
menterjemahkan kebutuhan masyarakat dalam bentuk
program-program untuk mencapai sebuah tujuan kebijakan.
Padahal sejatinya pembangunan adalah lebih kompleks dan
rumit daripada persoalan yang sifatnya teknis administratif
karena organisasi publik itu bukan sebuah mesin yang
hanya melaksanakan kebijakan, tetapi juga melakukan

22 Otonomi Khusus Papua


sebuah interpretasi sesuai dengan konteks dan lingkungan
stratejik yang melingkupinya.
Sesungguhnya pembangunan dimanapun tempat atau
konteksnya adalah sebuah proses yang menuntut partisipasi
aktif dari masyarakat. Artinya dalam proses pembangunan
itu masyarakat harus dapat terlibat (berpartispasi) dalam
proses pembangunan tidak saja berupa keterlibatan
masyarakat untuk membangun, tetapi juga keterlibatan
masyarakat untuk memanfaatkan pembangunan
itu. Jika masyarakat dilibatkan mulai dari proses
pembangunan hingga pemanfaatan hasil pembangunan,
maka pembangunan akan berdampak signifikan terhadap
peningkatan taraf hidup dan martabat masyarakat
Papua. Oleh karena itu menurut studi Kemitraan (2012)
direkomendasikan bahwa untuk mendorong partisipasi aktif
masyarakat dalam pembangunan, langkah yang diperlukan
adalah pembangunan yang berbasis budaya lokal dan
melibatkan potensi lokal masyarakat. Dengan demikian
praktik pembangunan bukan hanya “Pembangunan di
Papua”, dan juga bukan “Pembangunan untuk Papua”,
tetapi “Pembangunan Papua”.
Lalu, apakah pelaksanaan otsus itu merupakan salah
satu bentuk pembangunan Papua atau pembangunan
di dan atau pembangunan untuk Papua? Jawaban
pertanyaan ini terpulang pada orang Papua sendiri untuk
menilainya. Masing-masing orang, bahkan daerah memiliki
pandangan dan penilaian yang mungkin saja berbeda-beda,
sebagaimana fakta bahwa masyarakat Papua juga sangat
beragam. Begitu juga di setiap daerah, antara yang berada
di wilayah pesisir atau pantai mungkin saja memiliki
perbedaan pandangan dan penilaian yang cukup mendasar
terkait pelaksanaan otsus, apakah ia sudah dilaksanakan

Otonomi Khusus Papua 23


dengan konsep dan paradigma ‘pembangunan Papua’ atau
hanya sebuah kegiatan teknis administratif pemerintahan
yang bernama pembangunan yang dilakukan oleh orang
non Papua dan kebetulan dilaksanakan di tanah Papua?
Tentu saja ada banyak pandangan dan penilaian yang
bisa dikemukakan, termasuk di Kabupaten Sorong dimana
penulis menjadi bagian dalam proses tersebut. Idealnya
tentu saja semua bentuk kegiatan teknis administratif
pemerintahan yang berlabel pembangunan adalah sebuah
upaya pembangunan Papua, terlepas mana yang lebih
dominan, apakah pembangunan itu dilaksanakan oleh orang
Papua sendiri dan diperuntukkan bagi masyarakat Papua
khususnya, maka sejatinya semua model pembangunan
tersebut terjadi di wilayah Sorong. Menurut penulis, ketiga
hal tersebut telah dan sedang berlangsung di tanah Papua.
Idealnya pembangunan, apapun itu jenis dan bentuknya
adalah pembangunan Papua yang dilakukan di dan oleh
orang Papua, sehingga pembangunan tersebut bisa lebih
dipastikan akan memihak pada kepentingan dan selaras
dengan apa yang sejatinya menjadi keinginan orang Papua.
Tetapi dalam kenyataannya, tidak semua model
pembangunan cocok dan bisa dilakukan sesuai dengan
harapan dan keinginan kita. Adakalanya model pembangunan
tertentu terpaksa dilakukan karena pada faktanya
sumber daya lokal misalnya belum sepenuhnya mampu
melakukannya sendiri, sehingga model pembangunan
demikian disebut ‘pembangunan untuk Papua’. Tidak
sedikit kasus pembangunan yang dilakukan oleh orang non
Papua dengan maksud untuk kepentingan orang Papua.
Dalam beberapa kasus lainnya, model pembangunan adalah
kegiatan ekonomi sosial dan budaya yang berlangsung
di Papua, tetapi bukan untuk kepentingan orang Papua,

24 Otonomi Khusus Papua


melainkan untuk kepentingan mereka yang melakukan
pembangunan berdasarkan ikatan kontrak semata untuk
mengeruk kekayaan atau hasil bumi Papua.
Dalam beberapa kasus lainnya, meskipun sulit untuk
menunjuk jenis dan bentuk pembangunan tersebut, tetapi
diyakini bahwa ada model pembangunan yang memenuhi
kriteria dan prinsip pembangunan Papua, meskipun aktor
dan pelakunya juga melibatkan orang-orang atau pihak-pihak
non Papua. Tentu saja tolak ukurnya adalah daya guna dan
hasil guna (efektifitas dan efisiensi) dari pembangunan bagi
kepentingan masyarakat Papua. Termasuk pembangunan
yang masuk ketegori pembangunan ‘di’ Papua dan sebagian
besar pelaksananya adalah orang non Papua, namun
bisa saja membawa manfaat dan hasil sebagaimana yang
diharapkan masyarakat Papua.
Terlepas dari siapa yang melakukannya, bahwa
pembangunan Papua itu sedang berlangsung, meskipun
hasil dan manfaatnya masih sering kita pertanyakan. Hal
serupa juga terjadi di daerah lain di Indonesia, dimana
pelaksanaan sebuah kegiatan yang bertajuk ‘pembangunan’
ternyata dilakukan oleh orang-orang tanpa melihat asal
usul etnisitas atau asal usulnya, melainkan berdasar pada
kepentingannya, yaitu sejauh mana ia memberi manfaat
kepada penduduk atau masyarakat yang berada dimana
pembangunan itu dilakukan. Jika pembangunan itu
berlangsung di Papua, maka sudah semestinya hasil dan
manfaat pembangunan tersebut adalah sebesar-besarnya
untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Papua.
Barangkali itulah tolak ukur yang paling mendasar
untuk melihat sejauh mana model pembangunan
yang berlangsung di tanah Papua itu masuk kategori
Pembangunan Papua. Lalu, mana diantara ketiga model

Otonomi Khusus Papua 25


pembangunan tersebut yang lebih dominan? Masing-
masing daerah mempunyai jawaban yang berbeda beda.
Begitu juga penilaian positif atau negatif yang diberikan
terhadap ketiga jenis model pembangunan tersebut, tidak
semuanya seragam. Tidak sedikit bukti yang menunjukkan
bahwa sebuah kegiatan pembangunan yang masuk kategori
Pembangunan Di dan Untuk Papua telah memberi kontribusi
positif bagi hajat hidup dan kepentingan masyarakat Papua
khususnya yang tinggal di pegunungan dan pedalaman.
Terlepas dari model pembangunan mana yang
sekarang ini lebih dominan, maka hal demikian bukan
menjadi perhatian buku ini. Begitu juga buku ini tidak
dalam posisi untuk menilai apakah pelaksanaan otsus
gagal atau berhasil, meskipun dari sejumlah kajian yang
ada di dalamnya bisa disimpulkan apakah yang terjadi
sebuah kegagalan atau keberhasilan. Tentu ada sejumlah
kegagalan yang dikemukakan sebagai fakta, begitu juga
sejumlah keberhasilan selama pelaksanaan otsus, meskipun
keduanya bisa dimaknai secara berbeda. Bisa saja apa yang
disebut sebagai kegagalan itu bisa dianggap sebagai sesuatu
yang wajar terjadi karena besarnya persoalan yang dihadapi
dibandingkan dengan terbatasnya sumber daya pelaksana
kebijakan, baik keterbatasan jumlah dan kualitasnya
serta sejumlah persoalan lain yang masing-masing akan
dibahas dalam sub bab lain sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan otsus.

1.5. Faktor dan Variabel Kritis Otsus


Terlepas mengenai penilaian akan hasil dari
pelaksanaan kebijakan otsus, apakah masuk kategori
gagal atau berhasil, maka di dalam buku ini yang menjadi
fokus kajiannya adalah mengapa hal demikian terjadi,

26 Otonomi Khusus Papua


dan kemudian apa saja faktor yang mempengaruhinya.
Tentu saja sangat banyak faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan otsus, sebagaimana model yang dikemukakan
para ahli dalam upayanya membantu membedah persoalan
pelaksanaan atau implementasi kebijakan. Masing-masing
model yang dikemukakan para ahli memiliki sejumlah
kelebihan dan juga kekurangan dalam membedah sebuah
persoalan pelaksanaan kebijakan, sehingga dalam buku
ini perlu dikemukakan sejumlah model yang dianggap
cukup terkenal dan sering digunakan dalam menganalisis
pelaksanaan kebijakan dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan.
Sesungguhnya otsus adalah kebijakan yang didalamnya
dirancang untuk memberdayakan dan mensejahterakan
masyarakat Papua. Otsus juga dirancang agar sesuai dengan
kondisi obyektif serta karakter dan jati diri orang Papua,
sehingga otsus yang juga berlaku di tanah Papua berbeda
dengan otsus yang berlaku di Aceh (NAD). Jika di Aceh ada
lembaga yang bernama partai lokal (Parlok), maka di Papua
tidak dimungkinkan hadirnya partai lokal, setidaknya
sampai saat ini, sebelum dilakukannya perubahan terhadap
kebijakan otsus. Begitu juga di Aceh tidak dikenal lembaga
yang bernama MRP (majelis rakyat Papua) dan sejumlah
kekhususan lainnnya. Semua khususnya tersebut adalah
sebah upaya terobosan agar tujuan kebijakan lebih mudah
dicapai daripada jika menggunakan ketentuan yang berlaku
umum di pemerintahan daerah Indonesia.
Sebelum masuk ke sejumlah faktor atau variabel
yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan sebagaimana
dikemukakan para ahli administrasi publik, maka perlu
dikemukakan kondisi Papua terkini khususnya yang terkait
dengan kepercayaan (trust) masyarakat terhadap proses

Otonomi Khusus Papua 27


pemerintahan. Aspek kepercayaan ini bisa saja dimasukkan
ke dalam faktor konteks kebijakan, namun untuk konteks
Papua, aspek kepercayaan (trust) memiliki pengaruh yang
berbeda, sebagaimana juga yang terjadi di Aceh, sehingga
perlu perhatian atau bahkan penanganan khusus untuk
memulihkan atau meningkatkan kondisi kepercayaan
pada tingkatan yang dianggap kondusif bagi pelaksanaan
kebijakan.
Maka tidak berlebihan jika beberapa persoalan,
terutama dari sisi konteks kebijakan yang mempengaruhi
pelaksanaan otsus diantaranya, - dan akan mendapat
kajian lebih lanjut dalam buku ini adalah bermuara pada
sebuah kepercayaan (trust) dari masyarakat dan pemangku
kepentingan (stakeholders) yang lain. Kepercayaan adalah
sebuah modal sosial yang sangat penting yang terlahir
melalui sebuah proses panjang. Keberhasilan pelaksanaan
Pepera yang berujung pada integrasi Papua ke dalam
NKRI tidak terlepas dari munculnya kepercayaan (trust)
dan harapan (ekspektasi) yang tinggi ketika itu. Ketika
kepercayaan sekarang ini semakin terkikis oleh berbagai
sebab dan alasan, maka sebuah program atau kebijakan
yang secara substansi sangat bagus atau lebih bagus dari
kebijakan sebelumnya akan sulit dilaksanakan untuk
mencapai tujuaannya.
Kondisi serupa juga berlaku pada kebijakan otsus
yang secara substansi jauh lebih bagus dari kebijakan
sebelumnya, tetapi hal demikian tidak membuatnya mudah
untuk dilaksanakan. Berbagai hambatan muncul, seolah
kebijakan itu sejak awal sudah membawa persoalan karena
isinya yang dianggap memiliki cacat bawaan. Secara
umum, kebijakan otsus yang diberlakukan di tanah Papua
adalah kebijakan yang sangat bagus secara konsepsional,

28 Otonomi Khusus Papua


tetapi karena faktor lain, seperti faktor konteks atau
lingkungan stratejik kebijakan membuat kebijakan ini sulit
dilaksanakan untuk mencapai tujuannya.
Kondisi demikian sejalan dengan pemikiran para
ahli administrasi publik, seperti (Grindle: 1980: 11)
yang menyatakan bahwa ada dua faktor utama yang
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yaitu faktor konten
(content) atau isi kebijakan dan faktor konteks atau
lingkungan stratejik (context) kebijakan yang masing-
masing faktor utama tersebut bisa dirinci menjadi beberapa
sub faktor turunannya, seperti faktor sumber daya
manusia, faktor anggaran, faktor struktur birokrasi, faktor
lingkungan sosial politik, lingkungan alam dan sebagainya.
Semua faktor tersebut terlihat nyata sebagai faktor-faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan otsus di Papua.
Kepercayaan (trust) adalah modal sosial yang memiliki
fungsi sangat penting dan keberadaannya menjadi
landasan atau pondasi bagi faktor-faktor sebagaimana
yang dinyatakan oleh Grindle (1980) tersebut. Hal serupa
juga berlaku bagi faktor faktor lain yang menjadi unsur
penentu pelaksanaan kebijakan publik, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Edwards III (1980) yang merinci 4
(empat) faktor utama yang mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan publik, begitu juga ahli-ahli yang lain seperti
Mazmanian dan Sabatier (1983). Beberapa pendapat para
ahli tersebut serta ahli ahli administrasi publik yang lain
seperti van Meter dan van Horn (1975), Hogwood dan Gunn,
Smith, O Jones dan lainnya masing-masing pendapatnya
akan dijadikan acuan dalam melihat bagaimana otsus itu
dilaksanakan di Papua.
Melalui model-model teoritik yang dikemukakan para
ahli tersebut diharapkan mudah diketahui faktor faktor

Otonomi Khusus Papua 29


mana yang lebih dominan dalam mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan otsus hingga hasilnya seperti sekarang ini. Tanpa
bermaksud memberikan penilaian, apakah kebijakan otsus
itu dianggap gagal atau sebaliknya berhasil, maka melalui
faktor-faktor tersebut akan lebih mudah diketahui akar
penyebab utamanya untuk kemudian dicarikan jalan keluar
pemecahannya. Jika faktor penyebabnya adalah lingkungan
alam berupa faktor topografis ataukah faktor demografis,
maka pembangunan infrastruktur berskala besar dan
masif mungkin saja layak dipertimbangkan sebagai jalan
keluarnya. Lain halnya jika faktor penyebabnya adalah
faktor sosial politik atau status hukum integrasi Papua ke
dalam NKRI yang dianggap menjadi faktor penghambat
otsus, maka solusi lain bisa atau layak dipertimbangkan,
sebagaimana yang terjadi di Aceh pasca MOU Helsinki.
Sebaliknya jika semua faktor-faktor tersebut merupakan
faktor kunci yang menjadi faktor kritis pelaksanaan otsus
berjalin berkelindan sehingga membuat kebijakan otsus sulit
mencapai tujuannya, meskipun de-facto bisa dilaksanakan,
maka perlu kebijakan yang lebih komprehensif atau
menyeluruh yang dilakukan secara simultan di berbagai
lini sekaligus. Jika demikian bisa jadi, kebijakan otsus yang
ada sekarang ini dinilai tidak memadai lagi jika digunakan
sebagai kebijakan ‘payung’ untuk membangun Papua
sehingga perlu diganti atau disempurnakan. Berbagai
usulan terkait perubahan otsus yang mengemuka beberapa
tahun terakhir ini mengindikasikan bahwa kebijakan yang
ada, terutama dari sisi isi atau kontennya dianggap perlu
disempurnakan, meskipun tidak demikian dengan visi dan
misi yang diembannya.
Usulan perubahan atau penyempurnaan otsus juga
terkait dengan faktor obyektif tanah Papua, dari ujung timur

30 Otonomi Khusus Papua


hingga ujung barat yang memiliki karakteristik unik dan
beragam. Perbedaan itu terlihat nyata dari karakteristik
sosial ekonomi dan budaya antara masyarakat pesisir atau
hidup di dekat pantai atau dataran rendah dengan mereka
yang hidup di pegunungan atau dataran tinggi. Masing-
masing wilayah dan kehidupan komunitas masyarakatnya
memiliki keragaman persoalan dan tantangan yang beragam
dan berbeda-beda. Dalam konteks ini kebijakan otsus yang
sejauh ini ‘seragam’ dianggap tidak lagi memadai sehingga
perlu dirubah, meskipun secara konsepsional ia dianggap
bagus atau terlalu maju (visioner). Usulan peruhan itu
misalnya mengenai pemilihan kepala desa secara langsung
yang diusulkan dirubah mekanismenya.
Intinya, tentu saja tidak semua wilayah di tanah
Papua menghadapi persoalan yang sama atau seragam.
Bisa dinyatakan bahwa pelaksanaan otsus di Papua Barat,
khususnya di kabupaten Sorong tidak sekompleks atau
serumit dibandingkan persoalan serupa yang ada di provinsi
Papua (‘Timur’). Faktor sosial politik yang menjadi batu
sandungan pelaksanaan otsus di sebagian wilayah Papua
(‘Timur’), relatif tidak menjadi persoalan di provinsi Papua
Barat. Dalam kontek ini wilayah Papua Barat dianggap lebih
ringan dalam menghadapi faktor sosial politik, khususnya
yang terkait dengan aksi-aksi separatisme dan gerakan
bersenjata yang secara sporadis masih muncul di beberapa
wilayah di pegunungan dan pedalaman Papua (‘Timur’).
Meskipun demikian tidak berarti bahwa persoalan
yang menjadi hambatan pelaksanaan otsus di Papua Barat
menjadi lebih ringan, meskipun faktanya demikian jika
dibandingkan dengan wilayah di Papua (‘Timur’). Secara
umum faktor faktor lain, seperti faktor sumber daya manusia
dan jaringan infrastruktur, kondisinya lebih baik di Papua

Otonomi Khusus Papua 31


Barat, sehingga hal demikian menjadikan pelaksanaan otsus
di Papua Barat relatif lebih mulus. Namun dalam konteks
dan kasus tertentu bisa saja kondisinya berbeda, dimana
ada sejumlah daerah atau wilayah di Papua Barat yang
memiliki karakter persoalan yang berbeda, sehingga perlu
penanganan yang berbeda pula agar capaian atau hasil dari
pelaksanaan otsus bisa jauh lebih dioptimalkan dari yang
ada sekarang. Misalnya di kota Sorong, kabupaten Sorong
dan Raja Ampat yang memiliki karakter daerah kepulauan
dan berbagai keunikan lainnya, maka faktor-faktor krusial
atau kritis dalam pelaksanaan otsus tentu saja berbeda.
Semua faktor faktor tersebut perlu dibedah dan dianalisa
secara obyektif, tanpa bermaksud memberikan penilaian
kegagalan atau keberhasilan sebuah pelaksanaan kebijakan,
meskipun penilaian tersebut secara tidak langsung bisa
dilakukan.

1.6. Faktor Kepercayaan (Trust)


Kata orang bijak, seberapapun kecil capaian atau hasil
yang bisa diperoleh, bahkan jika ia adalah suatu pemberian,
maka keberadaan pantas atau perlu disyukuri. Berbekal
rasa syukur itu, sejumlah upaya perbaikan bisa lebih
mudah dilakukan. Jangan hanya karena capaian atau hasil
itu belum seperti yang diharapkan, setidaknya sebagian
besar, maka sesuatu yang sudah diperoleh dianggap sama
sekali tidak berarti dan kemudian dicampakkan. Sikap
dan cara pandang demikian sangat penting dalam menilai
pelaksanaan otonomi khusus selama ini yang hampir
berjalan 13 tahun.
Seperti dinyatakan sebelumnya bahwa ada sejumlah
capaian positif atau keberhasilan, begitu juga kelemahan
atau kekurangan yang mengiringinya. Ada sejumlah daerah

32 Otonomi Khusus Papua


atau wilayah yang bisa dinilai kurang berhasil, tetapi tidak
sedikit pula daerah yang dianggap berhasil atau relatif
sukses. Sejumlah daerah di wilayah Papua Barat bisa
dianggap cukup berhasil dalam melaksanakan otonomi
khusus, meskipun diakui masih banyak persoalan yang
harus dibenahi, sehingga tujuan dasar dari otonomi khusus
bisa berhasil diraih. Bukan hanya pembangunan yang
berhasil dilakukan tetapi yang lebih penting adalah tujuan
dari otonomi khusus itu, dimana pembangunan adalah salah
satu indikatornya.
Terlepas dari kekurangan dan kelemahan, baik dari
sisi isi kebijakan otonomi khusus sehingga beberapa tahun
terakhir muncul usulan untuk menyempurnakannya,
begitu juga terlepas dari persoalan implementasi atau
pelaksanaannya yang belum membuahkan hasil yang
optimal, sebagaimana yang diharapkan, maka otonomi
khsusunya adalah sebuah terobosan atau (breakthrough)
yang harus disikapi sebagai sesuatu yang positif. Ia bukan
hanya sebuan terobosan yang bemakna politis, yaitu untuk
meredam tuntutan kemerdekaan atau separatisme, tetapi
juga bermakna sekaligus membawa misi mendasar dari sisi
administrasif publik dan pemerintahan.
Melalui pelaksanaan otonomi khusus diharapkan
ada perbaikan dalam mengelola pemerintahan, sehingga
berbagai tujuan pemerintahan lebih mudah dicapai. Sesuatu
yang sebelumnya sulit diwujudkan diharapkan berubah
menjadi lebih mudah untuk melakukannya semenjak
adanya kebijakan yang bersifat khusus. Melalui kebijakan
ini bukan hanya kewenangan pemerintahan daerah di
tanah Papua yang semakin luas dan juga khusus, tetapi
juga besaran anggaran dan alokasinya mendapat ‘perhatian
khusus’, antara lain dalam bentuk dana otonomi khusus,

Otonomi Khusus Papua 33


yang hingga saat ini jumlahnya tidk kurang dari angka 40,8
triliun rupiah. Tentu bukan jumlah yang kecil, disamping
dana lain yang dikucurkan pemerintah pusat dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, sebagaimana
daerah daerah lain di Indonesia yang jumlahnya juga
meningkat signifikan seiring dengan perubahan sistem
pemerintahan daerah yang semakin terdesentralisasi.
Dari sisi isi kebijakan, maka kebijakan otsus
adalah kebijakan yang membawa perubahan signifikan,
bahkan beberapa ketentuannya bisa disebut radikal atau
revousioner. Sesuatu atau ketentuan yang sebelumnya tidak
ada, menjadi ada dalam otonomi khusus. Kewenangan yang
sebelumnya sangat terbatas dimana pemerintah daerah
lebih banyak melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi
dari pemerintah pusat, berubah menjadi pelaksana tugas
desentralisasi yang tentunya diikuti dengan kewenangan
dan sumberdaya yang diperlukan. Tidak berlebihan jika
ada sementara pihak yang menyebut semua perubahan
itu merupakan ‘arus balik’ dalam sistem pemerintahan di
Indonesia: dari yang sebelumnya sangat tersentralisasi
berubah menjadi sangat terdesentralisasi.
Lebih khusus bagi pemerintah daerah di Papua dan juga
Aceh (NAD) yang tidak selang berapa lama mendapat status
daerah otonomi khusus, yaitu pada tahun 2001. Sebuah
status yang istimewa atau berbeda dengan daerah otonom
lainnya di Indonesia. Bukan hanya sifat-sifat khusus yang
diberikan kepada kedua daerah di ujung timur (Papua) dan
di ujung barat (NAD) Indonesia yang diperlakukan khusus,
tetapi di dalam undang-undang tersebut sesungguhnya
membawa misi khusus terkait dengan sejumlah fakta atau
kondisi obyektif kedua daerah itu yang juga khusus.

34 Otonomi Khusus Papua


Disebut demikian karena otonomi khusus adalah
kebijakan yang sejak awal didesain dengan titik tekan untuk
mencari jalan pintas (terobosan) dalam memberdayakan
dan mempercepat pembangunan di kedua wilayah itu.
Sebagaimana ketentuan khusus yang berlaku di Aceh (NAD),
maka di Papua (tentunya termasuk Papua Barat) juga ada
ketentuan khusus yang diharapkan mampu menjawab
sejumlah persoalan krusial yang dihadapi masing-masing
daerah tersebut.
Meskipun kebijakan tersebut (otsus) berlabel
khusus, seolah ia adalah sesuatu yang sama sekali baru,
sesungguhnya kebijakan yang berlabel khusus itu bukan
sesuatu yang sama sekali baru jika dikaitkan dengan
maksud dan tujuan yang hendak dicapai. Barangkali yang
berbeda adalah model atau cara yang digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut. Lagi pula kebijakan otsus lahir
dalam konteks atau konstalasi sistem sosial politik Indonesia
yang sedang berubah semakin demokratis. Dalam konteks
ini kebijakan otsus sesungguhnya bukan sesuatu yang
luar biasa. Lain halnya jika kebijakan otsus lahir dalam
sistem pemerintahan model orde baru yang sentralistik dan
otoritarian.
Sesungguhnya, sejak dulu sejatinya telah banyak
kebijakan yang secara substansi atau maksudnya untuk
memberdayakan masyarakat, termasuk masyarakat Papua
yang ketika itu bernama Irian Jaya. Ada banyak kebijakan
untuk tanah Papua atau Irian Jaya, baik yang dirintis
oleh pemerintah orde baru dan kebijakan lainnya yang
berlaku hingga kini, yang maksud dan tujuannya sama
yaitu untuk memberdayakan masyarakat Papua. Hanya
saja kebijakan tersebut, tidak terkecuali kebijakan otsus
yang dinilai hasilnya masih jauh dari harapan. Kebijakan

Otonomi Khusus Papua 35


otsus hasilnya sering dianggap setali tiga uang atau kurang
memberi manfaat atau sesuai dengan apa yang diinginkan
masyarakat Papua.
Apakah hal demikian terjadi karena tingginya
harapan, berbanding terbalik dengan rendahnya capaian
ataukah karena salah satunya, yaitu capaian yang memang
rendah ataukah karena harapan masyarakat yang memang
sangat tinggi. Bila yang terjadi adalah tingginya harapan
masyarakat yang tidak mampu dipenuhi, sementara kinerja
pemerintahan sesungguhnya telah berupaya keras untuk
melaksanakan kebijakan otsus, maka hal demikian tidak
perlu dibesar-besarkan.
Bila demikian, aspek kepercayaan (trust) menjadi
sesuatu yang sangat penting untuk memberikan pemahaman
yang obyektif terhadap apa yang terjadi sehingga tujuan
otsus belum bisa diraih sesuai dengan harapan masyarakat.
Sementara itu kepercayaan bisa dibangun lebih baik jika
ada komunikasi (communication) yang baik dan intensif
dari pelaksana kebijakan. Dalam kaitan ini tidak salah jika
Edward III (1980) menempatkan aspek komunikasi sebagai
faktor utama yang menentukan keberhasilan pelaksanaan
kebijakan disamping tiga faktor lainya, yaitu faktor sumber
daya, perilaku birokrasi dan struktur organisasi.
Atas dasar itu, diantara faktor-faktor tersebut, ada
faktor khusus yang menjadi perhatian buku ini yaitu faktor
kepercayaan (trust) dri masyarakat terhadap pemerintah,
termasuk kebijakan yang diterbitkan untuk membangun
Papua. Faktor kepercayaan mendapat perhatian dan
sekaligus titik masuk untuk membahas faktor-faktor yang
lain, sebagaimana yang dikemukakan para ahli administrasi
publik tersebut. Tentu saja faktor kepercayaan (trust) dalam
arti luas akan dielaborasi dan dijabarkan menjadi faktor

36 Otonomi Khusus Papua


faktor lainnya dengan sebutan yang lain, tetapi faktor
kepercayaan ini menjadi salah satu faktor utama yang
menjadi pintu masuk sekaligus dasar dalam pelaksanaan
kebijakan otsus.
Dengan demikian pelaksanaan kebijakan otsus itu
tidak hanya dilihat dan dianalisis dalam perspektif teknis
administratif sempit, tetapi dalam perspektif yang lebih
luas dan substansial, dimana aspek sosial politik, budaya
dan lingkungan fisik wilayah Papua menjadi sesuatu yang
penting untuk dipertimbangkan pengaruhnya. Bahkan
beberapa diantaranya mungkin saja menjadi faktor utama
yang selama ini sering dianggap sebagai persoalan ringan
dan hanya didekati dengan pendekatan teknis administratif
sempit. Misalnya soal pembangunan infrastuktur berupa
jalan dan jembatan dan juga pembangunan sarana fisik
lainnya yang banyak dilihat sebagai perkerjaan teknis
semata, seolah setelah pembangunan itu dilaksanakan
maka semuanya dianggap akan berjalan dengan sendirinya.
Faktor kepercayaan menjadi sesuatu yang penting dan
sekaligus krusial karena ada indikasi semakin menurunnya
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
pusat, termasuk kepercayaan terhadap sejumlah
kebijakan yang diterbitkanya. Kondisi demikian yang
secara tidak langsung menghambat pelaksanaan sebuah
kebijakan, tidak terkecuali kebijakan otsus yang pada awal
kemunculannya diwarnai oleh sikap pro dan kontra serta
pesimisme dari sejumlah kalangan. Seharusnya melalui
otsus itu kepercayaan masyarakat bisa dipulihkan, tetapi
fakta yang terjadi ternyata tidak seperti harapan, sehingga
memunculkan sejumlah kekecewaan lanjutan.
Fakta ini tidak perlu ditutup-tutupi, apalagi jika
dianggap sepele atau ringan karena bisa berujung

Otonomi Khusus Papua 37


pada pembusukan sosial (social decay) yang sangat
kontraproduktif dampaknya. Fakta demikian harus dibuka
selebar-lebarnya, guna mencari jalan keluar sehingga
kepercayaan (trust) yang masih ada bisa dipelihara dan
ditingkatkan. Bukankah salah satu tujuan pembangunan
dan proses pemerintahan itu dimaksudkan untuk
memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Melalui kepercayaan itu partisipasi masyarakat bisa lebih
ditingkatkan, sehingga pada gilirannya pemerintah akan
menempatkan diri sebagai fasilitator dan dinamisator, bukan
seperti sekarang dimana pemerintah lebih banyak berperan
di depan, sehingga dalam setiap pelaksanaan pembangunan
sering merasa semua tidak cukup dan keteteran dalam
menghadapi kompleks dan besarnya persoalan di Papua.
Kondisi dilematis tersebut tidak akan terjadi jika
kepercayaan dan kemudian partisipasi masyarakat dapat
ditingkatkan, sehingga pada akhirnya aktor utama yang
menentukan jalannya pembangunan di Papua itu bukan
semata pemerintah tetapi justru masyarakat. Dengan
demikian pembangunan yang dilaksanakan di Papua, bukan
hanya semakin efektif dan efisien, tetapi lebih mendasar
lagi yaitu sesuai dengan aspirasi dan keinginan masyarakat
Papua.
Kondisinya sekarang berbeda dengan kondisi
kepercayaan masyarakat yang begitu besar, terutama di awal
awal integrasi Papua ke dalam NKRI. Kondisi kepercayaan
(trust) serupa sekarang ini sulit diraih karena berbagai
program dan pelaksanaan pembangunan di Papua dianggap
masih jauh dari apa yang menjadi harapan masyarakat
Papua. Terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan otsus
dengan hasil yang bisa dihadirkan pemerintah. Artinya
ada persoalan kepercayaan secara vertikal yaitu antara

38 Otonomi Khusus Papua


pemerintah atau negara dengan masyarakat lokal di
Papua. Secara horisontal juga demikian, dimana persoalan
kepercayaan vertikal tersebut juga mempengaruhi
hubungan secara horisontal atau di antara masyarakat akar
rumput.
Dalam konteks ini, faktor kepercayaan menjadi sesuatu
yang sangat penting dan mendasar dalam pelaksanaan
otsus. Oleh karena itu yang diperlukan bukan hanya berupa
perbaikan dalam pelaksanaan otsus agar memberikan
manfaat bagi kesejahteraan penduduk asli Papua, tetapi
juga dibuka kemungkinan untuk merubah otsus dengan
cara menyempurnakannya, sebagaimana usulan yang
mengemuka beberapa tahun terakhir ini. Kondisi atau
hal demikian akan menjadi salah satu pertimbangan
atau rekomendasi buku ini bahwa berangkat dari aspek
kepercayaan yang tinggi banyak hal bisa dilakukan untuk
memperbaiki pelaksanaan otsus. Begitu juga sebaliknya,
jika kepercayaan masyarakat kondisinya masih sangat
rendah, maka pelaksanaan otsus bukan hanya akan sulit
dilaksanakan, tetapi juga kemungkinan meleset dari
sasaran yang ditetapkan.

1.7. Kebijakan Penting, Implementasi Lebih Penting


Pernah suatu ketika penulis menyatakan kepada
masyarakat Papua yang intinya secara verbal mengajak
masyarakat agar jangan terlalu berharap kepada otsus,
karena ia adalah sesuatu kebijakan yang hasilnya tergantung
dari bagaimana ia dilaksanakan atau diimplementasikan.
Sebagus apapun kebijakan itu, hanya akan bermakna di
atas kertas jika ia sama sekali tidak dilaksanakan atau
diimplementasikan secara salah. Pada kesempatan lain,
penulis juga pernah menghimbau kepada sejumlah orang

Otonomi Khusus Papua 39


yang sebelumnya terlalu banyak berharap pada sebuah
kebijakan bernama otsus yang dianggap monumental dan
dianggap sebagai jawaban atas persoalan sosial politik,
budaya dan ekonomi di Papua.
Dari pernyataan dan himbauan penulis tersebut
sesungguhnya menyiratkan maksud yang lebih dalam
bahwa kebijakan otsus itu hanya merupakan sebuah alat,
dan bukan satu satunya alat yang diperlukan masyarakat
Papua untuk mencapai derajat kesejahteraan dan
kemakmuran yang lebih baik dari sebelumnya. Lebih dari
itu, diperlukan konsistensi dan kesungguhan implementasi
sehingga dapat diperoleh sebuah hasil yang lebih selaras
dengan apa yang diinginkan masyarakat Papua.
Jika ternyata masih saja ada persoalan terkait dengan
hasil yang diperoleh selama pelaksanaan otsus, maka
pertama-tama yang harus ditelusuri adalah bagaimana
proses implementasi itu dilakukan. Artinya, jika secara
umum dianggap tidak ada yang salah dengan isi kebijakan
otsus, maka faktor-faktor lain yang terkait dengan sumber
daya kebijakan, organisasi pelaksana dan juga lingkungan
kebijakan perlu mendapat perhatian. Ketika munculnya
kesalahan atau kekurangan dalam implementasi kebijakan
bukan pada konsepnya, melainkan pada aspek atau faktor-
faktor yang lain, maka faktor-faktor tersebut yang perlu
diselidiki atau dikoreksi, sehingga proses implementasi
kebijakan lebih mudah dilakukan dalam mencapai
tujuannya.
Misalnya, jika muncul persoalan mengenai alokasi
dana otsus yang disinyalir menjadi lahan bancakan
kaum elit pusat dan daerah, maka hal demikian terjadi
bukan karena isi kebijakan otsus, tetapi pada faktor yang
lain, misalnya struktur organisasi pelaksana dan juga

40 Otonomi Khusus Papua


perilaku dari pelaksana kebijakan. Sebagai contoh, data
hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
terhadap anggaran otsus periode 2004-2009 menyebutkan
ada penyimpangan sebesar 578 miliar rupiah atau 16
persen. Sekitar 70 persen penyimpangan tersebut berupa
pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Bentuknya proyek-proyek fiktif, penggelembungan nilai
proyek, belanja yang menyimpang dan lain-lain. Tentu
saja akibat dari kondisi tersebut hasil atau manfaat otsus
bukannya kesejahtaraan masyarakat Papua, yang ada
justru munculnya perilaku korup para pejabat di daerah
yang sangat mungkin berjamaah dengan jejaring pusat.
Terlepas dari akurasi data dan fakta tersebut,
meskipun ia dirilis oleh lembaga yang kompeten, maka fakta
demikian menunjukkan bahwa akar persoalan otsus bukan
pada isi kebijakan otsus, melainkan pada faktor-faktor yang
lain. Sejumlah faktor tersebut akan mendapat perhatian
dan analisis mendalam pada bab bab berikutnya dengan
mengacu pada pendapat atau model teoritik implementasi
kebijakan yang dikemukakan para ahli administrasi publik
setelah sebelumnya diuraikan sejumlah konsep atau teori
terkait dengan model implementasi kebijakan di ranah
publik.
Pemahaman demikian menjadi sesuatu yang sangat
penting, sehingga solusi yang ditawarkan pemerintah dan
aparat pelaksana kebijakan menjadi tepat sasaran. Jika
akar persoalannya bukan pada isi kebijakan, maka yan perlu
mendapat perhatian pemerintah bukannya mengeluarkan
serangkaian kebijakan lanjutan, meskipun ia dimaksudkan
untuk mempercepat pembangunan Papua. Kebijakan
lanjutan yang terkait dengan otsus diperlukan, tetapi yang
lebih penting adalah membenahi sejumlah faktor krusial

Otonomi Khusus Papua 41


yang terkait dengan perilaku, sumber daya pelaksana,
komunikasi dan sosialisasi program kebijakan atau aspek-
aspek yang lain seperti membangun trust yang lebih baik
dan melakukan reorientasi pendekatan pembangunan yang
selama ini dilakukan.
Argumen demikian dimaksudkan untuk mengkritisi
serangkaian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
dalam merespon setiap ada persoalan terkait otsus,
yang kemudian direspon oleh pemerintah pusat dengan
mengeluarkan kebijakan yang antara lain dimaksudkan
untuk mempercepat pembangunan Papua. Sebagaimana
tercatat, setelah lebih dari sepuluh tahun perjalanan
otsus sejak 2001, maka pemerintah pada 20 September
2011 menandatangani dua peraturan presiden (perpres).
Pertama, perpres nomor 65 tahun 2011 tentang Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua,
Perpres nomor 66 tahun 2011 tentang Unit Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua
kebijakan tersebut adalah bentuk pengakuan bahwa ada
persoalan terkait pelaksanaan otsus yang belum sesuai
dengan apa yang diharapkan, baik oleh pemerintah daerah
dan masyarakat Papua, juga oleh pemerintah pusat.
Tanpa mengecilkan arti dan fungsi dua kebijakan
tersebut, ada hal yang lebih penting dalam pelaksanaan
otsus adalah koreksi mendasar yang difokuskan pada aspek
atau faktor kunci yang mempengaruhi pelaksanaan otsus
sehingga belum berhasil seperti yang diharapkan. Jika
faktor penyebabnya adalah sumber daya manusia atau
sumber daya berupa dana dan alokasinya, maka aspek-
aspek tersebut yang secara khusus mendapat perhatian
untuk segera ditangani. Tentu saja masing-masing daerah
di Papua memiliki keragaman persoalan terkait dengan

42 Otonomi Khusus Papua


pelaksanaan otsus, sehingga kebijakan yang diperlukan
bukan kebijakan yang umum dan mencakup atau berlaku
seluruh Papua (termasuk Papua Barat), melainkan
kebijakan yang secara spesifik diarahkan untuk mengatasi
problem lokal. Dalam hal ini kebijakan tersebut bisa
diterbitkan oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat
yang khusus diarahkan untuk daerah yang bersangkutan.
Intinya bahwa kompleksitas persoalan Papua tidak bisa
diselesaikan dengan kebijakan yang sifatnya umum, karena
sesungguhnya telah ada kebijakan yang menjadi payung,
yaitu otsus.
Lebih penting dari itu adalah bagaimana melaksanakan
kebijakan yang sudah ada dan bukan mengeluarkan
serangkaian kebijakan lain, karena sesungguhnya telah
banyak kebijakan yang terkait dengan Papua, namun
lagi-lagi hasilnya masih jauh dari harapan masyarakat.
Masyarakat tidak begitu melihat bagaimana kebijakan
terkait Papua telah diterbitkan oleh pemerintah, baik
pemerintah pusat atau pemerintah daerah, tetapi
pemahaman sederhana masyarakat adalah bagaimana hasil
dari pelaksanaan kebijakan tersebut bagi kesejahteraan dan
kepentingan masyarakat Papua. Bahkan sebuah kebijakan
yang kualitasnya secara konsepsional dinilai kurang bagus,
mungkin saja lebih bisa diterima oleh masyarakat Papua
ketika dalam pelaksanaannya mampu memberikan hasil
dan manfaat besar bagi kepentingan masyarakat Papua.
Idealnya tentu saja kebijakan yang diterbitkan adalah
berkualitas baik dan dapat diimplementasikan dengan baik
pula.
Tetapi fakta menunjukkan bahwa kebijakan otsus
beserta serangkaian kebijakan yang terkait dengannya
sudah tergolong baik secara konsepsional dan teoritik,

Otonomi Khusus Papua 43


tetapi dalam pelaksanaannya ternyata tidak mudah.
Banyak hambatan yang muncul sehingga harus diakui
bahwa selama lebih dari 13 tahun pelaksanaan otsus belum
memberikan hasil yang memuaskan. Hal tersebut terjadi
karena kebijakan ini belum sepenuhnya tersistem dengan
baik, meskipun secara substansi atau isi kebijakan sudah
tergolong baik. Misalnya soal alokasi dana otonomi khusus
yang lebih ditonjolkan daripada aspek atau faktor yang lain,
sehingga substansi otsus dalam pelaksanaan otsus seolah
olah terletak dari besaran dana yang didistribusikan oleh
pemerintah pusat ke daerah. Akibatnya muncul pemahaman
yang salah dimana banyak aparat pelaksana kebijakan dan
juga masyarakat lebih mengejar pemakaian dana otonomi
khusus dari pada membuat kebijakan – kebijakan dasar
agar dana otsus bisa dialokasikasikan ke sasaran yang tepat
dan dengan besaran yang tepat pula.
Memang benar bahwa keberadaan dana otsus menempati
peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan otsus,
tetapi ia bukan satu satunya yang penting. Ada sejumlah
faktor lain yang juga penting seperti sumber daya pelaksana,
struktur organisasi dan perilaku aparat pelaksana. Masing-
masing unsur atau faktor tersebut memiliki peranan yang
menentukan keberhasilan otsus dalam mencapai tujuannya.
Fakta demikian telah dibuktikan melalui berbagai studi
atau penelitian yang dilaksanakan para ahli, sebagaiana
yang dikemukakan oleh Edward IIIs (1980) dan juga
para ahli lain. Bahwa sesungguhnya banyak faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan atau implementasi kebijakan.
Masing-masing faktor memiliki peranan yang menentukan
keberhasilan kebijakan dalam mencapai tujuaannya.
Jika faktor sumber daya berupa dana atau anggaran
dianggap sebagai faktor yang paling penting dalam

44 Otonomi Khusus Papua


pelaksanaan otsus, maka hal demikian sah-sah saja dan
tentunya harus dibuktikan dalam pelaksanaannya. Apakah
faktor dana atau besaran anggaran beserta alokasinya
merupakan faktor utama ataukah ada faktor lain yang
juga sangat penting seperti faktor sumber daya manusia
dan perilakunya. Begitu juga faktor lingkungan sosial
politik, bahkan lingkungan alam seperti kondisi topografis
Papua, apakah juga memiliki kontribusi besar dalam proses
pelaksanaan otsus. Semua faktor tersebut harus diuji dan
dinilai melalui proses implementasi kebijakan, sejauh mana
diantara faktor-faktor tersebut yang paling berperanan
besar dan menentukan.
Bisa jadi diantara faktor-faktor tersebut memiliki
peran dan pengaruh yang berbeda-beda, antara daerah
atau wilayah yang satu dengan wilayah lain yang ada di
tanah Papua. Misalnya di kabupaten Sorong dan wilayah
sekitarnya, maka faktor sosial politik ternyata tidak
berpengaruh besar dibandingkan dengan wilayah Papua
yang ada di Pegunungan Tengah dan sekitarnya. Kondisi
sosial politik wilayah kabupaten Sorong dan sekitarnya,
bahkan wilayah Papua Barat pada umumnya relatif kondusif
dibandingkan wilayah lain yang ada di Pegunungan Tengah
dan sekitarnya yang masih disibukkan oleh aksi-aksi
gerakan bersenjata dan separatisme, meskipun ia bersifat
insidental dan sporadis. Logika serupa juga berlaku untuk
kasus dan faktor yang lain, misalnya di daerah pemekaran,
maka faktor sumber daya manusia mungkin lebih krusial
dan menentukan dibandingkan persoalan suber daya
berupa anggaran atau dana otsus yang besarannya sudah
ditentukan mengacu rumusan tertentu.

Otonomi Khusus Papua 45


46 Otonomi Khusus Papua
BAB II

KONDISI UMUM IMPLEMENTASI


OTSUS

2.1. Kondisi Terkini Otsus: No point to the return


Ibarat sebuah perjalanan panjang (journey), maka
pelaksanaan otsus sudah mencapai paruh waktu yang
dijadwalkan. Pada kurun waktu tersebut, kondisinya
relatif stabil dan dapat dikendalikan, setelah sebelumnya
menghadapi sejumlah persoalan yang berusaha menunda
bahkan membatalkan perjalanan. Begitu juga yang dialami
selama pelaksanaan otsus hingga saat ini, yang pada
awalnya menghadapi banyak tantangan dari berbagai pihak
yang berusaha membatalkannya seiring dengan fakta yang
menunjukkan adanya sejumlah ketidakberhasilan terkait
dengan sejumlah faktor yang melingkupinya. Namun
kondisi krusial tersebut akhirnya bisa dilalui, dan ‘perahu
otsus’ berhasil dengan selamat mengarungi sejumlah karang
terjal yang ada di sekelilingnya, setidaknya hingga saat ini.
Semua itu tentu harus disyukuri, sebab ia adalah
pelajaran berharga yang hanya bisa diperoleh melalui
praktik, yang tentunya sangat berguna sekaligus sebagai
bekal untuk menyempurnakan pelaksanaan otsus di tahun-
tahun berikutnya. Paralel dengan kondisi yang semakin
kondusif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya terutama
di awal awal pelaksanaan otsus, maka saat ini merupakan
momentum untuk mempercepat laju otsus. Meskipun
sebagian kalangan masih mempersoalkan kualitas atas
hasil yang dicapai, namun sebagian kalangan lain meyakini
bahwa pelaksanaan otsus kini sudah berada pada titik
dimana tidak ada pilihan yang lebih rasional untuk kembali
(no point to the return). Pilihan yang paling masuk akal
adalah melanjutkan perjalanan sesuai dengan jadwal
hingga batas waktu yang ditentukan yaitu 25 tahun dari
jadwal dimulainya otsus yaitu awal tahun 2002.
Jika di awal-awal pelaksanaan otsus, nyaring terdengar
suara dan upaya untuk membatalkan pelaksanaan otsus
atau mencari format baru untuk mengatasi persoalan Papua,
seperti melakukan referendum ulang untuk menggantikan
‘referendum’ serupa yang bernama Pepera. Tetapi, upaya
tersebut faktanya tidak berhasil mengagalkan pelaksanaan
otsus, kecuali menghambat kecepatan perjalanan otsus.
Sekarang ini kondisinya jauh berbeda dengan kurun waktu
antara 2001-2004 dimana telah terjadi sejumlah hasil
nyata sebagai buah dari pelaksanaan otsus, sehingga bisa
dikatakan bahwa sekarang ini tidak ada alasan yang lebih
kuat kecuali terus melaksanakan dan berusaha memperbaiki
sejumlah kekurangan yang masih mengemuka.
Dalam perspektif ini pendekatan administrasi publik
dalam melihat dan mengkritisi pelaksanaan otsus menjadi
sesuatu yang penting, dibandingkan dengan pendekatan
lain, seperti pendekatan politis atau yuridis dalam melihat
otsus. Pendekatan administrasi publik ini akan melihat
bagaimana otsus dilaksanakan dan apa kendalanya serta
bagaimana hasilnya, terlepas dari persoalan keabsahan
atau legitimasi politik dari sebuah kebijakan yang bernama
otsus yang faktanya sudah diterapkan di tanah Papua.
Faktor politik dan juga faktor yang lain, seperti lingkungan

48 Otonomi Khusus Papua


sosial budaya adalah faktor penting yang keberadaannya
dalam pendekatan administrasi publik adalah sebuah faktor
diantara faktor faktor lain yang mempengaruhi pelaksanaan
atau implementasi kebijakan (otsus).
Keberadaan pendekatan administrasi publik menjadi
sesuatu yang penting dan akan semakin penting di masa
masa yang akan datang terutama terkait dengan hasil dan
manfaat otsus dan mencapai tujuannya. Terlebih ketika
pelaksanaan otsus itu sudah berjalan sekian lama yaitu
lebih dari satu dasawarsa, dan kemungkinan besar akan
terus berlanjut hingga jadwal yang ditentukan. Keyakinan
tersebut didasari fakta bahwa secara umum, kondisi
pelaksanaan otsus terkini relatif tidak menghadapi badai
atau gelombang besar, melainkan riak riak kecil yang
biasanya menjadi domian organisasi pelaksana kebijakan
atau organ administrasi publik untuk mengatasinya.
Bisa dinyatakan bahwa kondisinya sekarang ini secara
kelembagaan atau struktur organisasi sudah mencapai
kematangan atau setidaknya proses pemantapan. Jika
ia merupakan sebuah bangunan, maka kondisinya sudah
berada pada tahap kestabilan dalam pelaksanaan untuk
ditingkatkan atau dimantapkan sehingga laju pelaksanaan
otsus bisa semakin dipercepat dan disempurnakan.
Upaya pemantapan tersebut termasuk upaya untuk
menyempurnakan terhadap materi atau sejumlah isi
kebijakan otsus, sebagaimana yang banyak mengemuka
akhir akhir ini, misalnya terkait soal proses pemilihan
kepala daerah dan aspek kekhususan dari otsus lainnya
yang perlu diperluas sehingga tujuan otsus bisa benar-benar
lebih mudah dicapai.
Kini saatnya melakukan sejumlah langkah evaluasi
dan penyempurnaan terhadap sejumlah persoalan yang

Otonomi Khusus Papua 49


masih menghambat pelaksanaan otsus. Bagi pihak pihak
yang sebelumnya tidak setuju dan berupaya menghambat
otsus, maka langkah strategis lain yang pantas dilakukan
sekarang ini bukan lagi melakukan upaya yang bermaksud
membatalkan kebijakan otsus sekalipun keberadaannya
tetap saja dianggap gagal dalam mencapai misinya.
Faktanya kebijakan otsus mendapat penerimaan luas dan
hingga kini terus melaju mencapai tujuannya, meskipun
belum tentu sepenuhnya berhasil, sebagaimana kebijakan-
kebijakan yang lain, baik yang ada di Papua atau di daerah
lain di Indonesia juga menghadapi persoalan berupa
hambatan dalam pelaksanaannya.
Dalam konteks dan perspektif demikian, menjadi wajar
jika masih saja ada pihak-pihak berusaha menghambat
pelaksanaan otsus hanya karena kebijakan tersebut dianggap
gagal melaksanakan misinya. Begitu juga sebaliknya, tidak
sedikit pihak yang mendukung pelaksanaan otsus karena
melihat hasil nyata yang telah ditunjukkan, meskipun
mereka belum puas atas kinerja yang dihasilkan yang
dianggap belum sesuai dengan harapan. Kondisi demikian
adalah sesuatu yang wajar dalam setiap pelaksanaan
kebijakan, tidak terkecuali kebijakan otsus Papua.
Dalam konteks dan perspektif ini pula, sebagai kami
selaku pejabat pemerintah daerah yang merupakan salah
satu pelaksana kebijakan otsus, maka setiap kali ada yang
mengatakan otsus itu gagal, maka sebagai manusia tentu
saja muncul perasaan sedih, bukan karena penulis adalah
salah satu pelaku yang berperan penting setidaknya di
kabupaten Sorong. Meskipun penilaian akan kegagalan
otsus tersebut tidak dialamatkan untuk kabupaten Sorong
melainkan menunjuk pada sejulah kabupaten lainnya, tetapi
sebagai orang Papua asli yang lahir dan besar dan kemudian

50 Otonomi Khusus Papua


menjadi pelaku dalam malaksanakan otsus, maka penilaian
tersebut menurut penulis merupakan penilaian tidak fair,
jika otsus dianggap gagal dilaksanakan. Faktanya ada
sejumlah kemajuan yang berarti, meskipun diakui masih
banyak capaian yang belum seperti yang diharapkan.
Kesedihan penulis tersebut seketika berakhir ketika
melihat fakta bahwa di daerah lain di luar Papua juga sering
mengemuka penilaian dari sejumlah kalangan yang intinya
menyebut atau menunjuk sejumlah kebijakan yang menjadi
domain pemerintah daerah dianggap gagal dilaksanakan.
Tentu saja penilaian tersebut tidak dimaksudkan untuk
menunjuk pada sebuah kegagalan total dalam proses
pelaksanaan kebijakan, melainkan kegagalan yang relatif
dimana ada sejumlah capaian yang belum mampu memenuhi
harapan target kebijakan. Dalam konteks demikian menjadi
mahfum jika hampir setiap tahun sering dinyatakan oleh
sejumlah pihak bahwa kebijakan otsus belum mencapai
tujuannya.
Tentu saja pernyataan berupa penilaian (judgement)
tersebut mengandung maksud dan tujuan yang kurang lebih
sama dengan pernyataan atau penilaian serupa di daerah
lain yang intinya hendak menegaskan bahwa pemerintah
selaku pelaksana kebijakan belum sepenuhnya berhasil
melaksanakan tugas dan fungsinya. Ketidakberhasilan –
jika disebut demikian - juga merujuk pada dimensi persoalan
yang lebih luas, termasuk ketidakberhasilan dalam
memberantas korupsi dan menyelenggarakan tata kelola
pemerintah yang baik (good governance) dan sebagainya.
Fakta atau fenomen demikian sesungguhnya merupakan
fakta umum yang masih menggejala di Indonesia, jadi
bukan khas Papua sebagaimana sering distigmatisasikan
secara sepihak.

Otonomi Khusus Papua 51


Harus diakui, untuk beberapa kasus tertentu
pelaksanaan otsus selama ini belum maksimal, terutama jika
dikaitkan dengan tujuan besar yang hendak diraih. Bahkan
dalam sejumlah kasus tertentu bisa dinyatakan lebih
ekstrim, dimana otsus dinyatakan telah gagal karena belum
mampu memberikan rasa keberpihakan terhadap hak-hak
dasar orang asli Papua misalnya, seperti yang diamanatkan
di dalam Undang-Undang (UU) nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Papua sebagaimana diubah
dengan UU nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus
bagi Papua Barat. Fakta ini yang harus menjadi perhatian
semua pihak dan diperjuangkan bersama-sama agar bisa
diwujudkan, dan bukannya menghentikan sejumlah langkah
yang sudah dilakukan. Kecuali jka langkah tersebut nyata-
nyata kontraproduktif atau berseberangan dengan tujuan
dasar dari otsus.

2.2. ‘Jasmerah’ Otsus


Bung Karno, pernah mengingatkan kepada bangsa
Indonesia untuk tidak melupakan sejarah atau yang
disingkat dengan ‘Jasmerah’ (Jangan Sekali kali Melupakan
Sejarah), maka hal demikian juga berlaku bagi sejarah
lahirnya otsus dan tujuannya, tidak boleh dilupakan oleh
pelaksana kebijakan, baik yang ada di daerah atau di pusat.
Artinya pemahaman akan setting atau konteks sosial politik,
ekonomi dan budaya dan faktor yang menjadi latar atau
setting otsus senantiasa menjadi panduan bagi pelaksana
kebijakan agar tidak tercerabut dari akar dan misinya
dalam melaksanakan otsus. Munculnya beberapa persoalan
terkait pelaksanaan otsus yang belum berhasil mencapai
tujuannya tidak terlepas dari persoalan ketercerabutan dari
setting dan sejarah otsus. Jika faktanya masih banyak hasil

52 Otonomi Khusus Papua


hasil pembangunan yang ternyata tidak dinikmati oleh
target kebijakan yaitu penduduk asli Papua adalah salah
satu bentuk ketercerabutan dari akar sejarah tersebut.
Pemahaman terhadap aspek atau faktor yang
mendasari lahirnya kebijakan otsus merupakan sesuatu
yang penting bukan hanya dari sisi historis atau sejarah,
tetapi juga karena aspek atau faktor yang lain, seperti
aspek sosial politik, ekonomi dan hukum. Bahkan kondisi
lingkungan alam dan demografis Papua juga menjadi aspek
yang menjadi pertimbangan lahirnya kebijakan otsus.
Semua aspek tersebut perlu dipahami pelaksana kebijakan,
sehingga tujuan kebijakan tidak menyimpang dari apa yang
sejatinya menjadi misi otsus. Diantara dasar pertimbangan
dari sisi politik antara lain untuk meredam aksi aksi
separatisme, dari sisi ekonomi untuk mengatasi kesenjangan
sosial-ekonomi. Begitu juga dasar pertimbangan dari sisi
administrasi publik bahwa kompleksitas persoalan di Papua
perlu penanganan khusus yang berbeda dengan penanganan
serupa yang berlaku di daerah lain di Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa secara sosial politik, lahirnya
UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua
disebabkan oleh desakan rakyat Papua dengan tuntutan
Papua Merdeka mulai 1998 – 2000. Aspirasi ini muncul
dikarenakan 3 penyebab utama yakni 1). Persolan sejarah
integrasi politik Papua, 2). Telah terjadinya berbagai
kekerasan Negara dan pelanggran HAM terhadap rakyat
Papua dan 3). Kegagalan pembangunan dalam bidang
Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Infrasktruktur.
Masyarakat Papua menyampaikan tuntutan Merdeka
tersebut melalui aksi damai kemudian memuncak pada
tahun 1999 dengan tatap muka 100 orang wakil Papua
dengan Presiden B.J. Habibie di Istana Negara untuk

Otonomi Khusus Papua 53


memyampaikan Papua ingin keluar dari Negara kesatuan
Republik Indonesia ( NKRI ). Selanjutnya masyarakat
Papua mengungkapkannya melalui Kongres Papua II pada
tahun 2000.
Di sisi lain, meningkatnya intensitas konflik fisik dan
bersenjata maupun tuntutan kemerdekaan yang semakin
tinggi di beberapa daerah di Indonesia seperti di Aceh (NAD),
dan Papua, maka kondisi demikian membuat pemerintah
mau tidak mau harus secara serius mengeluarkan kebijakan
yang secara khusus dimaksudkan untuk mengatasi
persoalan tersebut sebagai sebuah bentuk kompromi politik.
Kebijakan otonomi khusus yang berlaku di Aceh dan juga
Papua adalah wujud dari respon pemerintah pusat dalam
memperhatikan perkembangan aspirasi masyarakat,
khususnya yang ada di Papua dan juga Aceh (NAD). Bukan
kebetulan jika kedua daerah ini mendapatkan status
istimewa dalam sistem pemerintahan di Indonesia karena
diperlakukan secara khusus karena memang ada sejumlah
tujuan khusus yang hendak diraih.
Secara sosial ekonomi juga demikian bahwa ada
sejumlah fakta yang mendorong pemerintah pusat untuk
menerapkan kebijakan khusus yang berlaku bagi Papua.
Adalah fakta bahwa kehidupan sosial ekonomi masyarakat
Papua masih sangat memprihatinkan. Bahkan hingga
saat ini masih banyak dijumpai fakta yang menunjukkan
kehidupan masyarakat Papua yang memprihatinkan.
Secara umum, dasar pemikiran kebijakan Otonomi Khusus
ketika itu merupakan kebijakan yang bertujuan untuk
memperbaiki berbagai ketertinggalan serta ketimpangan
yang ada di wilayah Papua. Seperti mengatasi pemandangan
yang kontras, dimana sebuah wilayah yang memiliki
kandungan alama berupa sumber daya alam melimpah,

54 Otonomi Khusus Papua


tetapi penduduknya berada dalam kondisi miskin dan
tertinggal.
Provinsi Papua merupakan provinsi di wilayah timur
Indonesia yang menghadapi berbagai persoalan mendasar
terkait dengan fakta ketertinggalan wilayah. Daerah yang
sebenarnya sangat kaya dengan potensi sumberdaya alam
(SDA) ternyata pada tataran riil menghadapi fakta yang
bertolak belakang. Persoalan umum berupa ketertinggalan
perekonomian masyarakat, minimnya penyelenggaraan
pelayanan publik yang berkualitas, jaringan infrastruktur
yang masih memprihatinkan, hingga persoalan rendahnya
kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan
permasalahan mendasar di wilayah ini.
Pemandangan yang kontradiktif telah menciptakan
kesenjangan yang semakin kronis, sehingga perlu upaya
terobosan untuk mengatasinya, antara lain dengan
pemberian otonomi khusus tersebut. Terobosan kebijakan
melalui otsus diperlukan untuk mengatasi fenomena
bahwa sejumlah kegiatan yang bertajuk pembangunan
yang dilakukan pemerintah sebelumnya ternyata justru
membawa dampak negatif yang sangat besar, mulai dari
kerusakan lingkungan hingga peminggiran hak-hak
masyarakat asli. Begitu juga berbagai kebijakan yang
diambil oleh pemerintah pusat sebelum reformasi terkait
dengan kekayaan alam Papua terkesan sangat eksploitatif
dan justru meminggirkan peran masyarakat lokal yang
berdampak pada mandegnya tingkat kesejahteraan mereka.
Dalam perspektif ekonomi politik, kondisi demikian
yang menjadikan persoalan Papua menjadi semakin akut dan
rumit. Diperlukan perlakuan khusus untuk mengatasinya,
namun dengan filosofi dasar bahwa upaya mengangkat
harkat dan martabat orang asli Papua itu tetap dalam

Otonomi Khusus Papua 55


bingkai NKRI. Filosofi dasar itulah yang telah menjadi
amanat pemberlakuan Otonomi Khusus bagi wilayah
yang bergabung ke dalam NKRI sejak 1 Mei 1963 silam.
Pilihan otonomi khusus tersebut dari sisi politik merupakan
kompromi politik untuk meredam dan mengakomodasi
tuntutan merdeka dari sebagian masyarakat Papua sebagai
reaksi atas kondisi yang memprihatinkan tersebut. Artinya,
pemberian otsus juga menjadi suatu formula politik yang
mujarab untuk meredam keluhan pembangunan dan
tuntutan merdeka yang terus disuarakan orang Papua.
Hasilnya, setelah lebih dari satu dasawarsa otonomi
khusus diberlakukan, maka secara kasat mata, pelaksanaan
Otonomi Khusus Papua yang kini mencakup dua provinsi
bersaudara yaitu Papua dan Papua Barat, telah menunjukan
adanya trend pembangunan yang kian pesat. Hanya
saja, sejumlah pihak di Papua menilai pembangunan itu
masih lebih sebatas aspek fisik semata. Ada kesan, proses
pembangunan belum sepenuhnya menempatkan orang asli
Papua sebagai pelaku utama. Meski begitu, pembangunan
yang telah terekam dalam beberapa tahun terakhir ini patut
diapresiasi. Artinya, dalam proses implementasi otsus itu
ada sejumlah keberhasilan dan juga sejumlah kegagalan.
Bahkan ketika sebuah program atau proyek yang bernama
pembangunan itu sudah dilaksanakan sesuai dengan jadwal
dan waktu yang ditetapkan dan tidak menyimpang dari SOP
atau melanggar aturan hukum, namun hasil pembangunan
yang diharapkan masih dianggap tidak sesuai yang
diharapkan masyarakat Papua.
Terlepas dari siapa yang paling menikmati hasil dari
pembangunan selama otsus, maka faktanya ada capaian
positif yang harus diapresiasi. Pasca berlakunya otsus,
maka sebagian besar daratan Tanah Papua yang sejak lama

56 Otonomi Khusus Papua


terisolasi oleh tutupan hutan-hutan belantara, gunung-
gunung terjal, sungai-sungai besar dan laut, umumnya
sudah bisa dijelajahi atau diakses, meskipun beberapa
diantaranya harus menggunakan moda trasportasi khusus.
Fakta demikian terjadi karena cukup tersedia berbagai
infrastruktur perhubungan, telekomunikasi dan informasi,
sehingga kondisinya jauh berbeda jika dibandingkan
dengan satu dasawarsa sebelumnya. Kampung-kampung
yang dulunya hanya bisa ditempuh dengan mengandalkan
kemampuan otot kaki untuk berjalan berhari-hari atau
kuatnya tangan mendayung perahu bermil-mil, kini sudah
bisa diganti dengan akses transportasi jalan darat, perahu
bermotor, kapal laut atau pesawat terbang.
Fakta demikian nyata terlihat di kabupaten Sorong dan
sekitarnya yang kini telah dimekarkan menjadi beberapa
kabupaten dan satu kota. Bahwa pemberian otonomi
khusus Papua merupakan bentuk apresiasi dan kepedulian
pemerintah Indonesia untuk membangun Papua dalam
bingkai Negara kesatuan Indonesia, bukan sebagai tutup
mulut rakyat Papua dalam menyuarakan Papua merdeka,
sebagaimana yang sering dikampanyekan oleh sebagian
orang untuk mendelegitimasi sejumlah keberhasilan yang
terjadi di Papua. Meskipun demikian diakui bahwa ada
sejumlah kekurangan bahkan pelaksanaan pembangunan
yang misleading dari tujuan otonomi khusus. Jangan sampai
fenomena masa lalu terulang kembali meskipun kebijakan
yang menjadi acuan sudah semakin baik dan dilaksanakan
dalam tatanan sistem politik dan pemerintahan yang juga
semakin baik.
Jika pemberian otonomi khusus merupakan respon
atas permasalahan pembangunan masa lalu yang salah
(something wrong), maka kesalahan serupa tidak boeh terjadi

Otonomi Khusus Papua 57


di era otonomi khusus. Artinya tujuan otonomi khusus itu
harus menjadi ukuran, sehingga bukan hanya bagaimana
program pembangunan itu dilaksakanan di Papua sesuai
dengan ketentuan proses dan prosedurnya, tetapi juga
bagaimana hasil dan manfaatnya. Titik tekan pada hasil
dan manfaat ini sangat penting karena banyak pihak yang
mencatat bahwa strategi dan pendekatan pembangunan
yang dilaksanakan di Tanah Papua selama puluhan tahun
lebih banyak di dominasi oleh kebijakan dan pendekatan
politik, dari pada pendekatan-pendekatan kesejahteraan,
sehingga hasil dan manfaatnya juga kurang selaras dengan
apa yang sejatinya menjadi keinginan masyarakat Papua.
Akibat dari model pendekatan seperti itu, telah
menciptakan ketergantungan yang sangat kental di kalangan
masyarakat asli Papua. Ketergantungan itu tampak dalam
bentuk ketergantungan Pemerintah Daerah (kabupaten/
kota) kepada Pemerintah Provinsi, maupun ketergantungan
kabupaten/kota dan Provinsi kepada Pemerintah Pusat.
Padahal sejatinya pemberian otonomi khusus adalah sebuah
alat untuk memberdayakan, baik masyarakat yang berdaya
ataupun pemerintahan daerah beserta unsur-unsurnya
juga berdaya sehingga bukan hanya akan terjadi akselerasi
dalam proses pembangunan tetapi juga ketepatan akan
hasil dan manfaat pembangunan bagi masyarakat Papua.
Dalam konteks inilah kata kata bijak yang dikemukakan
Bung Karno perlu senantiasa menjadi pegangan bagi pelaku
dan pelaksana kebijakan otsus agar senantiasa memahami
akar dan sejarah otsus sehingga arah dan tujuannya tidak
melenceng sebagaimana yang banyak dikhawatirkan dan
disinyalir oleh sebagian kalangan yang sejatinya ingin agar
otsus itu berhasil dan Papua tetap dalam bingkai NKRI.

58 Otonomi Khusus Papua


2.3. Konteks Lahirnya Otsus
Otonomi Khusus atau yang sering disingkat otsus
Papua yang tertuang dalam Undang-undang (UU) No
21/2001, merupakan salah satu respon penting dari
Pemerintah pusat terhadap munculnya berbagai unjuk
rasa sebagian masyarakat Papua atas berbagai persoalan
yang sebelumnya dipendam dan dikeluhkan. Melalui
otsus diharapkan masalah tersebut mendapatkan solusi
atau pemecahan. Kondisi berupa tuntutan dan bahkan
gejolak yang intinya kurang lebih sama juga muncul di
berbagai daerah pinggiran Indonesia, seperti Aceh. Ada
bermacam-macam tuntutan, dari yang sifatnya teknis dan
administratif belaka yang ujungnya memperbaiki tata kelola
pemerintahan, hingga yang sifatnya politis dan ideologis
seperti menuntut kemerdekaan lepas dari NKRI.
Hal itu terlihat dari sejumlah pamflet dan simbol
simbol yang diusung, misalnya ketika itu di Papua marak
pengibaran bendera Bintang Kejora di sejumlah kota dan
kabupaten, sebuah simbul tuntutan kemerdekaan. Hal
serupa juga muncul di Aceh (NAD) dan sejumlah daerah lain
seperti Maluku Selatan. Merespon hal demikian pemerintah
Indonesia menerbitkan Undang-undang pemerintahan
daerah yang memberikan otonomi luas dan nyata kepada
semua daerah di Indonesia dan otonomi khusus kepada dua
wilayah yang dianggap paling pantas mendapatkannya,
yaitu Papua dan Aceh (NAD).
Bagi pemerintah Indonesia dan juga sebagian
masyarakat Papua, otsus diharapkan menjadi sarana dalam
menjamin kesejahteraan dan keadilan rakyatnya. Akan
tetapi setelah lebih dari atu dasawarsa diberlakukannya
Otsus, masyarakat Papua merasa bahwa mereka belumlah
menikmati kesejahteraan dan keadilan, seperti yang

Otonomi Khusus Papua 59


diharapkan. Bahkan sejak awal, tidak lama setelah
diberlakukannya otsus, tidak sedikit masyarakat yang
merasa kecewa, terutama dari mereka yang sejak awal
cenderung menolak keberadaan otsus. Kekecewaan itu
terlihat dari sikap masyarakat yang dikoordinir oleh Dewan
Adat Papua (DAP), yang secara simbolis mengembalikan
UU Otsus Papua kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua
(DPRP) melalui aksi unjuk rasa pada tanggal 12 Agustus
2005.
Jika unjuk rasa 12 Agustus 2005 dianggap sebagai
tonggak penting sebagai salah satu puncak perlawanan
terhadap pelaksanaan otsus, maka fenomena demikian bisa
dimengerti jika menengok kondisi sebelum UU Otsus itu
disahkan bahwa proses penerimaan Otsus itu merupakan
langkah kompromi, baik dari unsur-unsur dari pemerintah
pusat atau unsur-unsur yang ada di daerah. Sejarah
mencatat bahwa di tengah meningkatnya ketegangan suhu
politik pasca lengsernya presiden Soeharto, pada tanggal
26 Februari 1999 Presiden B.J. Habibie menerima sebuah
delegasi yang disebut dengan “Tim 100” yang merupakan
perwakilan dari masyarakat Papua yang mengekspresikan
keinginan mereka untuk memisahkan diri dari negara
Indonesia.
Sebagai tanggapan dari permintaan ini dan untuk
memperkuat integritas territorial NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia), Pemerintah membuat UU (Undang-
undang) No 45/99 tentang pemekaran Irian Jaya (Sekarang
Papua) menjadi Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi
Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Mimika dan Puncak
Jaya dan Kota Sorong. Kebijakan ini diikuti dengan
penunjukan Dokter Herman Monim sebagai Gubernur Irian
Jaya Tengah dan Brigjen.Mar. (Pensiunan TNI) Abraham

60 Otonomi Khusus Papua


Atuturi sebagai Gubernur Irian Jaya Barat berdasarkan
Keputusan Presiden RI No 327/M/1999, tanggal 5 Oktober
1999. Sayangnya, kebijakan tersebut ditolak pelbagai
kelompok masyarakat di Papua, dengan menggelar
demonstrasi besar, termasuk pendudukan gedung DPRD
(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Propinsi Irian Jaya
dan kantor Gubernur di Dok II, Jayapura pada tanggal
14-15 Oktober 1999. Salah satu alasan dari penolakan
ini adalah bahwa kebijakan ini diambil tanpa konsultasi
dengan masyarakat lokal. Masyarakat Papua merasa bahwa
mereka dikucilkan dari proses pengambilan keputusan pada
kebijakan tersebut.
Merespon hal tersebut, pemerintah pusat dalam
hitungan hari, tepatnya pada tanggal 19 Oktober 1999,
melalui Sidang Umum dari Sesi ke 12 dari MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) melalui Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1999 yang intinya mendukung bentuk otonomi
khusus sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah dan
mempertahankan Papua dalam NKRI. Melalui Ketetapan
MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf g angka 2,
yang menyebutkan:

”... mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah


Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap
menghargai kesetaraan dan keseragaman kehidupan
sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan
Daerah Otonomi Khusus yang diatur dengan undang-
undang dan menyelesaikan kasus pelanggaran hak
asasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan
yang jujur dan bermartabat...”.

Otonomi Khusus Papua 61


Selanjutnya melalui Ketetapan MPR RI No. IV/
MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah, MPR RI menekankan
pentingnya untuk segera merealisasikan otonomi khusus
tersebut melalui penetapan suatu UU otonomi khusus bagi
Papua dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini
disebutkan pada Bagian III angka 1, yaitu:

”Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi


Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Irian Jaya, sesuai
amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor: IV/MPR/1999 tentang
GBHN Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-
lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat daerah yang bersangkutan”.

Berpijak pada amanat Ketetapan MPR RI No. IV/


MPR/1999 juncto Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2000
maka dibentuklah UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut UU Otsus
Papua) yang mulai berlaku pada tanggal 21 November
2001. Pembentukan otonomi khusus bagi Provinsi Papua ini
selaras dengan Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemeritahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang.
Di dalam Penjelasan Umum UU Otsus Papua dijelaskan
bahwa otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya
adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi
Papua dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus
diri sendiri dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih
luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi

62 Otonomi Khusus Papua


Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di
Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pemberian otonomi
khusus ini dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan,
penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap
HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam
kerangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan
Provinsi lain.
Sejak hadirnya serangkaian kebijakan yang pro
Papua tersebut, maka keluhan-keluhan orang asli Papua
ditanggapi dalam bentuk kebijakan yang lebih komprehensif
dibandingkan kebijakan sebelumnya yang dianggap
parsial. Bukan kebetulan jika kebijakan tersebut hadir
di era awal reformasi, khususnya di era presiden Habibie
dan diwujudkan berupa kebijakan di era kepemimpinan
K.H. Abdurahman Wahid. Di era Gus Dur itu MPR
mengeluarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 mengenai
rekomendasi-rekomendasi kebijakan dalam penerapkan
peraturan Otsus (Otonomi Khusus) untuk Aceh dan Papua
dengan memperhatikan aspirasi-aspirasi masyarakat
daerah yang relevan. Setelah menampung pelbagai diskusi
yang bertempat di dalam dan luar Papua mengenai Otsus
dan mendapat masukan-masukan positif, DPR RI (Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) setuju untuk
mengubah RUU (Rancangan Undang-Undang) mengenai
Otonomi Khusus untuk Propinsi Papua menjadi UU (Undang-
Undang). Berdasarkan ini, Presiden K. H. Abdurahman
Wahid mengesahkan UU No. 21/2001 mengenai Otonomi
Khusus (Otsus) untuk Propinsi Papua yang ditujukan untuk

Otonomi Khusus Papua 63


meningkatkan layanan-layanan umum, mempercepat proses
pembangunan dan pendayagunaan keseluruhan penduduk
Propinsi Papua, khususnya masyarakat asli Papua.
Hal demikian tidak lepas dari sikap politik dari
pemerintah pusat, khususnya yang ditunjukkan oleh
presiden Gus Dur, yang sangat akomodatif. Sikap dan
pendekatan yang responsif dan akomodatif itu terlihat dari
sejumlah pernyataan politik yang dikeluarkannya serta aksi-
aksi nyata sesudahnya. Misalnya pada tanggal 1 Januari
2000, ia selaku kepala negara secara resmi meminta maaf
secara terbuka kepada rakyat Papua atas pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh TNI di masa silam. Dalam kunjungan
itu juga, Gus Dur secara resmi menyutujui perubahan nama
Irian Jaya untuk menggunakan nama Papua. Selain itu,
Gus Dur juga mencoba mengambil hati orang-orang Papua
dengan mengakomodir orang Papua pada kabinet yang ia
bentuk. Ia mengangkat Freddy Numberi (pada waktu itu
Gubernur Irian Jaya) menjadi Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara. Akomodasi politis ini setidaknya mulai
cukup berhasil.
Gus Dur juga dianggap melakukan tindakan berani
dengan mengeluarkan kebijakan persetujuannya terhadap
Kongres Rakyat Papua pada tanggal 29 Mei-3 Juni 2000
yang ia anggap sebagai sarana untuk mempersatukan
aspirasi rakyat Papua. Bahkan, Gus Dur juga memberikan
sumbangan dana secara resmi sebesar Rp.1 Milyar
kepada Dewan Presidium Papua (PDP) untuk membiayai
penyelenggaraan Kongres Rakyat Papua tersebut. Tindakan
berani lainnya adalah dengan memberikan keleluasaan
lain, yaitu bendera “Bintang Kejora” yang boleh dikibarkan
disamping “Merah Putih”. Dalam pandangan Gus Dur,
bendera “Bintang Kejora” lebih merupakan simbol kultural

64 Otonomi Khusus Papua


dibanding dengan simbol nasionalisme apalagi simbolisiasi
upaya untuk separatisme.
Sayangnya, kebijakan-kebijakan berani Gus Dur
ini disatu sisi sangat didukung karena sebagai bentuk
akomodasi yang dilakukan pemerintah terhadap aspirasi
rakyat Papua, namun pada sisi yang lain juga dianggap
memiliki efek negatif yang berwujud efek ‘kebablasan’,
sehingga banyak rakyat Papua yang menganggapnya
sebagai pemberian ruang yang lebih lapang kepada Rakyat
Papua untuk melaksanakan hal-hal yang menjurus ke
arah separatisme. Faktanya, tidak sedikit diantara rakyat
Papua yang berusaha mencontoh keberhasilan Timor-
Timur yang akhirnya lepas dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hal serupa juga mendorong gerakan
separatisme di wilayah lain di Indonesia, padahal sejatinya
yang dikehendaki oleh Gus Dur tentu saja sebaliknya yaitu
hendak memperkuat bangunan NKRI.
Terlepas dari konsekuensi negatif yang muncul di
samping dampak positif yang telah dihasilkan oleh sebuah
kebijakan, maka demikianlah ‘takdir’ sebuah kebijakan.
Tidak terkecuali kebijakan otsus yang sejak kelahirannya
memang memiliki sejumlah kontroversi dan disahkan setelah
tercapai sebuah kompromi politik untuk mendapatkan apa
yang pada awalnya dianggap sebagai win win solutions.
Ketika faktanya win win solutions itu tidak terwujud, maka
secara tidak langsung ada pihak yang merasa dikalahkan
atau dirugikan kepentingannya, sehingga wajar jika mencul
sejumlah resistensi atau hambatan. Jalan keluarnya tentu
saja bukan langsung meloncat pada upaya mengganti
kebijakan otsus dengan kebijakan yang sama sekali baru,
jika yang menjadi persoalan ada pada tataran implementasi.
Upaya yang paling realistis adalah dengan melakukan

Otonomi Khusus Papua 65


sejumlah perubahan dengan maksud untuk memudahkan
proses pelaksanaan kebijakan, tetapi bukan untuk merubah
atau mengganti visi dan misi atau tujuan yang hendak
dicapai.

2.4. Dinamika Implementasi Otsus


Setelah lebih satu dasawarsa otsus dilaksanakan di
tanah Papua, ada sejumlah dinamika menarik yang bisa
dipelajari dari sisi administrasi publik. Bahwa sebuah
kebijakan yang secara politis mendapat dukungan luas
dan secara konsepsional dianggap sangat bagus dalam
arti adaptif dan responsif dengan konteks dan keinginan
target kebijakan, serta akomodatif terhadap kepentingan
stakeholders yang lain, khususnya pemerintah pusat,
ternyata tidak menjadikannya mudah dilaksanakan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Bukan hanya
harapan diantara masing-masing pihak yang berbeda
titik tekan atau prioritasnya, tetapi kesungguhan dalam
melaksanakan kebijakan otsus juga berbeda-beda. Ada yang
memiliki kesamaan persepsi dan kesungguhan besar untuk
melaksanakan otsus sebagai bagian dari esensi perjuangan
memajukan tanah Papua, tetapi juga tidak sedikit yang
setengah hati, bahkan cenderung menjadi bagian dari beban
permasalahan (trouble maker).
Ternyata masih banyak faktor yang sangat
menentukan keberhasilan pelaksanaan otsus, sebagaimana
yang dinyatakan para ahli implementasi kebijakan publik,
misalnya bahwa faktor sumber daya manusia serta sumber
daya berupa dana dan alokasinya ternyata memiliki
kontribusi yang besar terhadap pelaksanaan otsus. Begitu
juga faktor lingkungan kebijakan, bukan hanya politik
sebagaimana yang sering dipersepsi akan menjadi kendala

66 Otonomi Khusus Papua


utama di Papua, tetapi kondisi lingkungan alam (topografis)
serta demografis antara lain dalam bentuk jumlah penduduk
yang tersebar dan relatif sedikit jumlahnya dibandingkan
dengan luasnya wilayah Papua ternyata memiliki kontribusi
signifikan dalam pelaksanaan otsus. (Masing-masing faktor
tersebut akan satu persatu di analisis dalam bab berikutnya).
Dinamika otsus di Papua, ternyata tidak linier,
tetapi terlihat zig-zak atau tidak beraturan. Pada awalnya
kebijakan ini disambut dengan harapan tinggi sebagai
salah satu solusi, meskipun secara politis ia merupakan
langkah kompromi. Secara umum, kebijakan otsus di awal
pelaksanaannya menghadapi banyak persoalan krusial
sehingga keberadaannya seolah olah hanya bermakna di
atas kertas, karena sulit diimplementasikan. Namun secara
perlahan kebijakan ini mulai dapat diimplementasikan,
meskipun tetap saja masih jauh dari harapan, sehingga
banyak pihak yang semakin pesimis, paralel dengan
sejumlah pihak di sisi lainnya yang semakin optimis.
Disebut demikian, karena di sejumlah wilayah,
khususnya di wilayah Papua Barat, ternyata pelaksanaan
otsus relatif tidak menghadapi riak gelombang sebesar yang
ada di wilayah provinsi Papua, khususnya jika merujuk
pada wilayah pegunungan atau pedalaman. Dalam konteks
Papua Barat, juga demikian, bahwa di wilayah yang
tergolong sudah relatif maju, seperti wilayah pesisir, maka
pelaksanaan otsus relatif berjalan baik, meskipun tentu saja
menghadapi problematika yang tidak kalah serius, namun
berbeda bentuk dan jenisnya bahkan levelnya dengan
daerah lain di Papua yang juga menghadapi kendala dalam
pelaksanaan otsus.
Dinamika otsus itu diawali ketika pemerintahan
Gus Dur secara eksplisit telah menjelaskan keinginan

Otonomi Khusus Papua 67


pemerintah untuk lebih memperhatikan secara sungguh-
sungguh aspirasi rakyat Papua. Komitmen ini kemudian
direspon oleh berbagai kalangan dengan pengkajian yang
lebih serius, sehingga muncul berbagai konsep (draft)
tentang materi RUU Otonomi Khusus bagi Irian Jaya
diajukan oleh berbagai kalangan di Irian Jaya. Setelah
melalui penggodokan intensif di DPR, maka akhirnya
tersusun UU Otonomi Khusus untuk Papua yang merupakan
bentuk saling akomodasi dan adaptasi antar RUU usulan
Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua, walau yang
menjadi acuan utama adalah RUU usulan Pemda dan DPRD
Papua. Pembahasan tersebut memakan waktu sekitar 5
bulan, sampai DPR memutuskan untuk menyetujui dan
menetapkan RUU tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua menjadi undang-undang pada tanggal 22 Oktober
2001.
Akhirnya Presiden Republik Indonesia, Megawati
Soekarnoputri mengesahkan UU tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua menjadi UU No.21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada tanggal 21
November 2001. Maka, terhitung sejak tanggal 1 Januari
2002, UU ini resmi secara formal diberlakukan di Provinsi
Papua. Pada tanggal 1 Januari 2002 pemerintahan otonomi
khusus secara operasional dimulai dengan dana awal 700
miliar untuk Provinsi. Kemudian pada tahun 2003 naik
menjadi 900 miliar. Pada tahun ketiga, naik menjadi 1,1
triliun dan tahun ke 4 menjadi 1,5 triliun dan pada tahun
2007 menjadi 3,3 triliun. Demikian seterusnya terjadi
peningkatan dana otsus, sehingga sekarang ini (2013) jika
ditotal dana tersebut tidak kurang dari angka 40,8 triliun
rupiah.

68 Otonomi Khusus Papua


Secara politis harus diakui, bahwa otonomi khusus
adalah kompensasi dari sebuah permintaan merdeka.
Akibat dari pemerintah RI tidak memberikan kemerdekaan
maka diberikanlah otonomi khusus. Oleh karena itu, bagi
sebagian orang Papua, otonomi khusus adalah pengganti
merdeka. Artinya, Provinsi Papua dan juga Papua Barat
sesungguhnya sudah merdeka minus 5 kebijakan strategis
yang masih dimiliki pemerintah pusat. Melalui Undang-
Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua (UU Otonomi Papua) tersebut pemerintah
pusat meletakan kebijakan baru bagi pembangunan Provinsi
tersebut dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Kebijakan otonomi khusus merupakan
jawaban Pemerintah Republik Indonesia (RI) terhadap
berbagai persoalan yang muncul sejak bergabungnya
Provinsi tersebut dalam pangkuan NKRI beserta dinamika
sosial dan politik termasuk tuntutan untuk melepaskan diri
dari NKRI yang sering diketahui sebagai gerakan Papua
Merdeka.
Secara yuridis, hingga saat ini paling tidak terdapat 4
daerah Provinsi yang bersifat khusus, yaitu Daerah Khusus
Ibu Kota (DKI) Jakarta berdasarkan Undang-Undang No. 34
Tahun 1999, Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan UU
No. 3 Tahun 1950, Daerah Istimewa Aceh berdasarkan UU
No. 24 Tahun 1956 sebelum diganti UU otonomi khusus bagi
NAD, dan Daerah Khusus Papua berdasarkan UU No. 21
Tahun 2001. Secara administrasi pemerintahan, khususnya
mengenai hubungan kewenangan, maka melalui Otonomi
khusus Papua tersebut pemerintah daerah Papua dan juga
Papua Barat mendapat 5 kewenangan dan pemerintah pusat
memegang 5 kewenangan strategis yang pada umumnya
memang dipegang oleh pemerintah pusat.

Otonomi Khusus Papua 69


Bagi sebagian besar rakyat Papua dan juga masyarakat
Indonesia pada umumnya, keberadaan otsus adalah jawaban
dan taruhan terakhir agar Papua tetap menjadi bagian dari
NKRI. Tidak ada pilihan lain bagi siapa saja yang masih
menghendaki Papua menjadi bagian dari NKRI untuk
mengimplementasikan secara sungguh sungguh dan dengan
segala cara (at all cost). Kegagalan implementasi otsus bisa
berakibat sebaliknya atau sesuatu yang lebih buruk, baik
bagi masyarakat Papua sendiri atau bagi bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Sekarang ini letak persoalannya adalah
bagaimana mengimplementasikan otsus sebagaimana
konsepsi awal dan konteks yang melatarbelakanginya.
Bukan lagi terletak pada aspek legalitas integrasi Papua
ke dalam NKRI sebagaimana yang sering disuarakan oleh
sementara pihak yang berusaha menarik ke belakang
persoalan Papua, seolah ia merupakan wilayah yang berada
dalam kondisi status quo.
Keberadaan otsus adalah kelanjutan dari serangkaian
kebijakan yang telah ada sebelumnya pasca Pepera yang
menjadi dasar integrasi Papua ke dalam NKRI. Otsus
Papua lahir sebagai tawaran kompromi Jakarta pada waktu
itu terhadap aspirasi dan tuntutan merdeka rakyat Papua
yang disampaikan Tim 100, pimpinan Tom Beanal kepada
Presiden RI Prof B.J. Habibie di Istana Negara, pada 26
Februari 1999. Kemudian dipertegas lagi pada Kongres
Nasional Rakyat Papua II di Jayapura pada akhir Mei
– awal Juni 2000. Hingga pada akhirnya kebijakan otsus
dalam bentuk Undang-undang disahkan pada akhir tahun
2001 dan mulai diberlakukan di awal tahun 2002.
Jika dalam perkembangan atau dinamikanya ada
sejumlah upaya yang dianggap mengganjal otsus, baik itu
yang datangnya dari pemerintah pusat atau pemerintah

70 Otonomi Khusus Papua


daerah dan unsur unsur lain yang ada di masyarakat, maka
hal demikian harus dimaknai sebagai sebuah dinamika
wajar dalam pelaksanaan otsus yang bisa terjadi di mana
saja dan terhadap kebijakan apa saja. Munculnya berbagai
hambatan dan juga dukungan adalah sesuatu yang wajar
dalam pelaksanaan atau implementasi kebijakan, apalagi
jika kebijakan itu bersifat strategis dan berdampak luas
secara politis.
Sebagai contoh, munculnya Inpres No 1/2003 yang
muncul di era kepemimpinan Megawati yang oleh sebagian
kalangan dianggap menghambat pelaksanaan otsus, tidak
boleh dimakai sebagai upaya untuk menganulir kebijakan
otsus yang telah disahkan sebelumnya. Munculnya
hambatan, jika memang demikian dalam kenyataannya
adalah sesuatu yang bisa saja terjadi kapan dan di mana
saja, dan dilakukan oleh siapa saja, tidak terkecuali
pemerintah pusat atau pemerintah daerah dan unsur
masyarakat. Oleh karena itu yang diperlukan adalah upaya
semua pihak untuk secara konsisten dan sungguh-sungguh
melaksanakan otsus sesuai dengan tujuannya.
Sejarah mencatat bahwa di awal pelaksanaan Otsus
Papua (2002) muncul Instruksi Presiden No 1 Tahun
2003 (27 Januari 2003). Isinya perintah kepada sejumlah
pejabat negara untuk mempercepat pelaksanaan UU No 45
Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Irianjaya Tengah
dan Irianjaya Barat, tanpa mengindahkan UU No 21
Tahun 2001 (Bab XXIV, Pasal 76) yang mengatur prinsip-
prinsip pemekaran Provinsi Papua. Munculnya kebijakan
ini dianggap sebagai bagian dai upaya sistematis untuk
mengganjal otsus dalam mencapai tujuannya.
Menurut mereka, keberadaan Inpres tersebut telah
mem-bypass sebuah undang–undang (UU No 21/2001),

Otonomi Khusus Papua 71


dan menyalahi Tap No III/MPR/2000 tentang Tata Urutan
Perundang–undangan. Inpres ini juga menimbulkan
kekacauan pelaksanaan pemerintahan di Papua.
Implikasinya juga luas, bukan hanya secara politis, tetapi
juga di bidang hukum telah timbul kontroversi antara lain
munculnya semacam dualisme pemerintahan provinsi.
Inpres juga telah menciptakan konflik horizontal di kalangan
orang-orang Papua antara kelompok yang pro versus kontra
pemekaran. Misalnya, peristiwa Timika berdarah pada
23 Agustus 2003 menyusul deklarasi Irianjaya Tengah.
Keberadaan Inpres juga telah menimbulkan keraguan
negara–negara dan masyarakat internasional yang tadinya
telah mendukung pelaksanaan Otsus. Hal itu terlihat dalam
rekomendasi di buku: “Komisi Untuk Indonesia: Perdamaian
dan Kemajuan di Papua” yang disponsori oleh Council On
Foreign Relations, dengan Ketuanya Laksamana (purn)
Dennis C. Blair (2003), mantan Panglima Komando AS di
Pasifik.

2.5.
Implementasi Otsus: ‘Mendayung diantara
Banyak Karang’
‘Mendayung diantara banyak karang’ adalah sebuah
kiasan yang menggambarkan bagaimana sulitnya
palaksanaan otsus Papua. Meskipun ia merupakan kebijakan
yang secara konsepsional bagus di atas kertas, namun
ternyata sulit dilaksanakan karena beratnya medan yang
harus dilalui untuk mencapai tujuan, yaitu ‘pulau harapan’.
Otsus ibarat perahu yang terlihat kecil dibandingkan dengan
besarnya persoalan Papua. Kalaupun ia adalah sebuah
kapal modern yang secara absolut ukurannya besar, namun
ketika dibandingkan dengan besarnya ‘samudera’ persoalan
Papua, maka keberadaannya tergolong kecil. Disebut kecil,

72 Otonomi Khusus Papua


setidaknya terlihat dari besaran dana yang dikucurkan
serta sumber daya berkualitas yang tersedia. Dana otsus
yang sudah relatif besar untuk ukuran Indonesia, namun
relatif kecil dibandingkan besarnya persoalan Papua.
Alhasil ‘kapal’ otsus itu terlihat seperti sebuah perahu
kecil yang rentan akan hantaman gelombang persoalan
Papua. Meskipun sudah dirancang sedemikian rupa
agar mampu secara efektif mengatasi persoalan Papua,
setidaknya selama 25 tahun sejak ia diberlakukan tahun
2001, tetap saja keberadaannya masih dianggap rentan
dari kemungkinan badai dan gelombang besar yang
muncul kapan saja. Buktinya, tidak selang berapa lama
diluncurkan, sudah ada upaya dari sebagian pihak untuk
mengembalikan kebijakan otsus kepada pemerintah pusat
melalui pemerintah dan DPRP (Papua).
Sikap demikian tidak lepas dari pandangan atau
persepsi otsus sebagai perahu kecil bagi besar dan
kompleksnya persoalan Papua. Sudah tentu jika otsus
dipandang sebagai ‘perahu kecil’ yang digunakan sebagai
alat untuk menempuh perjalanan diantara berbagai karang
terjal, maka hasilnya tentu tidak akan maksimal. Bahkan
kemahiran nahkoda dalam mengemudikannya tidak akan
mampu membawa otsus ke tujuan sesuai dengan rentang
waktu yang ditetapkan. Diperlukan bantuan berbagai
pihak untuk menjadikan ‘alat’ yang dipandang kecil untuk
mencapai tujuannya dengan selamat dan tepat waktu.
Syukur-syukur bisa lebih cepat dari jadwal.
Diperlukan ikhtiar berupa kerja keras dan kerjasama
intensif dari berbagai pihak, khususnya antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan otsus
yang kini hampir menelan setengah perjalanan dari jadwal
yang ditentukan. Hal demikian sangat diperlukan, bukan

Otonomi Khusus Papua 73


hanya untuk mempercepat laju ‘perahu’ otsus, tetapi lebih
dari itu untuk mengatasi munculnya berbagai persoalan
yang mungkin saja tiba tiba muncul, baik dari dalam perahu
itu sendiri atau dari luar perahu yang memang seringkali
muncul ketika musim sedang berada di suasana pancaroba.
Jika tidak ada badai besar yang menghadang, kemungkinan
besar target waktu dan tujuan yang diharapkan bisa dicapai,
meskipun tentu saja masih banyak hal belum bisa dicapai
dan akan dilanjutkan pada periode sesudahnya.
Ada optimisme dan juga ada pesimisme yang
menggelayut dalam pelaksanaan otsus yang hampir separuh
jalan. Banyak capaian yang diraih, tetapi juga banyak
hambatan yang muncul seolah otsus itu belum dilaksakanan
atau hanya bermakna di atas kertas. Jika yang dilihat
adalah sejumlah fakta berupa hambatan dan rintangan
yang hingga kini masih belum terselesaikan, maka wajar
jika pesimisme itu senantiasa menghantui di tahun tahun
berikutnya. Sebaliknya jika yang dilihat adalah sejumlah
keberhasilan, maka optimisme itu pantas terus dipupuk dan
disemaikan untuk mempercepat laju pelaksanaan otsus.
Pesimisme itu mengemuka terutama di awal
pelaksanaan otsus yaitu antara periode 2002 hingga 2004.
Ketika itu badai besar menghantam perahu yang bernama
otsus, sehingga sempat menyurutkan semua pihak untuk
terus mendayung laju, apalagi mempercepatnya. Friksi
di internal pemerintahan Papua juga belum sepenuhnya
bisa dikendalikan, begitu juga di internal pemerintah
pusat sebagaimana ditunjukkan dengan munculnya Inpres
No 1/2003 yang dianggap mengganjal pelaksanaan otsus
dengan strategi memecah belah Papua.
Intinya hal demikian terjadi sebagai kelanjutan dari
persoalan sebelumnya dimana sejak pembahasan RUU

74 Otonomi Khusus Papua


Otsus Papua di DPR hingga pemberlakuannya masih ada
sebagian kelompok yang tidak ikhlas dengan penerapan
UU Otsus Papua. Muncullah berbagai rekayasa dan usaha
mulai dari manuver, intrik sampai menciptakan berbagai
peristiwa di Papua, seperti pembunuhan Ketua PDP Theys
H. Elluay (10 November 2001) adalah bagian dari upaya
yang secara langsung atau tidak langsung menghambat
pelaksanaan otsus.
Ketika itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari
Sabarno dianggap mengabaikan kesepakatan politik yang
telah dibangun bersama DPR (Pansus RUU Otsus Papua),
bahwa setelah pemberlakuan Otsus Komisi II DPR dan
Pemerintah yang diwakili Mendagri akan melakukan
tinjauan bersama berupa revisi terhadap pasal–pasal yang
mengatur tentang pemekaran propinsi Irianjaya Tengah
dan Irianjaya Barat dari UU No 45/1999, karena masalah
pemekaran provinsi telah diakomodasi dan diatur dalam
UU No 21/2001 tentang Otsus Papua. Sebaliknya, Mendagri
dan jajarannya juga dianggap secara intensif melakukan
tindakan seperti: pelantikan pejabat eselon II dan III
Irianjaya Barat dan menyerahkan dana dekonsentrasi.
Memaksakan pembentukan KPUD Irianjaya Barat oleh
KPU Pusat, tanpa melalui konsultasi dengan KPUD Papua
di Jayapura. Menurut mereka tindakan pemerintah ini
bertentangan dengan UU No 12/ 2003 tentang Pemilu
terutama Pasal 49 bagian penjelasan yang menyatakan
pelaksanaan pemilu hanya di 30 provinsi untuk Aceh dan
Papua mengacu pada UU No 18/2001 tentang NAD dan
Papua pada UU No 21/ 2001 tentang Otsus Papua.
Langkah dan tindakan pemerintah pusat yang ketika
itu dianggap sebagai bagian dari upaya menggagalkan
pelaksanaan Otsus, sesuatu yang berbeda dengan apa yang

Otonomi Khusus Papua 75


terjadi sekarang dimana pihak yang dianggap berusaha
menggagalkan pelaksanaan otsus adalah mereka yang
sebelumnya memiliki ide untuk merdeka atau lepas dari
NKRI. Ketika itu, yaitu di awal-awal pelaksanaan otsus,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dianggap dengan
sengaja memperlambat pencairan dana Otsus. Yaitu dana
yang secara umum dimaksudkan untuk menyejahterakan
dan memajukan rakyat Papua. Secara khusus, dana Otonomi
khusus diperuntukkan bagi pengembangan pendidikan dan
kesehatan rakyat Papua, sebagaimana diamanatkan UU
No. 21 Tahun 2001.
Data Bappenas (2010) mencatat bahwa sepanjang
2002-2010 Pemerintah Pusat telah menggelontorkan dana
Otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat senilai total Rp 28,84 triliun. Sayangnya, menurut
berbagai kalangan bahwa selama 10 tahun UU Otonomi
khusus dilaksanakan masih terdapat banyak penyimpangan
dalam penggunaan dana Otonomi khusus tersebut. Dari
total Rp 19,12 triliun yang telah disalurkan sejak 2002
hingga 2010, Rp 28,94 miliar diselewengkan dalam bentuk
proyek fiktif, Rp 218,29 miliar dalam bentuk kelebihan
pembayaran atau pembayaran yang tidak sesuai ketentuan,
dan Rp 17,22 miliar dalam bentuk proyek terlambat dan
tidak didenda. Sepanjang periode yang sama pula dana
otonomi khusus senilai Rp 2,35 triliun oleh Pemprov Papua
dan Pemprov Papua Barat justru didepositokan di Bank
Mandiri dan Bank Papua.
Secara perlahan optimisme juga membuncah dan
berkembang dimana-mana, setidaknya itu yang terlihat
di Papua Barat, khususnya di kabupaten Sorong dan
sejumlah kabupaten hasil pemekaran. Meskipun masih
terbersit kegelisahan terkait sejumlah harapan yang

76 Otonomi Khusus Papua


belum terpenuhi, namun diakui bahwa pasca pelaksanaan
otsus dan hingga kini hampir tiga belas tahun berlalu, ada
sejumlah kemajuan signifikan. Sejumlah pembangunan
berupa jalan dan jembatan, serta infrastruktur dasar di
bidang kesehatan dan pendidikan nyata terlihat dimana-
mana, sesuatu yang sebelumnya tidak ada atau ada tetapi
dalam kondisi rendah kualitasnya. Terlepas dari siapa
yang paling menikmati hasil dari pembangunan tersebut,
faktanya telah ada serangkaian kemajuan pembangunan
pasca berlakunya otsus.
Jika hasil pembangunan yang dipersoalkan, maka
pada tataran ini yang harus dipersoalkan, dan bukan pada
keberadaan otsus itu sendiri. Jika yang dipersoalkan adalah
pengelolaan dana otsus, maka pada tataran ini yang harus
menjadi fokus perhatian, dan bukan pada soal jumlah atau
besaran dana, karena faktanya setiap tahun ada peningkatan
jumlah dana otsus. Jika yang dipersoalkan adalah soal
pilihan prioritas pembangunan, terutama terkait dengan
letak atau dimana ia dilakukan dan jenis atau bentuknya,
maka hal demikian yang harus dimusyawarahkan sejak
awal yaitu pada proses yang disebut Musrembang di tingkat
kampung atau distrik, dan bukan pada pembangunan itu
sendiri, termasuk siapa yang harus melakukan dan dengan
cara bagaimana pembangunan itu dilakukan. Jika yang
harus melakukan adalah masyarakat kampung itu sendiri
atau pihak lain atas pengawasan masyarakat yang menjadi
terget kebijakan, maka hal demikian adalah domain
administrasi publik untuk melakukannya, dan bukan
lagi domain politis, sehingga tidak perlu dipolitisasi yang
ujungnya bisa menghambat pelaksanaan otsus.
Secara umum bisa dinyatakan bahwa implementasi
otsus sudah sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan

Otonomi Khusus Papua 77


pemerintah, meskipun diakui masih banyak hambatan yang
ditemui diperjalanannya sejauh ini. Inilah sesungguhnya
persoalan yang harus dipecahkan agar pelaksanaan otsus
bisa lebih baik dari tahun tahun sebelumnya. Sama logikanya
dengan keberadaan dana otsus, jika hambatannya bukan
terletak pada besaran dana yang dikucurkan, melainkan
pada aspek tata kelola atau manajemen keuangan, seperti
bagaimana mengalokasikan dan mendistribusikannya,
maka pada titik itulah lembaga administrasi publik berperan
penting untuk membenahinya. Keberadaan dana otsus
adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan
kebijakan, namun jika yang menjadi persoalan adalah
bagaimana mengelolanya, maka yang harus menjadi fokus
perhatian adalah bagaimana lembaga administrasi publik
menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga persoalan ini
tidak melebar ke persoalan politik sebagaimana yang sering
muncul beberapa tahun belakangan, khususnya di awal
pelaksanaan otsus.
Di sinilah letak pentingnya sebuah evaluasi terhadap
kebijakan otsus khususnya yang terkait dengan pengelolaan
dana yang dalam tubuh manusia bisa diibaratkan sebagai
sebuah darah dari tubuh bernama otsus. Mengenai besaran
jumlah yang diperlukan adalah relatif, meskipun tentu saja
diharapkan lebih besar daripada yang ada sekarang, tetapi
inti persoalannya bukan disitu, tetapi pada bagaimana
alokasi atau peruntukan dan pengelolaannya, sehingga
setiap sen dana otsus itu bisa digunakan bagi sebesar-
besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Papua,
khususnya di bidang yang dianggap strategis, yaitu
pendidikan dan kesehatan. Singkatnya, persoalan dana
otsus tidak bermasalah, tapi pengelolaannya bermasalah.

78 Otonomi Khusus Papua


Kini ketika pelaksanaan otsus sudah berjalan hampir
13 tahun, maka harus ada evaluasi komprehensif dari
pihak-ihak terkait, khususnya dari pemerintah pusat
dan pemerintah daerah dalam menyikapi manajemen
dan penggunakan dana otsus serta aspek aspek lain yang
dianggap strategis dan kritikal. Jika nantinya berujung
pada sebuah penilaian berupa kinerja, maka tentu saja tolok
ukur atau ‘perameternya’ harus berbeda dengan took ukur
kinerja yang diperuntukkan bagi daerah lain di Indonesia
yang kondisinya ‘relatif lebih normal’. Bisa saja sesuatu
yang dianggap tidak sesuai dengan standar pengelolaan
dana yang secara umum berlaku di Indonesia bisa dianggap
bisa diterima – tentunya dengan sejumlah catatan – dan
diberlakukan untuk sejumlah kasus di Papua yang memiliki
karakteristik berbeda. Namun pengecualian demikian bukan
dimaksudkan untuk menutup-nutupi adanya pengelolaan
dana yang menyimpang dari peruntukannya.

2.6. Evaluasi Implementasi Otsus


Pernah dalam sebuah kesempatan, penulis
mendengarkan pernyataan dari salah satu tokoh Papua
yang mengungkapkan kegundahannya akan pelaksanaan
otsus yang dianggap belum mampu menyasar tepat pada
target kebijakan yaitu orang asli Papua. Menurut tokoh ini
dinyatakan bahwa:
“Orang asli Papua itu sedikit kok, tapi kenapa hari
ke hari mereka semakin terjepit dan tambah susah.
Harusnya, dengan kekayaan yang ada mereka bisa
sejahtera. Dari sisi ini, kita sudah bisa lihat bahwa ada
pekerjaan yang tidak benar. Sehingga orang asli Papua
itu masih susah,” ujarnya.

Otonomi Khusus Papua 79


Pernyataan tersebut tidak salah, tetapi juga tidak
sepenuhnya benar, karena pernyataan tersebut bukan
dimaksudkan untuk secara langsung memberikan penilaian
akan keberhasilan atau kegagalan otsus. Pernyataan
tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk menunjuk
pada sebuah fakta bahwa ada sejumlah persoalan terkait
pelaksanaan otsus dikaitkan dengan hakekat tujuan yang
hendak dicapai yaitu kesejahteraan orang Papua. Dengan
kata lain benang merah yang bisa ditarik dari pernyataan
tersebut adalah bahwa pelaksanaan otsus masih menyimpan
sejumlah persoalan krusial yang harus mendapat perhatian
dari pelaksana kebijakan, khususnya pemerintah daerah.
Dalam kaitan ini pula sejumlah pihak, baik yang ada di
wilayah Papua atau di pemerintahan pusat sepakat untuk
mempercepat apa yang disebut sebagai pembangunan
Papua sebagai bagian dari pelaksanaan otsus. Setidaknya
ada dua kebijakan penting yang dikeluarkan pemerintah
pusat di akhir periode 2000-an yang bernama percepatan
pembangunan Papua. Bahkan pada tahun 2013 muncul
sejumlah gagasan yang juga direspon positif oleh
pemerintah pusat untuk memperluas otonomi khusus
Papua sebagaimana yang diusulkan masyarakat Papua
yang diwakili oleh pemerintah provinsi Papua dan sejumlah
daerah kabupaten/kota.
Tentu saja usulan tersebut harus digodok di DPR
sebagai lembaga yang membuat Undang-undang yang
nantinya akan menentukan apakah format otonomi khusus
yang ada sekarang perlu diperluas secara mendasar
sehingga berbeda dengan format yang ada sekarang ataukah
hanya melakukan sejumlah perubahan terhadap sejumlah
pasal yang dianggap kurang adaptif dengan perkembangan
kekinian Papua. Dalam konteks ini, sejumlah anggota DPR
mempertanyakan langkah pemerintah yang menyetujui
usulan sejumlah pihak untuk memperluas otonomi khusus

80 Otonomi Khusus Papua


Papua atau yang disebut sebagai Otonomi Khusus Plus
Papua.
Sikap kritis anggota DPR dalam merespon usulan
tersebut bukan berarti menolak, tetapi lebih dimaksudkan
agar pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat
lebih fokus pada upaya memaksimalkan pelaksanaan
ketentuan yang ada dan tidak terburu-buru meloncat pada
‘membuat kebijakan baru’, meskipun ia dimaksudkan
untuk menyempurnakan kebijakan yang ada sebelumnya.
Jika pokok persoalannya terletak pada konsistensi dan
kesungguhan dalam pelaksanaan, maka pemerintah daerah
sebagai ujung tombak pelaksana kebijakan otsus harus fokus
terhadap persoalan tersebut dan tidak buru-buru meloncat
ke persoalan pembuatan kebijakan, seolah ia adalah obat
mujarab yang akan menjadikan pelaksanaan otsus lebih
mudah.
Usulan otonomi khusus plus yang berarti adanya
perluasan cakupan otonomi khusus yang dimiliki pemerintah
daerah adalah usulan yang baik dan perlu dipertimbangkan,
namun inti persoalannya sesungguhnya terletak pada sisi
konsistensi dan kesungguhan pelaksanaan kebijakan otsus
yang sudah ada. Jangan sampai setiap ada persoalan terkait
pelaksanaan otsus, maka solusinya langsung meloncat
kepada perubahan kebijakan atau membentuk lembaga
baru yang sifatnya ad-hoc. Belajar dari sejumlah kasus dan
pengalaman selama ini bahwa keberadaan lembaga ad-hoc
dan juga kebijakan baru yang diluncurkan untuk mengganti
atau menyempurnakan kebijakan lama yang nota bene
adalah produk reformasi, ternyata tidak membuahkan hasil
signifikan dibandingkan biaya sosial dan ekonomi yang
dikeluarkan terkait perubahan tersebut.
Ujung-ujungnya adalah konsistensi dan kesungguhan
pelaksanaan kebijakan yang menjadi domain aparat
pelaksana kebijakan dan manajemen pemerintahan yang
digunakan dalam mengelola dan melaksanakan kebijakan.

Otonomi Khusus Papua 81


Dalam konteks ini, sikap kritis yang ditunjukkan oleh
anggota Dewan dan sejumlah pihak dalam merespon usulan
tersebut layak dipertimbangkan. Bahwa yang menjadi kata
kunci bukanlah bagaimana perubahan atau penyempurnaan
itu dilakukan karena sejatinya tidak ada kebijakan yang
sempurna, tetapi konsistensi dan kesungguhan pelaksanaan
kebijakan yang menjadi faktor penentu keberhasilan
kebijakan dalam mencapai tujuannya.
Sikap kritis dan hati-hati ini penting karena kebijakan
otsus sarat dengan muatan politis disamping aspek teknis
administrasi dan pemerintahan. Jangan sampai suasana
kondusif yang tercipta saat ini menjadi terganggu dengan
adanya usulan tersebut, seolah ia adalah agenda utama
dalam pelaksanaan otsus dibandingkan dengan upaya
pelaksanaan otsus itu sendiri. Apapun jenis dan bentuk
usulan tersebut harus bermuara pada upaya untuk
meningkatkan dan memperbaiki pelaksanaan otsus. Jika
faktanya masih banyak tujuan pelaksanaan otsus di Papua
belum tercapai, maka solusinya adalah memperbaiki
pelaksanaan atau implementasi otsus dengan cara
mengenali dan memahami kemudian mengatasi sejumlah
faktor yang menjadi penghambatnya.
Disinilah letak pentingnya tahapan kebijakan
dalam sistem administrasi publik yang bernama evaluasi
kebijakan. Artinya, setelah sekian lama atau dalam kurun
waktu tertentu kebijakan dilaksanakan, maka proses
evaluasi menjadi sesuatu yang penting sebagai masukan
bagi pengambil dan pelaksana kebijakan untuk memperbaiki
atau melaksanakan kebijakan yang sudah ada. Usulan
perbaikan kebijakan adalah bagian dari upaya evaluasi
tersebut yang tujuannya adalah untuk memperbaiki
kualitas pelaksanaan kebijakan dalam mencapai tujuaanya.
Menurut Dirjen Otda, Djohermansyah Johan yang
mengacu pada hasil evaluasi terhadap penelitian Kemendagri,

82 Otonomi Khusus Papua


LAN dan Partnership (2012) menunjukan bahwa sedikitnya
terdapat dua level kelemahan implementasi otsus yang
perlu segera dibenahi.
Pertama, pembenahan pada level kebijakan yang terlihat
dari belum adanya petunjuk teknis (Juknis) sebagai
penjabaran dari UU Otsus; belum ditetapkannya
Perdasus tentang pembagian, pengelolaan serta
penerimaan keuangan sebagai bagian dari implementasi
otsus; dan pola hubungan kerja yang belum terbangun
secara sinergis antara eksekutif, legislatif dan Majelis
Rakyat Papua (MRP) di daerah.
Kedua, pembenahan pada level implementasi kebijakan.
Pembenahan pada level ini terkait dengan fakta
masih kurangnya pemahaman masyarakat terhadap
pelaksanaan otsus; kuantitas dan kualitas pelaksana
otsus yang masih terbatas; peran dan fungsi MRP
yang masih multitafsir dan upaya yang dilakukan oleh
Pemda dalam implementasi otsus belum maksimal.

Dalam kaitan ini pemerintah pusat melalui


Kemendagri, khususnya Dirjen Otda berusaha mengevaluasi
implementasi otsus setiap tahun. Tentunya sebuah langkah
evaluasi yang lebih sungguh sungguh dan komprehensif
dibandingkan dengan upaya serupa yang bertajuk evaluasi
sebagaimana yang dilakukan sebelumnya. Dengan cara
demikian diharapkan muncul sebuah rekomendasi yang
obyektif terhadap pelaksanaan otsus beserta hasil hasil
yang dicapai. Paralel dengan hal itu, semua pihak terkait
perlu melakukan pengawasan, khususnya yang terkait
dengan penggunaan dana otsus agar pengelolaannya lebih
sesuai prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi.
Dalam kesempatan lain, Menteri Dalam Negeri
(Mendagri), Gamawan Fauzi (2013) juga meminta kepada
Gubernur Papua dan Papua Barat segera bentuk Tim
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus yang

Otonomi Khusus Papua 83


Terpadu di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam
kesempatan itu Mendagri juga meminta agar segera
menyusun Perdasus tentang Pembagian dan Pengelolaan
Penerimaan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus
Papua antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kebijakan
tersebut diperlukan untuk menjawab pertanyaan mengenai
bagaimana alokasi dana otsus untuk Provinsi yang
sebesar 30% dan Kabupaten/Kota sebesar 70% diatur
secara proporsional dengan mempertimbangkan faktor-
faktor seperti luas wilayah, jumlah penduduk, kondisi
geografis, tingkat kesulitan wilayah, pendapatan asli
daerah, penerimaan pajak bumi dan bangunan, dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB).
Semua upaya tersebut adalah satu kesatuan dalam
siklus kebijakan, sehingga agenda besar yang menjadi
tujuan kebijakan otsus bisa lebih mudah dicapai atau
dicarikan jalan keluar berupa pemacahan jika ada hambatan
yang muncul. Selain tahapan implementasi kebijakan yang
sangat penting dan krusial, maka tahapan kebijakan yang
bernama evaluasi menjadi sesuatu yang penting sekaligus
krusial. Bisa dikatakan bahwa kegiatan evaluasi yang
sifatnya komprehensif dan menyeluruh yang melibatkan
berbagai pihak atau stakeholders terhadap pelaksanaan
otsus relatif belum dilakukan. Yang ada merupakan kegiatan
evaluasi ‘kecil kecilan’ yang sifatnya parsial, sehingga sulit
menemukan akar persoalan otsus secara mendalam yang
mampu menukik ke jantung persoalan otsus yang selama
ini masih menjadi polemik berbagai kalangan.

84 Otonomi Khusus Papua


BAB III

OTSUS: NACESSARY BUT NOT


SUFFICIENT

3. 1. Papua: ‘Land of Paradise’


Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak batu adalah harta harapan
Hitam kulit keriting rambut, aku Papua
biar nanti langit terbelah, aku Papua.
(Franky Sahilatua)

Sepenggal bait tersebut merupakan petikan dari lagu


yang cukup populer dan tercipta di era reformasi. Sebuah
era dimana otonomi khusus diberlakukan di tanah Papua
menggantikan kebijakan sebelumnya yang dianggap tidak
mencerminkan kondisi khas dan unik tanah dan penduduk
Papua. Lebih dari itu, ungkapan beberapa bait lagu tersebut
juga menunjukkan bahwa Papua adalah sebuah wilayah
atau tanah yang kaya, sehingga dipersamakan dengan ‘surga
yang jatuh ke bumi’ (paradise). Sebagaimana ungkapan
serupa yang disematkan kepada burung Cendrawasih yang
dianggap sebagai ‘burung dari surga’ (bird of paradise)
karena keindahan dan keunikannya.
Ungkapan serupa juga masih berlaku hingga sekarang
ini, meskipun beberapa kasus sebagaimana yang pernah
dirasakan dan pernah terjadi di tanah Papua menunjukkan
fakta berbeda, meskipun tidak berarti sebaliknya, yaitu ia
seolah Papua berubah menjadi tanah neraka bagi mereka
yang mengalami perlakuan tidak adil dan kesewenang-
wenangan. Adanya pengakuan dari pemerintah pusat akan
ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pula yang menjadi
salah satu alasan lahirnya kebijakan otonomi khusus yang
dimaksudkan sebagai terobosan untuk menebus sejumlah
kesalahan di masa lalu dan sekaligus memulihkannya
melalui cara dan perlakuan khusus.
Secara umum, tanah atau wilayah Papua masih
memiliki sejumlah ciri sebagai ‘tanah dari surga’ (land of
paradise) jika mengacu pada melimpahnya kekayaan alam
yang tumbuh dan terkandung di dalamnya. Meskipun
kandungan sumber daya alam dan hutan Papua telah
diekspolitasi sedemikian rupa, namun karena besarnya
cadangan yang ada di bumi Papua seolah ia tidak mampu
merubah kiasan bahwa Papua adalah ‘surga yang jatuh ke
bumi’ sebagaimana yang diungkapkan Franky Sahilatua
lewat lagunya tersebut.
Sejak zaman kolonial Belanda hingga di masa
kemerdekaan sekarang ini ada banyak sebutan lain yang
bisa dilekatkan pada sebuah tanah atau wilayah yang
bernama Papua. Biasanya sebutan itu merujuk pada
melimpahnya kekayaan alam yang tumbuh dan terkandung
di dalamnya. Sebutan serupa yang intinya kurang lebih
sama juga masih mengemuka hingga sekarang ini bahwa
tanah Papua memiliki posisi strategis, terutama terkait
dengan kandungan sumber daya alamnya yang melimpah.
Paralel dengan luas wilayah yang dimiliki, maka
tanah Papua juga memiliki tingkat keanekaragaman hayati
yang sangat tinggi. Besar dan tingginya keanekaragaman

86 Otonomi Khusus Papua


hayati menjadi potensi yang tidak dimiliki daerah lain.
Sementara itu jumlah penduduk yang relatif sedikit, serta
kondisi topografis yang beragam juga merupakan keunikan
tersendiri yang membedakan dengan daerah lain di
Indonesia. Letaknya yang berada di ujung timur Indonesia
dan dekat dengan lautan pasifik menjadikannya secara
geopolitik sangat strategis bagi Indonesia.
Tidak ada yang mengingkari bahwa Papua memiliki
potensi yang sangat besar terutama dari sisi sumber daya
alam, sehingga keberadaannya secara langsung atau
tidak langsung membawa konsekuensi strategis secara
ekonomi dan politik, tidak hanya bagi Indonesia tetapi
juga negara-negara besar yang berkepentingan terhadap
potensi tersebut. Sebut saja Amerika Serikat yang sangat
berkepentingan dengan keberadaan sumber daya tambang
di Freeport, begitu juga negara besar lain yang menanamkan
investasinya di tanah Papua.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap sumber daya alam Papua bukan
hanya pemerintah Indonesia, tetapi juga pihak pihak lain
melalui perusahaan multinasional yang dimilikinya. Fakta
tersebut menjadikan Papua seperti gadis manis yang begitu
menarik bagi siapa saja untuk merengkuh dan memilikinya.
Berbagai cara dan upaya akan dilakukan, agar bisa
mendapat akses dan kemudian memperoleh keuntungan
dari karunia alam yang diberikan tuhan Tuhan terhadap
tanah Papua.
Jangan heran jika sejarah modern tanah Papua sering
diwarnai konflik kepentingan politik dan ekonomi diantara
‘aktor aktor besar’ yang berusaha mendapatkan akses
lebih besar atas tanah Papua. Karena posisi geopolitik
dan kandungan sumber daya alam yang melimpah itulah

Otonomi Khusus Papua 87


wilayah Papua bukan hanya menjadi sebuah wilayah yang
memiliki posisi unik, tetapi seperti ditakdirkan untuk
menjadi lahan persengketaan, sebagaimana wilayah Timur
Tengah yang juga sarat dengan intrik dan konflik politik
karena kekayaan alam berupa minyak dan gas yang ada di
kawasan atau wilayah tersebut.
Jangan juga kaget jika wilayah ini sepertinya tidak
pernah sepi dari konflik, baik antar aktor lokal atau
nasional, tetapi juga aktor aktor global. Banyak pihak
yang berkepentingan bahkan berusaha memprebutkan
wilayah ini, seolah ia adalah wilayah yang tidak bertuan
yang menjadi ajang persengketaan atau konflik untuk
diperebutkan dan dikuasai.
Perilaku demikian masih mengemuka hingga kini
meskipun fakta menunjukkan bahwa tanah dan wilayah
Papua adalah bagian sah dari NKRI, tetapi tetap saja intrik
dan konflik yang melibatkan aktor lokal, nasional dan
internasional masih saja mengemuka dengan mengusung
berbagai isu untuk mencapai tujuan tertentu. Beragam isu
dan kasus dimunculkan oleh pihak-pihak, baik itu sebagai
sasaran antara untuk mencapai tujuan yang lebih besar atau
memang persoalan tersebut yang menjadi tujuan utama.
Kondisi demikian yang menjadikan sisi gelap dari
potret Papua nampak semakin gelap, disamping sisi terang
yang hingga kini masih memancar dan terus diusahakan
bisa semakin terang sinarnya melalui kebijakan otsus.
Dalam suasana konfliktual itu, masyarakat lokal khususnya
penduduk asli Papua ibarat pelanduk yang berada di tengah
perkelahian para gajah-gajah.
Uniknya, meskipun dalam kondisi demikian, tetap saja
hingga kini berbagai sebutan bernada positif terhadap tanah
Papua sebagaimana diungkapkan oleh bait lagu tersebut di

88 Otonomi Khusus Papua


atas masih saja relevan untuk dikemukakan. Padahal di sisi
lain berbagai upaya untuk mengeruk kandungan sumber
daya alam semakin intensif dilakukan oleh berbagai pihak
yang melibatkan berbagai kepentingan, baik asing atau
lokal. Barangkali itulah gambaran umum sebuah wilayah
yang memiliki sumber daya alam melimpah, yang bernama
Papua.
Hanya saja sayang, sebutan yang berkonotasi positif
itu tidak paralel dengan kesejahteraan dan kemakmuran
penghuninya, khususnya mereka yang merupakan
penduduk asli Papua. Masih banyak diantara mereka yang
tergolong miskin dan hidup memprihatinkan di tengah
melimpahnya sumber daya alam Papua. Sebutan yang
cenderung sebaliknya sering dilekatkan pada penduduk
asli Papua, sehingga seperti sebuah ironi yang sebagian
diantaranya masih berlaku hingga sekarang ini.
Sungguh merupakan pemandangan yang kontras
kecuali persoalan yang terkait dengan kesejahteraan
masyarakat Papua bisa diatasi. Jika pemandangan tersebut
masih saja mengemuka, ketika otsus selesai dilaksanakan,
maka sulit bagi siapa saja untuk menerima fakta tersebut.
Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah dan juga stakeholders
yang lain untuk secara sungguh sungguh melaksanakan
otsus, kecuali kita akan melihat fakta anomali atau bahkan
paradoksal terjadi di tanah Papua.
Sekarang saja, sulit dipungkiri adanya fakta berupa
anomali dan sejumlah kasus yang paradoksal, ketika
sebuah wilayah yang kaya sumber daya alam ternyata
menghadapi persoalan serius terkait dengan kesejahteraan
penduduknya. Padahal, sudah sejak lama telah ada upaya
dan serangkaian kebijakan yang dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Otonomi Khusus Papua 89


Tetapi apa dikata, ketika faktanya tingkat
kesejahteraan masyarakat Papua masih tergolong rendah
dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain di
Indonesia. Jangan salahkan jika masih saja muncul suara-
suara yang miring yang mengkritisi fenomena tersebut.
Apakah ini sebuah kesengajaan (by design) yang sarat
muatan politik ataukah merupakan buah dari kesalahan
dari sisi implementasi kebijakan. Buku ini berusah
melihatnya dari sisi kedua yaitu implementasi kebijakan
yang bermasalah atau tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan.

3.2. Fakta Lain Dari Keunikan Papua


Disamping fakta berupa melimpahnya kekayaan alam
yang tumbuh dan terkandung di bumi Papua, ada sejumlah
fakta lain yang bisa digunakan sebagai indikator yang
menunjukkan keunikan Papua. Fakta demikian tentu saja
bukan sesuatu yang baru, tetapi sejatinya sudah menjadi
kesadaran umum sebagaimana telah diungkapkan dalam
berbagai literatur yang berusaha melihat Papua secara lebih
utuh, baik mengenai kandungan alam, keanekaragaman
hayati, kondisi topografis, demografis dan juga penduduknya
yang ‘berbeda’ dengan mayoritas penduduk Indonesia pada
umumnya.
Secara demografis, penduduk Papua relatif sangat
sedikit dibandingkan dengan luas wilayah yang ada
dan juga jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah
penduduk Indonesia pada umumnya dalam sebuah entitas
pemerintahan daerah. Begitu juga persebarannya yang
tergolong unik, seperti ada dikotomi jika dikaitkan dengan
tingkat kemajuan infrastruktur dan pembangunan antara
daerah pesisir atau pantai dengan daerah pedalaman

90 Otonomi Khusus Papua


atau pegunungan. Rata-rata penduduk yang tinggal di
pegunungan atau pedalaman relatif tertinggal dibandingkan
mereka yang tinggal di daerah pesisir atau dataran rendah,
kecuali untuk daerah-daerah tertentu yang mendapat
perlakuan khusus terkait dengan adanya pusat-pusat
kegiatan ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam.
Jika faktor ras atau warna kulit dan rambut dijadikan
faktor pembeda, seolah faktor genealogis ini menjadi faktor
pembeda utama, maka lebih dari itu sesungguhnya masih
banyak faktor yang membuatnya unik dan berbeda dengan
penduduk dan daerah lainnya di Indonesia. Misalnya soal
sebaran penduduknya yang tergolong unik, dimana mereka
bukan hanya sangat terpencar pencar, tetapi juga memiliki
tipologi mata pencaharian dan kehidupan sosial budaya yang
berbeda. Perbedaan ini bukan hanya diantara penduduk
asli Papua dengan mereka yang tergolong pendatang, tetapi
juga diantara penduduk asli Papua. Termasuk perbedaan
dalam hal bahasa yang digunakan, sehingga dalam
komunikasi sehari hari diantara warga Papua, termasuk
sesama penduduk asli yang berbeda suku menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan komnikasi
sehari hari.
Sudah sejak lama, mereka yang hidup atau berada di
tepi pantai atau pesisir relatif lebih heterogen dan sekaligus
memiliki kualitas kehidupan sosial eknomi yang lebih baik
dibandingkan dengan mereka yang berada di pedalaman
atau pegunungan. Fakta ini menunjukkan bahwa ada
interaksi yang intensif diantara masyarakat Papua yang
berdomisili di pesisir pantai, khususnya mereka yang
sekarang masuk provinsi Papua Barat. Interaksi dengan
‘dunia luar’ itu khususnya terjadi dengan penduduk yang
berada di pulau Ternate dan Tidore serta Maluku. Jejak-

Otonomi Khusus Papua 91


jejak sejarah interaksi itu masih bisa dikenali hingga
sekarang, dimana tidak sedikit komunitas penduduk asli di
beberapa distrik di pesisir pantai yang telah menyatu atau
berdamingan secara harmoni, baik secara sosial, budaya
dan agama dengan mereka yang sebelumnya tergolong
pendatang dari kepulauan Maluku, Ternate dan Tidore
(Halmahera).
Papua adalah tanah yang memiliki keanekaragaman
sangat tinggi, bukan hanya keanekaragaman hayati dan
sumber daya alam yang terkandung di dalamnya yang
melimpah dan beragam, tetapi juga keanekaragaman secara
sosial budaya, topografis dan demografis sehingga membuat
wilayah ini dan penduduknya tergolong unik dan khas,
sehingga perlu kebijakan atau perlakuan khusus. Secara
fisik mungkin saja diantara penduduk asli Papua terlihat
sama kulit dan rambutnya, namun tidak demikian jika
dicermat secara sosial budaya, bahasa dan bahkan agama.
Artinya secara sosial budaya, ekonomi dan politik suku-
suku bangsa di Papua sesungguhnya sangat beragam atau
heterogen. Fenomena ini nampak nyata di wilayah yang
tergolong dataran rendah dan pesisir atau pantai, seperti
kota dan kabupaten Sorong atau wilayah provinsi Papua
Barat pada umumnya.
Sudah sejak dulu, bahkan dari segi etnisitas,
sesungguhnya penduduk Papua sesungguhnya bukan lagi
entitas yang tunggal, sama seperti daerah lain di Indonesia
yang juga heterogen atau mejemuk. Bahkan jika hal
demikian mengacu pada ras penduduk asli Papua, meskipun
sama sama tergolong sebagai ras Melanesia, tetapi dibalik
kesamaan ras tersebut tumbuh sebuah keragaman di
berbagai bidang kehidupan sosial ekonomi, bahasa dan juga
agama dan keyakinan mereka terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.

92 Otonomi Khusus Papua


Ketika keragaman dan kompleksitas di wilayah itu
semakin rumit dari berbagai sisinya, maka pemikiran
yang mengemuka seolah olah Papua adalah kesatuan
sosial politik dan budaya yang tunggal dan karenanya
digunakan cara pendekatan yang sama adalah sesuatu yang
keliru. Kekeliruan cara pandang dan asumsi ini juga telah
berpengaruh pada pelaksanaan otsus yang menghadapi
sejumlah persoalan serius. Otonomi khusus yang sejatinya
sudah didesain secara khusus dan diberlakukan secara
seragam untuk sebuah wilayah yang kompleks dan beragam
dari berbagai sisinya itu kemudian dalam implementasinya
di sejumlah daerah dan dalam beberapa kasus sering kali
menghadapi kendala serius karena dianggap tidak tepat
dengan lingkungan stratejik dimana ia hendak diterapkan.
Munculnya sejumlah usulan dari sejumlah kalangan untuk
menyempurnakan otsus adalah salah satu respon bahwa
kebijakan otsus yang sejatinya khusus itu tidak sepenuhnya
bisa diterapkan seragam untuk semua wilayah dan sejumlah
kasus di Papua.
Misalnya pelaksanaan pilkada di wilayah provinsi
Papua Barat yang relatif berjalan mulus, dibandingkan
wilayah lain di provinsi Papua, khususnya di wilayah
pegunungan atau pedalaman yang beberapa diantaranya
diwarnai konflik etnisitas atau kesukuan adalah bukti
bahwa model Pilkada yang mengacu kebijakan otsus perlu
disempurnakan agar sesuai dengan kondisi obyektif masing-
masing wilayah di Papua. Begitu juga pemekaran wilayah
kabupaten Sorong menjadi beberapa kabupaten dan satu
kota yang berjalan lancar seolah ia adalah kebutuhan
yang sepenuhnya disadari oleh masing-masing elemen
masyarakat di wilayah itu demi masa depan yang lebih baik.
Bahkan ketika sejumlah pemekaran wilayah itu kabupaten
kota itu sudah cukup banyak jumlahnya, upaya serupa kini

Otonomi Khusus Papua 93


masih terus berlanjut karena mereka menyadari bahwa
wilayah Papua sesungguhnya sangat luas dan memang
perlu dimekarkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik dan pembangunan. Di wilayah ini pula hubungan
yang relatif harmonis terjalin diantara berbagai unsur dan
elemen masyarakat dan pelaksanaan otonomi khusus bisa
dinyatakan berhasil.
Bukan berarti di wilayah Papua Barat dan Sorong pada
khususnya tidak ada persoalan serius terkait keragaman
penduduk, lingkungan topografis, demografis dan faktor
faktor lain seperti faktor sosial ekonomi, budaya dan juga
politik. Hanya saja di wilayah ini semua persoalan tersebut
relatif bisa dikelola dengan baik, sehingga wilayah ini
menjadi wilayah yang faktanya secara sosial ekonomi
lebih maju dibandingkan wilayah Papua pada umumnya.
Disebut demikian karena di wilayah ini relatif tidak muncul
sejumlah persoalan krusial sebagaimana yang terjadi di
provinsi Papua yang masih saja disibukkan oleh persoalan
elementer yang berusaha menggugat pelaksanaan otsus,
bukan bagaimana mempercepat dan menyempurnakan
pelaksanaan otsus yang kini usianya hampir tiga belas
tahun.
Meskipun disebut berhasil, namun keberhasilan
tersebut adalah keberhasilan relatif, setidaknya jika
dibandingkan dengan pelaksanaan otsus yang ada di
provinsi Papua. Hal demikian tercermin dari kondisi Papua
Barat yang relatif tenang dan seolah tidak ada persoalan
krusial terkait otsus, apalagi upaya untuk membatalkan
pelaksanaannya.
Bahwa masih banyak persoalan yang menghadang
pelaksanaan otsus jika dikaitkan dengan tujuan besar
yang hendak diraih, maka hal demikian sejatinya juga

94 Otonomi Khusus Papua


terjadi di daerah lain di Indonesia bahwa ada kenyataan
berupa disparitas antara harapan dan kenyataan terkait
sebuah kebijakan yang telah diterbitkan dan dilaksanakan.
Ternyata fakta yang ada menunjukkan bahwa sejumlah
harapan yang direncanakan dalam kebijakan tidak
sepenuhnya bisa diwujudkan. Kondisi serupa juga terjadi di
provinsi Papua Barat.
Apa yang kini terjadi di wilayah Papua terkait
pelaksanaan otsus sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan
kondisi serupa di bagian lain wilayah Indonesia, terutama
di sejumlah daerah hasil pemekaran atau wilayah sedang
berada dalam posisi transisi dalam mengejar ketertinggalan
dari daerah lain yang dianggap telah atau relatif sudah
lebih maju. Sejumlah provinsi atau kabupaten/kota hasil
pemekaran juga sering mengeluhkan persoalan berat ketika
mereka harus menghadapi sejumlah persoalan krusial
terkait dengan persoalan implementasi kebijakan. Tidak
mudah bagi pemerintah daerah atau pelaksana kebijakan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan sebelumnya yang
menjadi dasar pembentukan wilayah tersebut.
Hanya saja di wilayah-wilayah tersebut mungkin
saja tidak memiliki kompleksitas persoalan yang secara
sosial dan politik lebih rumit dibandingkan dengan wilayah
Papua. Namun jika kita tanyakan kepada masyarakat
atau penduduk di wilayah tersebut, maka jawabnya bisa
saja berbeda, bahwa mereka menganggap persoalan
terkait pelaksanaan kebijakan di wilayahnya tidak kalah
rumit dan kompleks dengan persoalan serupa yang ada
di wilayah Papua. Bahkan bisa saja mereka mengklaim
bahwa persoalan implementasi kebjakan di wilayah jauh
lebih sulit dan kompleks terkait dengan sejumlah hal,
seperti dana yang dianggap terbatas, sumber daya alam

Otonomi Khusus Papua 95


yang dianggap kurang dan pemihakan pemerintah pusat
yang dianggap masih minim atau tidak sebesar apa yang
dilakukan terhadap pemerintah daerah di wilayah Papua
yang mendapat status otonomi khusus.
Biasanya diskursus atau perdebatan terkait isu atau
persoalan demikian tidak akan menemukan kesepahaman,
sehingga yang bisa dinyatakan bahwa kondisi yang menjadi
persoalan krusial di tanah Papua – minus persoalan politik
dan separatisme - sesungguhnya juga menjadi persoalan
atau kekhawatiran daerah lain di Indonesia. Singkat kata,
ia atau persoalan tersebut adalah persoalan pemerintahan
Indonesia pada umumnya.
Bukankah bangsa Indonesia secara umum memiliki
kandungan sumber daya alam melimpah, dan sering dijuluki
‘zamrud katulistiwa’ atau sebutan lain yang senada dengan
ungkapan atau kiasan tersebut. Persoalannya adalah,
kondisi tersebut tidak paralel dengan tingkat kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat yang hidup di atasnya.
Pertanyaannya, mengapa hal demikian terjadi di Indonesia?
Secara spesifik, pertanyaan serupa juga berlaku bagi
wilayah Papua. Mengapa pula tingkat kesejahteraan
masyarakat Papua berada pada posisi paling buncit diantara
daerah daerah lain di Indonesia. Padahal wilayah Papua
secara relatif memiliki kandungan alam yang jauh lebih besar,
sementara penduduknya relatif sedikit. Lagi lagi jawabnya
bisa dikembalikan kepada persoalan implementasi kebijakan
sera sejumlah faktor yang mempengaruhinya. Tentu saja
ada yang salah dengan implementasi kebijakan, khususnya
terkait dengan bagaimana aparat pelaksana melaksanakan
tugas dan fungsinya dalam mengelola sejumlah faktor yang
menjadi elemen kunci yang mempengaruhi keberhasilan
sebuah kebijakan dalam mencapai tujuannya.

96 Otonomi Khusus Papua


3.3. Keunikan Papua dalam NKRI
Sulit dihindari, meskipun kajian ini lebih terfokus pada
aspek adminisrasi publik bahwa keunikan lain yang perlu
dipahami dalam konteks Otsus di Papua adalah keberadaan
wilayah Papua dalam NKRI yang berbeda proses atau
sejarahnya dengan wilayah lain di Indonesia. Hal demikian
perlu mendapat perhatian dan pemahaman mendalam
sebagai sebuah konteks atau lingkungan kebijakan yang
sangat penting dalam pelaksanaan otsus. Pemahaman dan
perhatian yang demikian sangat penting bagi pemerintah
pusat serta pihak pihak lain, khususnya mereka yang bukan
orang Papua, tetapi menjadi bagian penting dalam proses
pelaksanaan otsus. Setidaknya diperlukan empati untuk
memahami kondisi tersebut, sehingga muncul pemahaman
yang lebih utuh dan mendalam terhadap persoalan Papua
Dari sikap yang empatik serta pemahaman yang utuh
tersebut kemungkinan bisa lebih dimengerti jika masih
saja ada sebagian kalangan atau pihak di Papua yang
mempersoalkan keabsahan terkait sejarah integrasi Papua
ke dalam NKRI. Paralel dengan itu bisa juga dimengerti
jika mereka berjuang untuk melakukan langkah politik
berupa ‘Pepera’ ulang untuk menguji keabsahan Papua.
Bisa dipahami jika beberapa tahun yang lalu mereka juga
menolak jika dilakukan pemekaran provinsi Papua, bahkan
hingga kini sebagian dari mereka juga masih berkeras untuk
menolak pemekaran provinsi Papua menjadi beberapa
provinsi lagi. Meskipun akhirnya kini sudah ada provinsi
baru yang juga berlabel Papua yaitu di Papua Barat, namun
kisah sukses Papua Barat tidak cukup menjadi contoh
positif dari sisi administrasi pemerintahan dari sisi rentang
kendala, efisiensi dan efektifitas pelayanan dan sebagainya

Otonomi Khusus Papua 97


karena masih kuatnya dimensi politik yang dijadikan
pertimbangan pemekaran wilayah Papua.
Uniknya, jika di provinsi Papua ada kecenderungan
untuk menolak pemekaran provinsi, tetapi tidak dengan
pemekaran kabupaten/kota, maka lain halnya di provisi
Papua Barat yang cenderung membiarkan hal demikian
berproses secara alami. Dalam beberapa tahun terakhir,
di Papua Barat muncul gerakan gerakan yang hendak
membentuk provinsi baru lepas dari provinsi Papua Barat,
misalnya usulan provinsi Sorong Raya. Di bagian lain di
wilayah Papua misalnya di wilayah Merauke dan sekitarnya
juga muncul upaya untuk membentuk provinsi baru.
Jika sejauh ini pemekaran daerah di tingkat
kabupaten/kota yang lebih mengemuka dan mendapat
restu dari pemerintah provinsi, maka tidak demikian
dengan pembentukan provinsi baru. Sekali lagi fakta
demikian menunjukkan bahwa ada persoalan politik terkait
dengan pembentukan provinsi tersebut yang dianggap
akan memecah belah kesatuan masyarakat Papua yang
sejatinya secara sosial politik dan ekonomi serta topografis
(demografis) memang tidak tunggal.
Hal demikian bisa dimengerti karena memang rentan
terhadap konflik yang bisa menghambat pelaksanaan otsus
yang menjadi fokus pemerintah daerah dan juga pemerintah
pusat, sehingga usulan pemekaran provinsi, setidaknya
untuk tahun tahun ini masih dianggap sebagai usulan
yang kurang mendesak, meskipun dari segi administrasi
pemerintahan, sangat diperlukan pemekaran wilayah, baik
di tingkat provinsi dan juga kabupaten/kota. Hal demikian
menunjukkan bahwa di Papua ada persoalan politik yang
krusial dan harus diselesaikan secara hati hati, sehingga
tidak mengganggu jalannya proses pemerintahan khusus

98 Otonomi Khusus Papua


otsus yang sekarang ini relatif dalam kondisi yang lebih baik
dan kondusif dibandingkan sebelumnya. Inti yang hendak
dikemukakan dalam sub bab ini adalah bahwa di Papua
itu ada persoalan politik yang tentunya harus menjadi
kesadaran semua pihak, bahwa persoalan ini harus menjadi
perhatian dan penanganan hati hati.
Bersyukurlah daerah-daerah lain di wilayah Papua
yang relatif tidak lagi mempersoalkan masalah politik
terkait dengan integrasi Papua ke dalam NKRI, seperti
wilayah Papua Barat misalnya yang relatif sepi dengan isu
‘referendum’ atau isu sejenisnya yang intinya diskenariokan
sebagai pengganti dari Pepera yang pernah dilakukan di
tahun 60-an yang menjadi dasar bersatunya Papua ke dalam
NKRI. Bukan kebetulan jika di daerah ini pelaksanaan otsus
bisa relatif berjalan dengan baik, karena tidak terganggu
dengan persoalan tersebut. Berbeda halnya dengan wilayah
lain di provinsi Papua yang masih disibukkan oleh persoalan
politik yang berusaha menggugat eksistensi Papua ke dalam
NKRI.
Dalam konteks ini, bukan hanya pemahanan terhadap
aspek politik yang memang penting untuk diperhatikan
dalam pelaksanaan otsus, tetapi aspek ini dari sudut
administrasi publik, khususnya jika dikaitkan dengan kinerja
otsus juga perlu diperhatikan. Maksudnya untuk mengukur
indikator keberhasilan pelaksanaan otsus di wilayah Papua
harus dilihat juga faktor ini, dan bukan hanya persoalan
teknis administrasi publik terkait bagaimana administrasi
pemerintahan melaksanakan tugas dan fungsinya yang
menjadi indikator utama dalam melaksanakan kebijakan
pemerintahan sebagaimana yang banyak digunakan untuk
mengukur indikator kinerja pemerintahan di derah lain di
Indonesia yang relatif sepi dengan isu separatisme.

Otonomi Khusus Papua 99


Dalam konteks ini pula Papua mendapatkan perlakuan
berbeda, namun bukan sebuah bentuk diskriminasi dalam
arti negatif. Tetapi perlakuan berbeda yang memang
diperlukan untuk mencapai tujuan pemerintahan daerah
yang sejalan dengan tujuan nasional. Secara harfiah
keberadaan undang- undang Otonomis kusus (Otsus) Papua
yang sejumlah pasalnya memberikan perlakuan khusus
terhadap orang asli Papua sesungguhnya merupakan bagian
dari hal yang diskriminatif. Namun perlakuan berbeda atau
sesuatu yang sering disebut sebagai bentuk ‘diskriminasi’
adalah sesuatu yang diperlukan karena ia dinilai positif
keberadaannya sehingga dibolehkan, baik secara yuridis
ataupun politis.
Pendapat senada juga pernah dikemukakan manta
ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Jimly Asshiddiqie,
SH dalam paparannya di depan anggota MRP dan utusan dari
berbagai lembaga pada Seminar sehari tentang penerapan
UUD 1945 di Tanah Papua serta MRP sebagai mekanisme
perlkaukan khusus bagi orang asli Papua. Menurut Jumly,
“Perlakuan khusus yang diberikan terhadap orang asli
Papua sebenarnya diskriminatif bagi daerah lain”. Hanya
saja, diskriminatif itu adalah dalam pengertian dan prinsip
- prinsip konstitusional yang disepakati. Sebab diskriminatif
itu sendiri terdiri dari dua macam, yakni diskriminatif
negatif dan diskriminatif positif. Mantan Ketua MK
itu menjelaskan, untuk diskriminatif negatif kalau itu
menyangkut agama, suku, ras, gender dan sebagainya.
“Diskriminatif yang ini tidak boleh terjadi,” katanya.
Sedangkan diskriminatif lainnya adalah diskriminatif
positif yakni kalau ada kelompok yang tertinggal atau
termarginalkan dan masih hidup dalam kemiskinan. Untuk
mengejar ketertinggalannya itu, maka diperlukan suatu

100 Otonomi Khusus Papua


perlakukan khusus yang disepakati dengan tujuan untuk
menolong kelompok yang termarginalkan tersebut. “Jadi
diskriminitaif positif ini boleh saja, tetapi sifatnya harus
sementara (temporal) dan harus diakhiri apabila kelompok
yang termarginalkan itu sudah sama dengan kelompok lain
yang maju.
Ketentuan otonomi khusus yang berlaku di Papua juga
demikian, ada batasan waktu yaitu 25 tahun yang dianggap
sebagai waktu atau tempo yang cukup bagi pemerintah
daerah dan masyarakat Papua untuk membangun diri
dan daerahnya sehingga lebih maju atau sejajar dengan
apa yang telah dicapai daerah lain di Indonesia. Setelah
itu, wilayah Papua tidak lagi mendapat perlakuan khusus,
tetapi jika kondisi yang diharapkan belum bisa diraih, maka
bisa saja ada perlakuan khusus lanjutan. Artinya pelakuan
khusus – apapun nama dan sebutannya - tetap sah untuk
diberikan dalam rentang atau jangka waktu tertentu atau
diperpanjang sesuai dengan kebutuhan dengan mengacu
kondisi obyektifnya, sehingga keberadaannya tetap tidak
permanen karena akan berakhir ketika keadaan atau
kondisi yang diharapkan dianggap secara obyektif sudah
tercapai. Bisa saja, untuk provinsi Papua Barat tidak lagi
mendapat perpanjangan berupa otonomi khusus ketika
jangka waktu yang ditentukan berakhir karena dianggap
telah berhasil mencapai tujuan yang diharapkan. Ataupun
jika masih mendapat perlakuan khusus, tetapi dengan
format atau bentuk yang berbeda dengan provinsi Papua.
Intinya kebijakan berupa perlakuan yang berbeda
– untuk mengganti kata diskriminatif yang cenderung
berkonotasi negatif – diperbolehkan dan tidak melanggar
konstitusi. Kebijakan terobosan semacam ini juga
diberlakukan di berbagai negara maju dan demokratis

Otonomi Khusus Papua 101


sebagai sebuah pilihan yang rasional sesuai dengan asas
kepatutan, kemanfaatan dan juga keadilan, meskipun
sering dianggap melanggar asas kepastian hukum. Dalam
beberapa kasus, seperti untuk memberdayakan pengusaha
kecil dan menengah juga diberlakukan kebijakan berbeda
yaitu berupa pemihakan (affirmative action) berupa
pemberian bunga pinjaman yang lebih rendah, bantuan
keahlian dan sebagainya. Kebijakan demikian dianggap sah
dan sangat diperlukan, justru untuk mengembalikan sistem
sosial ekonomi yang dianggap telah terdistorsi oleh praktik
persaingan tidak sehat.
Kebijakan serupa demikian yaitu dalam bentuk sikap
atau pilihan politik yang memberikan otonomi khusus
kepada Papua adalah sesuatu yang diperlukan jika dikaitkan
dengan pencapaian tujuan yang hendak diraih. Karena
tanpa adanya perlakuan yang berbeda, maka tujuan publik
yang dicita citakan akan sulit diraih. Jika meminjam istilah
dalam ilmu ekonomi, maka pasar persaingan sempurna
itu hanya dimungkinkan terjadi dan dapat diterima sesuai
dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepatutan jika ada
kondisi yang seimbang diantara para pelaku pasar (the
same level of playing filed). Jika kondisinya tidak seimbang,
kemudian diantara pelaku di pasar untuk diminta bersaing
secara bebas, maka yang terjadi adalah ketidakadilan,
yaitu sesuatu yang sejatinya tidak dikehendaki atau bukan
menjadi tujuan dari penciptaan pasar persaingan sempurna.
Logika yang hampir mirip atau serupa juga berlaku
dalam pemberian otonomi khusus di Papua. Diperlukan
intervensi politik untuk menciptakan kondisi agar
‘persaingan sempurna’ bisa diwujudkan, karena ‘invisible
hand’ yang diharapkan muncul dengan sendirinya melalui
mekanisme pasar ternyata tidak pernah hadir kecuali

102 Otonomi Khusus Papua


ada intervensi dari negara. Dalam perspektif ini, sejak
awal sesungguhnya aspek pelaksanaan otsus tidak bisa
dilepaskan dari persoalan politik, yaitu politik campur
tangan negara melalui kebijakannya untuk menciptakan
kondisi ‘persaingan sempurna’. Termasuk campur tangan
negara dengan memberikan perlakuan khusus kepada
Papua dan juga NAD, dan bukan mustahil hal serupa juga
diberikan atau diberlakukan kepada daerah lain untuk
maksud dan tujuan berbeda, sebagaimana yang juga sudah
diberikan kepada DIY dan jika DKI Jakarta.

3.4. Otsus Dalam Sistem Desentralisasi Asimetris


Sebagai orang asli Papua, penulis merasakan bahwa
masih saja ada orang luar Papua yang melihat secara
‘berlebihan’ terhadap otsus, seolah ia adalah sesuatu yang
sama sekali berbeda paradigma dan modelnya dari otonomi
yang diterapkan di Indonesia. Tentu saja perbedaan itu ada
karena ia berlabel khusus, tetapi sejatinya tidak banyak
perbedaan jika dilihat dari paradigma dasar yang diterapkan
dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca reformasi.
Paradigma dasarnya sama-sama hendak memberikan
otonomi yang luas dan nyata kepada pemerintahan daerah.
Dari sebelumnya yang cenderung tersentralisasi, berubah
menjadi sangat terdesentralisasi. Jika fenomena demikian
ada yang menilai sebagai ‘arus balik’ pemerintahan dari
sentralisasi berbalik menjadi terdesentralisasi, maka
fenomena demikian juga berlaku di daerah-daerah lain di
Indonesia termasuk Papua.
Jika prinsip dasar yang diusung dalam sistem
otonomi adalah memberikan seluas –luasnya kewenangan
pemerintahan kepada organ pemerintahan sesuai dengan
peran dan fungsinya agar tujuan pemerintahan lebih mudah

Otonomi Khusus Papua 103


dicapai, maka hal demikian juga berlaku untuk Papua dan
daerah lain di Indonesia. Perbedaan yang ada sesungguhnya
pada tingkatan cabang dan bukan pada hal yang sifatnya
dasar, sehingga perbedaan tersebut tidak perlu dilihat
sebagai bentuk diskriminasi, tetapi hanya perbedaan yang
memang diperlukan.
Bisa saja, setidakya secara teoritik dan normatif, daerah
lain juga mendapat perbedaan perlakuan, baik kewenangan
itu berkurang atau dikurangi karena berbagai sebab, atau
juga mendapat tambahan ‘kewenangan’ tambahan karena
kondisi obyektifnya memang menghendaki demikian demi
tercapainya tujuan pemerintahan secara lebih efektif dan
efisien. Tentu saja prinsip dasar dari kebijakan penambahan
atau sebaliknya pengurangan kewenangan tersebut tidak
mengganggu pola hubungan kewenangan atau menggerogoti
kewenangan pemerintah pusat yang di negara paling
federalis sekalipun kewenangan tersebut memang menjadi
domain pemerintah pusat (federal).
Artinya perbedaan perlakuan yang diterima pemerintah
daerah Papua karena ia melaksanakan kebijakan otonomi
khusus sesungguhnya merupakan derivasi atau turunan dari
paradigma dasar yang dianut dalam sistem pemerintahan
Indonesia pasca reformasi yaitu memberikan otonomi seluas
luasnya kepada pemerintahan daerah dimana kewenangan
pemerintahan pemerintahan pusat telah disebutkan secara
limitatif. Perbedaan perlakuan tersebut hanya terkait
dengan sejumlah kewenangan yang merupakan cabang
dari kewenangan yang pokok yang sejatinya memang milik
pemerintahan daerah. Menjadi terkesan berbeda ketika hal
tersebut tidak dimiliki daerah lain di Indonesia, padahal
fenomena serupa juga terjadi untuk daerah lain di Indonesia
yang juga disebut istimewa atau khusus, misalnya DIY dan
DKI Jakarta.

104 Otonomi Khusus Papua


Lebih dari itu, perbedaan tersebut karena faktor sejarah
serta kondisi obyektifnya memang menghendaki demikian.
Sejarah Papua dalam berintegrasi dengan Indonesia
berbeda proses dan bentuknya dengan daerah-daerah lain
di Indonesia, termasuk dengan daerah yang sekarang ini
mendapat label istimewa atau khusus seperti Aceh (NAD)
dan DIY. Artinya apa yang dimiliki Papua dan ternyata
tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia, semata terkait
dengan kondisi dan karakter khas dari pemerintahan daerah
yang bersangkutan. Bisa saja, suatu saat, provinsi Bali
mendapat perlakuan berbeda karena kondisinya sebagai
daerah pariwisata, tetapi bukan perlakuan berbeda karena
mayoritas penduduknya beragama Hindu. Hal serupa juga
bisa berlaku di daerah lain yang memiliki karakteristik unik,
seperti daerah Batam yang menjadi kawasan perdagangan
bebas (free trade zone).
Semua daerah pada prinsipnya bisa mendapat
perlakuan khusus atau berbeda jika kondisi obyektifnya
menghendaki demikian. Dengan demikian sesungguhnya
apa yang terjadi di Papua adalah sesuatu yang lumrah atau
biasa. Sesungguhnya sejumlah kekhususan yang diberikan
kepada pemerintah daerah di wilayah Papua tidak
menggeser apalagi merubah paradigma dasar yang dianut
oleh UU pemerintahan daerah Indonesia yang diterbitkan
pasca reformasi yaitu pada tahun 1999. Paradigma dasarnya
masih sama, hanya saja dilakukan ‘modifikasi’ karena
sejumlah faktor khusus yang dimilikinya.
Hal serupa sesungguhnya juga bisa diterapkan
untuk daerah lain di Indonesia, misalnya terkait dengan
model pemilihan kepala daerah misalnya, dimana DIY
mendapat perlakuan berbeda. Bisa saja suatu saat daerah
daerah lain di Indonesia diberikan perlakuan berbeda demi

Otonomi Khusus Papua 105


terselenggaranya tujuan pemerintahan dan tercapainya
tujuan yang diinginkan masyarakat dalam konteks sistem
pemerintahan Indonesia. Semua itu dilakukan bukan
untuk menggeser apalagi merubah, tetapi justru untuk
memantapkan pencapaian tujuan dari sistem baru yang
menganut paradigma baru dibandingkan dengan model
sebelumnya yang cenderung sentralistik.
Semua perubahan itu bisa dilakukan sepanjang tidak
melanggar apa yang menjadi tujuan dasar dari konstitusi.
Jika sejatinya konstitusi mengamanatkan pemberian
otonomi luas, maka tidak ada yang salah dengan pemberian
otonomi khusus yang juga merupakan bentuk lain dari
otonomi luas yang tetap berada dalam sistem negara
kesatuan. Artinya pemberian otonomi khusus kepada Papua
sejatinya tidak melanggar konstitusi, meskipun ia berlabel
khusus. Semua itu harus dicermati dari tujuan yang hendak
dicapai, dimana pemberian otonomi khusus adalah selaras
dengan tujuan dasar yang dikehendaki konstitusi, meskipun
ia tidak secara eksplisit dinyatakan demikian.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, telah mengamanatkan suatu bentuk
pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Hal ini diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut dalam
ketentuan-ketentuan dalam konstitusi juga mengamanatkan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan

106 Otonomi Khusus Papua


dengan pengaturan antar daerah yang tidak seragam antara
satu sama lain. Dalam hubungan antara pusat dan daerah
atau daerah propinsi dengan kabupaten/kota dimungkinkan
adanya pola hubungan yang bersifat khusus seperti propinsi
Papua. Pengaturan demikian dimaksud untuk menjamin
agar seluruh bangsa Indonesia benar-benar bersatu dengan
keragaman dalam bingkai Negara Kesatuan.
Sebagaimana ketentuan yang berlaku terhadap
sistem pemerintahan daerah pasca 1999 yang memberikan
kewenangan luas dan nyata kepada daerah, maka melalui
UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan
yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran
dana yang juga besar. Dana puluhan triliun rupiah yang
dikucurkan yang kini angkanya telah mencapai 40,8
triliun adalah dana di luar dana lain seperti APBD dan
dekonsentrasi, sehingga dari segi ini nyata terlihat sebuah
perbedaan perlakuan. Namun hal demikian sesungguhnya
lebih sebagai persoalan manajerial pemerintahan untuk
mencapai tujuan pemerintahan, bukan sebagai bentuk
diskriminasi secara politis terhadap daerah lain di Indonesia.
Dalam konteks manajerial pemerintahan pula
pemerintah pusat mengeluarkan serangkaian kebijakan
terkait pelaksanaan otsus, terutama ketika dalam
pelaksanaannya menghadapi sejumlah kendala sehingga
perlu dipercepat. Sebagai bagian dari upaya untuk
mempercepat pelaksanaan otsus di Papua pasca munculnya
sejumlah kebijakan yang dianggap menghambat atau
blunder terhadap pelaksanaan otsus, maka Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menerbitkan kebijakan baru bagi
Papua melalui Inpres No. 5/2007 mengenai percepatan
pembangunan di Propinsi Papua dan Irian Jaya Barat
(Papua Barat). Keberadaan Inpres ini diharapkan mampu

Otonomi Khusus Papua 107


mendukung pelaksanaan Otsus, karena adanya dukungan
politik dan finansial yang lebih besar dari pemerintah
pusat. Dukungan juga diberikan pemerintah pusat kepada
Pemerintah setempat di Papua untuk membuat produk
hukum pelaksanaan UU Otsus termasuk Perdasi dan
Perdasus.
Tidak berhenti sampai disitu, pemerintah juga
mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui
dua peraturan presiden (Perpres) yang ditandatangani
20 September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun
2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011
tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul
Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Tahun 2011-2012.
Tentunya semua itu dilakukan pemerintah sebagai
bagian dari rencana besar dalam mengelola pemerintahan
yang baik sebagaimana dicita-citakan oleh gerakan
reformasi, termasuk dengan terbitnya kebijakan berupa
otsus di tahun 2001. Bukan kebetulan jika tidak lama
setelah gerakan reformasi berhasil melengserkan presiden
Soeharto, maka muncul kebijakan desentralisasi dalam
pengelolaan pemerintahan yang merubah pola hubungan
pemerintahan yang sebelumnya cenderung tersentralisasi
berubah menjadi sangat terdesentralisasi. Pemberian
otonomi khusus kepada Papua dan juga NAD adalah
bagian atau kelanjutan dari perubahan besar yang
sifatnya mendasar dan paradigmatik, khususnya dalam
pengelolaan pemerintahan. Dalam konteks dan perspektif
demikian, seharusnya otsus itu dilihat sehingga ia akan

108 Otonomi Khusus Papua


nampak sebagai sesuatu yang biasa dan bahkan seharusnya
demikian, dan bukan sesuatu yang luar biasa meskipun di
dalamnya ada perlakuan berbeda dengan apa yang berlaku
bagi daerah lain di Indonesia.

3. 5. Penting, Tapi Tidak Luar Biasa


Tanpa bermaksud mengecilkan sejumlah perubahan
kebijakan penting yang dikeluarkan pemerintah pasca
reformasi, untuk mengelola dan mengatasi persoalan di
Papua, maka sesungguhnya serangkaian kebijakan tersebut
adalah sesuatu yang biasa saja. Tidak terkecuali kebijakan
otsus, yang berlabel khusus, seolah ia adalah sesuatu yang
sama sekali berbeda dengan kebijakan otonomi luas yang
juga berlaku di daerah lain di Indonesia. Sejumlah perbedaan
yang ada dan kemudian disebut khusus sesungguhnya
adalah perbedaan yang bersifat cabang dan bukan bersifat
pokok, karena prinsip dasar atau bahkan paradigmanya
sama dengan apa yang berlaku di daerah lain di Indonesia.
Atas dasar itu kebijakan otonomi khusus yang
berlaku di Papua sesungguhnya tidak ada yang luar biasa
karena sejumlah daerah di Indonesia pasca reformasi juga
mengalami perubahan yang signifikan dan paradigmatik
terkait hak otonomi yang yang disandangnya. Otonomi
khusus menjadi kebijakan yang luar biasa jika dibandingkan
dengan kebijakan serupa di era Orde Baru karena prinsip
dasar dan paradigmanya memang berbeda, meskipun
tujuan yang hendak dicapai dari segi administrasi publik
relatif sama yaitu untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas pemerintahan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya antara lain di bidang pelayanan publik dan juga
pembangunan serta pemberdayaan.

Otonomi Khusus Papua 109


Dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca
reformasi, kebijakan otonomi khusus tidak didesain secara
berbeda, sebagaimana yang selama ini dipersepsikan oleh
masyarakat. Grand design-nya sesungguhnya sama dan
sebangun dengan desain pengelolaan pemerintahan daerah
pasca reformasi yang memang berusaha memberikan
otonomi seluas luasnya kepada daerah karena secara
teoritik banyak fungsi fungsi yang secara teknis dan
administratf pemerintahan yang memang menjadi domain
pemerintah daerah, khususnya yang terkait dengan tugas
dan fungsi pelayanan publik. Sejumlah perbedaan yang ada
sesungguhnya merupakan penajaman atau derivasi dari
ketentuan pokok yang sudah ada sebagaimana termaktub
dalam konsiderans dari Undang-undang yang terkait
dengan pemerintahan daerah.
Pemberian sejumlah kewenangan yang tidak dimiliki
oleh daerah lain seperti kewenangan yang dimiliki MRP dan
sejumlah hal terkait dengannya adalah sesuatu yang tidak
bersifat pokok. Keberadaannya sesungguhnya merupakan
terjemahan atau semacam interpretasi lebih lanjut dari
ketentuan yang ada dan berlaku secara umum. Begitu juga
kebijakan lanjutan dari otsus, misalnya berupa Perpres
yang dikeluarkan tahun 2012 untuk memberikan akses
dan peluang kepada orang asli Papua untuk mendapatkan
proyek-proyek APBD secara penunjukkan langsung.
Dalam Perpres tersebut diatur bahwa pengusaha di daerah
pegunungan yang adalah pengusaha asli Papua bisa
mendapatkan proyek APBD sebesar Rp satu miliar proyek
APBD dan di kabupaten Rp 500 juta dengan penunjukkan
langsung. Kebijakan demikian, pada dasarnya menganut
paradigma yang tidak berbeda dengan kebijakan serupa
yang berlaku terhadap pengusaha kecil dan menengah ketika

110 Otonomi Khusus Papua


berhadapan dengan pengusaha besar, dimana pengusaha
kecil dan menengah (SMEs) diperlakukan berbeda.
Melalui Perpres tersebut pemerintah berharap agar
pengusaha asli Papua bisa mendapatkan akses dari
APBD sehingga dapat menggerakkan ekonomi lokal.
Selain itu juga ada regulasi dari Kementerian Pekerjaan
Umum bahwa pembangunan sarana infrastruktur harus
menggunakan sumber daya lokal. Kebijakan demikian
terkait dengan tingkat kemahalan di Papua, yang berbeda
tingkat ‘kemahalan’nya dengan daerah lain di Indonesia.
Dalam kaitan ini ada tiga langkah untuk mengatasi
persoalan tingkat kemahalan, yaitu pembukaan jalan-jalan
baru, sarana dan prasarana serta menambah pesawat baru
terutama di daerah pedalaman seperti Jayawijaya.
Beberapa contoh kebijakan lanjutan sebagai
pelaksanaan otsus itu merupakan kebijakan yang berbeda
dengan yang berlaku di daerah lain di Indonesia pada
umumnya. Meskipun berbeda, tetapi tidak menyalahi prinsip
dasar dari pemberian otonomi luas yang sesungguhnya
dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat,
meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mempercepat
pembangunan demi tercapainya tujuan besar sebagaimana
yang diamanatkan konstitusi.
Semua perbedaan perlakuan itu adalah langkah
strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi
pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di
Papua. Juga didesain sebagai langkah awal dalam rangka
membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah,
sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan
kerangka dasar yang kukuh demi tuntasnya masalah di
Papua dan seterusnya, termasuk dalam upaya memperkuat
bangunan NKRI.

Otonomi Khusus Papua 111


Benar bahwa keberadaan UU Otsus Papua lahir
karena sejak penyatuannya ke Indonesia, masih ada
persoalan pemenuhan rasa keadilan bagi rakyat Papua,
belum tercapainya kesejahteraan rakyat, belum tegaknya
hukum di Papua, dan belum adanya penghormatan hak
asasi manusia (HAM) khususnya terhadap warga Papua
dan sebagainya, namun bukan itu yang menjadi salah satu
dasar pertimbangannya. Ada sejumlah pertimbangan dari
segi administrasi publik, bahwa pemberian otsus itu adalah
bagian dari kebijakan strategis dalam meningkatkan tugas
dan fungsi pemerintahan daerah dalam mencapai tujuannya.
Jika otsus dilihat dari perspektif ini, maka keberadaan
otsus merupakan kebijakan yang sangat penting dan
strategis, tetapi bukan sesuatu yang luar biasa dari perspektif
administrasi publik dan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Konsep desentralisasi yang diterapkan pemerintah
untuk konteks wilayah Papua, sesungguhnya merupakan
perluasan dari konsep desentralisasi yang juga diterapkan
di daerah lain di Indonesia. Otonomi khusus dan juga
otonomi luas adalah salah satu varian konsep desentralisasi
yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymmetrical
decentralization) yang dipakai pasca reformasi. Maksud dan
tujuannya juga sama, yaitu untuk menciptakan perbaikan
kualitas penyelenggaraan pemerintahan.
Khusus untuk Papua, maka kebijakan otonomi khusus
juga dimaksudkan guna menyelesaikan berbagai persoalan
di Papua. Dalam konteks ini ada sejumlah pasal atau
ketentuan yang sifatnya khusus, misalnya soal MRP dan
juga dana otonomi khusus. Keberadaan otsus diharapkan
menjadi suatu formula politik yang mujarab untuk meredam
keluhan pembangunan dan tuntutan merdeka yang terus
disuarakan orang Papua.
Dengan otonomi khusus Papua diharapkan sejumlah
akar persoalan dan permasalahan Papua yang berlarut –
larut dapat segera ditemukan jalan keluarnya. Melalui otsus

112 Otonomi Khusus Papua


diberikan kebebasan kepada rakyat Papua untuk mengatur
dan mengurus diri sendiri atau rumah tangganya sendiri.
Dengan demikian rakyat Papua mendapat kekuasaan dan
kewenangan yang lebih besar untuk berpemerintahan
sendiri, mengatur, menegakan hukum, dan ketertiban
masyarakat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat
Papua.
Secara normatif otonomi khusus memberi harapan
yang lebih besar kepada rakyat Papua untuk: (a)
meningkatkan kinerja-kinerja pemerintahan yang efektif
dan efisien dengan adanya serangkaian kemudahan dalam
kehidupan masyarakat; (b) memajukan kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat melalui otonomi khusus
pemberdayaan orang asli Papua; (c) menjalankan sistem
desentralisasi serta otonomi dengan baik untuk memajukan
pembangunan di Papua melalui otonomi khusus seperti
daerah lain di Indonesia; (d) membuka kesempatan yang
lebih besar kepada pemerintah Papua untuk meningkatkan
kapasitas dan kapabilitasnya; (e) memberikan kewenangan
untuk membuat Perdasus dan Perdasi serta keputusan dan
kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat
asli Papua berdasarkan UU otonomi khusus dan sebagainya.
Adanya ketentuan atau rumusan yang menegaskan
bahwa otonomi khusus itu dilaksanakan dalam kerangka
NKRI atau bangunan sistem pemerintahan Indonesia, maka
tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pelaksanaannya.
Lagi pula perlakuan berbeda itu dibatasi oleh jangka waktu
yaitu 25 tahun, setelah itu Papua akan mengikuti ketentuan
yang bersifat umum. Asumsinya bahwa pada akhir
pelaksanaan otsus itu kondisinya tidak lagi memerlukan
perlakuan khusus, misalnya ketentuan dalam Perpres yang
mengatur bahwa pengusaha di daerah pegunungan yang
adalah pengusaha asli Papua bisa mendapatkan proyek
APBD sebesar Rp satu miliar proyek APBD dan di kabupaten
Rp 500 juta dengan penunjukkan langsung.

Otonomi Khusus Papua 113


Jadi dalam perspektif pemerintahan nasional, otsus
Papua sesungguhnya bukan sesuatu yang luar biasa,
kecuali jika format demikian dibandingkan dengan
model pemerintahan di era orde baru, maka itu baru
luar biasa. Artinya, ketika daerah lain menerapkan pola
pemerintahan model Orba, sementara Papua menerapkan
pola pemerintahan yang sangat terdesentralisasi, maka hal
demikian bisa dianggap sebagai sesuatu yang diskriminatif
atau pantas dipertanyakan. Dengan format yang ada
sekarang, sesungguhnya daerah lain tidak perlu ‘iri’, karena
sesungguhnya kebutuhan obyektif di Papua memang
menghendaki demikian. Bahkan daerah lain sesungguhnya
perlu bersyukur karena tidak menghadapi sejumlah
kompleksitas persoalan sebagaimana yang dihadapi
pemerintah Papua sekarang ini.
Dana otsus yang diberikan kepada pemerintah Papua
dan kewenangan besar yang beberapa diantaranya tidak
dimiliki daerah lain adalah semata dimaksudkan sebagai
sarana untuk mengejar ketertinggalan pemerintah dan
masyarakat Papua dari ketertinggalannya selama ini.
Dengan begitupun belum tentu berhasil dilaksanakan
dengan baik sesuai dengan jadwal yang ditentukan karena
besar dan kompleksnya persoalan di Papua. Diperlukan
empati serta dukungan dari daerah-daerah lain di Indonesia
dan pemerintah pusat khususnya agar pelaksanaan
otsus bisa mencapai misinya dan kemudian Papua bisa
diperlakukan sama dengan daerah lain di Indonesia, bukan
lagi diperlakukan secara khusus atau berbeda layaknya
pasien yang masih perlu perawatan khusus dan intensif
karena kegawatan penyakit yang dideritanya.

3.6. Pokok-pokok Otsus


Perlu dimengerti bahwa inti dari kebijakan otsus adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua dalam

114 Otonomi Khusus Papua


bingkai NKRI. Bukan sebaliknya bahwa kebijakan otsus
dirancang sebagai upaya politik untuk mengintegrasikan
Papua, karena aspek ini sudah final dengan adanya Pepera.
Secara yuridis tidak perlu adanya ‘Pepera ulang’ atau upaya
politik sejenis dengan nama lain guna memberikan landasan
baru bagi integrasi Papua ke dalam NKRI.
Otsus adalah bagian dari perubahan paradigma dalam
mengelola pemerintahan di Indonesia seiring dengan
perubahan konstalasi sosial politik dan pemerintahan pasca
reformasi. Jika di dalam otsus ada sejumlah rumusan yang
mencerminkan bentuk akomodasi dari sejumlah tuntutan
politik, maka hal demikian tidak berarti bahwa otsus
adalah kebijakan pengganti atau secara tidak langsung
dimaksudkan untuk meredam tuntutan ‘Pepera ulang’.
Dari sisi administrasi publik, adalah soal lain bahwa
melalui otsus itu diharapkan integrasi Papua semakin
kuat dan semakin legimate secara sosial, budaya dan
ekonomi. Ia adalah dampak secara tidak langsung atau
dampak lanjutan dari otsus. Hal demikian tercermin
dari pengertian Otonomi Khusus Papua berdasarkan UU
Otonomi Khusus Papua bahwa kewenangan khusus yang
diakui dan diberikan kepada Papua adalah untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar
masyarakat Papua. Melalui Otonomi Khusus ini diharapkan
kesenjangan pembangunan di Papua dengan daerah lain
dapat diminimalisir sekaligus meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakatnya.
Pemahaman yang demikian ini sangat penting sehingga
tidak muncul kerancuan yang faktanya hingga kini masih
ada. Bahwa otsus seolah-olah merupakan kompensasi
politik karena tidak diterimanya tuntutan oleh sebagian
pihak untuk melakukan Pepera ulang dan sejumlah
langkah politik yang segaris dengan tuntutan tersebut yang
ujungnya dianggap mengancam integrasi Papua dalam

Otonomi Khusus Papua 115


NKRI. Masih sering dikemukakan oleh sejumlah pihak,
bahkan hingga kini bahwa otsus adalah langkah kompromi
politik, sehingga ketika otsus dinilai gagal menjalanan
misinya, maka langkah tersebut dianggap tidak lagi
relevan diteruskan, dan perlu dipilih opsi lanjutan, yaitu
Pepera ulang atau referendum misalnya. Padahal akar
persoalannya bukan pada otsus, tetapi pelaksanaan otsus
yang bermasalah. Dan juga tidak pada tempatnya jika otsus
dijadikan sebagai dasar legitimasi politik atas integrasi
Papua ke dalam NKRI. Legitimasi tersebut sudah terjadi
dan terwujud di tahun 1963.
Kini pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua
(Provinsi Papua dan Papua Barat), telah memasuki tahun ke
tiga belas pada (1 Januari 2014). Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 yang kini menjadi dasar pelaksanaan Otonomi
Khusus Papua ini, ditetapkan oleh DPR RI pada 22 Oktober
2001, kemudian disahkan oleh Presiden Megawati pada 21
November 2001 dan dinyatakan berlaku mulai 1 Januari
2002. Lebih dari separuh perjalanan telah ditempuh sampai
pada jangka waktu yang ditentukan diharapkan tujuan
otsus bisa dicapai. Pada titik itu diharapkan kondisi Papua
telah sejajar dengan sejumlah provinsi lain di Indonesia,
sehingga tidak perlu ada kebijakan khusus seperti sekarang
ini.
Berikut ini beberapa pokok-pokok ketentuan otsus
yang dianggap berbeda dengan kebijakan serupa terkait
dengan pemerintahan daerah di Indonesia. Tentu saja
masih ada sejumlah bagian dari ketentuan yang berbeda
yang tidak bisa diungkap dalam buku ini. Pada dasarnya
ketentuan otsus itu terkait dengan tuntutan berbagai
kalangan di Papua untuk mengembangkan kekhasan
budayanya dalam konteks NKRI melalui kebijakan pada
tingkat nasional yang bersifat khusus. Tuntutan demikian
sejalan dengan nafas desentralisasi pemerintahan pasca
reformasi, yang diharapkan dapat mengurangi kesenjangan

116 Otonomi Khusus Papua


antar pemerintahan daerah di Papua dengan daerah daerah
lain dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua
untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subyek sekaligus
obyek pembangunan.
Setidaknya ada tiga hal mendasar yang terungkap dari
UU No. 21/2001 tentang Otsus tersebut, yakni:
1) Pengaturan kewenangan antara pemerintah pusat
dengan Provinsi Papua, serta penerapan kewenangan
tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan
kekhususan.
2) Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar
penduduk asli di Papua serta pemberdayaan secara
strategis dan mendasar.
3) Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang
baik dengan berciri:
(a) Partisipasi rakyat asli Papua yang sebesar-
besarnya dalam perencanaan, pengawasan dan
pelaksanaan dalam penyelanggaraan pemerintah.
(b) Pelaksanaan pembangunan yang sebesarnya
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar
penduduk asli Papua.
(c) Pelaksanaan pembangunan yang transparan dan
bertanggung jawab kepada masyarakat provinsi.
Dari hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Otsus di atas,
tampak bahwa pemberian status Otsus bagi Provinsi Papua
dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan
supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi
manusia, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran bagi orang Papua, dalam
rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan provinsi
lain di Indonesia. Dengan demikian sejatinya tidak ada
perbedaan mendasar antara ketentuan otsus untuk Papua
dengan ketentuan serupa yang mengatur pemerintahan

Otonomi Khusus Papua 117


daerah di Indonesia, termasuk dengan ketentuan otsus
yang berlaku bagi Aceh (NAD) dan ketentuan khusus yang
berlaku bagi DIY dan DKI Jakarta.
Ketentuan lain yang menarik dan perlu dikemukakan
adalah ketentuan yang terkait dengan keberadaan
masyarakat adat dan upaya untuk melindungi dan
memberdayakan, sekaligus memberi peran pada masyarakat
adat untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya.
Bab X, Pasal 38 UU Otonomi Khusus Papua menyebutkan
bahwa:
(1) Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian
dari perekonomian nasional dan global, diarahkan
dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua,
dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan
pemerataan.
(2) Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang
memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan
tetap menghormati hak-hak masyarakat adat,
memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha,
serta prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, dan
pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya
ditetapkan dengan Perdasus.
Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 1 huruf r
UU Otonomi Khusus Papua, yang dimaksud masyarakat
hukum adat adalah warga masyarakat asli Papua yang
sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan
terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan
rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya.
Selanjutnya ketentuan Pasal 42 UU Otonomi Khusus Papua
menekankan bahwa:
(1) Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan
dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang

118 Otonomi Khusus Papua


seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau
masyarakat setempat.
(2) Penanaman modal yang melakukan investasi di wilayah
Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-
hak masyarakat adat setempat.
(3) Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah
Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus
melibatkan masyarakat adat setempat.
(4) Pemberian kesempatan berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam kerangka
pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan
dalam perekonomian seluas-luasnya.
Rumusan yang lebih rinci dalam Bab XI yang mengatur
mengenai Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat,
antara lain dalam Pasal 43 UU Otonomi Khusus Papua
mencantumkan ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah
Daerah dan hak-hak masyarakat adat Papua, yang meliputi:
(1) Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui,
menghormati, melindungi, memberdayakan dan
mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang
berlaku.
(2) Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1)
meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak
perorangan para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
(3) Pelaksanaan hak ulayat sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa
adat masyarakat adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati
penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh
pihak lain secara sah menurut tata cara dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Otonomi Khusus Papua 119


(4) Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga
masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun
dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat
hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah
yang diperlukan maupun imbalannya.
(5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan
mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa
tanah ulayat dan bekas tanah perorangan secara adil
dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan
yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.
Bentuk kekhususan lain, seperti keberadaan Majelis
Rakyat Papua (MRP), Perdasi dan Perdasus yang akan
dibahas dalam sub bab tersendiri, juga persoalan simbol
atau lambang daerah yang merupakan bentuk pengakuan
secara kultural terhadap identitas masyarakat Papua.
Masalah ini cukup rumit, dan pada dasarnya orang Papua
menghendaki realisasi dari Pasal 20 UU No. 21 Tahun 2001,
yaitu tentang bendera lambang-lambang daerah. Begitu juga
dengan keberadaan partai politik yang dianggap mewakili
masyarakat Papua atau yang sering disebut sebagai partai
lokal sebagaimana yang diberlakukan di Aceh (NAD).
Meskipun ketentuan kekhususan mengenai partai lokal ini
tidak berlaku bagi Papua, namun tuntutan serupa masih
saja muncul. Bisa saja tuntutan demikian akan dikabulkan
sebagaimana yang berlaku di Aceh dimana ada sejumlah
partai lokal yang berdampingan dengan partai nasional.

120 Otonomi Khusus Papua


BAB IV

GEOPOLITIK DAN INDIKATOR


KUNCI

4.1. Geopolitik Papua: At All Cost


Terlepas dari fakta bahwa wilayah Papua menyimpan
kandungan sumber daya alam yang melimpah serta
berbagai keanekaragaman hayati, baik di darat dan di di
laut, maka Papua memiliki kedudukan yang sangat strategis
secara geopolitik bagi Indonesia. Posisinya yang berada di
‘pinggiran’ atau ujung timur Indonesia menjadikan posisinya
sangat strategis karena ia berhadapan langsung dengan
samudera pasifik dan negara besar seperti Australia yang
memendam kepentingan besar terhadap wilayah ini dan
sekitarnya. Kondisi yang hampir sama berlaku bagi wilayah
NAD yang juga merupakan wilayah pinggiran (periphery)
dari sebuah pusat (center) yag bernama Jakarta.
Bukan kebetulan jika hubungan antara pusat dan
pinggiran seringkali tidak berjalan harmonis akibat
penerapan sistem pemerintahan yang cenderung sentralistik
sebagaimana pernah diterapkan di Indonesia dalam kurun
waktu yang lama. Perubahan sistem pemerintahan yang
semakin terdesentralisasi, bahkan secara substansi mirip
konsep federal, tidak langsung bisa berbuah manis dalam
mengatasi persoalan hubungan pusat-pinggiran (center-
periphery) tersebut. Perlu waktu dan proses lama, sehingga

Otonomi Khusus Papua 121


perubahan tersebut berbuah manis, setelah diiringi sejumlah
persoalan yang rumit dan mahal biayanya sebagaimana
yang nampak dan dirasakan oleh bangsa Indonesia dalam
menerapkan otonomi luas, dimana ada sejumlah varian di
dalamnya yang disebut otonomi khusus.
Bukan pula kebetulan jika daerah Papua dan juga Aceh
menghadapi persoalan politik serius terkait hubungannya
dengan pusat terkait dengan sejarah wilayah tersebut
dalam berintegrasi dengan NKRI. Otonomi khusus adalah
bagian dari upaya memperbaiki hubungan tersebut agar
sebuah daerah pinggiran tidak merasa sebagai pinggiran
meskipun secara faktual berada di wilayah pinggiran.
Asumsinya dengan penyebaran kewenangan atau kekuasaan
pemerintahan, maka tidak ada lagi yang bernama pusat
yang menguasai semuanya, sementara daerah tidak
mendapat apa-apa, kecuali hanya sisa-sisa atau bagian yang
sangat kecil. Kini kewenangan pemerintah telah tersebar ke
seluruh daerah.
Adalah takdir Papua dan juga Aceh sebagai wilayah
Indonesia yang berada di pinggir, sebagaimana lagu
kebangsaan yang yang bertajuk “dari Sabang Sampai
Merauke”. Ada sejumlah wilayah yang secara geopolitik
berbatasan dengan negara lain dan masuk kategori
pinggiran, seperti daerah yang ada di Kalimantan, tetapi
persoalan mereka secara politik tidak serumit dengan
persoalan center-periphery sebagaimana yang dihadapi
daerah Papua dan juga Aceh.
Sesungguhnya perlakuan khusus yang diberikan
kepada dua daerah tersebut tidak terlepas dari fakta
geopolitik tersebut. Jadi bukan hanya soal ketertinggalan
Papua dari daerah lain serta persoalan ketidakadilan dan
lain sebagainya sebagaimana yang sering dikemukakan

122 Otonomi Khusus Papua


para pihak sebagai dasar alasan utama pemberian otonomi
khusus atau perlakuan berbeda.
Ada faktor geopolitik yang merupakan takdir dari
wilayah pinggiran yang memang perlu mendapat perlakuan
khusus, tanpa atau dengan otonomi khusus. Perlakuan
khusus adalah kondisi obyektif yang harus dilakukan
terkait dengan sejumlah persoalan yang harus dihadapi
dalam upaya memelihara integrasi bangsa.
Logika serupa sebenarnya juga berlaku bagi daerah
daerah lain di Indonesia yang masuk kategori pinggiran,
meskipun tidak harus dengan format otonomi khusus
sebagaimana yang diberlakukan di Aceh dan Papua.
Perlakuan khususnya itu bisa diberlakukan dengan
berbagai bentuk dan model, sebagaimana perlakuan khusus
yang diberikan kepada Batam dalam kapasitasnya sebagai
zona perdagangan bebas (free trade zone area). Begitu juga
perlakuan khusus (special treatment) diberlakukan secara
terbatas kepaa sejumlah daerah untuk mencapai tujuan
tertentu, seperti pengembangan pariwisata, cagar budaya
dan sebagainya. Perlakuan khusus itu diberikan terkait
dengan kondisi obyektif yang menjadi ‘takdir’ daerah atau
wilayah bersangkutan.
Papua adalah wilayah pinggiran Indonesia yang secara
geopolitik sangat penting dan strategis, sehingga tanpa atau
dengan adanya otonomi khusus perlu mendapat perlakuan
khusus. Atas dasar ini, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa
wilayah Papua tidak akan mendapat perlakuan khusus.
Dengan kondisi geopolitik seperti itu, maka ketika masa
berlakunya otsus berakhir, maka mau tidak mau Papua
akan mendapat perlakuan khusus. Jika tidak, maka wilayah
ini akan menghadapi persoalan khusus sebagai konsekuensi
dari kedudukan geopolitik dan kondisi obyektif lainnya,

Otonomi Khusus Papua 123


seperti keadaan topografis, demografis dan aspek politik
terkait sejarah Papua dalam berintegrasi dengan Indonesia.
Artinya, sebagai konsekuensi dari kondisi kewilayahan
Papua yang unik dan khas dalam konteks Indonesia, maka
tidak ada pilihan lain bagi pemerintah Indonesia untuk
memperlakukan Papua secara khusus.
Perlakuan khusus ini ibarat pedang bermata dua,
di satu sisi bisa berakibat positif bagi kemajuan dan
kesejahteraan Papua dalam konteks NKRI, tetapi juga bisa
berakibat negatif. Munculnya sejumlah kasus ketidakadilan
dan pelanggaran HAM di masa lalu juga akibat perlakuan
khusus dalam arti yang negatif. Ketika itu Papua
diperlakukan sebagai daerah yang memiliki potensi besar
untuk lepas dari NKRI sehingga berbagai upaya dilakukan
untuk menghalangi upaya tersebut, meskipun berujung
pada pelanggaran HAM dan ketidakadilan. Sekarang ini
ancaman serupa juga masih ada, hanya saja perlakuan
khusus yang diterapkan menggunakan pola atau model
pendekatan yang berbeda.
Karena posisi dan sumber daya alam yang
dikandungnya, pulau atau wilayah Papua memiliki nilai
strategis yang sangat tinggi bagi geopolitik Indonesia. Hal
serupa sesungguhnya juga berlaku bagi wilayah Indonesia
di bagian lain, terutama yang masuk kategori pinggiran
yang juga memiliki kandungan sumber daya alam potensial.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki karakteristik
geopolitik yang khas, yaitu membentang luas dan letak
geografis yang strategis dari Sabang sampai Merauke.
Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia membutuhkan
kendali yang kuat untuk menjaga keamanan, keutuhan, dan
kedaulatan wilayah NKRI, termasuk melindungi wilayah-
wilayah kunci seperti Papua sebagai provinsi paling timur.

124 Otonomi Khusus Papua


Disebut wilayah kunci karena Papua yang berbatasan
dengan sejumlah negara yang menjadi kekuatan ekonomi
potensial, mulai dari Filipina di sebelah utara, yang
merembet ke Hong Kong, Taiwan, Jepang, hingga
kepulauan Pasifik dan Benua Amerika di sebelah timur dan
di selatan berhadapan dengan Timor Leste dan Australia.
Saat ini negara yang menjadi ancaman riil adalah Australia,
sebagaimana ditunjukkan oleh perilaku politiknya ketika
berbalik arah mendukung kemerdekaan Timor Timur,
serta perilaku sebagian masyarakatnya termasuk mereka
yang berada di pemerintahan dalam mengkritisi persoalan
Papua. Sejumlah negara lain yang disebutkan di atas
juga merupakan ancaman potensial yang setiap saat bisa
menggunakan ‘kartu Papua’ untuk menekan Indonesia.
Selain itu, Papua kaya keanekaragaman hayati,
sebagaimana diungkapkan dalam sub bab sebelumnya
yang disebut dengan berbagai ungkapan antara lain
‘land of paradise’. Karena posisinya yang berada di garis
katulistiwa, maka tanah Papua memiliki kondisi yang subur
di iklim tropis dan hujan turun di hampir di sepanjang
musim. Takdir ini merupakan faktor agroklimat yang
sangat cocok untuk pengembangan berbagai komoditas
tanaman industri, baik kehutanan, hortikultura, maupun
untuk tanaman pangan. Bagaimana besarnya potensi
kekayaan sumber daya mineral dan energi yang dimiliki
Papua sudah menjadi pengetahuan umum. Tidak perlu
pembuktian lanjutan, meskipun kenyataannya belum tentu
demikian, ketika dinyatakan bahwa tanah Papua memiliki
kandungan sumber daya malimpah, maka siapa saja pasti
akan mengiyakannya. Singkatnya berbagai kandungan
mineral seperti besi, tembaga, emas, batu bara, minyak
bumi, sampai gas alam adalah kekayaan alam yang bisa

Otonomi Khusus Papua 125


menjadi alat kesejahteraan tersimpan di tanah Papua. Ia
adalah harta karun bagi bumi yang bernama Indonesia.
Atas dasar itu, mudah dimengerti jika sikap poltik
pemerintah Indonesia sejak dulu hingga sekarang berada
pada posisi akan menggunakan segala cara, berapa pun
ongkos yang harus dikeluarkan (at all cost) akan dilakukan
demi Papua. Integrasi Papua ke dalam NKRI adalah sebuah
alat, bukan tujuan karena ada tujuan yang lebih besar dan
mendasar. Fakta ini perlu dikemukakan sebagai sebuah
kesadaran bersama, baik bagi suku bangsa yang ada di
Papua dan juga di Indonesia pada umumnya. Bahwa itulah
realitas politik yang sesungguhnya, meskipun ada realitas
lain yang menjadi dasar bersatunya Papua ke dalam NKRI.
Pertanyaannya, mana diantara realitas tersebut
yang lebih mengemuka akan menjadi unsur penguat atau
sebaliknya, akan menentukan bentuk dan jalinan integrasi
Papua ke dalam NKRI di masa datang. Kebijakan otsus
adalah bagian dari ikhtiar untuk menguatkan bangunan
integrasi Papua ke dalam NKRI.
Bagi Indonesia, upaya dan langkah apapun akan
ditempuh untuk mempertahankan integrasi Papua ke
dalam NKRI. Pengalaman Timor Timur adalah pelajaran
berharga yang ongkosnya sangat mahal sekaligus dianggap
sebagai noda hitam bagi bangunan integrasi nasional.
Bukan kebetulan jika hal demikian terjadi di era ketika
Indonesia berada dalam suasana transisi dan berada dalam
berbagai himpitan kesulitan, baik sosial, ekonomi dan juga
politik. Kondisi tersebut tidak disia-siakan oleh kelompok
yang mengusung ideologis separatisme untuk mendesakkan
kepentingannya.
Ketika kondisinya, minimal masih seperti sekarang
ini atau bahkan lebih baik lagi di masa-masa yang akan

126 Otonomi Khusus Papua


datang, maka upaya yang paling rasional dan masuk
akal bagi siapapun yang mencintai Papua adalah dengan
memberdayakan masyarakat Papua, dibandingkan dengan
upaya yang sejauh masih diimpikan yaitu merdeka lepas
dari NKRI. Sekarang ini, momentum yang pernah diperoleh
Timor Timur sudah lewat.
Terlepas dari apapun motivasi dan kepentingan
politiknya, maka pilihan yang paling rasional adalah
melaksanakan otsus dengan sebaik-baiknya. Bagi mereka
yang masih tetap pada ideologi separatisme, maka sekarang
ini bukan saatnya untuk mengedepankan aksi aksi politik
dengan cara kekerasan apalagi bersenjata, karena akan
memperpanjang luka-luka yang telah diderita masyarakat
Papua.
Sebagai orang asli Papua, penulis menyadari
dan memahami bagaimana perasaan mereka yang
memperjuangkan Papua merdeka. Hanya saja semua
itu harus dilakukan dalam kerangka rasionalitas politik
dan idealnya dilakukan secara damai melalu jalur-jalur
diplomatik.
Ajakan penulis adalah: mari membangun Papua
dengan menggunakan sarana yang ada yaitu kebijakan
otsus. Meskipun kebijakan ini belum memuaskan semua
pihak, namun keberadaannya jangan dicampakkan. Dengan
cara pandang yang positif ini kita sebagai bangsa akan
bisa membangun Papua secara lebih baik. Biarkan sejarah
nantinya yang akan bicara setelah kita melaksanakan otsus
dengan sebaik-baiknya. Apakah setelah itu Papua akan tetap
berintegrasi dengan NKRI atau sebaliknya lepas, ataukah
memperoleh format baru dengan segala kekhususannya.
Cara demikian lebih bijak dan bermartabat bagi
kepentingan masyarakat Papua. Jika masih saja ada

Otonomi Khusus Papua 127


sebagian masyarakat di Papua yang berkeyakinan bahwa
jika tidak sekarang, maka kesempatan itu akan hilang
sama sekali, maka yakinlah bahwa momentum itu sudah
lewat dan hanya Timor Timur yang berhasil meraihnya.
Jika Aceh atau NAD memilih jalan damai dan kini
melaksanakan otsus, maka begitu seharusnya yang harus
ditempuh masyarakat Papua yang sebelumnya memilih
jalan separatisme. Toh, semua itu sesungguhnya sebuah alat
untuk mencapai tujuan. Tujuan yang sesungguhnya adalah
kemerdekaan dari belenggu kemiskinan, ketidakadilan
dan sebagainya sebagaimana yang juga dicita-citakan oleh
konstitusi Indonesia.

4.2. Konteks Umum Papua


Telah sering dikemukakan di berbagai literatur terkait
Papua, bahwa kondisi umum wilayah yang berada di ujung
timur Indonesia memiliki kandungan sumber daya alam
yang melimpah. Begitu juga keanekaragaman hayati, baik
flora dan fauna yang ada di darat dan di laut Papua sungguh
sangat beragam dan melimpah. Seperti gadis cantik yang
begitu menarik sehingga banyak istilah atau sebutan positif
yang bisa disematkan kepada tanah atau wilayah Papua.
Beberapa uraian di bawah ini sesungguhnya merujuk
dari berbagai sumber yang sering dikemukakan oleh para
ahli, baik dengan menyebutkan sumber langsung atau tidak
karena ia telah menjadi pemahaman yang umum. Mengenai
beberapa hal yang dianggap krusial dan perlu penjelasan
lebih rinci terkait fakta yang dinisbatkan pada wilayah
Papua, perlu disebutkan sumber atau rujukannya.
Sementara itu mengenai penyebutan istilah wilayah
Papua sengaja digunakan untuk mencakup wilayah

128 Otonomi Khusus Papua


provinsi Papua Barat. Kecuali disebut secara khusus
dengan melekatkan kata provinsi sebelum kata Papua. Oleh
karena itu seringkali kata di depan kata Papua di lekatkan
kata ‘wilayah’ untuk merujuk pada keseluruhan wilayah
yang bernama Papua, baik sekarang ini ketika hanya ada
dua provinsi yaitu provinsi Papua dan provinsi Papua Barat
atau di masa datang ketika wilayah Papua terbagi menjadi
beberapa provinsi, baik ia menggunakan nama atau embel
embel Papua atau tidak sama sekali.
Kurang lebih luas wilayah Papua adalah 421.981
KM2 (3,5 kali lebih besar dari pada Pulau Jawa) dengan
topografi yang meliputi daerah pegunungan dan sebagian
besar tanah yang berawa-rawa di daerah pesisir. Papua
berbatasan dengan; Laut Halmahera dan Samudra Pasifik
di utara, Laut Arafura dan Australia di selatan, Papua New
Guinea di sebelah timur, dan Laut Arafura, Laut banda
dan Maluku di sebelah barat. Sebagai provinsi terluas
di Indonesia, dengan luas daratan 21,9% dari total tanah
seluruh Indonesia, Papua membujur dari barat ke timur
(Sorong-Jayapura) sepanjang 1,200 km (744 mile) dan
dari utara ke selatan (Jayapura-Merauke) sepanjang 736
km (456 mile). Sedangkan kondisi geografis Papua terdiri
dari banyak pulau yang berjejer di sepanjang pesisirnya.
Di pesisir utara terdapat pulau Biak Numfor, Yapen, dan
Mapia. Di sebelah barat terdapat pulau Salawati, Bantata,
Gag, Waigeo, dan Yefman. Di pesisir selatan terdapat Pulau
Kalepom, Komoran, Adi, Dolak, dan Panjang, sedangkan di
bagian timur berbatasan dengan negara Papua New Guinea.
(Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi
Papua, 2005: 17)
Penelitian di bidang Antropologi mengkategorikan
tujuh zona kebudayaan di seluruh tanah Papua: (1) Saireri,

Otonomi Khusus Papua 129


(2) Doberai, (3) Bomberai, (4) Ha-Anim, (5) Tabi, (6) Lano-
Pago, and (7) Me-Pago. Ada lebih dari 250 kelompok etnis
dengan kebiasaan-kebiasaan, bahasabahasa, praktek-
praktek dan agama asli yang berbeda di Papua. Ini berarti,
ada ratusan norma adat yang berlaku di dalam propinsi
ini. Ditambah lagi, ada 100 kelompok etnis non-Papua.
Pengaruh kesukuan masih sangatlah kuat, oleh karenanya
insiden-insiden yang menampakkan ketidakpedulian
terhadap keharmonisan sosial biasanya akan berujung pada
tindak kekerasan. Dalam kenyataannya komunikasi sosial
sangatlah terbatas dan orang biasanya enggan berhubungan
dengan orang yang berasal dari etnis dan agama yang
berbeda. Konflik biasanya terjadi pada waktu kita tidak
dapat mengerti pluralitas norma-norma dan nilai-nilai ini.
(Sugandi: 2008: 3)
Selain kaya akan kebudayaan, Papua juga mempunyai
sumber daya alam yang berlimpah mulai dari gas, minyak,
emas, perak, hasil-hasil laut dan tembaga. Sayangnya,
kekayaan Papua (sumber daya alamnya dan secara
kebudayaan) telah diwarnai oleh sejarah konflik yang
panjang dengan biaya kemanusiaan yang signifikan.
Menurut Sugandi (2008), total penduduk Papua adalah
sekitar 1% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, di
mana 70% tinggal di daerah pedesaan dan di tengah daerah
pegunungan yang terpencil. Berdasarkan sensus pada tahun
2000, populasi terpadat ada di dataran tinggi di Kabupaten
Jayawijaya sebanyak 417.326 jiwa. Total penduduk asli,
yang kaya akan kebudayaan, diperkirakan sekitar 66% dari
keseluruhan jumlah penduduk.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Papua selain
memiliki tanah yang luas, juga memiliki kekayaan alam
yang berlimpah, seperti tambang, produk hutan, hasil

130 Otonomi Khusus Papua


perikanan, dan sebagainya. Ironisnya, menurut Raweyai,
(2002: 130) di tengah tanah yang luas dan penuh dengan
kekayaan alam yang berlimpah, kondisi rakyat Papua cukup
memprihatinkan meskipun telah berintegrasi ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak 1 Mei
1963. Ratusan ribu penduduk asli hidup dengan standar
di bawah garis kemiskinan. Bahkan pada pertengahan
November 1997, sekitar 522 orang meninggal dunia karena
krisis pangan di wilayah Papua. Menurut Menteri Dalam
Negeri, Yogie S Memed pada waktu itu, krisis pangan
mengakibatkan sekitar 430 orang meninggal dunia di
Jayawijaya, 68 orang meninggal di Merauke, dan 24 orang
meninggal di Puncak Jaya. Untuk mengatasi krisis pangan
tersebut, Pemerintah memang telah mengirimkan bantuan,
namun bantuan tersebut terlambat sampai ke tempat tujuan
karena alasan transportasi dan geografis.
Sebagian besar kehidupan perekonomian rakyat asli
Papua adalah petani dan berburu. Sistem perburuan bagi
orang asli Papua sangatlah penting, karena luas wilayah
kekuasaan mereka ditentukan oleh jangkauan mereka
dalam melakukan kegiatan berburu. Pada prinsipnya,
orang asli Papua adalah petani yang memiliki hubungan
yang erat dengan sumber daya alam mereka. Papua juga
mempunyai sumber daya alam yang berlimpah mulai dari
gas, minyak, emas, perak, hasil-hasil laut dan tembaga.
Sumber daya alam (SDA) sangatlah berlimpah. Namun,
SDA tidak bermakna apa-apa kalau tidak didukung dengan
sumber daya manusia( SDM) yang memadai. Bahkan,
persoalan justru muncul, ketika kekayaan Papua (sumber
daya alamnya dan secara kebudayaan) telah diwarnai oleh
sejarah konflik yang panjang dengan biaya kemanusiaan
yang signifikan (Sugandi, 2008: 4)

Otonomi Khusus Papua 131


Sejarah mencatat bahwa sejak tahun 1969 hingga
1973 wilayah Papua diberi nama oleh pemerintah dengan
sebutan Irian Barat. Pada tahun 1973, Presiden Soeharto
mengganti nama Irian Barat menjadi Irian Jaya. Nama
Irian Jaya tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2000.
Berdasarkan aspirasi masyarakat Papua yang menghendaki
pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua, DPRD
Provinsi Irian Jaya, melalui Surat Keputusan Nomor 7/
DPRD/2000 tertanggal 16 Agustus 2000 mengembalikan
nama Irian Jaya menjadi Papua. Pada tahun 2004, wilayah
Papua dibagi oleh Pemerintah menjadi dua provinsi;
wilayah bagian timur tetap memakai nama Provinsi Papua,
sedangkan wilayah bagian barat diberi nama Provinsi Irian
Jaya Barat (Irjabar) yang kemudian berubah nama menjadi
Papua Barat.
Dalam sejarahnya, segera setelah wilayah Papua
menjadi bagian dari NKRI, maka berbagai kebijakan
diterbitkan untuk membangun Papua, baik kebijakan
yang secara langsung untuk meningkatkan kapasitas
pemerintahan di Papua atau kebijakan lain yang secara
tidak langsung dimaksudkan untuk mengatasi berbagai
persoalan administrasi dan pemerintahan yang ketika itu
kondisi secara organisatoris dan kelembagaan masih sangat
lemah dan memprihatinkan. Secara konsisten upaya tersebut
dilakukan dan semakin intensif sejak Orde Baru berkuasa,
dan masih berlanjut hingga sekarang ini. Sayangnya, upaya
tersebut dalam pelaksanaannya tidak mudah, meskipun
telah ada upaya serius untuk melakukannya.
Ada banyak faktor yang menjadi kendala atau
penghambatnya, baik faktor yang sifatnya eksternal
(eksogen) atau internal (endogen) yang ada di wilayah Papua.
Faktor-faktor tersebut meliputi faktor kondisi geografis

132 Otonomi Khusus Papua


atau lingkungan alam, demografi (jumlah penduduk dan
persebarannya), sosial budaya dan juga politik. Meskipun
sejak tahun 2001 telah ada kebijakan yang memberikan
perlakuan khusus terhadap Papua, namun sampai sekarang
sejumlah persoalan klasik tersebut masih menjadi agenda
pemerintahan yang belum bisa diatasi. Intinya diantara
faktor faktor tersebut hingga kini masih menjadi faktor
krusial yang menghambat upaya pelaksanaan otsus.
Sungguh sebuah kondisi yang memprihatinkan,
tetapi itulah faktanya bahwa pasca berlakunya otonomi
khusus (Otsus) di awal tahun 2001, dimana ada upaya yang
semakin serius dan intensif untuk menguatkan kapasitas
pemerintahan, tetapi kondisinya masih jauh dari apa yang
diharapkan. Padahal secara konsepsional (normatif) melalui
pemberian kewenangan yang luas dan khusus kepada
pemerintah daerah Papua diharapkan secara langsung atau
tidak langsung akan memperkuat kapasitas pemerintahan
dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Sejumlah kebijakan yang sejalan dengan kebijakan
Otsus juga diterbitkan misalnya kebijakan untuk
mempercepat pembangunan Papua. Semua kebijakan itu
pada dasarnya memiliki tujuan yang kurang lebih sama,
setidaknya itu yang tercantum secara normatif. Tujuan
tersebut antara lain bermaksud memperkuat kapasitas
pemerintah di Papua yang faktanya masih lemah, meskipun
telah ada Otsus yang hingga kini telah berlaku lebih dari 13
tahun.
Tidak mengherankan jika dalam berbagai kesempatan
dan untuk berbagai tujuan sering dikemukakan oleh
sejumlah pihak, baik yang ada di Papua dan di luar Papua
mengenai kondisi ironis dan memprihatinkan tersebut.
Dengan nada lantang mereka langsung menunjuk adanya

Otonomi Khusus Papua 133


kondisi yang ironis dan bahkan paradoksal. Dalam
beberapa kasus, kondisinya bahkan seperti anomali dan
sulit dijelaskan dengan logika atau akal sehat bahwa di
tempat yang kaya raya itu begitu mudah dijumpai fakta
berupa kemiskinan dan ketertinggalan di tiap kampung dan
distriknya.
Tentunya, fakta tersebut sungguh mengusik rasa
kemanusiaan bahwa di sebuah wilayah yang memiliki
kandungan sumber daya alam melimpah, tetapi justru disitu
mudah ditemui fenomena kemiskinan dan ketertinggalan.
Ternyata besarnya sumberd aya alam yang dimiliki dan
relatif sedikit penduduk yang menghuninya bukan sebuah
jaminan bahwa siapa saja yang tinggal di tempat tersebut
akan hidup makmur dan sejahtera secara sosial dan
ekonomi.

4.3. IPM : Penting Tapi Bukan Satu satunya


Adalah sebuah fakta bahwa IPM dan kondisi
pembangunan di Papua masih sangat memprihatinkan.
Sebagaimana ditunjukkan dari berbagai survei dan studi,
baik yang dilakukan pemerintah dan juga kalangan
independen seperti yang dilakukan oleh LSM dan kalangan
non pemerintah lainnya. Hasilnya kurang lebih sama bahwa
kondisi umum wilayah Papua pasca diberlakukannya otsus
masih saja sangat memprihatinkan, meskipun diakui ada
sejumlah kemajuan yang signifikan, terutama di sejumlah
daerah yang berada di dataran rendah atau pesisir,
khususnya daerah yang ada di Papua Barat dan sejumlah
daerah yang tergolong sudah maju di provinsi Papua.
Sejauh ini tidak ada yang menyangkal dan memang
tidak perlu disangkal terkait hasil atau bahkan temuan
dari sejumlah studi yang terkait IPM Papua yang intinya

134 Otonomi Khusus Papua


berkesimpulan masih rendah jika dibandingkan dengan
IPM di derah lain di Indonesia. Sekalipun sesunguhnya
rata-rata IPM di Indonesia masih tergolong rendah jika
dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara dan Asia
Timur Jauh, maka bisa dibayangkan bagaimana kondisinya
dengan IPM di tanah Papua.
Fakta demikian sama sekali bukan dimaksudkan
untuk menegasikan segala upaya dan sejumlah kemajuan
yang telah dicapai pasca otsus, tetapi hanya sekedar
menunjukkan bahwa keberhasilan tersebut masih jauh dari
harapan. Dengan demikian inti masalah yang dipersoalkan
bukan pada angka IPM yang masih rendah tetapi bagaimana
upaya yang telah dilaksanakan dalam meningkatkan IPM.
Angka IPM hanya sekedar indikator karena yang
menjadi masalah adalah bagaimana implementasi
kebijakan otsus mampu mengubah angka IPM yang masih
rendah menjadi lebih tinggi. Lalu faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya sehingga kondisinya masih seperti itu,
padahal sudah ada kebijakan otsus.
Agar tidak meloncat pada kesimpulan kegagalan
atau keberhasilan otsus atau pemerintah daerah dalam
melaksanakan peran dan fungsinya, maka angka IPM di
Papua harus dicermati secara utuh dan tentunya dengan
cara yang empatik. Artinya agar tidak terjadi bias dalam
penilaian, maka faktor faktor, naik berupa konteks dan
konten kebijakan sebagaimana dikemukakan Grindle
(1980: 11) perlu dilihat secara utuh. Dalam konteks Papua,
maka semua aspek termasuk perjalanan sejarah Papua
sejak bertintregrasi dengan Indonesia, serta gejolak konflik
dan kondisi topograsif dan sebagainya perlu dicermati dan
dijadikan acuan dalam menilai pencapaian IPM Papua.

Otonomi Khusus Papua 135


Ketika semua fakta tersebut dilihat, maka upaya
membandingkan IPM Papua yang masih rendah jika
dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia bisa
dimengerti. Dimengerti dalam arti harus ada upaya yang
lebih serius dari semua pihak untuk meningkatkannya,
bukan untuk menunjukkan bahwa IPM Papua bisa lebih
tinggi dari daerah lain sebagai tujuannya. Tujaannya adalah
bagaimana meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat Papua, sehingga tidak ada lagi warga yang
masuk kategori miskin dan tidak memperoleh pelayanan
publik secara layak.
Sesungguhnya apa yang telah dicapai selama
pelaksanaan otsus sudah menunjukkan prestasi yang jauh
lebih baik dibandingkan sebelumnya, meskipun dalam
beberapa hal bisa disebut menurun, tetapi fenomena itu
sesungguhnya hal yang wajar sebagai konsekuensi dari
perubahan paradigma dalam mengelola pemerintahan yang
kini telah berubah semakin demokratis. Jika hal demikian
masih dirasakan belum memenuhi apa yang sejatinya
menjadi keinginan masyarakat Papua dan juga dicita-
citakan oleh otsus, sebagaimana ditunjukkan dengan masih
rendahnya IPM, maka hal demikian bisa dimengerti yang
berguna untuk melecut pemerintah daerah agar berusaha
semakin keras agar pelaksanaan otsus bisa semakin
ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya.
Bukan bermaksud apologi, bahwa sejumlah prestasi
yang berhasil diraih selama pelaksanaan otsus adalah
sesuatu yang patut diapresiasi. Bahkan dalam perspektif
yang lain, mungkin secara kualitatif apa yang dicapai di
Papua cukup fenomenal, jika dikaitkan dengan sejumlah
kendala dan persoalan internal dan eksternal yang harus
dihadapi dan diselesaikan pemerintahan darah.

136 Otonomi Khusus Papua


Sebagai bentuk apresiasi itu, maka dalam mencermati
angka angka dalam IPM Papua perlu dilakukan secara
empatik dan berusaha menungkap lebih dalam tidak hanya
berdasarkan ‘angka angka mati’, namun dipersepsi seolah
ia sudah berbicara apa adanya. Angka angka itu perlu
ditafsirkan lebih dalam dan yang lebih penting adalah
diperlakukan secara empatik untuk senantiasa dikaitkan
dengan konteks atau bahkan sejarah Papua dalam arti
seluas luasnya.
Papua bukan Aceh (NAD) meskipun keduanya
memiliki sejarah sosial dan politik yang unik atau khas
bagi Indonesia. Papua tidak bisa dipersamakan kondisinya
ketika otsus itu diberlakukan dengan daerah-daerah lain di
Indonesia, meskipun sama-sama memiliki IPM ketika itu
yang relatif rendah, NTT misalnya.
Papua adalah wilayah dalam NKRI yang berintegrasi
sejak tahun 1963 dan kini masih menghadapi sejumlah
kompleksitas persoalan sosial dan politik. Otsus adalah
bagian dari solusi yang ditawarkan untuk mengatasi
persoalan tersebut, tetapi bukan satu satunya kebijakan
yang penting untuk mengatasi persoalan Papua. Papua
adalah daerah luas wilayah yang sangat besar, namun
memiliki jumlah penduduk yang relatif sedikit jika
dibandingkan dengan rata-rata daerah di Indonesia, apalagi
jika dibandingkan dengan daerah di Jawa.
Faktanya jumlah penduduk Papua relatif sedikit jika
dibandingkan dengan luas wilayahnya. Sebagai contoh,
jumlah penduduk Papua pada tahun 2007 sebanyak
2.576.822 jiwa (BPS: 2008). Begitu juga dari sumber daya
manusia, kualitas SDM Papua masih tergolong rendah,
meskipun sejumlah kemajuan signifikan telah diraih.
Berdasarkan Laporan Biro Pusat Statistik (BPS), Badan

Otonomi Khusus Papua 137


Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan
United Nations Development Project (UNDP) mengenai
Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2004 yang
berjudul: The Economics of Democracy; Financing Human
Development in Indonesia, mengemukakan bahwa secara
nasional, kualitas sumber daya manusia Papua berada pada
posisi yang sangat rendah. Angka Human Development
Index (HDI) Papua pada tahun 2002 hanya mencapai 60,1,
berada pada peringkat ke-29 dari 32 provinsi.
Laporan lain yang dikeluarkan BPS pada tahun 2011
juga menunjukkan kondisi yang intinya sama, seolah
tidak ada kemajuan yang berarti. Menurut laporan BPS
(2011), IPM Papua hingga tahun 2006, lima tahun setelah
pemekaran dan otsus diberlakukan, tidak mengalami
peningkatan yang berarti, bahkan cenderung mengalami
stagnasi. Dari 33 provinsi yang ada IPM Papua menempati
urutan paling akhir yaitu 33, dan posisi ini terus berlanjut
sampai tahun 2010. Sedangkan Papua Barat lebih baik
meskipun masih tergolong rendah yaitu di urutan 30, lebih
tinggi daripada NTT dan NTB. Kedua provinsi ini memiliki
IPM rendah selain karena tidak memiliki sumber daya alam
melimpah seperti di Papua dan Papua Barat juga tidak
mendapatkan perlakuan istimewa dari pemerintah.
Ada banyak fakta yang bisa dikemukakan untuk
mengatakan bahwa angka IPM Papua masih rendah jika
dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia yang secara
umum juga masih tergolong rendah IPM-nya. Logikanya
sangat sederhana dan memiliki keterkaitan satu sama
lainnya. Misalnya keterkaitan antara kualitas pendidikan
dan kesehatan dengan angka IPM, tingkat kemiskinan
dengan keberadaan infrastruktur dan sebagainya.

138 Otonomi Khusus Papua


Masih tingginya angka buta aksara (melek huruf) telah
mengakibatkan IPM Papua rendah. Begitu juga kualitas
dan kuantitas infrastruktur dasar seperti jalan jembatan,
bandar udara, rumah sakit dan pustu serta telekomunikasi
yang kualitas dan jumlahnya masih terbatas menjadi
faktor pendukung terpuruknya masyarakat Papua dalam
kemiskinan dan seterusnya.
Intinya tidak ada yang perlu disangkal terkait dengan
fakta bahwa IPM di Papua masih tergolong rendah meskipun
berbagai upaya untuk meningkatnya telah dilakukan
secara intensif terutama sejak berlakunya otsus. Berbagai
keberhasilan yang dicapai seperti tidak banyak berarti jika
dibandingkan dengan besarnya persoalan yang dihadapi dan
harus diselesaikan. Dalam konteks ini, respon pemerintah
pusat dengan menerbitkan kebijakan dan juga lembaga
yang secara khusus dimaksudkan untuk mempercepat
pembangunan Papua (UP4B) adalah kebijakan yang tepat
yang sekaligus merupakan bentuk pengakuan bahwa masih
banyak persoalan di Papua yang harus diselesaikan dan
sejumlah kemajuan yang ada perlu dipercepat.

4.4. Indikator Kemiskinan


Selain alasan politik, ada alasan sosial dan juga
ekonomi yang menjadi pertimbangan utama pemerintah
dalam menerapkan kebijakan otonomi khusus bagi Papua.
Salah satu tujuannya adalah untuk mencapai pemerataan
atau keadilan dalam hal pembangunan ekonomi. Begitu
juga upaya mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan,
khususnya di bidang ekonomi menjadi tujuan dari
pelaksanaan otsus. Faktanya, secara sosial dan ekonomi
Papua memang mengalami ketertinggalan. Indeks

Otonomi Khusus Papua 139


Pembangunan Manusia (IPM) di Papua menunjukkan
bahwa provinsi Papua termasuk daerah yang terbelakang.
Pada tahun 1996, IPM Provinsi Papua sebesar 60,2
dengan peringkat kedua terbawah setelah Nusa Tenggara
Barat dan lebih rendah daripada IPM nasional sebesar 67,7.
Di era otsus kondisinya juga masih kurang lebih sama,
yaitu tertinggal dari daerah lain di Indonesia, meskipun
sejumlah kemajuan telah dicapai. Misalnya, hingga tahun
2009, provinsi Papua masih berada di posisi bawah. Dari 33
provinsi, Papua justru menempati posisi terakhir dengan
IPM sebesar 64,53 (IPM nasional sebesar 71,76).
Artinya fakta tersebut bisa dimaknai bahwa masih
tingginya kemiskinan di Papua – sebagaimana ditunjukkan
oleh data-data resmi yang dikeluarkan pemerintah - paralel
atau sejalan dengan indikator komposit yaitu berupa
indek pembangunan manusia yang rendah. Data berupa
pengukuran terhadap Indeks Kedalaman Kemiskinan dan
Indeks Keparahan Kemiskinan yang dilakukan Badan Pusat
Statistik 2011 menunjukkan fakta yang segaris dengan
tingkat IPM yang rendah. Pada 2011 yang lalu, Indeks
Kedalaman Kemiskinan Papua mencapai 7.86 %, 9.36 %
(2010), 9.07 % (2009), 10.89 % (2008), dan 10.84 %(2007).
Sedangkan untuk Papua Barat 8.78 % (2011), 10.47 %
(2010), 9.75 % (2009), 9.18 % (2008), 12.97 % (2007). Angka-
angka Indeks Kedalaman Kemiskinan ini masih lebih tinggi
dibandingkan provinsi manapun di Indonesia. Demikian
juga dengan Indeks Keparahan Kemiskinan yang pada 2011
untuk Papua mencapai 2.81 % dan Papua Barat sekitar 3.43
%, angka ini relatif sama dengan angka pada tahun 2009,
Papua 2.98 % dan Papua Barat 3.57 % (BPS, 2011). Tanpa
harus dianalisis lebih jauh, data-data di atas menunjukkan
adanya masalah krusial di tanah Papua.

140 Otonomi Khusus Papua


Dalam hal angka kemiskinan, Provinsi Papua juga masih
terpuruk. Data pada pada tahun 2011 yang dikemukakan
BPS, yaitu sembilan tahun sejak diterapkannya kebijakan
otsus menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Papua
masih tinggi. Pada tahun 1999, jumlah penduduk Provinsi
Papua yang berada di bawah garis kemiskinan sebanyak
satu juta jiwa, meningkat dari tahun 1996 sebesar 830 ribu
jiwa. Pada tahun 2010, jumlah penduduk yang berada di
bawah kemiskinan di Provinsi Papua sebesar 761 ribu jiwa
dan 256 ribu jiwa di Provinsi Papua Barat, menempati posisi
pertama dan kedua dengan persentase jumlah penduduk
miskin terbanyak di Indonesia. Begitu juga Riset terakhir
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas)
menunjukkan, predikat daerah termiskin di Indonesia
masih dipegang Papua sebesar 31,11 persen, sementara
tingkat kemiskinan nasional saat ini adalah 11,96 persen.
Laporan Kementrian Negara Pembangunan Daerah
Teringgal (PDT) (2008) mengenai 11 daerah yang tergolong
masih tertinggal (baca : termiskin ) di Indonesia, meliputi
: (1) Mamasa, (2) Paniai, (3) Puncak Jaya, (4) Asmat, (5)
Yahukimo, (6) Pegunungan Bintang, (7) Tolikara, (8) Alor,
(9) Maluku Tenggara, (10)Teluk Wondama dan (11) Teluk
Bintuni. Dari 11 daerah termiskin di Indonesia, ternyata
sebagian besar ada di Papua, sebuah wilayah yang kaya
SDA (Sumber Daya Alam) dan penerima dana terbesar
melalui otsus. Menurut Kementrian Negara Pembangunan
Daerah Teringgal (PDT) Daerah-daerah ini digolongkan
sebagai daerah miskin yang sangat parah karena : (a). Tidak
ada pembangunan Infrastruktur, (b). SDM rendah, (c).
Perekonomian tidak berkembang, (d). Tingkat kesehatan
rendah sekali, (e). Sarana pendidikan tidak memadai

Otonomi Khusus Papua 141


Berikutnya merujuk pada laporan BPS Maret 2010,
penduduk miskin di Papua mencapai 761.620 jiwa (36,80
persen), sementara di Papua Barat 256.250 jiwa (34,88
persen). Jika ditotal, penduduk miskin di kedua provinsi
tersebut pada Maret 2010 mencapai 1.017.870. Sungguh
ironis jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada
tahun 2002 saat otonomi khusus mulai dijalankan yang
berjumlah 984.000 jiwa (41,80 persen). Artinya setelah
satu dekade otsus, justru ada peningkatan penduduk
miskin sebanyak 33.870 jiwa. Yang lebih miris lagi, tingkat
kemiskinan Papua melampaui rata-rata nasional sebesar
13, 33 persen. Semua data dan fakta tersebut menunjukkan
ada persoalan serius terkait dengan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat Papua secara sosial dan ekonomi.
Orang asli Papua sebagai mayoritas penduduk yang
tinggal di pedesaan atau daerah-daerah terpencil juga
mempunyai akses yang lebih rendah terhadap kebutuhan
pokok. Berdasarkan pada sensus yang dilakukan BPS
pada tahun 2000, 30% dari keseluruhan jumlah penduduk
di Papua tinggal di pusat atau kota-kota terdiri atas 55%
penduduk non-Papua dan 45% asli Papua. Di sisi lain, 70%
dari penduduk Papua yang tinggal di pedesaan atau daerah
terpencil terdiri atas 95% masyarakat asli Papua dan 5%
non-Papua. Ketidakseimbangan komposisi penduduk tidak
hanya terjadi di antara penduduk daerah perkotaan dan
pedesaan, tetapi juga antara masyarakat asli Papua dan non
Papua seperti di daerah transmigrasi Arso: jumlah penduduk
asli sekitar 1000 orang di mana jumlah transmigran (non-
Papua) sekitar 19.000 orang (berdasarkan sensus 2000).
Papua dimasukkan ke dalam daerah dengan angka
indeks kemiskinan yang tinggi dan daerah yang mempunyai
tingkat perbedaan yang tinggi dengan dengan daerah

142 Otonomi Khusus Papua


daerah lain di Indonesia yang tergolong maju seperti
Jakarta. Tantangan-tantangan yang berhubungan dengan
kemiskinan di Indonesia dan Papua pada khususnya tidak
hanya berkaitan dengan banyaknya jumlah penduduk
miskin, tetapi juga besarnya perbedaan antar daerah-
daerah, propinsi propinsi, kabupaten-kabupaten dan kota-
kota. Jakarta dan Papua menggambarkan perbedaan besar
antar propinsi-propinsi: di Jakarta, hanya 3,4 persen dari
total penduduk yang miskin, sementara sekitar separuh
penduduk Papua hidup di bawah garis kemiskinan.
Sejak era Orde Baru, kesempatan masyarakat asli
Papua untuk terlibat dalam sektor perekonomian sangat
kurang, begitupun hingga saat ini meskipun tentu saja telah
semakin berkembang pasca berlakunya otsus. Hanya saja
perkembangan itu masih saja kalah dengan perkembangan
yang terjadi di masyarakat yang tergolong pendatang
sehingga banyak sektor kegiatan ekonomi yang dikuasai
oleh masyarakat pendatang. Fakta demikian juga sejalan
dengan fakta lain dimana salah satu karakter utama dari
penduduk asli Papua adalah yang hidup dalam sistem
ekonomi subsisten/subsistensi. Dalam kegiatan atau sektor
bisnis yang lain, keterlibatan penduduk asli Papua masih
sangat rendah dan hampir bisa dikatakan bahwa semua
pengusaha adalah migran atau pendatang.
Sebagai konsekuensi dari pola hidup sebagian terbesar
masyarakat adat Papua yang masih bersifat subsisten,
di mana pemenuhan berbagai kebutuhan hidup mereka
pada umumnya masih sangat tergantung pada belas
kasihan alam lingkungan di dalam wilayah adat mereka.
Kehancuran lingkungan sebagai sumber kehidupan
mereka mudah sekali terjadi, terutama sekali sebagai
akibat dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam yang

Otonomi Khusus Papua 143


tidak memasukkan pertimbangan keberlanjutan eksistensi
lingkungan dan melibatkan masyarakat adat setempat
sebagai wujud penghormatan dan penghargaan terhadap
eksistensi mereka termasuk nilai-nilai lokal mereka.
Model ‘pembangunan’ yang demikian telah mengakibatkan
hancurnya sumber kehidupan mereka, yang berarti pula
terancamnya kelangsungan kehidupan mereka.
Sungguh sebuah ironi ketika di satu sisi ada geliat
pembangunan dan kelimpahan uang pada era Otsus,
tetapi disisi lain tempampang jelas fakta kemiskinan dan
keterbelakangan yang dialami sebagian masyarakat Papua.
Bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar orang asli Papua
seakan masih terjerembab dalam jurang kemiskinan dan
termarginalkan. Pada bidang ekonomi masih banyak
masyarakat di tingkat menengah ke bawah berada pada
garis kemiskinan, walaupun Negara Indonesia khususnya
di Tanah Papua terbilang kaya akan sumber daya alam
(SDA), namun tingkat kesadaran untuk mengolah kekayaan
alam itu masih sangat terbatas.
Beberapa fakta dan persoalan di atas harus mampu
membangunkan kesadaran masyarakat untuk segera
bangkit bersama pemerintah atau pemegang kebijakan
untuk segera bangun dari ‘tidurnya’. Tidak ada pilihan
lain bagi masyarakat Papua bersama pemerintah daerah
dan pemerintah pusat untuk melaksanakan otsus secara
sungguh sungguh. Tuntutan untuk merdeka atau yang lain
bukanlah pilihan yang murah dan mudah, hanya karena
otsus dianggap gagal seolah ia bukanlah kegagalan dari
kita semua, khususnya masyarakat Papua. Jika otsus
diperlakukan sebagai program yang berasal dari dan
dilaksanakan di dan untuk Papua oleh orang lain, maka
otsus tersebut akan gagal kalau tidak misleading dalam
mencapai tujuannya.

144 Otonomi Khusus Papua


Apakah setelah itu, masyarakat Papua merasa sah
untuk menuntut opsi atau diterapkannya kebijakan
yang lain, padahal kebijakan otsus sesungguhnya belum
sepenuhnya dilaksanakan dengan baik? Tentu saja
tidak, kecuali jika otsus telah dilaksanakan dengan baik,
tetapi hasilnya tetap saja setali tiga uang, yaitu tidak
ada perubahan berupa perbaikan akan kehidupan sosial
ekonomi dan politik masyarakat Papua. Faktanya sejumlah
perubahan itu sudah berlangsung meskipun masih jauh
dari harapan, sehingga yang diperlukan sekarang ini adalah
mempercepat perubahan itu.

4.5. Indikator Pendidikan


Pernah suatu ketika muncul pertanyaan di masyarakat
kepada pemerintah daerah dalam upayanya meningkatkan
kualitas pegawai yang dimilikinya. Intinya masyarakat
mempertanyakan upaya yang dilakukan pemerintah daerah
tersebut yang sepertinya tidak pernah berhenti, namun
hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan masyarakat.
Pertanyaan kritis itu antara lain berbunyi: “untuk apa
Pemda begitu banyak ‘menternak” ribuan pegawai negeri
dengan segudang titel, yang nyatanya sama sekali tidak
produktif ?” Pertanyaan tersebut tentu mewakili sejumlah
kegelisahan masyarakat akan kondisinya yang belum
sesuai harapan, sementara sudah banyak waktu dan tenaga
yang dikeluarkan untuk meningkatkan kapasitas diri dan
keluarganya, melalui apa yang disebut pendidikan.
Pertanyaan tersebut tentu saja tidak dimaksudkan
untuk menggugat pentingnya pendidikan bagi
perkembangan masyarakat Papua pada umumnya
dan khususnya penyelenggara pemerintahan yang
menjadi ujung tombak pelaksanaan pembangunan dan

Otonomi Khusus Papua 145


pelayanan publik untuk memberdayakan masyarakat.
Pertanyaan tersebut lebih dimaksudkan untuk menggugat
impelementasi dan kemudian hasil dari pendidikan yang
secara teoritis sangat diperlukan dan sudah dibuktikan
pengaruhnya dalam banyak kasus dan juga di berbagai
negara atau daerah di Indonesia. Mungkin yang digugat
lebih pada aspek manajemen atau pengelolaan dari sumber
daya manusia, sehingga keberadaannya memiliki kontribusi
nyata terhadap upaya mengatasi sejumlah persoalan aktual
di Papua.
Pendidikan masih menjadi barang yang mewah di
Papua, khususnya di daerah pedalaman. Begitu juga di
wilayah Indonesia lainnya, khususnya di bagian timur, dan
umumnya di wilayah negara kesatuan republik Indonesia
(NKRI). Masih rendahnya infrastruktur dalam dunia
pendidikan, kurangnya tenaga pengajar, akses pendidikan
yang tidak merata, fasilitas perpustakaan yang masih
minim, pengadaan buku paket yang sangat memberatkan
orang tua adalah beberapa contoh yang dihadapi dunia
pendidikan Indonesia. Padahal, masih minimnya sarana
pendidikan mempengaruhi kurangnya minat baca, masih
rendahnya SDM yang dihasilkan akan berdampak pada
tingginya tingkat pengganguran dan seterusnya.
Fenomena demikian sebenarnya juga menjadi
pertanyaan di sejumlah daerah di Indonesia yang juga
menghadapi persoalan serupa, dimana di satu sisi ada
upaya serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
tetapi di sisi lain masyarakat tidak sabar untuk menunggu
hasilnya. Ketidaksabaran inilah yang membuat seolah-olah
upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan tidak
berkontribusi signifikan terhadap upaya mengatasi persoalan
di daerah atau di masyarakat. Padahal sesungguhnya

146 Otonomi Khusus Papua


hasil dan manfaat pendidikan dampaknya jangka panjang
dan seringkali dirasakan tidak langsung. Berbeda halnya
dengan kegiatan membagun sebuah jalan, jembatan atau
gedung untuk kegiatan yang bisa dimanfaatkan langsung
oleh masyarakat.
Terlepas dari pertanyaan kritis tersebut maka
sesungguhnya sudah menjadi kesadaran umum bahwa
aspek pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia yang pada gilirannya
diyakini memiliki kontribusi positif atau besar terhadap
masa depan suatu bangsa atau daerah, tidak terkecuali
di wilayah Papua. Fakta bahwa rata-rata kualitas SDM
masyarakat dan aparat pemerintah di wilayah Papua yang
masih rendah dan masih sedikit jumlahnya adalah faktor
penting yang sering dituding sebagai biang keladi sulitnya
mengatasi persoalan di wilayah Papua. Hal ini sejalan
dengan fakta lain, dimana masih banyak tenaga terdidik
untuk mengelola jenis pekerjaan tertentu yang didatangkan
atau berasal secara alamiah dari luar Papua.
Semua itu tidak terlepas dari kualitas SDM di Papua
yang relatif masih rendah atau kurang, terutama untuk jenis
kegiatan atau pekerjaan tertentu. Lebih jauh bahwa kondisi
tersebut tentu saja berkaitan dengan kualifikasi atau jenis
pendidikan yang dimiliki, baik itu pendidikan yang sifatnya
formal atau non-formal. Tidak mengherankan jika sejak masa
kolonialpun upaya peningkatan pendidikan menjadi salah
satu kegiatan yang dianggap penting, sehingga pemerintah
kolonial mendatangkan sejumlah guru atau tenaga terdidik
dari luar Papua, untuk berbagai kepentingan dan tujuan
kolonialisme. Dengan maksud dan tujuan berbeda, hal
serupa juga dilakukan di era pemerintahan Orba dan masih
berlanjut hingga kini yang pada dasarnya menempatkan

Otonomi Khusus Papua 147


aspek pendidikan dan SDM menjadi sesuatu yang penting
bagi masyarakat dan juga pemerintahan.
Dalam kaitan ini kebijakan otsus sebagaimana
tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2001 menetapkan
alokasi dana otsus untuk bidang pendidikan sebesar 30%
dan bidang kesehatan sebesar 15%. Artinya ada kewajiban
bagi pemerintah daerah untuk menerapkan alokasi dana
minimal 30 persen untuk sektor pendidikan dan 15 persen
untuk sektor kesehatan. Kedua bidang ini dianggap sangat
penting sehingga alokasi dana untuk kegiatan tersebut
dipatok jumlahnya, dalam arti tidak boleh kurang tetapi
boleh saja lebih jika kondisi aktual menuntut demikian. Hal
serupa berlaku bagi pemerintah Indonesia dimana minimal
20 persen alokasi dana APBN diperuntukkan bagi kegiatan
pendidikan.
Jika kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan
baik, maka sejumlah persoalan krusial yang terkait
rendahnya pendidikan dan SDM di Papua akan lebih
mudah diatasi. Jika sebagian besar masyarakat Papua atau
bahkan semuanya sudah relatif terdidik dalam arti sudah
mengenyam pendidikan hingga ke jenjang menengah, maka
persoalan yang muncul bukan lagi kekurangan tenaga
terdidik dalam arti tenaga terdidik yang ada di Papua rendah
kualifikasinya, melainkan kekurangan karena jumlah
pasokan yang tersedia sudah habis diisi oleh orang Papua,
sementara kebutuhan yang ada sangat besar sehingga perlu
mendatangkan tenaga terdidik dari luar Papua.
Entah sampai kapan kondisi seperti ini bisa dicapai,
tetapi yang pasti upaya untuk meningkatkan kualitas
SDM melalui berbagai jenjang pendidikan semakin intensif
dilakukan pemerintah daerah di wilayah Papua. Kesadaran
demikian bukan karena ada kewajiban yang ditetapkan

148 Otonomi Khusus Papua


dalam otsus, melainkan tumbuh dari sebuah kesadaran
akan pentingnya aspek pendidikan bagi pembangunan
dan kemajuan masyarakat Papua. Kebijakan otsus yang
menempatkan sektor pendidikan dan kesehatan pada
posisi penting sesungguhnya sebagai bentuk respon atau
legitimasi atas apa yang sudah menjadi kesadaran bersama,
baik masyarakat dan pemerintah daerah di wilayah Papua,
tetapi juga menjadi concern pemerintah pusat dan bangsa
Indonesia pada umumnya sebagaimana diamanatkan dalam
konstitusi..
Dalam konteks dan kesadaran seperti ini tidak
berlebihan jika dinyatakan bahwa kunci dari pembangunan
Papua pada saat ini dan masa datang adalah membangun
SDM nya. Untuk itu, diperlukan kesabaran dan upaya
yang ekstra keras untuk melaksanakannya karena
berbagai kendala, baik yang sifatnya internal dan juga
eksternal masih menjadi faktor krusial dalam menghampat
pelaksanakan program strategis ini. Tidak ada pilihan lain
bagi pemerintah dan masyarakat Papua untuk memperkuat
sektor pendidikan karena faktanya SDM masyarakat Papua
masih relatif tertinggal dari Provinsi lainnya di Indonesia.
Jika pada saat ini, sebagian besar pengelolaan SDA di
Papua diserahkan kepada orang asing, maka hal demikian
tidak lepas dari persoalan kualitas SDM dan jumlah yang
tersedia untuk jenis pekerjaan tertentu masih terbatas.
Dalam beberapa kasus dan di daerah tertentu munculnya gap
yang sangat besar secara ekonomi antara orang Papua dan
para pendatang juga berkaitan dengan kualitas SDM yang
dimiliki masyarakat Papua. Masih banyak contoh yang bisa
dikemukakan yang intinya menunjukkan bahwa persoalan
kualitas SDM memiliki peranan penting bagi upaya untuk
mengatasi sejumlah persoalan krusial di Papua.

Otonomi Khusus Papua 149


Dalam kaitan ini, pernah suatu ketika, Prof. Dr. Berth
Kambuaya, MBA selaku Rektor Universitas Cendrawasih,
dalam sebuah seminar bertajuk “Upaya Peningkatan
Kualitas SDM dan Kepemimpinan Yang Berkarakter Menuju
Papua Baru” menyatakan bahwa Papua Baru bermakna
SDM yang mempunyai kapasitas dan produktifitas tinggi.
Artinya mereka harus menguasai sumber daya ekonomi,
industri, perbankan, bisnis dan penataan kehidupan yang
lebih layak. Kondisi ini bisa dicapai, dengan cara memiliki
jati diri, rasa percaya diri dan memiliki pola hidup seperti
orang Amerika kulit hitam.
Dalam kaitannya dengan sektor pendidikan, lebih jauh
Berth memberikan masukan agar sumber daya alam (hutan,
laut, tambang, flora, fauna) dan budaya bisa dikelola secara
maksimal untuk kesejahteraan rakyat setempat. Namun,
ia mengingatkan agar kondisi ini ditunjang oleh kualitas
SDM (kemampuan manajemen, teknik dan lain-lain) serta
dana. Ia menengarai rendahnya dan keterbatasan SDM
mengakibatkan rendahnya kemampuan untuk menguasai,
mengelola, mengatur sumber daya yang tersedia. Hal
demikian berkaitan dengan rendahnya kemampuan untuk
menterjemahkan dan mengimplementasikan UU OTSUS
Papua.
Fakta di bidang pendidikan, bahwa masih banyak anak-
anak asli Papua yang tidak bisa bersekolah, khususnya
mereka yang hidup di daerah-daerah pedalaman. Juga
masih banyak anak putus sekolah, minimnya sarana belajar
mengajar di kampung-kampung, adanya keterbatasan
tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang relatif mahal
adalah wujud dari pelaksanaan otsus yang belum mampu
diimplementasikan dengan baik. Fakta tersebut juga bisa
dimaknai bahwa masih rendahnya dan keterbatasan SDM
berakibat pada sulitnya untuk mengimplementasikan otsus.

150 Otonomi Khusus Papua


Sejak dulu hingga kini, pendidikan merupakan sesuatu
yang sangat penting karena ia sangat terkait dengan pola
pikir dan juga perilaku dalam mensikapi dan melaksanakan
kebijakan. Sebagus apapun kebijakan itu jika dipersepsikan
dan dilaksanakan secara salah, maka akan sulit mencapai
tujuannya. Bahkan bisa jadi tujuan yang diharapkan akan
melenceng. Sebagai contoh, ketika kebijakan otsus oleh
sebagian masyarakat Papua masih dipersepsi sebagai
kebijakan bagi bagi uang, maka kebijakan yang didesain
untuk memberdayakan masyarakat Papua akan sulit
mencapai tujuannya. Harus diakui bahwa masih saja diantara
masyarakat Papua yang melihat otsus sebagai kebijakan
dari pusat yang dirancang untuk menggelontorkan uang ke
daerah. Seberapa besarpun dana yang akan digelontorkan
tidak akan mampu memberdayakan masyarakat jika
persepsi keliru ini tidak diubah atau diluruskan.

4.6. Indikator Kesehatan


Sering dikemukakan, bahwa “kesehatan bukan apa-
apa, tetapi tanpa kesehatan kita tidak akan bisa melakukan
apa-apa. Begitu juga nasehat serupa bahwa “kesehatan
bukan segalanya, tetapi tanpa kesehatan yang prima kita
tidak bisa melakukan segalanya”. Bahwa tanpa kesehatan
yang prima, maka siapapun mereka akan menghadapi
kesulitan besar dalam menjalan hidup atau melaksanakan
program program pembangunan.
Seperti kata bijak: ‘ora et labora’, atau diterjemahkan
secara bebas bahwa di tubuh yang sehat terdapat jiwa
yang sehat. Artinya bahwa kesehatan merupakan faktor
atau aspek yang sangat penting bagi eksistensi sebuah
manusia dalam melaksanakan aktivitas atau menjalani
kehidupannya. Tidak mengerankan kebijakan otsus

Otonomi Khusus Papua 151


memberlakukan sektor pendidikan dan kesehatan sebagai
prioritas utama yang harus dijalankan dengan alokasi
anggaran yang masing-masing minimal 30 persen untuk
pendidikan dan 15 persen untuk kesehatan.
Kedua bidang atau aspek ini tidak saling bersaing
tetapi justru saling melengkapi dan menyempurnakanm
meskipun bukan satu kesatuan. Ada hubungan yang erat
antara keduanya, karena sejatinya tujuan pendidikan
juga hampir sama dengan tujuan kesehatan. Keberhasilan
pendidikan secara langsung atau tidak langsung akan
berdampak pada keberhasilan di bidang kesehatan, begitu
juga sebaliknya.
Bukan karena Papua menghadapi persoalan serius di
kedua bidang ini sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah
data dan fakta yang dirilis pemerintah atau lembaga
lain, tetapi kedua bidang ini memang sejak dulu hingga
sekarang merupakan aspek yang penting bagi kehidupan
manusia dan juga organisasi pemerintahan. Tidak salah
jika lagu kebangsaan Indonesia menyatakan ‘bangunlah
jiwanya, bangunlah bangsanya untuk Indonesia raya’.
Kalimat tersebut secara tidak langsung menyiratkan betapa
pentingnya aspek pendidikan dan juga kesehatan bagi
bangsa Indonesia, dan tentunya berlaku juga bagi Papua.
Bahwa kedua hal tersebut merupakan tujuan konstitusional
yang harus dicapai sebagaimana juga dinyatakan konstitusi
dengan kalimat berbeda.
Bukan kebetulan jika sejak awal kebijakan otsus
menetapkan bahwa selain bidang pendidikan yang mendapat
alokasi dana otsus sangat besar prosentasenya, maka
bidang kesehatan juga mendapatkan alokasi cukup besar.
Alokasi ini sangat besar prosentasenya jika dibandingkan
dengan prosentase serupa yang diberlakukan di daerah lain.

152 Otonomi Khusus Papua


Besarnya alokasi untuk bidang kesehatan menunjukkan
bahwa persoalan kesehatan masih menjadi isu yang krusial
di Papua. Keberadaannya merupakan salah satu indikator
kunci yang menentukan IPM suatu daerah. Ketika IPM
wilayah Papua dinyatakan masih tergolong rendah,
maka logika serupa juga berlaku bagi tingkat kesehatan
masyarakat Papua yang masih tergolong rendah.
Fenomena masih rendahnya tingkat pendidikan dan
juga kesehatan sesungguhnya merupakan fenomena umum
di Indonesia, sehingga rata-rata IPM Indonesia di kedua
bidang ini juga masih tergolong rendah jika dibandingkan
dengan negara Asean, negara Asia Timur atau negara lain
yang relatif lebih maju perekonomiannya. Hanya saja, dalam
konteks Indonesia, maka persoalan kesehatan di Papua
masih tergolong memprihatinkan, sehingga perlu kebijakan
khusus untuk mengatasi atau menanganinya.
Keberadaan otsus dalam konteks ini menjadi sesuatu
yang relevan dan sudah harusnya demikian. Bahwa ada
persoalan serius di bidang kesehatan yang perlu mendapat
penanganan khusus yang antara lain telah diwujudkan
berupa alokasi dana khusus sejumlah atau dengan besaran
tertentu yang berasal dari pusat dalam bentuk dana otsus
di luar dana lain yang secara umum diberlakukan untuk
pemerintahan daerah di Indonesia.
Perlakuan khusus itu bukan hanya sebagai bentuk
respon terhadap fakta bahwa masyarakat Papua masih
menghadapi kondisi kesulitan dalam mengakses terhadap
pelbagai kebutuhan pokok (misalnya pendidikan, kesehatan
dan ekonomi masyarakat). Masih rendahnya akses terhadap
layanan umum yang bersifat dasar itu di banyak kasus
menyebabkan semakin rumitnya persoalan di Papua. Fakta
ini sering digunakan sebagai rujukan untuk menyimpulkan

Otonomi Khusus Papua 153


bahwa pelaksanaan otsus di Papua gagal mencapai misi
atau tujuannya
Memang sulit dibantah, bahwa tujuan otsus itu belum
sepenuhnya dicapai. Bahkan diakui bahwa tujuan itu
masih jauh dari apa yang bisa diraih hingga kini. Benar
bahwa masih banyak masyarakat, terutama mereka yang
tinggal di pedalaman atau daerah yang masih terisolir atau
sulit dijangkau karena faktor topografis dan demografis
dalam mengakses sejumlah layanan dasar yang disediakan
pemerintah daerah. Intinya bahwa masih banyak
masyarakat di kampung-kampung tersebut yang kesulitan
dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang
baik.
Tidak sedikit masyarakat Papua yang masih terus
bergumul dengan masalah kesehatan seperti, kasus
kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir, gizi buruk,
HIV/AIDS, TBC, Ispa, malaria, kusta hingga penyakit
lainnya. Di bidang pendidikan pun setali tiga uang artinya
kondisinya kurang lebih sama yaitu memprihatinkan.
Faktanya masih banyak anak-anak asli Papua yang tidak
bisa bersekolah di daerah-daerah pedalaman, masih banyak
anak putus sekolah, minimnya sarana belajar mengajar di
kampung-kampung, adanya keterbatasan tenaga pendidik
hingga biaya pendidikan yang relatif mahal.
Persoalan mendasar di bidang kesehatan lainnya
adalah masih banaknya warga masyarakat di beberapa
daerah yang menghadapi kasus atau persoalan gizi buruk
karena mahalnya kebutuhan pokok yang harus dibeli,
sementara daya beli mereka masih sangat terbatas. Selain
itu juga persoalan kesehatan di bidang penyediaan air
bersih yang tidak memadai, imunisasi, perilaku tidak sehat,
epidemiologi penyakit menular dan tidak menular, ganguan

154 Otonomi Khusus Papua


kesehatan jiwa, pelayanan kesehatan kuratif, persebaran
tenaga medis dan paramedis, kesetaraan gender, anggaran
kesehatan,dan sebagainya.
Khusus mengenai kasus HIV/AIDS, maka ada
kecenderungan meningkat setiap tahunnya. Data yang ada
menunjukkan kasus kedua penyakit mematikan itu terus
meningkat. Jumlah pengidap HIV dan AIDS di Tanah Papua
tercatat setidaknya 5.555 orang. Laporan Dinas Kesehatan
Provinsi Papua dan Papua Barat yang dipublikasikan oleh
KPA Provinsi Papua, 31 Maret 2008 menyebutkan bahwa
Provinsi Papua memiliki jumlah pengidap HIV dan AIDS
adalah 3.955 orang yang terklarifikasi sebagai berikut
dimana HIV: 2.181 Orang, sementara AIDS 1.773 Orang.
Sedangkan untuk Papua Barat memiliki jumlah 1600 HIV
dan AIDS, dari kasus HIV/AIDS 70 % adalah Orang Asli
Papua.
Tragisnya, bahwa fakta semakin merebaknya penyakit
mematikan ini oleh sebagian kalangan terkadang dicurigai
sebagai upaya tersistematisir dari pihak pihak tertentu
untuk menghabisi masyarakat Papua. Kondisi demikian
semakin memperumit persoalan yang ada sehingga
upaya untuk mengatasinya menjadi tidak mudah karena
munculnya politisasi terhadap persoalan tersebut.
Hingga saat ini berbagai upaya telah dilakukan,
namun tergolong tidak berhasil mengurangi jumlah
penderita penyakit mematikan ini. Selama tahun 2005 saja
telah tercatat 108 orang meninggal dunia dari 1000 kasus
AIDS yang telah terjadi di tanah Papua. Sementara itu, ada
juga data kumulatif dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua
yang dirilis Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD)
Propinsi Papua bahwa telah terjadi peningkatan kelajuan
yang luar biasa terhitung sejak Minggu, 29 Januari 2005

Otonomi Khusus Papua 155


sampai dengan 31 Desember 2005 yaitu telah mencapai
2.163 kasus HIV/AIDS dan memasuki tahun 2007 ini
meningkat menjadi 3.540 kasus. Padahal tahun sebelumnya
(2004) baru mencapai 1.749 kasus HIV/AIDS. Dan pada 2000
baru 427 kasus setelah ditemukan pertama kali di wilayah
Kabupaten Merauke pada 1992 hanya 6 kasus HIV.
Dari data tersebut perlu digarisbawahi bahwa masih
banyak kasus AIDS yang belum terdata (dark number) dan
umumnya penderita yang terinfeksi virus HIV lebih tinggi
dibandingkan jumlah kasus AIDS yang diketahui. Logika
serupa juga berlaku terhadap jenis penyakit atau problem
kesehatan yang lain, dimana masih banyak kasus yang
tidak terdata sebagaimana yang dilaporkan secara resmi
oleh pemerintah daerah. Artinya kedalaman persoalan
kesehatan sesungguhnya jauh lebih dalam dari apa yang
nampak di permukaan atau dilaporkan oleh institusi resmi.
Belum lagi terkait dengan kedalaman persoalan kesehatan
yang sejatinya dimensi sangat luas dan kompleks, sehingga
hanya kasus-kasus umum atau menonjol yang tercatat
atau dilaporkan masyarakat. Sementara itu kasus kasus
kesehatan yang tergolong kecil dianggap bukan sebagai
problem kesehatan karena dianggap sebagai sesuatu yang
sudah biasa dihadapi masyarakat dan karenanya tidak
perlu dianggap sebagai masalah kesehatan yang perlu
segera mendapat penanganan.
Fenomena kesehatan yang ada di Papua sesungguhnya
merupakan fenomena Indonesia pada umumnya. Bahwa
di negeri ini pemenuhan kebutuhan akan kesehatan
masih merupakan barang mewah dan karenanya sulit
didapatkan, meskipun telah ada berbagai upaya untuk
memenuhinya dengan cara meningkatkan alokasi anggaran
yang diperlukan. Munculnya anekdot bahwa ‘orang miskin

156 Otonomi Khusus Papua


dilarang sakit’ menunjukkan akan mahalnya biaya yang
diperlukan untuk sehat sehingga bagi mereka yang miskin
diharapkan tidak sakit karena diyakini akan kesulitan
untuk membeli kesehatan.
Artinya, tidak hanya di Papua, tetapi juga di wilayah
lain di Indonesia bahwa aspek kesehatan telah disadari
sebagai sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan,
meskipun keberadaannya sering dianggap remeh atau
disepelekan. Mungkin mereka menyepelekan karena tidak
punya biaya untuk membeli atau karena ada kebutuhan lain
yang dianggap lebih penting dan mendesak untuk dipenuhi,
misalnya kebutuhan akan kesehatan dan perumahan.
Tidak salah jika aspek atau bidang pendidikan,
kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur
merupakan aspek atau bidang yang mendapat perhatian
utama dalam pelaksanaan otsus di Papua. Masing-masing
aspek atau bidang tersebut menjadi satu kesatuan ibarat
mata rantai yang tidak bisa dipisahkan, sehingga di
setiap tahun anggaran berjalan menjadi perhatian serius
pemerintah, baik pemerintah daerah dan juga pemerintah
pusat.

4.7. Indikator Otsus: Kasus Sorong Raya


Secara geografis Papua (untuk menyebut dua propinsi
yaitu propinsi Papua dan propinsi Papua Barat) adalah
sebuah wilayah Indonesia yang terletak di ujung timur.
Secara umum gambaran terhadap tanah Papua adalah
cenderung buram, seolah tidak ada kemajuan yang berarti
atau signifikan terhadap wilayah ini. Tidak terkecuali
gambaran yang cenderung negatif atau buram terhadap
daerah kabupaten Sorong dan sejumlah wilayah di
sekitarnya. Gambaran yang cenderung misleading ini tidak

Otonomi Khusus Papua 157


sepenuhnya salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar.
Bahwa wilayah Papua pada umumnya jika dilihat dari sisi
pembangunan, apalagi jika dibandingkan dengan wilayah
Indonesia pada umumnya memang masih memprihatinkan.
Fakta demikian ini yang menjadikan pemberian otonomi
khusus merupakan keniscayaan atau sesuatu yang tidak
bisa dielakkan.
Bagi sebagian orang khususnya mereka yang tinggal di
luar Papua, maka gambaran umum yang sering mengemuka
terkait dengan bagian-bagian wilayah di Papua adalah
sebuah generalisasi. Seolah masing-masing wilayah di
Papua memiliki kesamaan mendasar, hanya karena ia
adalah wilayah yang berada di pinggiran Indonesia dan
menjadi hunian penduduk dengan karakteristik yang
hampir sama yang berasal dari ras Melanesia. Generalisasi
demikian dalam beberapa hal tidak salah, tetapi jika sudah
menyangkut aspek aspek yang lebih detil dan rinci, maka
sejumlah perbedaan yang juga mendasar akan segera
nampak.
Perbedaan demikian nampak nyata antara wilayah
Papua yang berada di ujung barat dengan wilayah papua
yang ada di bagian timur atau antara Papua dan Papua Barat,
antara wilayah pesisir dan pegunungan dan seterusnya.
Perbedaan juga terlihat dari sisi sosial dan budaya, bahwa
masing-masing warga Papua yang memiliki ciri fisik hampir
sama, ternyata memiliki sejumlah karakteristik, bahasa dan
juga budaya yang beraneka ragam. Keragaman tersebut bisa
disebut berbeda, antara suku yang satu dengan suku yang
lain, antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain.
Buktinya mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar dalam berbagai kegiatan sosial ekonomi
dan pemerintahan.

158 Otonomi Khusus Papua


Pemahaman demikian menjadi sesuatu yang penting
sebelum mengkaji dan membahas sejumlah fakta terkait
pelaksanaan otsus Papua. Tujuannya tidak hanya agar
tidak misleading tetapi juga agar proporsional dan menapak
pada sebuah obyektifitas untuk menemukan sebuah solusi
dan pemecahan atas masalah yang ada. Bagi wilayah Papua
Barat misalnya nyata sekali perbedaannya antara wilayah
yang berada di pegunungan atau pedalaman yang masuk
kategori terpencil atau terisolir dibandingkan wilayah
yang masuk kategori pesisir atau daratan rendah yang
relatif terhubung dengan pusat pusat kegiatan ekonomi
dan pemerintahan. Logika serupa juga berlaku di sejumlah
wilayah yang ada di seberang Timur yang juga bernama
Papua.
Begitu juga di wilayah Sorong yang merupakan daerah
induk dari sejumlah kabupaten/kota yang ada di propinsi
Papua Barat, maka sejulah perbedaan juga segera terlihat.
Wilayah ini memiliki perbedaan kondisi sosial ekonomi dan
bahkan budaya jika dibandingkan wilayah lain yang ada di
Papua Barat, misalnya wilayah Manokwari dan sekitarnya.
Meskipun wilayah Manokwari dan kawasan teluk
Cendrawasih merupakan ibukota propinsi Papua Barat,
namun kondisinya tidak lebih baik dibandingkan kawasan
Sorong. Tidak berlebihan jika kawasan atau wilayah
Sorong yang sekarang ini terdiri dari beberapa kabupaten
dan satu kota sering dirujuk sebagai contoh keberhasilan
pelaksanaan otsus. Tentunya sebuah keberhasilan yang
relatif jika dibandingkan dengan keberhasilan serupa di
wilayah lain di tanah Papua.
Wilayah Sorong dan sekitarnya yang sekarang ini
terdiri dari beberapa kabupaten hasil pemekaran sebagai
wujud secara tidak langsung dari tingginya dinamika

Otonomi Khusus Papua 159


pembangunan wilayah ini. Dalam perspektif ekonomi dan
pemerintahan, wilayah ini memiliki karateristik berbeda
jika dikaitkan dengan sejumlah kemajuan pembangunan,
baik fisik dan sosial dibandingkan dengan wilayah lain yang
ada di Papua secara umum. Tidak terkecuali kabupaten
Sorong sendiri yang secara formal adalah sebuah kabupaten
induk dari sejumlah kabupaten hasil pemekaran termasuk
kota Sorong sendiri.
Khusus kota Sorong, memiliki kondisinya yang berbeda
secara signifikan, dalam arti tidak lebih maju dari daerah-
daerah lain di kawasan ini. Justru kota Soronglah yang
bisa dianggap jauh lebih maju secara fisik jika dilihat dari
infrastruktur dan sarana sosial dan pendidikan dibandingkan
dengan kabupaten Sorong sendiri yang sejatinya adalah
kabupaten induk. Sekarang ini justru kabupaten Sorong
yang sedang gencar melakukan sejumlah pembangunan
seolah ia adalah daerah pemekaran. Hal ini terjadi karena
faktanya ibukota kabupaten Sorong dipaksa berpindah
ke daerah pinggiran dari kota Sorong. Paralel dengan itu
serangkaian pembangunan, baik pembangunan fisik dan
non fisik sedang giat-giatnya dilakukan pemerintah.
Khusus mengenai kabupaten Sorong, jika dilihat
dari sisi dinamika perkembangan pemerintahan, maka
wilayah ini telah mengalami pemekaran yang tergolong
intensif jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Tercatat, berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999, Kota
Administratif Sorong yang sebelumnya berada di wilayah
Kabupaten Sorong mengalami peningkatan status menjadi
Kota Sorong yang berujung pada perpindahan ibukota dan
lembaga-lembaga pemerintahan Kabupaten Sorong ke
wilayah pinggiran kota. Tidak berselang lama, berdasarkan
UU Nomor 26 Tahun 2002, Kabupaten Sorong dimekarkan

160 Otonomi Khusus Papua


menjadi 3 kabupaten yakni Kabupaten Sorong Selatan,
Kabupaten Raja Ampat, dan Kabupaten Sorong sebagai
kabupaten induk.
Dengan terjadinya peningkatan status Kota
Administratif Sorong menjadi Kota Sorong membawa
konsekwensi administrasi dan kelembagaan Kabupaten
Sorong. Pertama, Kabupaten Sorong memindahkan ibu
kota atau pusat pemerintahannya dari Remu ke Aimas,
dan selanjutnya Remu menjadi pusat pemerintahan Kota
Sorong. Kedua, hampir seluruh infrastruktur ekonomi
yakni (1) transportasi yang meliputi dermaga, bandar
udara Sorong Daratan (sekarang diberi nama DEO), dan
terminal mobil angkutan umum, (2) air bersih, (3) listrik,
dan (4) telekomunikasi yang sebelumnya merupakan asset
dan dikelola Pemerintah Kabupaten Sorong beralih menjadi
asset dan dikelola oleh Pemerintah Kota Sorong. Kondisi
hampir sama juga terjadi sebagai konsekuensi pengukuhan
Raja Ampat menjadi sebuah kabupaten definitif yakni
Kabupaten Raja Ampat membawa konsekwensi Bandar
Udara Jefman yang sebelumnya menjadi asset dan dikelola
Pemerintah Kabupaten Sorong beralih menjadi asset dan
dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat.
Secara formal Kabupaten Sorong adalah kabupaten
induk dimana ada sejumlah daerah yang ada di wilayah
Kabupaten sorong dimekarkan, bahkan hingga kini masih
ada desakan kuat untuk memekarkan wilayah lain yang
menjadi bagian dari Kabupaten Sorong, misalnya wilayah
yang bernama Malamoi. Jika di wilayah lain, kabupaten
induk tidak terusir dari ‘rumah’ lamanya ke wilayah
pinggiran dan ‘diperlakukan’ sebagai daerah ‘frontier’,
maka Kabupaten Sorong mengalami hal demikian seolah
ia adalah kabupaten baru hasil pemekaran dari Kota

Otonomi Khusus Papua 161


Sorong. Layaknya seperti kabupaten hasil pemekaran,
maka banyak hal yang harus dibangun dan dipersiapkan,
termasuk sarana infrastruktur dasar dan berbagai sarana
penyelenggaraan pemerintahan.
Secara geografis, letak Kabupaten Sorong sebelum
pemekaran berada pada garis koordinat 0 20 Lintang Utara,
0 10 Lintang Selatan, 13 20 Bujur Timur berbatasan dengan
Kabupaten Manokwari dan 13 00 Bujur Barat berbatasan
dengan Provinsi Maluku. Pasca pemekaran wilayahnya
kabupaten Sorong menjadi 3 kabupaten batas batasnya
berdasarkan pembagian administratif pemerintahan
adalah di bagian Utara berbatasan dengan Kota Sorong,
bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sorong
Selatan, bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Raja
Ampat, dan bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten
Manokwari dan Kabupaten Teluk Bintuni. Dengan adanya
pemekaran di sejumlah wilayah ini, seperti hadirnya
Kabupaten Trambaw, Kabupaten Meybrat dan lain-lain,
maka wilayah Kabupaten Sorong beserta batasnya-batasnya
akan berubah seiring dengan perkembangan kabupaten
baru hasil pemekaran tersebut.
Jika dilihat dari sudut tanah Papua, maka Kabupaten
Sorong merupakan salah satu kabupaten yang terletak
di wilayah paling barat dari Provinsi Papua, dengan luas
wilayah (daratan) pada tahun 2012 adalah 13.603,46
Km2 atau 14,02% dari luas keseluruhan Provinsi Papua
Barat. Secara administratif pada tahun 2011, Kabupaten
Sorong terdiri atas 18 kecamatan (district), 121 desa dan
13 kelurahan, di mana sekitar 11 kecamatan di antaranya
merupakan kecamatan yang berada di daerah pantai dan
sisanya di daerah pedalaman (BPS Kabupaten Sorong,
2011: 21-24). Dari 18 kecamatan yang ada, kecamatan

162 Otonomi Khusus Papua


yang paling luas di Kabupaten Sorong pada tahun 2011
adalah Kecamatan Salawati Selatan yaitu 2.265,18 Km2
atau 16,65% dari luas keseluruhan Kabupaten Sorong.
Sementara kecamatan yang paling kecil wilayahnya adalah
Kecamatan Mariat, yaitu hanya 118,16 Km2 atau 0,87% dari
luas keseluruhan Kabupaten Sorong.
Tabel
Luas Wilayah, jumlah Kampung, dan Kelurahan

No. Distrik Kampung Kelurahan Luas Km2


1 Moraid 7 0 1.446,16
2 Klaso 5 0 316,46
3 Makbon 8 1 1.011,42
4 Klayili 5 0 481,26
5 Beraur 9 0 822,26
6 Klamono 13 0 488,45
7 Klabot 8 0 518,72
8 Klawak 9 0 432,89
9 Salawati 5 2 525,03
10 Mayamuk 6 2 217,22
11 Salawati Timur 7 0 118,62
12 Seget 8 0 893,81
13 Segun 6 0 2.021,37
Salawati
14 7 0 2.265,18
Selatan
15 Aimas 1 6 222,43
16 Mariat 3 2 118,16
17 Sayosa 6 0 1.213,60
18 Maudus 8 0 492,54
Jumlah 121 13 13.605,58

Otonomi Khusus Papua 163


Topografi Kabupaten Sorong sangat bervariasi,
mulai dari dataran rendah dan berawa sampai dengan
pegunungan seperti pegunungan Tambrauw. Hampir 60%
wilayah Kabupaten Sorong berupa pegunungan dengan
topografi yang agak bergelombang terdapat di bagian tengah
mengarah ke Utara, sedangkan 25% merupakan dataran
rendah yang menyebar di bagian Selatan (Dinas Tata Ruang
dan Permukiman Pemerintah Kabupaten Sorong). Pada
bagian tengah ke arah Timur dan Utara Kabupaten Sorong
merupakan daerah pegunungan dengan lereng-lereng yang
curam dengan ketinggian antara 100-3.000 meter di atas
permukaan laut (dpl), seperti pegunungan di Kecamatan
Makbon, Kecamatan Moraid, Pulau Batanta, Pulau Waigeo,
dan Pulau Salawati, sedangkan di bagian Selatan sampai ke
Barat menunjukkan dataran rendah dan sebagian adalah
daerah rawa-rawa. Kemudian jika dilihat berdasarkan
ketinggian, lebih dari 50% adalah berada pada ketinggian
antara 0 – 100 meter dpl, 26,24% pada ketinggian lebih dari
100 meter sampai 500 meter dpl, 7,45% pada ketinggian
lebih dari 500 meter sampai 1.000 meter dpl dan sisanya
sekitar 13,41% berada pada ketinggian di atas 1.000 meter
dpl.
Demikianlah gambaran umum kabupaten Sorong
secara demografis dan topografis bahwa sebagai wilayah
yang dikenal dengan sebutan ‘kepala burung’, topografi
Kabupaten Sorong sangat bervariasi, mulai dari dataran
rendah dan berawa sampai dengan pegunungan. Wilayah
pegunungan, mencakup areal yang paling luas ( 60 %)
tersebar di bagian Utara. Dataran rendah yang cenderung
membentuk rawa-rawa mencakup areal yang cukup
luas (25 %) tersebar di bagian Selatan. Sisanya (15 %)
merupakan wilayah peralihan dari dataran ke pegunungan.
Berdasarkan ketinggian, Kabupaten Sorong terletak pada

164 Otonomi Khusus Papua


ketinggian yang bervariasi dari 0 sampai dengan 2 500
meter di atas permukaan air laut. Wilayah yang paling
luas (> 50 %) berada pada ketingian di bawah 100 meter di
atas permukaan air laut, mencakup Distrik Aimas, Seget,
dan Distrik Beraur. Sebaliknya wilayah yang paling sempit
(20, 86 %) berada pada ketinggian lebih dari 500 meter di
atas permukaan air laut, tersebar di Distrik Sausafor dan
Distrik Mackbon. Struktur tanah di wilayah ini didominasi
hamparan dengan tekstur halus, sehingga memungkinkan
terbentuknya rawa-rawa yang luas. Jenis tanah terdiri dari
tanah coklat ke kuningan, mediteran rensina, organosol
alluvial, podsolik kelabu dan podsolik merah kuning-rensina.
Penduduk Kabupaten Sorong terdiri dari penduduk
asli dan penduduk pendatang. Penduduk asli di Kabupaten
Sorong terdiri dari beberapa kelompok, yaitu:
a. Suku Moi yang terdiri dari suku Klabra, Karon, Madik,
Kebar, Keboro dan Yaun.
b. Suku Maibrat, yang terdiri dari suku Maimere/Make,
Meite, dan Meimaru.
c. Suku Inanwatan, yang terdiri dari suku Mate Mani,
suku Puragi, Oderau, Kaiso, dan Samaun.
d. Suku Tehit, yang terdiri dari suku Sawiat dan Ogit.

Masyarakat asli ini tersebar di semua distrik. Pada


umumnya, mereka inilah yang bermukim pada kampung-
kampung yang relatif jauh dan terisolir letaknya. Kegiatan
utama mereka kebanyakan adalah kegiatan pertanian
sederhana.
Penduduk pendatang pada umumnya adalah
transmigran dan bukan transmigran. Penduduk
transmigran telah bermukim sejak tahun 1980-an di distrik-
distrik sekitar Aimas, yaitu Mayamuk, Salawati, dan

Otonomi Khusus Papua 165


Klamono. Mereka pada umumnya berasal dari Pulau Jawa
yang akrab dengan pertanian, khususnya pertanian lahan
basah, sehingga di sekitar pemukiman mereka ini adalah
lahan pertanian yang berupa sawah dan kebun. Pendatang
yang bukan transimgran adalah pendatang yang masuk
secara individu ataupun keluarga. Mereka kebanyakan
dari rumpun suku Jawa, Batak, Makassar, Buton, Ambon,
Manado yang bertugas, ataupun punya peluang kerja atau
peluang usaha di wilayah ini.
Jumlah penduduk Kabupaten Sorong pada tahun 2000
sebanyak 63.311 jiwa dan pada tahun 2010 mencapai 70.619.
Dengan demikian rata-rata pertumbuhan penduduk per
tahun selama 2000-2010 adalah 1,09% per tahun. Rata-rata
pertumbuhan penduduk Kabupaten Sorong ini merupakan
yang terkecil dibandingkan dengan kabupaten/kota lain
seluruh provinsi Papua Barat. Dari sisi jumlah absolut,
Kabupaten Sorong memiliki jumlah penduduk terbesar
kedua setelah Kabupaten Monokwari.
Jumlah penduduk Kabupaten Sorong tersebar di 18
distrik, dengan jumlah kampung dan kelurahan sebanyak
134. Distrik Klamono merupakan distrik dengan jumlah
kampung dan kelurahan terbanyak, yaitu 13 buah. Namun
dari sisi jumlah penduduk, Distrik Aimas merupakan distrik
dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu 19.911 orang dan
luas distrik ini tergolong kecil bila dibandingkan dengan
distrik lain, yaitu sekitar 222 km2 yang merupakan distrik
terkecil keempat dari 18 distrik yang ada. Bandingkan
misalnya dengan distrik Segun atau Salawati Selatan
dengan luas lebih dari 2.000 km2. Hal ini menjadikan
Aimas sebagai distrik paling padat, yaitu 89,52 orang/Km2
sekaligus distrik dengan jumlah penduduk per kampung
paling padat, yaitu 2.844 penduduk/kampung. Rata-rata

166 Otonomi Khusus Papua


tingkat kepadatan penduduk di Sorong sendiri adalah 5
penduduk/km2. Jumlah penduduk antar distrik terlihat
memiliki variasi yang tinggi. Hal ini menunjukkan tingkat
penyebaran penduduk yang tidak merata di Sorong.
Penyebaran penduduk yang tidak merata ini
disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah
kemudahan akses ke pusat kegiatan sosial ekonomi
masyarakat. Aimas merupakan distrik yang menjadi pusat
pemerintahan dan aktivitas ekonomi masyarakat sehingga
tidak mengherankan apabila tingkat kepadatan penduduk
di Aimas lebih tinggi dibandingkan dengan distrik lainnya.
Oleh karena itu aktivitas sosial ekonomi masyarakat
penting untuk diciptakan di distrik lainnya dalam rangka
meningkatkan pemerataan jumlah penduduk antar distrik.
Aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang diciptakan
didasarkan pada potensi masing-masing distrik
Tabel
Tingkat kepadatan Penduduk 2010
Jum-
lah Kepa- Kepa-
Rasio
Kam- datan datan
Pen- Pen-
Distrik pung Luas Km2 Pen- Kam-
duduk duduk/
dan duduk/ pung/
Kampung
Kelu- Km2 Km2
rahan
Moraid 7 1.446,16 1.717 1,19 206,59 245,29
Klaso 5 316,46 306 0,97 63,29 61,20
Makbon 9 1.011,42 2.130 2,11 112,38 236,67
Klayili 5 481,26 416 0,86 96,25 83,20
Beraur 9 822,26 1.007 1,22 91,36 111,89
Klamono 13 488,45 4.483 9,18 37,57 344,85
Klabot 8 518,72 638 1,23 64,84 79,75
Klawak 9 432,89 597 1,38 48,10 66,33
Salawati 7 525,03 9.149 17,43 75,00 1.307,00

Otonomi Khusus Papua 167


Mayamuk 8 217,22 9.983 45,96 27,15 1.247,88
Salawati
7 118,62 1.952 16,46 16,95 278,86
Timur
Seget 8 893,81 3.087 3,45 111,73 385,88
Segun 6 2.021,37 1.369 0,68 336,90 228,17
Salawati
7 2.265,18 2.057 0,91 323,60 293,86
Selatan
Aimas 7 222,43 19.911 89,52 31,78 2.844,43
Mariat 5 118,16 10.432 88,29 23,63 2.086,40
Sayosa 6 1.213,60 988 0,81 202,27 164,67
Maudus 8 492,54 397 0,81 61,57 49,63
Jumlah 134 13.605,58 70.619 5,19 101,53 527,01
Sumber: Kabupaten Sorong Dalam Angka 2011, diolah

Dari sisi rasio jenis kelamin atau sex ratio, kondisi


masing-masing distrik tidak jauh berbeda. Hampir semua
distrik memiliki sex ratio di atas 100%, artinya jumlah
penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan. Rata-rata sex ratio di Sorong mencapai 113,24%
yang berarti rata-rata di setiap distrik jumlah penduduk laki-
laki 13,24% lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Satu-satunya distrik yang memiliki sex ratio di bawah 100%
adalah Klabot dengan sex ratio 96,91% yang berarti jumlah
penduduk laki-laki 3,89% llebih sedikit dibandingkan
dengan perempuan. Rata-rata rasio penduduk per rumah
tangga adalah 4,38. Hal ini mengandung arti bahwa setiap
rumah tangga rata-rata beranggotakan sekitar 4-5 orang.
Dengan demikian, rata-rata setiap keluarga memiliki 2
hingga 3 anak.
Di sisi yang lain rasio rumah tangga per kampung rata-
rata mencapai 120,4 yang berarti rata-rata dalam setiap
kampung atau kelurahan terdapat 120 rumah tangga. Bila
dilihat secara keseluruhan terlihat sebaran rasio tersebut
sangat variatif atau tidak merata. Distrik Aimas memiliki

168 Otonomi Khusus Papua


rasio sebesar 653,29 yang berarti rata—rata setiap kampung
di Aimas memiliki 653 rumah tangga. Rasio terkecil dimiliki
oleh distrik Maudus yaitu hanya 10,75 yang berarti rata-
rata setiap kampung di Maudus hanya memiliki sekitar 10
hingga 11 rumah tangga.
Tabel
Rasio Rumah Tangga per Kampung
Rasio Rasio
Jumlah
Penduduk Rumah
Distrik Rumah
per Rumah Tangga Per
Tangga
Tangga Kampung
Moraid 324 5,30 46,29
Klaso 56 5,46 11,20
Makbon 482 4,42 53,56
Klayili 107 3,89 21,40
Beraur 218 4,62 24,22
Klamono 1.168 3,84 89,85
Klabot 130 4,91 16,25
Klawak 109 5,48 12,11
Salawati 2.205 4,15 315,00
Mayamuk 2.229 4,48 278,63
Salawati Timur 488 4,00 69,71
Seget 689 4,48 86,13
Segun 304 4,50 50,67
Salawati Selatan 393 5,23 56,14
Aimas 4.573 4,35 653,29
Mariat 2.395 4,36 479,00
Sayosa 178 5,55 29,67
Maudus 86 4,62 10,75
Jumlah 16.134 4,38 120,40
Sumber: Kabupaten Sorong Dalam Angka 2011, diolah.

Otonomi Khusus Papua 169


Dari aspek jenis kelamin, di kabupaten Sorong angkatan
kerja laki-laki 80% lebih banyak dibandingkan perempuan
meski dari sisi sex ratio antara laki-laki dan perempuan
hampir sama. Namun situasi di Kabupaten Sorong ini juga
terjadi di daerah lain di Papua Barat.
Tabel
Perbandingan Jenis Kelamin Angkatan Kerja di
Papua Barat
Jenis Kelamin Rasio
laki-laki
Kabupaten/Kota Laki- Perem- Jumlah Terhadap
laki puan Perem-
puan
Kabupaten Fak-
20.506 11.794 32.300 173,87
Fak
Kabupaten
14.009 7.641 21.650 183,34
Kaimana
Kabupaten Teluk
8.017 4.160 12.177 192,72
Wondama
Kabupaten Teluk
17.296 8.549 25.845 202,32
Bintuni
Kabupaten
59.540 34.594 94.134 172,11
Manokwari
Kabupaten Sorong
10.630 6.598 17.228 161,11
Selatan
Kabupaten Sorong 21.658 12.015 33.673 180,26
Kabupaten Raja
13.000 7.480 20.480 173,80
Ampat
Kabupaten
1.709 1.030 2.739 165,92
Tambrauw
Kabupaten
10.643 7.075 17.718 150,43
Maybrat
Kota Sorong 57.071 34.604 91.675 164,93
Jumlah 234.079 135.540 369.619 172,70
Sumber: Pusat Data dan Analisa Ketenagakerjaan
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2012, diolah

170 Otonomi Khusus Papua


Secara keseluruhan di Provinsi Papua Barat angkatan
kerja laki-laki 72,7% lebih banyak dibandingkan perempuan.
Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa pasar tenaga
kerja di Kabupaten Sorong didominasi oleh laki-laki. Dari
sisi pendidikan lebih dari 50% didominasi penduduk dengan
pendidikan sekolah dasar (SD), yaitu 51,66% disusul
kemudian penduduk yang berpendidikan SMP sebesar
18,09%. Penduduk dengan latar belakang pendidikan
diploma atau akademi memiliki jumlah yang paling kecil,
yaitu hanya 737 dari 33.673 orang atau 2,19%.

Tabel
Angkatan Kerja Kabupaten Sorong Berdasarkan Umur
dan Pendidikan 2011
Pendidikan
Di- Uni- Jum-
Umur
≤ SD SMTP SMA SMK plo- versi- lah
ma tas
15-19 606 804 600 259 0 0 2.269
20-24 1.637 710 1.081 203 78 250 3.959
25-29 1.708 1.382 766 694 172 86 4.808
30-34 1.716 115 530 1.453 0 240 5.089
35-39 2.251 821 748 450 57 475 4.802
40-44 1.916 809 397 445 55 241 3.863
45-49 2.447 192 144 96 326 48 3.253
50-54 1.943 144 48 96 0 48 2.279
55-59 1.168 0 0 43 0 0 1.211
60-64 1.248 86 0 0 0 0 1.334
≥ 65 757 0 0 0 49 0 806
Jumlah 17.397 6.098 4.314 3.739 737 1.388 33.673
Sumber:Pusat Data dan Analisa Ketenagakerjaan
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2012

Otonomi Khusus Papua 171


Kondisi ini menggambarkan bahwa pendidikan di
Kabupaten Sorong masih memerlukan perhatian serius
karena rendahnya pendidikan akan memperkecil peluang
penduduk mendapatkan pekerjaan sesuai harapan.
Penduduk dengan latar belakang pendidikan SD sebagian
besar berumur 45-49 tahun. Sementara itu untuk penduduk
dengan latar belakang pendidikan SMP sebagian besar
berumur 25-29 tahun yang mencapai 1.382 orang dan yang
berpendidikan SMTA berjumlah 1.081 orang. Salah satu hal
penting yang perlu dicermati adalah tingginya angkatan
kerja yang dalam kelompok pendidikan SMTA, yang
menandakan bahwa setelah lulus SMTA penduduk tidak
melanjutkan ke pendidikan tinggi karena angkatan kerja
dari kelompok SMTA sebagian besar berumur 20-24, usia
yang seharusnya untuk menempuh pendidikan tinggi.
Secara umum jika dibandingkan dengan daerah di
Papua lainnya, maka kabupaten Sorong merupakan daerah
yang paling dinamis dalam melakukan berbagai aktivitas
pembangunan dan kegiatan sosial ekonomi lainnya. Sebagai
konsekuensi dari wilayah atau daerah yang tergolong paling
intensif melakukan kontak dengan wilayah lain di Indonesia,
maka komposisi penduduk di wilayah kabupaten Sorong
juga sangat beragam atau heterogen. Berdasarkan kelompok
etnis yang menjadi penduduk kabupaten Sorong hingga
kini dikenal enam kelompok etnis terbesar di Kabupaten
Sorong yang bgerasal dari berbagai suku bangsa yang ada
di Indonesia. Diantara masing-masing suku bangsa itu yang
menonjol jumlahnya adalah Suku Moi yang merupakan
penduduk asli wilayah Sorong, kemudian Bugis-Makasar
dan kelompok etnis Sulawesi lainnya, suku Jawa, suku
Maybrat, dan pendatang yang berasal dari Maluku. Suku
Moi merupakan penduduk asli Papua selaku pemegang

172 Otonomi Khusus Papua


hak adat atas tanah di pusat pemerintahan Kabupaten
Sorong. Sementara itu suku suku lain yang disebut
kemudian merupakan migran yang datang secara spontan
atau direncanakan oleh pemerintah yang berfungsi sebagai
penggerak kegiatan sosial ekonomi dan pemerintahan di
kabupaten Sorong.
Ada sejumlah faktor yang membuat kabupaten Sorong
relatif berhasil dalam melakukan sejumlah pembenahan
di bidang pemerintahan dan juga di bidang-bidang
lain, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan
infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan serta sarana
pendidikan dan kesehatan. Sejumlah faktor tersebut adalah
posisi atau letak kabupaten Sorong yang berdekatan secara
sosial ekonomi dan pemerintahan dengan kota Sorong
yang sudah relatif maju dari berbagai sisinya, sehingga
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
perkembangan kabupaten Sorong yang relatif lebih maju
dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di Papua
Barat, bahkan di propinsi Papua. Meskipun semua itu masih
jauh dari apa yang diharapkan, namun terlihat jelas adanya
sejumlah kemajuan berupa pembangunan sarana dan
prasarana dasar yang dibutuhkan masyarakat. Sejumlah
pembangunan infrastruktur berupa jalan dan jembatan
serta sarana pendidikan dan kesehatan gencar dilakukan
di berbagai penjuru kabupaten Sorong. Namun sejumlah
kemajuan tersebut jangan dibandingkan kondisinya dengan
pembangunan atau hal serupa yang ada di daerah lain di
Indonesia khususnya wilayah Barat Indonesia terutama di
pulau Jawa.
Dalam konteks Papua Barat dan Papua pada umumnya,
maka kemajuan pembangunan di kabupaten Sorong relatif
lebih maju dan berhasil, terutama di distrik distrik yang

Otonomi Khusus Papua 173


berdekatan dengan pusat pemerintahan dan kegiatan
ekonomi. Sementara itu distrik dan kampung-kampung yang
letaknya jauh atau berada di pinggiran pusat pemerintahan
dan ekonomi kondisinya masih memprihatinkan. Dalam
konteks ini penguatan kapasitas pemerintahan di tingkat
distrik menjadi sesuatu yang sangat penting dan mendesak
di kabupaten Sorong. Munculnya berbagai desakan untuk
memekarkan wilayah menjadi kabupaten tersendiri
juga tidak terlepas dari kondisi tersebut, meskipun
tuntutan tersebut bukan satu satunya yang menjadi dasar
pertimbangan dan alasan. Distrik Moraid misalnya yang
berada di ujung timur atau pinggiran kabupaten Sorong
kondisinya jauh dari apa yang dibayangkan orang luar Papua
karena distrik ini tergolong maju dan memiliki akar sejarah
sosial ekonomi dan pemerintahan yang panjang. Distrik ini
bersama sama dengan distrik distrik lain di sekitar wilayah
itu kini sedang mendesak lahirnya kabupaten baru yang
bernama kabupaten Malamoi.

174 Otonomi Khusus Papua


BAB V

AKTOR DAN FAKTOR


IMPLEMENTASI

5.1. Kondisi Faktor-faktor Otsus


Sebagaimana dinyatakan dalam berbagai literatur
tentang implementasi kebijakan publik bahwa banyak
aktor dan juga faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan. Sejumlah faktor telah diuraikan sebelumnya
dengan mengacu pada kesamaan tema dan isinya. Masing-
masing faktor yang telah diuraikan tersebut merupakan
faktor yang mempengaruhi kebijakan otsus Papua. Misalnya
faktor faktor yang bisa disebut sebagai konteks kebijakan
jika mengacu rumusan Grindle (1980: 11). Atau faktor yang
bisa tergolong lingkungan stratejik kebijakan jika mengacu
pendapat ahli yang lain seperti Mazmanian dan Sabatier
(1983) dan juga van Meter dan van Horn (1975).
Beberapa faktor, meskipun tidak secara eksplisit
disebut sebagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
otsus telah mendapat pembahasan di sub bab sebelumnya,
dan kini giliran beberapa faktor dan juga aktor yang
memiliki pengaruh terhaap pelaksanaan otsus di Papua.
Faktor faktor yang telah dibahas tersebut antara lain berupa
kondisi umum Papua, khususnya yang terkait dengan Indek
Pembangunan Manusia (IPM), yang kemudian dikaitkan
dan dielaborasi dengan indikator kemiskinan, pendidikan
dan kesehatan di Papua pasca berlakunya otsus.

Otonomi Khusus Papua 175


Secara tidak langsung faktor lainnya yaitu kondisi
topografis dan demografis Papua juga telah mendapat
pembahasan karena faktor ini dianggap memiliki karakter
unik, khususnya terkait dengan sebaran penduduk
dan jumlah penduduk asli yang relatif sedikit dan ada
kecenderungan tergeser oleh penduduk yang masuk kategori
pendatang terutama yang bermukim di wilayah pesisir
atau pantai dan pusat-pusat pertumbuhan dan kegiatan
pemerintahan. Fakta ini perlu dicermati sebagai faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan otsus.
Pengalaman wilayah Sorong dan beberapa kabupaten
bekas pemekaran wilayah ini juga cenderung memiliki
penduduk pendatang dalam jumlah besar, terutama
di sejumlah wilayah dataran rendah dan daerah yang
sebelumnya menjadi tujuan transmigrasi. Sementara itu
di sejumlah wilayah yang masuk ketegori pedalaman dan
pegunungan dan bukan menjadi pusat-usat kegiatan ekonomi
dan atau pemerintahan, maka komposisi penduduknya
relatif homogen dalam arti penduduk asli masih dominan.
Uniknya, di sejumlah wilayah yang komposisi penduduknya
heterogen dan semakin didominasi (dalam hal jumlah
penduduk), ternyata pelaksanaan otsus di wilayah ini
relatif berhasil dibandingkan wilayah lain yang berada di
pedalaman atau pegunungan.
Fakta ini perlu dikemukakan agar tidak menjadi faktor
yang kontraproduktif dalam pelaksanaan otsus di masa
yang akan datang, ketika otsus dianggap menyimpang dari
hakekat yang menjadi tujuannya. Keberhasilan yang ada
sejauh ini harus dipelihara, tetapi dengan tidak menyimpang
dari tujuan awal kebijakan otsus yaitu terutama untuk
memberdayakan masyarakat Papua yang masuk kategori
penduduk asli. Bukan sebaliknya memberdayakan pendu­

176 Otonomi Khusus Papua


duk yang sesungguhnya sudah relatif berdaya untuk
semakin berdaya dan secara tidak langsung berakibat pada
peminggiran masyarakat Papua asli yang sebelumnya tidak
berdaya menjadi semakin tidak berdaya karena proses
peminggiran yang terjadi secara alamiah tersebut. Disinilah
letak pentingnya pelaksanaan otsus yang harus dilihat
keberhasilannya dari sudut tujuan awal yang hendak
dicapai yaitu memberdayakan masyarakat Papua yang
masuk kategori penduduk asli dan memang faktanya masih
terpinggirkan.
Keberhasilan pelaksanaan otsus adalah keberhasilan
penduduk Papua dalam mengatasi ketidakberdayaan
menuju kemandirian dan kesejahteraan hidupnya, baik
secara sosial, politik dan ekonomi. Jika hal demikian bisa
diraih, maka faktor komposisi penduduk dan kecenderungan
perkembangannya bukan menjadi masalah. Ibarat pepatah
‘ada gula ada semut’, maka penduduk dari daerah lain akan
berdatangan jika di Papua ada ‘gula-gula’ yang menarik dan
mendorong ‘semut-semut’ untuk datang, termasuk semut-
semut yang berasal dari negara lain, tanpa memandang ras,
suku, agama dan kepentingannya.
Fenomena alamiah ini tidak akan mampu dicegah
oleh kebijakan berupa otsus, bahkan oleh kebijakan yang
secara terang terangan melarang migrasi penduduk,
sebagaimana kasus sejumlah negara yang menolak emigran
dengan ancaman hukuman berat bagi pelanggarnya, namun
karena ada ‘gula-gula’ yang mudah diperoleh di wilayah
itu, maka pendatang akan datang dengan sendirinya.
Kemungkinan resiko yang diperoleh dianggap setimpal
dengan kemungkinan hasil yang akan didapat. Fakta
ini juga berlaku bagi wilayah Papua yang setiap hari
kedatangan perantau yang kemudian menetap menjadi

Otonomi Khusus Papua 177


warga Papua karena melihat adanya peluang dan harapan
untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Adalah takdir wilayah ini untuk kebanjiran pendatang
karena banyak gula-gula yang bisa diperoleh. Terlebih
setelah pembangunan semakin gencar dilakukan, antara
lain dengan semakin baiknya sarana dan prasarana yang
mendukung investasi dsn eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya alam, maka banjir pendatang ke tanah Papua semakin
sulit dihentikan, meskipun berbagai upaya parsial telah
dilakukan.
Fenomena alamiah ini sulit dihentikan, meskipun
kegiatan transmigrasi yang diinisiasi langsung oleh
pemerintah semakin berkurang peranannya, tetapi
transmigrasi spontan dengan berbagai modus sepertinya
sulit dihindari. Sungguh keadaan ini telah secara signifikan
mengubah peta demografis Papua dimana di beberapa
tempat komposisi penduduk yang tergolong pendatang
semakin besar dan menjadi dominan dari segi jumlah.
Tentu saja bukan karena komposisi penduduk di masing-
masing wilayah tersebut yang menentukan pelaksanaan
otsus, karena banyak faktor yang memiliki peranan penting,
tetapi faktanya di sejumlah wilayah yang relatif maju dan
itu kebetulan berada di dataran rendah atau pantai dan
memiliki komposisi pendatang dalam jumlah signifikan,
ternyata pelaksanaaan otsus bisa dikatakan berhasil. Dari
sisi ekonomi, mereka melihat otsus sebagai sebuah berkah
yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia, yang tidak
mendapat kucuran dana otsus selain dana desentralisasi
biasa. Dengan adanya dana otsus yang jumlah relatif besar
dibandingkan dengan jumlah penduduk, namun terlihat
kecil jika dibandingkan dengan luas dan besarnya wilayah

178 Otonomi Khusus Papua


serta problemetika yang harus diselesaikan masyarakat
Papua.
Intinya, otsus bagi sebagian penduduk adalah berkah,
setidaknya jika dibandingkan sebelumnya, meskipun hasil
yang diperoleh dalam jangka penjang belum tentu sesuai
dengan apa yang menjadi harapan atau dicita citakan.
Disebut demikian karena tidak sedikit masyarakat Papua
yang melihat otsus sebagai kebijakan bagi uang, seperti
sebuah kegiatan publik yang sifatnya karitatif atau
kedermawanan. Padahal yang seharusnya disikapi dan
diperlakukan terhadap dana otsus itu adalah semata sebagai
alat atau semacam kail untuk mencari ikan dan bukan ikan
itu sendiri. Padahal sejatinya dana otsus itu dirancang
hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, sementara
tujuan tersebut harus benar-benar diperjuangkan dengan
berbagai daya dan upaya yang tentunya tidak ringan.
Secara umum faktor topografi dan demografi terkait
dengan keberadaan pendatang, sebaran penduduk dan
lingkungan dimana mereka tinggal memiliki peran dan
kontribusi signifikan terhadap pelaksanaan otsus. Tidak
terkecuali wilayah Papua Barat yang sering dianggap
berhasil dalam melaksanakan otsus jika dibandingkan
dengan wilayah provinsi Papua, khususnya wilayah yang
ada di pedalaman dan pegunungan.
Bukan berarti di wilayah Papua Barat dan wilayah
‘Sorong raya’ khususnya ini relatif tidak ada persoalan
politik terkait dengan isu Pepera atau ‘referendum’ dan isu
lain yang berbau separatisme. Tetapi faktanya kondisi sosial
politik wilayah ini relatif stabil dan bisa dikendalikan dalam
arti berbagai kegiatan sosial, ekonomi dan budaya dapat
diselenggarakan dengan lancar layaknya daerah daerah
lain di Indonesia dalam menjalanan proses pemerintahan

Otonomi Khusus Papua 179


meskipun di sana sini masih dihadapkan pada persoalan
yang rumit dan kompleks.
Sesungguhnya keadaannya ibarat pepatah: “rumput
tetangga sering terlihat lebih hijau daripada rumput sendiri”,
maka kurang lebih begitu keadaaannya dalam pelaksanaan
otsus di Papua Barat yang sering dianggap lebih berhasil
dibandingkan dengan pelaksanaan otsus di provinsi Papua.
Beberapa data memang menunjukkan indikasi demikian,
tetapi hal demikian bukan semata karena otsus. Bahwa
sejak zaman orde baru wilayah ini sering dianggap sebagai
wilayah yang mendapat perhatian lebih dibandingkan
wilayah lain di Papua, karena memang pada kenyataannya
banyak putra daerah di wilayah ini yang relatif maju dari
segi pendidikan dan kapasitas sumber dayanya. Begitupun
saat ini, ketika terjadi isu pemekaran provinsi Papua, maka
wilayah ini cenderung memilih untuk memekarkan diri, dan
masih banyak indikator lain yang bisa digunakan untuk
menunjukkan bahwa secara statistik wilayah ini memang
relatif lebih baik kondisinya secara sosial, ekonomi dan juga
politik.
Bahwa secara politik, wilayah Papua Barat dan
‘Sorong Raya’ khususnya relatif aman dan stabil dalam
arti tidak terganggu oleh persoalan politik yang berkaitan
dengan gerakan separatisme. Tetapi tidak demikian
dengan persoalan atau isu politik yang lain. Meskipun
belum ‘meledak’ ke permukaan, tetapi potensi itu ada jika
tidak dikelola dengan baik dan dicarikan solusi sejak dini.
Misalnya soal hubungan antara pendatang dan pribumi,
kesenjangan antara kaya dan miskin dan sebagainya.
Potensi persoalan demikian sesungguhnya secara sosial
politik tidak kalah rumit penanganannya jika tidak segera
diantisipasi dan dicarikan solusinya segera.

180 Otonomi Khusus Papua


Sengaja dalam bab ini yang membahas mengenai
faktor dan aktor yang mempengaruhi implementasi otsus
tidak dibahas secara khusus mengenai sejarah Pepera dan
polemik yang menyertainya serta aktor aktor utama yang
terlibat di dalamnya. Kemudian perkembangannya hingga
kini sebagaimana yang sering menjadi topik utama dalam
pembahasan otsus dari sisi politik. Pertama, pembahasan
mengenai sejarah Pepera dan isu sejenisnya telah dibahas
dalam berbagai kesempatan, oleh sejumlah penulis
yang mendekati persoalan otsus dari sisi politik. Kedua,
pembahasan hal tersebut tidak akan menemukan titik temu
atau manfaat yang lebih besar dalam mencari jalan keluar
pemecahan persoalan implementasi kebijakan otsus.

5.2. Pemahaman Konteks dan Konten Kebijakan


Pemahaman akan sebuah wilayah menjadi sesuatu yang
sangat penting sebelum melaksanakan kebijakan. Bukan
berarti mereka yang lahir dan hidup di wilayah itu otomatis
memahami persoalan sehingga mudah melaksanakan
kebijakan dalam mencapai tujuannya. Pemahaman akan
konteks sosial, ekonomi, politik dan juga budaya menjadi
sesuatu yang penting karena sesungguhnya wilayah Papua
memiliki keragaman terhadap berbagai aspek tersebut.
Bukan hanya keragaman hayati dan kandungan sumber
daya alam yang melimpah, tetapi secara sosial, ekonomi dan
politik wilayah Papua, memiliki keragaman serupa untuk
berbagai aspek dan bidang kehidupan sosial.
Kondisinya mungkin sama seperti kiasan bahwa secara
fisik wilayah Papua jika dilihat dari kejauhan dengan mata
telanjang mungin nampak sama atau seragam, tetapi
tidak demikian setelah didekati. Dari jauh yang terlihat
adalah bentangan alam yang masih alami ditumbuhi oleh

Otonomi Khusus Papua 181


hutan belantara, namun tidak demikian setelah kita ada
di dalamnya. Begitu juga penduduknya yang memiliki ciri
ciri fisik hampir sama yaitu ras Melanesia, tetapi tidak
demikian dengan bahasa, dan bahkan budayanya. Ada
ratusan bahasa yang digunakan oleh masing masing suku
bangsa Papua, yang mencerminkan banyak suku bangsa
yang hidup di dalamnya, meskipun sama sama berasal dari
ras yang sama yaitu Melanesia.
Dalam konteks ini pemahaman akan konteks atau setting
menjadi sesuatu yang sangat penting. Jika pelaksanaan
otsus diibaratkan sebuah perang, maka pemahaman akan
medan perang menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan
sebelum perang itu dilakukan. Pemahaman yang tidak
utuh, apalagi salah akan mempersulit atau menghambat
pelaksanaan perang tersebut. Jika kita berhasil memahami
persoalan secara utuh, maka pelaksanaan kebijakan tentu
saja nampak lebih mudah, bahkan sebelum kebijakan itu
benar-benar dilaksanakan. Seperti pemahanan penonton
terhadap setting dalam sebuah drama atau pertunjukan.
Bahwa keberadaan panggung atau latar seringkali bisa
menunjukkan maksud dari alur cerita, bahkan sebelum
cerita itu dipentaskan.
Begitu juga dalam memahami otsus, maka keberadaan
‘setting’ dimana kebijakan itu dilaksanakan menjadi sesuatu
yang penting. Pemahaman mengenai sejumlah faktor yang
menghambat atau sebaiknya mendukung merupakan modal
penting sebelum kebijakan itu benar-benar dilaksanakan.
Artinya pemahaman terhadap aktor dan faktor kebijakan
otsus sangat penting karena keberadaannya memiliki
pengaruhnya terhadap pelaksanaan otsus di Papua.
Diantara aktor dan faktor tersebut adalah Majelis
Rakyat Papua (MRP) dan hal hal lain yang terkait dengan

182 Otonomi Khusus Papua


keberadaan lembaga ini dalam membuat kebijakan.
Keberadaan MRP menjadi sesuatu yang unik karena
lembaga serupa tidak di miliki daerah lain, sehingga
keberadaannnya secara langsung atau tidak langsung
memiliki peranan penting dalam pelaksanaan otsus.
Begitu juga Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang
memiliki tugas tugas tambahan yang khusus sifatnya dalam
pelaksanaan otsus.
Aktor lain yang juga penting peranannya adalah
pemerintah, khususnya pemerintah daerah dan juga
pemerintah pusat. Adanya perubahan organisasi dan
kewenangan pemerintahan pasca reformasi, maka aspek
struktur atau organ pemerintah daerah memiliki kontribusi
semakin penting dalam pelaksanaan kebijakan. Jika
sebelumnya organ pemerintahan daerah lebih berperan
melaksanakan tugas tugas dekonsentrasi, maka sekarang
ini mereka lebih berperan melakukan tugas dan fungsi
pemerintahan di bidang desentralisasi. Terlebih dengan
adanya otonomi khusus, maka perubahan struktur organisasi
pemerintahan di Papua semakin luas kewenangannya,
seolah ia adalah ‘negara bagian’ di sebuah negara kesatuan.
Faktor lain yang dianggap penting peranannya dalam
pelaksanaan otsus adalah sumber daya (resources) berupa
dana atau anggaran dan bagaimana ia dikelola dalam
bentuk dialokasikan atau didistribusikan secara efektif dan
efisien. Dalam beberapa kasus, pengelolaan dana otsus yang
dilakukan pemerintah daerah, menjadi kata kunci yang
sering digugat karena dianggap tidak dilakukan secara hati
hati atau prudent. Begitu juga mengenai besaran dan alokasi
dana otsus sering dianggap tidak tepat meskipun tidak
ada dana yang disalahgunakan. Aspek manajerial dalam
pengelolaan keuangan atau dana otsus menjadi sesuatu

Otonomi Khusus Papua 183


yang penting dan besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan
otsus dalam mencapai tujuannya.
Sebagai aktor yang sangat penting keberadaannya
dalam konteks pelaksana kebijakan, maka peran dan
fungsi pemerintah tersebut tidak hanya ketika membuat
dan menterjemahkan kebijakan sebagai tindak lanjut dari
pelaksanaan otsus, misalnya dalam bentuk Perdasi dan
Perdasus serta kebijakan lain yang terkait dengannya.
Peran dan fungsi penting pemerintah antara lain dalam
melakukan sosialisasi dan komunikasi dengan target
kebjakan. Dalam sistem pemerintahan yang semakin
terbuka dan demokratis, asumsinya, melalui sosialisasi dan
komunikasi yang efektif pelaksanaan kebijakan akan lebih
mudah diimplementasikan, begitu juga sebaliknya.
Kemudian aspek pengelolaan sumber daya, termasuk
di dalamnya sumber daya berupa dana, selain berkaitan
dengan kualitas SDM pelaksana kebijakan, juga
berkaitan erat dengan perilaku pelaksana kebijakan dan
kecenderungan kecenderungan yang dimiliki terkait dengan
tugas dan fungsinya dalam melaksanakan kebijakan. Aspek
ini seringkali sulit ‘direformasi’ ketika dianggap tidak
sejalan dengan sistem baru yang menjadi acuan dalam
menjalankan kebijakan.
Seringkali nampak lebih mudah melakukan sejumlah
perubahan di bidang struktur atau kelembagaan birokrasi
yang akan melaksanakan kebijakan dibandingkan dengan
merubah perilaku birokrasi. Dalam beberapa kasus,
fenomena demikian juga masih nampak nyata di beberapa
daerah di Papua, sehingga pelaksanaan kebijakan menjadi
terhambat karenanya.
Secara teoritik semua aktor dan faktor tersebut
bisa diterjemahkan menurut berbagai rumusan ilmiah

184 Otonomi Khusus Papua


sebagaimana dikemukakan oleh ahli kebijakan publik.
Misalnya Edwards III (1980) yang menetapkan empat faktor
strategis yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yaitu
faktor komunikasi, faktor sumber daya, faktor perilaku
birokrasi (disposisi) dan terakhir faktor struktur birokrasi.
Dengan kalimat yang berbeda ahli lain seperti Mazmanian
dan Sabatier (18983) juga memberi rumusan yang kurang
lebih sama meskipun jumlah faktor faktor yang dikemukakan
lebih banyak jumlahnya. Masing-masing faktor tersebut
beserta sejumlah model implementasi kebijakan yang
dikemukakan para ahli administrasi publik akan dibahas
di bab selanjutnya yang secara khusus membahas mengenai
model dan faktor-faktor teoritik yang mempengaruhi
implementasi kebijakan.
Pentingnya keberadaan aktor dan faktor tersebut
karena pelaksanaan otsus hingga kini masih banyak
dikeluhkan masyarakat. Artinya ada sejumlah faktor yang
menghambatnya, sehingga banyak hal belum bisa diraih
sementara perjalanan yang ditempuh telah melewati
separuh jalan. Bahkan, jika sebaliknya bahwa pelaksanaan
otsus dianggap relatif berhasil dan tidak menemui
sejumlah hambatan krusial, maka sejumlah faktor dan
aktor sebagaimana yang dikemukakan para ahli kebijakan
publik tetap penting sebagai acuan. Bahwa faktor-faktor
tersebut yang sesungguhnya memiliki peran penting
dalam pelaksanaan kebijakan, baik peran yang bersifat
menghambat atau sebaliknya mendorong.
Ada banyak faktor yang menunjukkan bahwa sejumlah
faktor teoritik sebagaimana yang dikemukakan para ahli
menjadi faktor penghambat pelaksanaan otsus. Misalnya
dalam mengelola sumber daya, khususnya yang berupa
dana dan juga perilaku mereka dalam mendistribusikan dan

Otonomi Khusus Papua 185


mengelola kewenangan besar yang dimiliki ternyata belum
sepenuhnya selaras dengan apa yang menjadi keinginan dan
sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Dari sisi isi atau konten kebijakan juga demikian
bahwa masih banyak ditemui kasus dimana masyarakat
dan juga pelaksana kebijakan di tingkat kampung dan
distrik belum sepenuhnya mengerti dan memahami maksud
sesungguhnya dari otsus. Apalagi rumusan rinci yang
diatur di dalamnya, masih banyak yang belum mengerti
dan mengetahuinya. Mereka mengetahui secara umum
bahwa ada kebijakan yang intinya memberikan dana dan
kewenangan besar untuk kepentingan masyarakat Papua.
Ini artinya ada faktor pemahaman akan isi atau
konten kebijakan yang belum sepenuhnya benar sehingga
dalam pelaksanaannya seringkali misleading dari apa yang
seharusnya dilakukan. Pemahaman bahwa otsus adalah
kebijakan ‘bagi bagi uang dan kewenangan’ adalah persepsi
dan perilaku yang keliru yang menghambat pelaksanaan
otsus.
Dengan demikian akan mudah dimengerti jika
Otonomi Khusus (Otsus) yang implementasinya sudah
berlangsung selama lebih dari 13 tahun ternyata belum
mampu mengatasi akar persoalan di Papua. Dengan
mengetahui sejumlah aktor dan faktor kunci yang menjadi
penyebab terhambatnya pelaksanaan otsus diharapkan
akan lebih mudah dicarikan jalan keluar pemecahannya.
Tanpa pemahanan yang utuh dan akurat terhadap faktor
faktor tersebut, maka solusi yang ditawarkan tidak akan
mampu mengatasi persoalan yang sebenarnya. Bisa saja
solusi tersebut kontrapduktif dengan apa yang sebenarnya
menjadi tujuan atau keinginan masyarakat Papua dalam
melaksanakan otsus.

186 Otonomi Khusus Papua


5.3. Pemerintah Daerah: Aktor Utama Pelaksana
Kebijakan
Diantara aktor atau pelaksana kebijakan yang
sangat penting dalam proses kebijakan publik adalah
pemerintah daerah (local goverment). Sejak dulu hingga
sekarang keberadaan pemerintah daerah menempati
posisi penting dalam proses pelaksanaan kebijakan karena
secara organisastoris lembaga yang disebut pemerintah
daerah adalah organ yang bersentuhan langsung dengan
masyarakat dan bertugas melaksanakan kebijakan, terlepas
siapa yang menjadi pemegang kewenangan tersebut. Di
era orde baru ketika sebagian besar kewenangan dipegang
oleh pemerintah pusat, tetapi dalam praktiknya pelaksana
kebijakan adalah pemerintah daerah melalui sistem
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Sebagai pelaksana kebijakan pemerintahan,
pemerintah daerah memiliki sejumlah organ teknis
yang memang tugas dan fungsinya dirancang sebagai
pelaksana kebijakan. Organ organ teknis ini ada di tingkat
pemerintahan provinsi hingga kampung atau kelurahan,
terlepas siapa yang memiliki kewenangan atau tanggung
jawab atas kebijakan tersebut. Di era desentralisasi seperti
sekarang ini, pemerintah daerah adalah pihak yang memiliki
kewenangan dan karenanya bertanggung jawab penuh atas
pelaksanaan kebijakan. Berbeda dengan sebelumnya ketika
kewenangan dan tanggung jawab itu berada di tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi, khususnya pemerintah
pusat sebagai konsekuensi sistem pemerintahan yang
cenderung sentralistis.
Terlepas dari sistem apapun yang digunakan dalam
mengelola pemerintahan, maka organ pelaksana kebijakan
di tingkat lokal adalah pemerintah daerah beserta

Otonomi Khusus Papua 187


jajarannya. Khususnya pemerintahan daerah di tingkat
kabupaten/kota yang menjadi titik tekan otonomi daerah,
maka di tingkat pemerintahan ini pelaksana kebijakan otsus
menjadi sesuatu yang sangat penting dan menentukan.
Oleh karena itu untuk mencermati keberhasilan atau
sebaliknya kegagalan pelaksanaan otsus dapat dilihat pada
organ pelaksana kebijakan di tingkat ini, meskipun tingkat
pemerintahan yang lain, khususnya pemerintah provinsi
dan pemerintah pusat juga memiliki peran penting dalam
proses pelaksanaan otsus.
Bisa dinyatakan bahwa aktor utama pelaksana
kebijakan otsus adalah pemerintah daerah, khususnya
pemerintah kabupaten/kota. Bukan semata karena
kebijakan otsus diberlakukan di wilayah atau daerah Papua
yang mencakup dua provinsi yaitu provinsi Papua dan
provinsi Papua Barat, tetapi secara teoritik mengacu pada
teori pelayanan publik dan juga teori desentralisasi bahwa
pemerintah daerah adalah pihak yang paling kompeten
dalam pelaksanaan kebijakan, khususnya yang berkaitan
dengan pembangunan dan pelayanan publik.
Tanpa atau dengan adanya otsus pemerintah daerah
adalah aktor utama yang mengemban tugas dan fungsi
pelaksanaan kebijakan. Bahkan jika kewenangan yang
menjadi dasar pelaksanaan kebijakan bukan melekat pada
pemerintah daerah yang bersangkutan melainkan menjadi
kewenangan pemerintah provinsi atau pemerintah pusat,
namun organ pelaksana kebijakan di daerah, baik langsung
atau tidak langsung adalah pemerintah daerah dimana
kebijakan itu dilaksanakan.
Di era Orde Baru, pemerintah pusat bersama
pemerintah daerah merupakan pihak yang melaksanakan
kebijakan di daerah melalui sistem dekonsentrasi. Hal

188 Otonomi Khusus Papua


serupa juga berlaku di era reformasi, meskipun sistemnya
telah bergeser, namun sejumlah tugas dan fungsi yang
menjadi domain pemerintah pusat dalam pelaksanaannya
juga melibatkan pemerintah daerah. Fakta ini menunjukkan
betapa pentingnya peran dan fungsi pemerintahan di
tingkat daerah, baik pemerintah provinsi atau kabupaten/
kota dalam pelaksana kebijakan.
Terlebih sekarang ini peran pemerintah daerah semakin
penting dan sangat vital terkait dengan adanya perubahan
mendasar dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang
semakin demokratis dan terdesentralisasi. Hampir semua
kewenangan pemerintahan di bidang pelayanan publik
diletakkan atau diberikan kepada pemerintah daerah
kecuali sejumlah kewenangan tertentu yang menjadi
milik atau masih digenggam pemerintah pusat karena
secara obyektif kewenangan demikian memang lebih tepat
diserahkan pemerintah pusat.
Hal demikian bukan hanya berlaku di dalam sistem
pemerintahan negara yang berbentuk kesatuan tetapi juga
berlaku di negara federal. Faktanya memang ada sejumlah
kewenangan strategis yang ruang lingkupnya nasional
menjadi tugas dan fungsi pemerintah pusat karena dianggap
tidak akan efektif jika kewenangan itu diserahkan kepada
daerah karena memang ruang lingkupnya yang nasional
dan melibatkan antar berbagai strata pemerintahan.
Di ujungnya tentu akan ditanyakan mengenai
bagaimana peranan pemerintah daerah dalam melaksanakan
otsus. Ada banyak jawaban yang bisa dikemukakan, dari
sudut yang ‘ekstrim kiri’ yang mengatakan bahwa otsus
gagal, sampai ke sudut ‘ekstrim kanan’ yang menyebut
bahwa pelaksanaan otsus itu berhasil dilaksanakan.
Diantara titik ekstrim itu tidak sedikit yang berada

Otonomi Khusus Papua 189


diantaranya atau di tengah tengah yang intinya mengakui
sejumlah keberhasilan pelaksanaan otsus, namun juga
mengakui sejumlah kegagalan yang tentunya harus
diperbaiki untuk tahun-tahun berikutnya. Dalam konteks
ini mereka mengakui bahwa peranan pemerintah daerah
sudah cukup optimal dengan berbagai keterbatasan yang
ada, meskipun diakui masih banyak ditemui kasus seperti
perilaku birokrasi atau aparat pelaksana yang belum sesuai
dengan ketentuan normatifnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya
bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
otsus, terutama yang terkait dengan kondisi topografis dan
demografis Papua yang memiliki karakter khas. Dari sisi
aparat pelaksana kebijakan, maka faktor kualitas SDM
yang terbatas merupakan kendala utama. Jumlah SDM
yang dianggap berkualitas dan memiliki kualifikasi tertentu
untuk tugas tertentu masih sulit diperoleh, sehingga SDM
yang ada, meskipun memiliki jenjang pendidikan yang
cukup, tetapi seringkali tidak relevan dengan tugas dan
fungsi yang menjadi tanggung jawabnya. Kalaupun tersedia
SDM dengan kualifikasi yang dibutuhkan, namun mereka
masih enggan untuk ditugaskan di daerah atau wilayah
yang dianggap terpencil, terutama kampung dan distrik
yang ada di pedalaman atau pegunungan.
Hal lain yang terkait dengan kualitas SDM pelaksana
kebijakan adalah kesadaran dan pemahaman mereka akan
isi kebijakan otsus yang masih belum sesuai dengan apa
yang sejatinya menjadi dasar dan tujuan kebijakan. Hal
demikian kemudian juga sangat terkait dengan perilaku dan
sikap mereka dalam melaksanakan kebijakan, khususnya
aparat pelaksana yang ada di tingkat kampung dan distrik.
Meskipun telah ada perubahan paradigma dan juga

190 Otonomi Khusus Papua


ketentuan yang mendasar dalam sistem pemerintahan pasca
reformasi, namun perilaku aparat pelaksana kebijakan di
tingkat daerah, khususnya kampung dan distrik belum
sepenuhnya mampu mengikuti perubahan itu.
Masih terkait dengan perilaku aparat pelaksana
kebijakan yang dianggap belum sesuai dengan apa yang
diharapkan tersebut diyakini sangat terkait dengan masih
lemahnya kapasitas aparatur pemerintah desa, pemerintah
daerah, anggota DPRP dan MRP yang merupakan aktor
aktor penting dalam pelaksanaan otsus. Kondisi demikian
juga berakibat pada lemahnya kemampuan mereka dalam
menjabarkan dan melaksanakan apa yang menjadi misi
otsus. Masih munculnya sejumlah kasus alokasi dana
pembangunan daerah yang bersifat ‘project-oriented’ seperti
membenarkan adanya perilaku aparat yang belum sesuai
dengan apa yang diharapkan dan juga lemahnya kapasitas
kelembagaan pemerintahan.
Begitu juga sejumlah kasus yang sering disebut sebagai
bentuk inkonsistensi atau ketidakselarasan pemahaman
dan juga tindakan antara pemerintah provinsi dengan
pemerintah kabupaten dalam menjabarkan kebijakan
mengenai otsus. Dalam beberapa kasus Pemprov dianggap
‘sepihak’ dalam menjabarkan otsus karena tanpa satu
kerangka kebijakan adminstratif yang berupa Perdasus
dan Perdasi. Kondisi ini terlihat dengan jelas pada Dinas
di tingkat provinsi maupun kabupaten dalam menjabarkan
atau menfasirkan undang undang, yang dijabarkan dan
ditafsirkan menurut pemahaman mereka sendiri – sendiri,
karena lemahya dan sumir-nya payung hukum / aturan
yang dijadikan kerangka atau pedoman dalam regulasi.
Beberapa hal yang merupakan kasus atau sekedar
indikasi tersebut menunjukkan adanya pengaruh yang kuat

Otonomi Khusus Papua 191


dari struktur birokrasi pemerintahan yang mempengaruhi
pelaksanaan otsus. Khususnya yang berkaitan dengan
hubungan kewenangan antar pemerintahan, baik antara
pemerintah daerah kabupaten/kota atau antara pemerintah
kabupaten/kota dengan provinsi dan dengan pemerintah
pusat. Pola hubungan yang belum terkoordinasi dengan
baik itu nampak nyata menghambat pelaksanaan otsus.
Diperparah lagi dengan tidak adanya pembagian tugas dan
kewenangam yang jelas antara provinsi dan kabupaten,
dalam kerangka regulasi. Tidak jarang, pemerintah
provinsi melaksanakan programnya sampai ke kampung
– kampung, begitu juga kabupaten juga bekerja sampai
ke kampung, sehingga orang kampung bukan lagi menjadi
subjek pembangunan, tetapi malah dijadikan sasaran
pembangunan atau objek pembangunan.
Hingga kini, persoalan koordinasi, baik manajerial
dan program, antara propinsi, kabupaten sampai tingkat
pedesaan juga masih merupakan masalah tersendiri yang
menghambat pelaksanaan otsus. Masih munculnya program
yang saling tumpang tindih dalam proses pembangunan
adalah salah satu buktinya. Tidak jarang pemerintah
kabupaten/kota melaksanakan program pembangunan
di pelbagai daerah dan desa padahal sejatinya telah ada
program serupa yang diperkenalkan dan diinisiasi oleh
pemerintah provinsi dan juga pemerintah pusat. Artinya
memang ada sejumlah persoalan yang terkait dengan aparat
pemerintahan daerah dalam kapasitasnya sebagai pelaksana
kebijakan, mulai dari pemahaman akan isi kebijakan, sikap
dan perilaku, hingga koordinasi atau bagaimana mengelola
hubungan kewenangan antar pemerintahan daerah dan
pusat.

192 Otonomi Khusus Papua


5.4. Peran dan Posisi Pemerintah Pusat dalam Otsus
Secara konsepsional perlu dipahami bahwa kewenangan
otonomi apapun jenis dan bentuknya, tidak terkecuali
otonomi khusus yang dimiliki pemerintah daerah Papua
adalah sesuatu pemberian yang berasal dari pemerintah
pusat sebagai konsekuensi dari sistem pemerintahan
negara kesatuan. Konsep demikian berbeda dengan sistem
negara federal atau federasi yang memiliki logika atau alur
sebaliknya, dimana sumber kekuasaan pemerintahan itu
berasal dari masing-masing negara bagian. Masing-masing
negara bagian yang kemudian bersepakat dalam bentuk
konstitusi untuk memberikan bagian kewenangan yang
sejatinya milik masing-masing negara bagian guna dikelola
atau menjadi domain negara federal.
Pemahaman seperti ini penting sehingga tidak
misleading dalam memahami pola hubungan kewenangan
antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat di
negara kesatuan. Intinya ada perbedaan mendasar dalam
hal pola hubungan kewenangan antara negara kesatuan
dengan federal. Bahkan antar pemerintah daerah sendiri
juga memiliki konstruksi konsepsional yang berbeda
antara negara yang menganut sistem federal dan unitaris,
meskipun tentu saja banyak kesamaan atau persinggungan
diantara keduanya.
Umumnya, di sebuah negara kesatuan memiliki
konstruksi pola hubungan pemerintahan berbeda dengan
negara federal, meskipun tidak berarti di negara federal itu
kewenangan pemerintah daerah lebih besar dari pemerintah
daerah di negara kesatuan. Umumnya demikian, tetapi
tidak sedikit negara yang secara formal menganut sistem
federal, tetapi pola hubungan kewenangan antara pusat dan
daerah cenderung sentralistis. Sementara itu tidak sedikit

Otonomi Khusus Papua 193


negara kesatuan memiliki pola hubungan yang sangat
terdesentralistis, sebagaimana Indonesia pasca reformasi.
Meskipun Indonesia konsisten menganut sistem
unitaris, tetapi otonomi luas yang diberikan kepada
daerah, termasuk otonomi khusus kepada beberapa daerah
membuktikan bahwa Indonesia pasca reformasi adalah
Indonesia yang sangat ‘federalis’. Hanya saja semua itu harus
tetap dikembalikan pada format dasarnya bahwa Indonesia
adalah negara kesatuan, sehingga sistem pemerintahan dan
pola pembagian kewenangannya harus tetap mengacu pada
konsep dasar negara kesatuan yang pada dasarnya berbeda
dengan negara federal.
Dalam konteks ini otonomi khusus Papua yang
merupakan pengembangan lebih lanjut dari penerapan
otonomi luas yang diberikan kepada pemerintahan daerah
di Indonesia tidak boleh lepas dari konsep dan konstruksi
dasarnya bahwa semua itu berdiri dan dibangun di atas
sistem negara kesatuan yang dianut Indonesia. Segala
tindakan atau apapun upaya yang dimaksudkan untuk
merubah atau menyempurnakan kebijakan otonomi
khusus sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat
sebagai pemilik kewenangan pemerintahan yang kemudian
didistribusikan ke pemerintahan daerah.
Apapun upaya yang dilakukan pemerintah daerah
terkait otonomi khusus harus dipahami dalam sistem
negara kesatuan dan bukan negara bagian. Seberapa
besar kewenangan yang diberikan kepada daerah sejatinya
adalah tidak terlepas dari pemerintah pusat. Pemerintahan
daerah di wilayah Papua bukanlah negara bagian, meskipun
kewenangan yan dimiliki sekarang melalui kebijakan otsus
bisa dikatakan sama besar atau bahkan lebih besar dari
negara sebuah negara yang menganut sistem federalis.

194 Otonomi Khusus Papua


Banyak studi yang menyatakan bahwa kewenangan
pemerintahan daerah di Indonesia sesungguhnya jauh lebih
besar dari kewenangan serupa di sejumlah negara yang
menganut sistem federal, misalnya Nigeria dan sejumlah
negara lain baik di Amerika Latin dan Asia Tenggara seperti
Malaysia.
Point penting dari pemahaman demikian dalam konteks
pelaksanaan otonomi khusus Papua adalah bahwa peranan
dan pengaruh pemerintah pusat dalam pelaksanaan otsus
sangat besar dan menentukan. Meskipun sebagian besar
kewenangan penyelenggaraan pemerintahan di Papua
telah diserahkan kepada pemerintah daerah, namun secara
substantif pemerintah pusat memiliki sejumlah ‘kartu
truf’ yang jika keberadaannya digunakan atau sebaliknya
tidak digunakan memiliki pengaruh terhadap hasil dari
pelaksanaan otsus.
Fakta demikian nampak nyata di awal awal
pelaksanaan otsus, dimana pada saat itu masyarakat
Papua sangat bersemangat untuk segera melaksanakan dan
merealisasikan apa yang menjadi tujuan Otsus. Pada kurun
waktu itu pemerintah pusat terkesan lamban dan hati hati
sehingga muncul sejumlah tudingan bahwa pemerintah
pusat berusaha menghalangi pelaksanaan otsus. Terlebih
ketika presiden Megawati mengeluarkan kebijakan di tahun
2003 yang dianggap kontratorudktif bagi pelaksanaan otsus,
meskipun kebijakan tersebut bertajuk untuk mempercepat
dan menyempurnakan pelaksanaan otsus.
Kondisi yang agak berbeda terjadi pada kurun waktu
selanjutnya, ketika pimpinan pemerintahan Indonesia
berada di tangan SBY. Setelah sebelumnya muncul
UU Pemerintahan pada tahun 2004 yang merupakan
penyempurnaan UU pemerintahan daerah tahun 1999

Otonomi Khusus Papua 195


maka secara perlahan presiden SBY berusaha mempercepat
pelaksanaan otsus dengan sejumlah kebijakannya. Tercatat
pada tahun 2007, SBY mengeluarkan kebijakan untuk
mempercepat pelaksanaan otsus yang di dalamnya berisi
‘pengakuan’ secara tidak langsung akan keberadaan
provinsi Papua Barat yang sebelumnya banyak mendapat
sorotan dan tanggapan pro dan kontra.
Pada era SBY ini dan masih berlangsung hingga
sekarang, dilakukan berbagai upaya untuk mempercepat
pembangunan Papua, baik melalui serangkaian kebijakan
dan pendirian lembaga ad-hoc seperti UP4B. Artinya
ada upaya yang semakin baik dan sungguh sungguh dari
pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah untuk
melaksanakan otsus. Berbeda dengan sejumlah pihak di
Papua yang sebelumnya aktif mendesak pemerintah untuk
melaksanakan otsus, berubah cenderung pasif dan pesimis.
Muncul upaya-upaya untuk mendelegitimasi keberadaan
otsus dengan menyebutnya sebagai kebijakan yang gagal
dan karenanya harus dikembalikan atau diganti dengan
kebijakan baru yang sama sekali berbeda.
Bagi mereka yang pasif dan bahkan pesimis terhadap
otsus sebagai kebijakan yang dianggap gagal dilaksanakan
melihatnya dari perspektif kepentingan politik, dimana
otsus diperlakukan sebagai sasaran antara. Ketika otsus
mulai membuahkan hasil, meskipun disadari masih
banyak kelemahan, maka mereka sangat menyadari
bahwa keberhasilan otsus sama artinya dengan semakin
hilangnya kesempatan mereka untuk merdeka lepas dari
NKRI. Kesadaran sebaliknya juga semakin mengkristal
di sejumlah unsur masyarakat dan juga pemerintah, baik
pemerintah daerah dan pemerintah pusat bahwa otsus
sesungguhnya merupakan taruhan bagi integrasi Papua di

196 Otonomi Khusus Papua


dalam NKRI. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah, baik
pusat dan daerah untuk mensukseskanya karena resikonya
sangat besar dan mahal jika pelaksanaan otsus tidak
berhasil dilaksanakan dengan baik.
Dalam konteks ini bisa dipahami jika ada respon
positif dari sebagian kalangan yang bisa direpresentasikan
mewakili unsur pemerintah pusat dalam merespon
usulan untuk menyempurnakan kebijakan otsus, dengan
sebutan otsus plus-plus yang intinya dimaksudkan
untuk mempercepat pelaksanaan otsus Papua. Meskipun
demikian, tidak sedikit pihak, terutama dari kalangan DPR
yang mengambil sikap dan posisi hati-hati terhadap upaya
yang cenderung berusaha merubah atau menyempurnakan
otsus. Mereka ini lebih memiliki posisi untuk fokus terhadap
upaya melaksanakan otsus itu secara konsisten, meskipun
tetap saja dibuka opsi untuk menyempurnakannya, tetapi
ide dasarnya tetap yaitu kebijakan otsus sebagai dasar
pijakannya.
Dari uraian singkat tersebut nampak sekali bahwa
unsur pemerintah pusat merupakan unsur atau faktor
penting dalam pelaksanaan otsus. Oleh karena itu, ketika
otsus dianggap gagal atau sebalikya berhasil, maka hal
demikian tidak lepas dari peranan pemerintah pusat. Hal
demikian berbeda dengan konsep negara federal dimana
tanggung jawab itu sebagian besar atau bahkan bisa
dibebankan kepada pemerintah daerah atau negara bagian,
dimana peran dan campur tangan pemerintah pusat relatif
minimal. Tidak demikian dengan negara kesatuan, dimana
peran dan campur tangan pemerintah pusat terhadap
‘urusan’ pemerintah daerah tetap saja penting dan signifikan
pengaruhnya. Meskipun urusan atau kewenangan itu secara
tegas dinyatakan menjadi domain pemerintah daerah,

Otonomi Khusus Papua 197


tetapi tetap saja peran dan fungsi pemerintah pusat menjadi
unsur yang sangat menentukan, misalnya soal besaran
dana yang dikucurkan untuk melaksanakan kebijakan dan
kebijakan-kebijakan lain yang terkait dengan urusan atau
kewenangan daerah.
Kondisi demikian yang menjadi salah satu
persoalan yang seringkali kontraproduktif dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan. Di satu sisi, seringkali
muncul sikap tidak puas dari pemerintah daerah yang
merasa kewenangannya tidak cukup, meskipun sebagian
besar kewenangan pemerintahan dalam pelayanan publik
dan juga pembangunan telah diserahkan ke daerah. Di
sisi lain, masih saja muncul kecurigaan pemerintah pusat
bahwa kewenangan besar yang dimiliki daerah akan
disalahgunakan dan menyimpang dari tujuan dasarnya,
misalnya untuk mendorong kegiatan separatisme. Polemik
yang melibatkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat
terkait penggunaan simbol simbol daerah seperti berdera
daerah adalah buktinya.
Faktanya memang di satu sisi, meskipun kewenangan
pemerintah daerah yang diberikan otsus sudah cukup besar
laksana kewenangan yang dimiliki negara bagian dalam
sistem federal, namun dalam pelaksanaannya dirasakan
masih belum cukup. Mungkin yang dianggap belum cukup
itu terkait implementasi kewenangan yang masih sering
direcoki atau diganggu oleh pemerintah pusat yang dianggap
belum ikhlas melepaskan kewenangannya, sehingga
mencari celah (loopholes) yang ada di undang-undang atau
kebijakan. Lebih dari itu seringkali ada motivasi ekonomi-
politik seperti soal rezeki yang kemungkinan akan diperoleh
berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki.

198 Otonomi Khusus Papua


Nampak jelas bahwa persoalan hubungan kewenangan
menjadi sesuatu yang krusial dan kritikal, meskipun
secara normatif pemerintah daerah Papua telah mendapat
kewenangan yang demikian besar. Hanya saja kewenangan
yang besar itu masih saja dianggap belum cukup dan perlu
diperluas lagi lingkup dan cakupannya, sehingga tidak
mudah diganggu oleh kewenangan yang dimiliki pemerintah
pusat. Asumsinya dengan kewenangan yang semakin
luas dari kewenangan yang ada sekarang diharapkan
pelaksanaan otsus bisa lebih mudah dan berhasil mencapai
tujuanya.
Asumsi demikian tersirat dari pernyataan pejabat
pemerintahan di Papua. Sebagai contoh dalam satu
kesempatan, Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe
pernah menyatakan bahwa implementasi Undang-Undang
(UU) Otonomi Khusus (Otsus) di wilayah paling timur di
Indonesia, tak berjalan baik. Hal itu dikarenakan sebagian
besar kewenangan pemerintah provinsi lebih dikuasai
pemerintah pusat. Maksud pernyataan ini tentu saja
bukan untuk menilai pelaksaaan otsus yang gagal, tetapi
terkendala oleh persoalan kewenangan, sehingga ada alasan
untuk menambah kewenangan yang artinya kebijakan otsus
perlu disempurnakan.
Sebagaimana banyak diberitakan media, bahwa pada
tanggal 14/5/2013 Gubernur terpilih ini pernah menyatakan
bahwa: “Saat ini, sebagian besar kewenangan pemerintah
Provinsi Papua lebih dikuasai pemerintah Pusat, seperti
halnya soal perizinan usaha kelautan, perikanan dan
perkebunan, yang mana masih dikuasai oleh pusat, sementara
wilayah pengelolaannya berada di wilayah itu sendiri.”
Lebih lanjut dikemukakan bahwa UU Otsus Papua hanya
bagus di permukaan, namun dalam implementasinya sulit

Otonomi Khusus Papua 199


dan tidak berjalan baik. Atas dasar itu Gubernur meminta
agar kewenangan khusus untuk Pemerintah Provinsi Papua
diperluas. Tujuannya agar pihak pemerintah daerah bisa
lebih luas mengatur dan mensejahterakan rakyat.
Dari serangkaian fakta yang dikemukakan di atas bisa
dimaknai betapa pentingnya peranan pemerintah pusat,
sekalipun sebagian besar kewenangan pemerintahan telah
diserahkan kepada daerah. Faktanya, dalam beberapa
kasus tertentu, pemerintah daerah seolah tidak berkutik
atau tidak bisa berbuat banyak ketika berhadapan
dengan kebijakan yang berasal dari pusat. Terlepas dari
persoalan, apakah hal demikian lebih merupakan persoalan
manajemen pemerintahan, ataukah memang karena besar
kecilnya kewenangan yang ada yang dianggap tidak cukup
sehingga pelaksanaan otsus di Papua dianggap terkendala
oleh sikap dan perilaku pemerintah pusat, maka yang jelas
bahwa peran dan posisi pemerintah pusat masih sangat
menentukan dalam pelaksanaan otsus atau kebijakan yang
berkaitan dengan pemerintahan daerah karena sistem
pemerintahan yang ada mengacu pada model atau konsep
negara kesatuan.

5.5. Peranan dan Posisi DPRP-PB dan MRP


Selain pemerintah daerah, maka lembaga lain yang
tergolong sebagai penyelenggara pemerintahan di Papua
yang memiliki peranan penting dalam pelaksanan otsus
adalah lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rayat
Papua (DPRP) dan juga Majelis Rakyat Papua. Kedua
lembaga ini bersama pemerintah daerah memiliki peran
penting dalam membuat Perdasi dan juga Perdasus yang
notabene adalah kebijakan sebagai tindak lanjut dari otsus
yang berlaku di Papua.

200 Otonomi Khusus Papua


Tidak heran jika lembaga ini seringkali menjadi sasaran
kesalahan atau kambing hitam ketika sejumlah Perdasi
dan Perdasus yang dibutuhkan sebagai penjabaran lebih
lanjut dari Otsus itu tidak segera muncul atau diterbitkan.
Ada banyak alasan yang bisa digunakan sebagai alasan
atau bahkan sekedar apologi bahwa kebijakan demikian
selain tidak mudah, juga melibatkan berbagai kepentingan
yang sulit dicarikan titik temu, termasuk kepentingan
pemerintah pusat.
Selain itu kedua lembaga ini juga memiliki peran
dan fungsi sebagaimana peran dan fungsi yang diemban
pada umumnya lembaga legislatif, yaitu kewenangan
legislasi, anggaran dan pengawasan. Ketiga kewenangan
dasar tersebut ternyata masih belum optimal dalam
pelaksanaannya, sehingga pelaksanaan otsus juga menjadi
terkendala karenanya, khususnya jika dikaitkan dengan
pencapaian tujuan kebijakan.
Tentu saja fenomena demikian bukan hanya khas
daerah Papua, khususnya daerah hasil pemekaran yang
ada di tingkat kabupaten/kota baik di provinsi Papua dan
juga provinsi Papua Barat. Fenomena serupa juga terjadi
di daerah lain di Indonesia, terutama daerah pemekaran
dan daerah lain yang berada di luar Jawa. Bahkan secara
umum, peran dan fungsi lembaga legislatif di daerah belum
sepenuhnya mantap dalam arti mampu mengimbangi secara
efektif (check and balances) terhadap peran dan fungsi
serupa yang dimainkan oleh lembaga eksekutif di daerah.
Sungguh fenomena ini selain harus dicermati juga
keberadaannai tidak bisa dianggap enteng meskipun ia
bukanlah lembaga yang secara langsung terlibat dalam
pelaksanaan otsus. Terkait peran dan fungsinya dalam
bidang pengawasan, anggaran dan juga legislasi membuat

Otonomi Khusus Papua 201


lembaga ini secara normatif sangat penting peranannya
dalam mengawal proses pelaksanaan otsus terutama jika
dikaitkan dengan pencapaian tujuan yang diharapkan
masyarakat. Artinya melalui pengawasan yang efektif,
lembaga ini dapat mendorong dan sekaligus memastikan
tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan otsus, seperti
dalam pengelolaan dana otsus dan juga penyalagunaan
kewenangan pemerintahan.
Melalui pengawasan yang yang efektif lembaga ini
dapat mendorong agar program atau kebijakan yang terkait
dengan pelaksanaan otsus diimplementasikan sesuai SOP.
Juga meluruskan jika ada penyimpangan terhadap arah
dan tujuan otsus, sehinga setiap sen dana otsus bisa dikelola
dan distribusikan dengan efektif dan efisien. Intinya, aspek
pengawasan menjadi sesuatu yang penting dan krusial,
untuk memastikan bahwa tujuan kebijakan itu bisa dicapai
secara tepat, sehingga akuntabilitas kebijakan otsus juga
bisa diharapkan lebih baik hasil dan manfaatnya.
Jika di sejumlah daerah lain, keberadaan lembaga
legislatif dianggap masih menghadapi berbagai kendala,
terkait kualitas SDM yang dimiliki karena proses
rekrutmen politik yang kurang baik, maka hal serupa
juga berlaku di Papua. Persoalannya bukan pada pilihan
terhadap sistem demokrasi yang digunakan, tetapi lebih
pada implementasi dari sistem tersebut. Logika serupa juga
berlaku pada kebijakan otonomi khusus yang secara umum
sudah cukup baik substansinya, tetapi implementasinya
yang ternyata tidak mudah dilakukan. Hal demikian antara
lain disebabkan oleh aktor-aktor penting dalam proses
implementasi kebijakan belum berperan optimal. Diantara
aktor yang belum berperan optimal adalah lembaga
legislatif.

202 Otonomi Khusus Papua


Masih lemahnya koordinasi diantara penyelenggara
pemerintahan daerah, baik antara eksekutif dan legislatif
juga menjadi faktor penghambat pelaksanaan otsus. Masih
ada kesan pemerintah daerah berjalan sendiri sendiri dan
sulit diawasi oleh DPRP. Mereka baru melakukan koordinasi
ketika persoalan sudah membesar dan ‘sulit dipadamkan’.
Secara umum, koordinasi antar elit pemerintahan, baik di
legislatif dan eksekutif masih menjadi agenda yang perlu
ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Sayangnya tidak
ada mekanisme atau peraturan mengenai koordinasi antar
lembaga di antara pelbagai badan pemerintah; MRP,
DPRD dan Gubernur serta unsur –unsur penyelenggara
pemerintahan yang lain.
Fakta demikian nampak nyata di 5 tahun awal
pelaksanaan Otsus, dimana hanya satu Peraturan Daerah
yang telah dibuat yakni Perda Provinsi Papua No. 4/2005
mengenai mekanisme pengangkatan anggota MRP. Tidak
salah jika ketika itu sering dikemukakan bahwa salah satu
hambatan pelaksanaan otsus timbul dari ketiadaan kerangka
kebijakan administratif seperti Perda dan Perdasus yang
seharusnya telah ditetapkan paling tidak dua tahun sesudah
otsus diberlakukan seperti yang dinyatakan oleh UU No.
21/2001 pasal 75. Dalam kaitan ini peningkatan kapasitas
badan-badan Pemerintah perlu dilakukan untuk membuat
Perda dan Perdasus serta kebijakan lain yang diperlukan
untuk meningkatkan atau mempercepat pelaksanaan otsus.
Meskipun kondisinya sekarang lebih baik, tetapi aspek
kordinasi antar unsur utama penyelenggara pemerintahan
di daerah di wilayah Papua masih belum sepenuhnya efektif.
Lembaga eksekutif masih terlalu menonjol jika dibandingkan
dengan lembaga legislatif, meskipun di dalamnya bukan
hanya ada DPRP tetapi juga MRP yang diharapkan dapat

Otonomi Khusus Papua 203


berperan efektif dalam melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan otsus. Artinya memang ada banyak faktor yang
menjadikan kondisi seperti ini masih terus saja berlangsung
meskipun otsus telah berjalan lebih dari satu dasawarsa.
Merespon kondisi tersebut pemerintah, khususnya
Mendagri seringkali menghimbau pemerintah daerah
Papua agar segera menyusun Perdasus tentang Pembagian
dan Pengelolaan Penerimaan dalam rangka Pelaksanaan
Otonomi Khusus Papua antara Provinsi dan Kabupaten/
Kota. Keberadaan Perdasus ini penting karena akan
menentukan komposisi mengenai bagaimana alokasi dana
otsus itu akan dialokasikan dan didistribusikan. Bagaimana
alokasi dana otsus bagi Provinsi yang sebesar 30% dan
Kabupaten/Kota sebesar 70% diatur secara proporsional
dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti luas
wilayah, jumlah penduduk, kondisi geografis, tingkat
kesulitan wilayah, pendapatan asli daerah, penerimaan
pajak bumi dan bangunan, dan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB). Tentu saja pengaturan demikian memerlukan
keahlian bukan hanya dari sisi akuntansi atau keuangan,
tetapi juga keahlian di bidang-bidang lain.
Saat ini memang telah ada Perdasus yang mengatur
tentang penggunaan Dana Otonomi khusus, namun
Pemerintah Daerah Papua dalam praktiknya masih
mengacu pada Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Selain itu,
Peraturan Gubernur yang mengatur tentang alokasi Dana
Otonomi khusus untuk tiap kabupaten belum tersedia.
Tidak tersedianya peraturan-peraturan pendukung yang
diperlukan dalam menunjang UU No.21 Tahun 2001 di
Papua menyebabkan kebijakan tersebut kurang efektif.
Fakta ini bisa dimaknai bahwa Perdasus yang terkait

204 Otonomi Khusus Papua


tentang dana otsus itu memang masih belum menjawab
apa yang menjadi kebutuhan penyelenggara pemerintahan
di daerah, sehingga belum sepenuhnya mampu dijadikan
rujukan untuk hal hal yang sifatnya teknis dan operasional.
Kiranya tidak berlebihan jika pemerintah pusat
senantiasa mengingatkan Pemerintah daerah dan DPR
Papua dan Papua Barat (DPRP- PB) untuk senantiasa
meningkatkan kapasitas kelembagaan dan SDM-nya. Juga
meningkatkan komunikasi formal dan konstruktif diantara
lembaga penyelenggara pemerintahan daerah dalam rangka
memaksimalkan pelaksanaan Otonomi khusus (Otsus) yang
kini sudah lebih dari separuh penjalanan sesuai dengan
jadwal atau waktu yang ditentukan yaitu 25 tahun dari 1
Januari 2002.
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM
diperlukan bukan hanya untuk meningkatkan kinerja tiga
tugas pokok DPRP-PB yaitu tugas dibidang pengawasan,
penganggaran dan legislasi, tetapi juga untuk mendorong
pelaksanaan otsus agar lebih baik daripaa yang ada sekarang.
Koordinasi diperlukan antara lain untuk menyusun sebuah
strategi pelaksanaan otsus yang lebih baik daripada yang
ada sekarang. Artinya, antara pihak pemerintah derah yang
diwakili Gubernur dan pihak legislatif yang diwakili DPRP-
PB dan MRP harus sering duduk dan berkomunikasi guna
menyamakan persepsi untuk mendorong regulasi-regulasi
yang dapat memaksimalkan implementasi otsus di Papua
dan Papua Barat.
Uniknya, dari sisi pembuatan kebijakan justru yang
aktif sekarang adalah pemerintah pusat yang mengelurkan
sejumlah kebijakan yang intinya dimaksudkan untuk
mempercepat pelaksanaan otsus. Meskipun semua itu
atas usulan pemerintah daerah, tetapi seharusnya kondisi

Otonomi Khusus Papua 205


terbalik bahwa pemerintah daerah bersama DPRD (P-BB)
yang membuat serangkaian kebijakan terkait pelaksanaan
otsus untuk mendapat legitimasi dari pemerintah pusat,
karena sistemnya sekarang sudah sangat terdesentralisasi.
Jika ternyata, pihak yang aktif adalah pemerintah pusat dan
jajarannya, maka sesungguhnya ada yang salah dan perlu
dibenahi terkait dengan pelaksanaan otsus khususnya di
bidang regulasi atau kebijakan. Contoh kecil ini bisa menjadi
pentunjuk bahwa secara kelembagaan dan SDM masih
banyak persoalan yang perlu dibenahi dan ditingkatkan
dalam rangka pelaksanaan otsus Papua.

5.6. Faktor Pengelolaan Dana Otsus


Selain kewenangan pemerintahan yang sering
dipersoalkan karena dianggap kurang besar atau kurang
luas, maka persoalan besaran dana juga demikian.
Keduanya dalam sistem desentralisasi seperti dua sisi
mata uang yang sama, yang berarti masing masing
sisinya sangat menentukan keberadaan uang itu
sendiri. Besarnya kewenangan yang diberikan kepada
daerah otonom hana akan berjalan efektif jika didukung
oleh besaran dana yang memadahi atau mencukupi
untuk melaksanakan kewenangan tersebut kemudian
mempertanggungjawabkannya. Begitu juga sebaliknya,
dana yang besar tidak akan efektif pengelolaannya, terutama
dalam hal alokasi dan distribusinya jika lembaga pelaksana
kebijakan yaitu daerah otonom tidak memiliki kewenangan
yang cukup berkaitan dengan apa yang menjadi tanggung
jawabnya.
Desentralisasi, apapun bentuk dan sebutannya,
apakah itu otonomi luas, otonomi khusus atau penamaan
lain yang mengikutinya, adalah sistem atau model

206 Otonomi Khusus Papua


pengelolaan pemerintahan yang hanya bisa dilaksanakan
dengan baik jika ada uang atau dana yang cukup. Tentu
saja harus didukung faktor lain seperti faktor sumber daya
manusia yang berkualitas dan tersedia dalam jumlah yang
cukup pula. Begitu juga didukung struktur birokrasi yang
efektif serta perilaku pelaksana yang sesuai dengan apa
yang menjadi ketentuan dalam SOP dan prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik.
Keberadaan dana atau lebih spesifik uang dalam
sistem desentralisasi ibarat darah dalam tubuh manusia,
yang akan dialirkan ke seluruh tubuh untuk menggerakkan
organ organ tubuh yang lain dalam mencapai misi yang
diharapkan oleh ‘otak’ kebijakan. Bahkan dalam sistem
pemerintahan yang tergolong sentralistikpun aspek dana
menjadi sesuatu yang sangat penting dan menentukan,
karena ia ibarat darah yang bisa dikonversi menjadi sumber
tenaga untuk menggerakkan organ tubuh dalam mencapai
tujuannya.
Desentralisasi dalam arti kewenangan yang besar
hanya akan bermakna jika diikuti dengan tesedianya dana
yang juga besar. Bukan hanya dana yang besar tetapi juga
kewenangan yang besar dalam mengelola dana dan kemudian
mempertanggungjawabkanya. Tidak berhenti sampai disitu
bahwa kedua aspek yaitu dana dan kewenangan yang
besar masih dipengaruhi oleh aspek sumber daya manusia
yang sejatinya juga menjadi faktor kunci dalam mengelola
kewenangan dan juga dana tersebut.
Bisa dibayangkan apa jadinya jika kewenangan yang
besar tanpa tersedia dana yang juga besar, maka sama juga
bohong. Begitu juga sebaliknya, bahwa dana yang besar,
tetapi tanpa kewenangan yang besar atau sepadan, tidak
akan membuahkan hasil yang sepadan. Bisa saja yang terjadi

Otonomi Khusus Papua 207


sebaliknya, khususnya bagi peran dan fungsi pelaksana
kebijakan yang terdistorsi laksana sebuah mesin atau
benda mati. Tidak terkecuali aparat pelaksana di tingkat
rendahan yang tidak memiliki peran dan fungsi penting
dalam mengelola dana dan kemudian mempertanggung
jawabkannya ketika ia diperlakukan sekedar sebagai mesin
pelaksana.
Dalam sistem pemerintahan yang menganut pola
desentralisasi, maka kewenangan dan dana yang besar
adalah satu paket atau satu kesatuan. Sementara itu SDM
adalah faktor lainnya, bersama faktor perilaku dan struktur
birokrasi memiliki peranan besar dalam implementasi
kebijakan yang terkait daerah otonom.
Lalu bagaimana dengan wilayah Papua yang memiliki
kewenangan dan dana yang juga besar melalui otsus yang
diberikan oleh pemerintah pusat? Sesungguhnya dana dan
kewenangan besar adalah sebuah alat, dan sepenuhnya
sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia
dan perilakunya. Sebagai sebuah alat kebijakan, maka
pengelolaan kewenangan dan juga dana yang relatif besar
itu harus diawasi dan dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat dan wakil wakilnya.
Dalam hal ini aspek manajemen atau pengelolaan
kewenangan termasuk di dalamnya dana dan unsur
sumber daya manusia (resources) beserta perilakunya
menjadi unsur yang penting. Tidak heran jika sejumlah
pihak sering mempertanyakan mengenai penyaluran dana
otsus Papua dan juga besarannya. Sejak 2002 hingga
2010 sudah dicairkan pemerintah pusat mencapai Rp28,8
triliun kepada Provinsi Papua dan Papua Barat. Sementara
data tahun 2012 menunjukkan bahwa total dana otsus
yang telah digelontorkan lebih dari angka Rp 30 triliun

208 Otonomi Khusus Papua


untuk kedua provinsi tersebut. Sayangnya dari audit yang
dilakukan pemerintah, termasuk yang dilakukan BPK
ternyata menunjukkan sejumlah fakta terjadinya praktik
manajemen atau pengelolaan kekuangan yang belum sesuai
dengan SOP, bahkan beberapa diantaranya disinyalir telah
terjadi pelanggaran hukum atau penyalagunaan kekuasaan
yang berindikasi korupsi.
Tercatat pada 2012, pemerintah mengucurkan dana
Otsus sebesar Rp 3,83 triliun untuk provinsi Papua dan Rp
1,64 triliun untuk provinsi Papua Barat. Artinya alokasi
dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 naik 23
persen dibanding pada 2011. Faktanya hampir setiap tahun
terjadi peningkatan atau kenaikan signifikan terhadap
dana otsus yang dikucurkan pemerintahan, paralel dengan
lahirnya kebijakan yang dimaksudkan untuk mempercepat
pembangunan Papua dan juga pembentukan lembaga ad-
hoc yang diberi mandat untuk membantu pemerintah
daerah dalam melaksanakan otsus yang dianggap masih
banyak menghadapi kendala dalam implementasinya.
Ringkasnya, pemerintah pemerintah pusat telah
mengeluarkan kebijakan berupa dana otsus dalam jumlah
yang besar. Provinsi Papua dan provinsi Papua Barat
adalah penerima dana terbesar dibandingkan provinsi lain.
Total dana yang diterima pada tahun 2008 adalah Rp 28
triliun yang terdiri dari Rp 21 triliun untuk Papua dan Rp
7 triliun Papua Barat. Dengan asumsi jumlah penduduk
di dua provinsi itu 3 juta orang, maka setiap rakyat Papua
dari bayi sampai orang tua mendapat alokasi Rp 10 juta
per orang per tahun. Bila satu keluarga lima orang, maka
satu keluarga mendapat alokasi dana Rp 50 juta per tahun.
(Sinar Harapan, 16 Februari 2008)

Otonomi Khusus Papua 209


Dana yang besar tersebut merupakan dana yang
diperoleh dari Dana Otsus, belum ditambah lagi dengan dana-
dana yang disumbangkan program bantuan internasional,
baik bilateral maupun multilateral yang khusus dialokasikan
untuk pembangunan tanah Papua. Tidak berlebihan jika
semua pihak mengharapkan dapat memberikan dampak
yang signifikan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
masyarakat Papua – terutama orang asli Papua – melalui
penyediaan fasilitas-fasilitas mendasar seperti pelayanan
pendidikan, kesehatan, makanan dan gizi maupun sarana
dan prasarana sosial dasar dapat tercukupi semuanya
Sayangnya anggaran sebesar itu tidak akan berarti
banyak sepanjang dana tersebut tidak mampu dikelola
dengan baik. Dengan bahasa lain, dana otsus yang
besar tidak akan banyak manfaatnya jika distribusi dan
alokasinya tidak tepat. Pada beberapa hal, memang terjadi
pembangunan yang massive di wilayah Papua yang sumber
pembiayaannya dari dana otsus. Sayangnya, beberapa
proyek-proyek pembangunan tersebut hanya memperbesar
cash outflow bukan cash inflow, karena miskin output yang
benar-benar berasal dari Papua. Dugaan inefesiensi dalam
pelaksanaan program tersebut selama ini memang tidak
terlihat karena lagi-lagi bisa tertutup dengan dana otsus
yang besar.
Artinya memang ada persoalan krusial terkait dengan
pengelolaan dana otsus, khususnya mengenai alokasi dan
pendistribusiannya yang dianggap masih belum tepat
sasaran sesuai dengan yang menjadi tujuan otsus. Sistem
pengelolaan yang selama ini digunakan masih menyimpan
sejumlah persoalan. Misalnya model penggelontoran
dana langsung, menurut beberapa kalangan dianggap
kontraproduktif terhadap masyarakat. Seringkali dana

210 Otonomi Khusus Papua


tersebut (dalam bentuk tunai) habis untuk konsumsi dan
bukan untuk mengembangkan perekonomian masyarakat
atau mereka yang menjadi target kebijakan. Karena
mengharapkan dana tunai tersebut masyarakat mematikan
potensi inovasi dan kewirausahaan mereka. Sementara
dana yang benar-benar terarah untuk pengembangan
perekonomian kerakyatan seringkali tidak tersedia dalam
jumlah yang cukup dan mudah diakses.
Mencermati kondisi tersebut kebijakan pengelolaan
termasuk pencairan dana otsus ke depan harus dipantau
secara lebih ketat lagi untuk menjamin efektivitasnya
terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua;
penanggulangan kemiskinan; pembangunan sekolah-
sekolah termasuk pengadaan guru-guru, sarana, dan
prasarana pendidikan yang layak; pembangunan fasilitas
kesehatan masyarakat; serta pembangunan infrastruktur
sosial yang layak dan merata di seluruh daerah. Di
samping itu, juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
penyelewengan dana otsus Papua, dimana sejumlah kasus
yang sudah cukup bukti harus diusut secara tuntas untuk
menemukan aktor-aktornya yang harus bertanggung jawab,
modus operandinya, dan langkah preventif untuk perbaikan
pengelolaan dana Otsus ke depan.
Hingga kini masih sering muncul kasus yang
menunjukkan bahwa pengelolaan dana otsus terkesan
tidak efektif karena implementasi kebijakan ini yang tidak
berjalan secara baik. Padahal secara kuantitatif dana otsus
untuk Papua hingga tahun 2013 yang tidak kurang dari
angka Rp 30 Triliun seharusnya bisa diefektifkan untuk
mengatasi sejumlah persoalan dasar di Papua termasuk
mencegah munculnya konflik di Papua, baik yang sifatnya
bertikal atau horisontal. Atas dasar itu pengelolaan dana

Otonomi Khusus Papua 211


otsus Papua dan juga daerah lain di Indonesia yang
mendapat perlakuan spesial atau khusus perlu diaudit agar
peruntukannya sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya.
Dalam konteks ini peran dan fungsi pemerintah
pusat khususnya melalui Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) sangat penting dalam mengaudit dana otsus yang
telah dikucurkan pemerintah pusat untuk membangun
dan mewujudkan kesejahteraan rakyat Papua. Audit atau
apapun nama dan jenisnya sangat penting sebagai bagian
dari tindakan supervisi dan pengawasan untuk memastikan
pengelolaan dana otsus sesuai dengan peruntukan dan
tujuannya. Jangan sampai dana otsus yang jumlahnya cukup
besar itu tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Lagi pula otsus di Papua sudah berusia lebih dari satu
dekade, sehingga perlu dilakukan evaluasi guna perbaikan
dan penyempurnaan otsus pada tahun tahun mendatang.
Evaluasi tersebut tentu saja tidak hanya di bidang keuangan
atau dana otsus, tetapi juga faktor-faktor lain yang memiliki
pengaruh besar terhadap pelaksanaan otsus, seperti soal
sumber daya manusia dan perilakunya, struktur birokrasi
pemerintahan daerah dan hubungan kewenangan antar
pemerintahan dalam kaitannya dengan koordinasi dalam
melaksanakan otsus dan sebagainya. Bahkan terhadap
UU otsus itu sendiri juga terbuka kemungkinan untuk
disempurnakan terkait dengan kondisi obyektif Papua, baik
secara topografis dan demografis yang memiliki karakter
unik dan khas.

212 Otonomi Khusus Papua


BAB VI

TEORI DAN KONSEP


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

6.1. Implementasi Alat Utama Mencapai Tujuan


Sering dinyatakan bahwa suatu program kebijakan
hanya akan menjadi catatan-catatan elit, yaitu mereka yang
bertugas mengambil kebijakan, jika program tersebut tidak
diimplementasikan oleh para pelaksananya. Pendek kata
sebuah kebijakan atau program pemerintahan hanya akan
menjadi daftar keinginan jika tidak dilaksanakan. Kebijakan
adalah daftar keinginan dan untuk mewujudkannya harus
dilaksanakan. Begitu juga kebijakan berupa otsus, yang
merupakan daftar keinginan dari masyarakat Papua dan
masyarakat Indonesia pada umumnya harus dilaksanakan
agar keberadaannya tidak hanya menjadi dokumen sejarah
yang hanya akan bermakna di atas kertas.
Tidak ada pilihan lain bagi siapa saja yang mencintai
tanah Papua sebagai bagian dari NKRI untuk berusaha keras
mewujudkannya. Otsus Papua sebagai sebuah keputusan
politik yang kemudian diterjemahkan menjadi sejumlah
program kebijakan adalah bagian dari alternatif pemecahan
masalah Papua yang tentunya harus diimplementasikan
dengan cara yang efektif dan efisien.
Kemudian harus dipastikan bahwa dalam proses
pelaksanaannya, tujuan yang dikehendaki dapat dicapai

Otonomi Khusus Papua 213


dan tidak melenceng. Bukan hanya sekedar melaksanakan
sesuai SOP dan tidak sepeserpun uang atau dana otsus
yang disalahgunakan, tetapi sejauh mana pencapaian
tujuan dapat diraih itulah yang akan menjadi penentu.
Pelaksanaan yang melenceng dari tujuan kebjakan bisa
saja bermakna bahwa kebijakan itu ‘tidak dilaksanakan’,
bahkan lebih buruk lagi, karena telah membuang-buang
waktu, tenaga dan biaya.
Pencapaian tujuan menjadi sesuatu yang sangat penting
bukan hanya untuk untuk mengukur kinerja pelaksana
kebijakan, tetapi lebih dari itu untuk mewujudkan apa
yang sejatinya menjadi dasar keberadaan atau eksistensi
kebijakan. Meskipun tujuan menjadi sesuatu yang sangat
penting, tidak berarti apapun cara yang digunakan bisa
ditempuh demi pencapaian tujuan. Kinerja pelaksana
hanyalah bagian dari sarana yang digunakan untuk
mengukur keberhasilan pencapaian tujuan.
Kebijakan yang masuk kategori telah diimplementasikan
tidak cukup didasarkan pada fakta bahwa kebijakan yang
telah diputuskan telah dilaksanakan oleh badan-badan
administrasi pemerintahan dari tingkat atas hingga
tingkat bawah. Menurut Rusli (2013), kebijakan yang telah
diputuskan dan kemudian dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi publik dengan memobilisasikan sumberdaya
finansial dan manusia adalah bagian dari kegiatan proses
formal prosedural pelaksanaan dan bukan inti yang menjadi
tujuan dari pelaksanaan.
Tujuan tersebut bisa saja berupa tujuan antara atau
tujuan yang pokok, tergantung dari sudut padang mana
ia dimaknai. Dari tujuan itu kemudian sebuah kegiatan
implementasi dinilai apakah ia masuk kategori baik, sedang
atau bahkan gagal mencapai tujuannya.

214 Otonomi Khusus Papua


Dalam perspektif ini, bagi para pelaksanannya,
implementasi kegiatan atau program harus dipahami dan
kemudian dinilai dari hasil yang diraih setelah sebuah
program atau kebijakan itu dilaksanakan. Pemahaman
tersebut tidak berhenti setelah pelaksana melakukan
kegiatan, tetapi terus berlanjut hingga dicapainya sebuah
tujuan yang ditetapkan. Juga perlu dipahami bahwa
implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi
yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan kebijakan
tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan
politik, ekonomi, dan sosial atau yang sering disebut sebagai
lingkungan kebijakan.
Dengan pemahaman demikian, semua beban tanggung
jawab tidak semata-mata bertumpu pada aparat pelaksana,
karena sejatinya ia adalah salah satu unsur pelaksana
kebijakan. Dengan pengertian lain, jika ternyata hasil
berupa pencapaian tujuan itu belum berhasil diraih, maka
pihak yang harus bertanggung jawab atau menjadi faktor
penyebabnya bukan hanya aparat pelaksana kebijakan,
tetapi juga sejumlah faktor yang lain.
Faktor faktor lain itu bisa bermacam-macam jenis dan
sebutannya, tetapi intinya faktor-faktor tersebut memiliki
peran atau pengaruh yang besar dalam proses pelaksanaan
kebijakan. Sebut saja misalnya faktor topografis dan
demografis di Papua yang sudah banyak diakui memiliki
peranan dan pengaruh pelaksanaan kebijakan tidak hanya
otsus tetapi juga kebijakan yang lain.
Dalam kaitan ini keberadaan berbagai model
yang digunakan untuk melihat bagaimana kebijakan
diimplementasikan menjadi sesuatu yang sangat penting.
Yaitu penting untuk membantu mengetahui faktor-faktor

Otonomi Khusus Papua 215


mana yang mendorong atau sebaliknya menghambat
pelaksanaan kebijakan seteah ditetapkan.
Jadi arti pentingnya model-model yang didalamnya ada
faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan
itu bukan hanya untuk mengukur sejauh mana kebijakan
yang dilaksanakan telah mencapai tujuannya. Tujuan
penting tetapi keberadaannya adalah semacam panduan
atau petunjuk (guidelines) yang harus dituju pelaksana
atau stakeholders kebijakan. Sesungguhnya keberadaan
sebuah model implementasi kebijakan yang dikemukakan
sejumlah ahli administrasi publik dimaksudkan untuk
mempermudah cara melihat dan mengetahui bagaimana
kebijakan itu diimplementasikan. Dengan demikian
sesungguhnya model model tersebut yang di dalamnya ada
sejumlah faktor kunci tidak berpretensi mampu apalagi
dimaksudkan untuk memberikan gambaran hingga pada
sebuah pencapaian tujuan terutama mengenai hasil dan
manfaat dari pelaksanaan kebijakan, dalam hal ini otsus
Papua.
Diperlukan berbagai indikator dan tolok ukur yang
biasanya disebut sebagai tolok ukur kinerja (KPI) untuk
mengetahui sejauh mana pencapaian tujuan itu telah
diraih. Indikator-indikator tersebut juga bermacam-
macam jenisnya, seperti indikator output, outcome, benefit
dan impact sebagaimana yang sering dikemukakan oleh
LAN dan institusi publik di Indonesia. Oleh sebab itu
gambaran yang diberikan oleh faktor-faktor implementasi
kebijakan biasanya hanya sampai pada sebuah produk
atau output kebjakan, misalnya kegiatan pembangunan
fasilitas pelayanan kesehatan atau pendidikan sudah
dilaksanakan dengan baik sebagaimana ketentuan normatif
yang mengaturnya. Atas dasar itu kajian mengenai

216 Otonomi Khusus Papua


implementasi otonomi khusus di Papua tidak berpretensi
untuk memaparkan atau menunjukkan mengenai hasil dan
manfaat dari pelaksanaan kebijakan, meskipun secara tidak
langsung bsa dimaknai demikian.

6.2. Aktivitas Implementasi Kebijakan


Secara harfiah mudah dipahami bahwa aktivitas
implementasi adalah kegiatan atau aktivitas pelaksanaan
suatu program atau kebijakan. Namun secara teoritik dan
konsepsional makna aktivitas implementasi kebijakan
lebih luas daripada makna harfiahnya. Ia adalah sebuah
konsep yang lebih luas maknanya daripada makna harfiah
gabungan dari kedua kata yaitu aktivitas dan implementasi
atau pelaksanaan. Seperti kata good governance yang
memiliki cakupan makna teoritik dan konsepsional yang
juga lebih luas daripada gabungan kedua kata tersebut
secara harfiah atau etimologis.
Luasnya cakupan makna dan kegiatan yang bernama
implementasi kebijakan itu dapat dilihat dari rumusan
Jones (2000 : 20) dalam bukunya “An Introduction to the
Study of Public Policy”. Jones mengemukakan aktivitas
implementasi terdapat 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Organization, aktivitas pengorganisasian merupakan
suatu upaya menetapkan dan menata kembali sumber
daya (resources), unit-unit (units) dan metode-metode
(methods) yang mengarah pada upaya mewujudkan
(merealisasikan kebijakan menjadi hasil/output) sesuai
dengan apa yang tujuan dan sasaran kebijakan. (the
establishment or rearrangment of resources, units and
methods for puting a policy into effect).
2. Interpretation, aktivitas interpretasi merupakan
aktivitas interpretasi (penjelasan) subtansi dari suatu

Otonomi Khusus Papua 217


kebijakan dalam bahasa yang lebih operasional dan
mudah dipahami, sehingga substansi kebijakan dapat
dilaksanakan dan diterima oleh para pelaku dan
sasaran kebijakan (The translation of language (often
contained in a statue) into acceptable and feasible plans
and directives).
3. Application, aktivitas aplikasi merupakan aktivitas
penyediaan pelayanan secara rutin, pembayaran atau
lainnya sesuai dengan tujuan dan sarana kebijakan
yang ada.

Konsekuensi dari luasnya makna dan cakupan aktivitas


ata kegiatan implementasi kebijakan menunjukkan bahwa
aktivitas tersebut merupakan kegiatan yang rumit dan
kompleks. Untuk melukiskan kerumitan dalam proses
implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yang
dikemukakan oleh seorang ahli studi kebijakan Eugene
Bardach dalam Leo Agustino (2008:138), yaitu:
”…adalah cukup untuk membuat sebuah program
dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di
atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam
kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya
mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para
pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi
untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang
memuaskan semua orang.”

Hal demikian juga dikemukakan oleh Saefullah


(2007:39):
“...pada tingkat pelaksanaan kebijakan menyangkut
bagaimana atau sejauhmana suatu kebijakan bisa
dilaksanakan dalam dunia nyata ...... pemahaman
tentang pelaksanaan kebijakan bukan hanya dimiliki

218 Otonomi Khusus Papua


oleh aparat lembaga dan aparat pelaksana, tetapi
juga oleh masyarakat atau pihak-pihak yang menjadi
sasaran kebijakan”.

Riant Nugroho D (2003: 156) menyimpulkan dengan


sebuah kalimat sederhana bahwa implementasi kebijakan
pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai tujuannya. Sementara itu Howlet and Ramesh
(2003 : 185) menyatakan: “Its is defined as the process whereby
programs or policies are carried out, the translation of plans
into practice”. Hal ini dapat diartikan bahwa implementasi
kebijakan adalah proses pelaksanaan program-program
atau kebijakan-kebijakan, yang merupakan penerjemahan
dari rencana-rencana kedalam praktek.
Secara etimologi, kata implementasi berasal dari
bahasa Inggris “to implement”, yang artinya pelaksanaan
dan penerapan. Pengertian ini dipertegas oleh Hill and Hupe
(2002:3-4) dan Pressman and Wildavsky (1984:xxi), bahwa:
“Implementation, to us, means just what Webster
and Roger say it does: to carry out, accomplish, fulfill,
produce, complete. But what is it being implemented? A
policy, naturally. There must be something out there prior
to implementation; otherwise there would be nothing to
move toward in the process of implementation. A verb
like ‘implement’ must have an object like ‘policy’. But
policies normally contain both goals and the means for
achieving them. How, then, do we distinguish between a
policy and its implementation?

Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa pada


dasarnya implementasi adalah untuk melaksanakan
kebijakan yang harus mempunyai objek seperti kebijakan
yang dapat menimbulkan sesuatu dampak tercapainya atau

Otonomi Khusus Papua 219


tidaknya sesuatu kebijakan dengan menggunakan sarana-
sarana untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier sebagaimana
dikutip Agustino (2008: 139) mendefinisikan implementasi
kebijakan sebagai :
“Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya
dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula
berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan
eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.
Lazimnya keputusan tersebut mengidentifikasikan
masalah yang ingin diatasi, menyebutnya secara tegas
tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai
cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses
implementasinya.”

Sedangkan, Van Meter dan Van Horn, mendefinisikan


implementasi kebijakan, sebagai :
“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-
kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan
pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijaksanaan”.

Mazmanian & Sabatier (2004 : 169) menandaskan


bahwa implementasi sebagai “Pelaksanaan berbagai
keputusan, baik yang berasal dari legislatif, eksekutif
maupun yudikatif”. Pengertian di atas menggambarkan
bahwa implementasi kebijakan esensinya adalah
melaksanakan berbagai keputusan yang telah dicanangkan
oleh kelembagaan pemerintah, baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif.
Ripley dan Franklin (1982) berpendapat bahwa
implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-

220 Otonomi Khusus Papua


undang ditetapkan yang memberikan otoritas program,
kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran
yang nyata. Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah
kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang
tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan
oleh para pejabat pemerintah. Implementasi mencakup
tindakan-tindakan (tanpa tindakan-tindakan) oleh berbagai
aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk
membuat program berjalan
Sementara itu, Grindle (1980) juga memberikan
pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan
bahwa secara umum, tugas implementasi adalah
membentuk suatu kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan
kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu
kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi
mencakup terbentuknya “a policy delivery system”, dimana
sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan
harapan sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkan.
Dengan demikian, kebijakan pernyataan-pernyataan secara
luas tentang tujuan, sasaran dan sarana diterjemahkan ke
dalam program-program tindakan yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan.
van Meter dan van Horn (1974) membatasi
implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh individu-individu pemerintah maupun
swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan
sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha
untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-
tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun
dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai
perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh
keputusan-keputusan kebijakan

Otonomi Khusus Papua 221


Dalam kaitan ini Nugroho (2008 : 432) berpendapat
bahwa:
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara
agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Oleh sebab itu, untuk mengimplementasikan
suatu kebijakan ada dua pilihan, yakni langsung
mengimplementasikannya dalam bentuk program atau
melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan.
Juga, Van Meter and Van Horn (1974: 447-448) yang
menyatakan bahwa:
“Policy implementation encompasses those actions
by public or private individuals (or groups) that are
directed at the achievement of objectives set forth in prior
policy decisions.”[Implementasi kebijakan meliputi
tindakan-tindakan oleh individu umum atau pribadi
(atau kelompok) yang diarahkan pada pencapaian
tujuan yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan
sebelumnya].

Menurut LAN (2004: 25), implementasi kebijakan


memerlukan berbagai kegiatan operasional yang rinci
(detail), melekat, dan terintegrasikan dalam kehidupan
administrasi sehari-hari (every day administration life)
sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan kebijakan
merupakan kegiatan yang bersifat kompleks (complicated)
sekaligus kritis (critical). Oleh karena itu diperlukan
kesadaran dan pemahaman (pelaku pelaksana kebijakan)
terhadap kompleksitas pelaksanaan kebijakan sehingga
dapat dirumuskan dan dilaksanakan upaya sistematis dan
terencana.
Dalam konteks ini muncul sejumlah model yang
dikemukakan para ahli untuk membedah dan sekaligus
memahami yang akan berguna untuk menganalisis proses

222 Otonomi Khusus Papua


implementasi kebijakan agar ‘terlihat’ lebih mudah. Disebut
lebih mudah karena model model yang dikemukakan para
ahli itu memberikan sejumlah kriteria dan ‘rambu-rambu’
melalui sejumlah faktor yang mempengaruhi atau sebaliknya
menghambat pelaksanaan kebijakan. Diantara model-model
tersebut yang cukup terkenal dan sering digunakan sebagai
acuan dalam memahami dan menganalisis implementasi
kebijakan antara lain model yang dikemukakan George C.
Edwards III (1980), Merilee S. Grindle (1980), dan Daniel
A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983), Van Meter dan
Van Horn (1975), dan Cheema dan Rondinelli (1983), dan
David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999). Dalam buku
ini beberapa model tersebut ditambah model model lain
yang dianggap cukup populer akan di dibahas satu persatu
di bawah ini.

6.3. Model Implementasi Kebijakan


Menurut Udoji “The execution of policies is as important
if not more important that policy-making. Policies will remain
dreams or blue prints file jackets unless they are implemented”
[pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan
mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan.
Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau
rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau
tidak diimplementasikan]. Sementara itu dalam konteks
yang lain Palumbo (1987) menyatakan bahwa: “legislative
policy ambiquity is a prime cause to implementation failure”
[ketidakjelasan kebijakan dalam perundang–undangan
adalah sebab utama kegagalan pelaksanaannya]. Kedua
pernyataan ahli administrasi publik tersebut bukan hanya
menunjukkan betapa pentingnya implementasi kebijakan,
tetapi di dalam proses implementasi kebijakan itu ada

Otonomi Khusus Papua 223


banyak hal yang harus diperhatikan agar prosesnya bisa
berjalan dengan baik.
Berangkat dari kesadaran bahwa implementasi
kebijakan adalah sebuah aktivitas yang rumit dan melibatkan
banyak faktor, maka sejumlah ahli administrasi publik
berusaha untuk membuat model atau indikator. Di dalam
model tersebut ada sejumlah cara dan kemudian faktor yang
dianggap memiliki peran penting dalam proses implementasi
kebijakan. Artinya keberadaan model implementasi
kebijakan bisa digunakan untuk mempermudah membedah
kompleksitas persoalan implementasi kebijakan.
Sebagai sebuah alat untuk mempermudah atau
membantu menganalisis persoalan, maka keberadaan
model tersebut sesungguhnya hanya berhenti pada upaya
membantu untuk melihat bagaimana pelaksanaan kebijakan
itu dilakukan dan bukan pada upaya membandingkan
antara bagaimana pelaksanaan kegiatan itu dengan tujuan
yang hendak diraih. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa
ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk melihat
pencapaian tujuan yang biasanya digunakan indikator
kinerja (key performance indicators).
Lagi-lagi keberadaan tujuan menjadi sesuatu yang
sangat penting, baik dalam proses implementasi kebijakan
sebagai panduan atau orientasi agar tidak kehilangan arah,
tetapi juga penting digunakan dalam melihat bagaimana
keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan. Jika sebuah
kebijakan masuk kategori berhasil dilaksanaan, maka
diharapkan tujuan yang ditetapkan bisa juga berhasil
dengan baik atau linier. Meskipun faktanya tidak otomatis
demikian, tetapi keberhasilan pelaksanaan adalah
gambaran umum untuk melihat pencapaian tujuan.

224 Otonomi Khusus Papua


Ada sejumlah kasus dimana proses pelaksanaan
kebijakan telah dianggap berhasil dalam arti telah selesai
dilaksanakan oleh aparat pelaksana sesuai dengan jadwal
atau waktu yang ditentukan. Begitu pula oleh badan atau
lembaga pengawas yang dibentuk untuk itu dinyatakan
tidak ada penyalagunaan kewenangan atau uang yang
disalurkan secara tidak benar. Tetapi hal demikian ternyata
tidak otomatis membuat sebuah kebijakan telah berhasil
dilaksanakan jika diukur menurut pencapaian tujuan yang
dikaitkan dengan hasil dan manfaat yang diraih.
Buktinya, jika kebijakan tersebut berupa pembangunan
sarana dan prasarana publik seperti jalan dan jembatan,
sarana kesehatan dan pendidikan, maka tidak sedikit kasus
di sejumlah wilayah di Papua yang menunjukkan bahwa
pelaksanaan kebijakan publik telah selesai dilaksanakan,
tetapi tidak demikian dengan hasil dan manfaat yang
diperoleh masyarakat yang menjadi target kebijakan. Tidak
jarang bangunan atau sarana dan prasarana pendidikan
dan kesehatan tersebut yang tidak optimal penggunaannya,
bahkan terkesan mangkrak atau mubazir, padahal secara
teknis konstruksi bangunan tersebut telah sesuai dengan
apa yang ditetapkan dan tidak ada penyimpangan dalam
alokasi dan pendistribusian dananya. Fakta demikian
membuktikan bahwa dengan selesainya sebuah pelaksanaan
kebijakan tidak otomatis membuat tujuan yang diharapkan
telah tercapai.
Dalam perspektif ini, keberadaan model-model
implementasi kebijakan sebagaimana yang dikemukakan
sejumlah ahli administrasi publik menjadi relevan dan
penting digunakan untuk membedahnya. Membedah dan
menganalisis, sejumlah pertanyaan terkait implementasi
kebijakan, namun bukan pertanyaan mengenai pencapaian
tujuan.

Otonomi Khusus Papua 225


Ada banyak model yang dikemukakan para ahli yang
inti dan tujuannya sama yaitu membantu menbedah dan
mengalaisis persoalan implementasi dikaitkan dengan
tujuan yang ditetapkan, tetapi sekai lagi bukan untuk
menjawab pertanyaan mengenai pencapaian tujuan itu
sendiri. Ada sejumlah indikator bahkan mngkin saja model
yang bisa digunakan untuk membedah dan menganalisis
pencapaian tujuan. Biasanya indikator tersebut berkaitan
dengan kinerja (performance), yaitu sebuah indikator yang
berbeda dengan ‘indikator’ yang digunakan dalam proses
implementasi kebijakan yang kemudian disebut sebagai
model implementasi kebijakan.
Diantara model tersebut, ada model yang sering
dianggap paling klasik yakni model proses atau alur
pelaksanaan kebijakan yang dikemukakan Smith (1973).
Menurut Smith, ada empat variabel yang berperan
penting dalam proses implementasi kebijakan publik yaitu,
1. Kebijakan yang diidealkan (idealized policy): yakni
pola-pola interaksi ideal yang telah mereka definisikan
dalam kebijakan yang berusaha diinduksikan.
2. Kelompok sasaran (target groups) yaitu mereka
(orang-orang) yang paling langsung dipengaruhi
oleh kebijakan dan yang harus mengadopsi pola-pola
interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus
kebijakan.
3. Implementing organization yaitu badan-badan
pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang
bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.
4. Environmental factor yakni unsur-unsur dalam
lingkungan yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh
implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial,
ekonomi, dan politik.

226 Otonomi Khusus Papua


Dengan mengutip berbagai sumber (Rusli: 2013)
menyatakan bahwa model lain selain yang dikemukakan
di atas adalah model atas bawah atau yang sering disebut
sebagai model implementasi sistem rasional (Top-Down)
Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang
paling pertama muncul. Model rasional ini berisi gagasan
bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan
apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan
dalam sebuah sistem. Mazmanian dan Sabatier (1983)
dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa implementasi
top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan
mendasar.
Berikutnya adalah model bawah atas ayang yang
sering disebut dengan istilah model implementasi
kebijakan Bottom Up. Dari namanya sudah tergambar
bahwa model implementasi dengan pendekatan bottom up
muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional
(top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang
benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan
antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan.
Model bottom up adalah model yang memandang proses
sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan konsensus.
Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan
bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi
di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan
kebijakan. Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model
implementasi kebijakan dalam persfektif bottom up
adalah Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001),
implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses
atau alur. Model Smith ini memandang proses implementasi
kebijakan dari proses kebijakan dari perspektif perubahan
sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh

Otonomi Khusus Papua 227


pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau
perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.
Pada dasarnya proses pengimplementasian kebijakan
merupakan tindak lanjut setelah sebuah kebijakan atau
peraturan diratifikasi atau ditetapkan. Persoalannya adalah
tahap pengimplementasian bukanlah merupakan bagian
yang mudah. Bahkan menurut beberapa ahli, tahapan
implementasi kebijakan adalah proses yang secara sangat
sulit dan kompleks dibandingkan tahapan lainnya. Untuk itu
sejak awal pembuat kebijakan perlu melihat dan menyusun
strategi yang baik agar kebijakan yang dibuat benar-
benar bisa berjalan dengan baik. Tidak hanya diperlukan
sebuah isi kebijakan yang baik, tetapi juga pertimbangan-
pertimbangan yang jelas dan pemikiran yang meluas agar
suatu kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan
baik.
Menurut Richard Matland (1995) implementasi secara
admiministratif adalah implementasi yang dilakukan
dalam keseharian operasi birokrasi pemerintahan dimana
kebijakan dalam proses implementasi itu memiliki
ambiguitas atau kemenduaan yang rendah dan konflik yang
rendah. Sementara itu implementasi secara politik adalah
implementasi yang perlu dipaksakan secara politik, karena,
walaupun ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya
tinggi. Implementasi secara eksperimen dilakukan pada
kebijakan yang mendua, namun tingkat konfilknya rendah.
Implementasi secara simbolik dilakukan pada kebijakan
yang mempunyai ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi.
Menurut Quade (1984: 310), dalam proses implementasi
kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari
organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran dan faktor
lingkungan yang mengakibatkan munculnya tekanan dan

228 Otonomi Khusus Papua


diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi.
Dari transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang oleh
pengambil kebijakan dapat digunakan sebagai bahan
masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya. Quade
memberikan gambaran bahwa terdapat empat variabel
yang harus diteliti dalam analisis implementasi kebijakan
publik, yaitu: (1) Kebijakan yang diimpikan, yaitu pola
interaksi yang diimpikan agar orang yang menetapkan
kebijakan berusaha untuk mewujudkan; (2) Kelompok
target, yaitu subyek yang diharapkan dapat mengadopsi
pola interaksi baru melalui kebijakan dan subyek yang harus
berubah untuk memenuhi kebutuhannya; (3) Organisasi
yang melaksanakan, yaitu biasanya berupa unit birokrasi
pemerintah yang bertanggungjawab mengimplementasikan
kebijakan; dan (4) Faktor lingkungan, yaitu elemen dalam
lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Menurut Goggin ada sejumlah faktor atau variabel
penting yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada
keseluruhan implementasi yakni ; (1) Bentuk dan isi
kebijakan, termasuk di dalamnya kemampuan kebijakan
untuk menstrukturkan proses implementasi, (2) Kemampuan
organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun
insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara
efektif, (3) pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat
berupa katakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan
antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.
Menurut David L. Weimer dan Vining ada tiga kelompok
variabel besar atau faktor utama yang dapat mempengaruhi
keberhasilan implementasi suatu program,yaitu: (1) logika
kebijakan; (2) lingkungan tempat kebijakan dioperasikan;
(3) kemampuan implementor kebijakan. Logika dari
suatu kebijakan dimaksudkan agar suatu kebijakan yang

Otonomi Khusus Papua 229


ditetapkan masuk akal dan mendapat dukungan teoritis.
Lingkungan tempat kebijakan tersebut dioperasikan
akan mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
kebijakan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mencakup
lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam, dan fisik atau
geografis. Sementara itu Rippley dan Franklin menyatakan
keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau
dari tiga faktor yaitu:
a. Prespektif kepatuhan (compliance) yang mengukur
implementasi dari kepatuhan strate level bureaucrats
terhadap atas mereka.
b. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran
rutinitas dan tiadanya persoalan.
c. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja
yang memuaskan semua pihak terutama kelompok
penerima manfaat yang diharapkan.

Sementara itu Subarsono (2005:101) dalam bukunya


yang berjudul Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori
dan Aplikasi), mengutip pendapat G. Shabbir Cheema
dan Dennis A. Rondinelli mengemukakan bahwa terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan program-program pemerintah yang bersifat
desentralistis. Faktor- faktor tersebut diantaranya:
1) Kondisi lingkungan
Lingkungan sangat mempengaruhi implementasi
kebijakan, yang dimaksud lingkungan ini mencakup
lingkungan sosio kultural serta keterlibatan penerima
program.

2) Hubungan antar organisasi


Dalam banyak program, implementasi sebuah program
perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain.

230 Otonomi Khusus Papua


Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar
instansi bagi keberhasilan suatu program.

3) Sumberdaya organisasi untuk implementasi program


Implementasi kebijakan perlu didukung sumberdaya
baik sumberdaya manusia (human resources) maupun
sumberdaya non-manusia (non human resources).

4) Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana


Yang dimaksud karakteristik dan kemampuan agen
pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-
norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam
birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi
implementasi suatu program.

6.4. Model Grindle


Sebagai sebuah alat bantu untuk membedah dan
menganalisis persoalan implementasi kebijakan, maka
masing-masing model yang dikemukakan para ahli selain
memiliki sejumlah perbedaan, juga memiliki sejumlah
persamaan yang sifatnya mendasar. Artinya ada benang
merah diantara mereka para ahli terkait sejumlah faktor
yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan dalam
mencapai tujuannya. Misalnya persamaan mengenai isi
kebijakan, pelaksana kebijakan dan kemudian lingkungan
kebijakan. Ketiga hal tersebut sering menjadi benang merah
utama di samping benang merah yang lain yang biasanya
merupakan derivasi atau turunan dari salah satu unsur
utama yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Sebut saja misalnya unsur atau faktor utama berupa
pelaksana kebijakan yang sering diterjemahkan menjadi
faktor sumber daya, baik dalam arti sumber daya manusia
atau sumber daya yang lain, termasuk sumber daya

Otonomi Khusus Papua 231


keuangan dan kewenangan. Begitu juga faktor lingkungan
kebijakan yang dalam rinciannya disebutkan secara
lebih spesifik, misalnya kondisi sosial dan politik, kondisi
lingkungan alam dan demografis dan sebagainya. Meskipun
diantara model yang mempengaruhi implementasi kebijakan
memiliki nama dan sebutan yang berbeda-beda, namun
ada persamaan mendasar dari segi isi atau substansinya.
Biasanya perbedaan itu terkait dengan pendekatan dan
tujuan yang hendak dicapai. Sejumlah faktor tersebut,
apapun nama dan sebutannya menjadi faktor penting dalam
pelaksanaan kebijakan otsus di Papua.
Barangkali yang berbeda diantara sejumlah ahli
mengenai model yang diusulkannya adalah lebih pada
upaya bagaimana model yang dirumuskan mampu
menjadi sesuatu yang mudah diterima oleh penggunannya,
termasuk oleh orang yang paling awam sekalipun. Bukan
tingkat kerumitan atau kecanggihannya yang membuat
ia digunakan dan menjadi pilihan sebagai acuan dalam
melihat proses implementasi kebijakan. Justru karena
kesederhaannya yang menjadikannya menarik digunakan
sebagai acuan. Meskipun sederhana, tidak berarti ia dibuat
asal-asalan, dan beberapa sudah terbukti akurasinya dalam
mendekati sebuah persoalan implementasi kebijakan.
Model Grindle (1980: 11) adalah salah satu yang masuk
kategori ini. Meskipun model ini dianggap sangat sederhana
tetapi telah terbukti cukup akurat jika digunakan untuk
melihat bagaimana proses implementasi kebijakan itu
dilakukan dalam mencapai tujuaannya. Tidak hanya
kalangan ahli yang tertarik menggunakannya, tetapi
masyarakat umum juga tertarik menggunakannya sebagai
acuan karena rumusannya yang sederhana dan mudah
dimengerti.

232 Otonomi Khusus Papua


Secara umum ada dua faktor utama yang ditawarkan
Grindle (1980) yang bisa digunakan sebagai basis dasar
dalam melihat faktor pelaksanaan kebijakan. Kedua faktor
tersebut yaitu faktor isi kebijakan dan faktor konteks
atau lingkungan kebijakan. Dari kedua faktor utama itu
jika kemudian secara kreatif di-breakdown, maka hampir
bisa mencakup semua faktor yang dianggap berperanan
penting dalam proses implementasi kebijakan. Justru,
kesederhanaan rumusan faktor-faktor yang mempengaruhi
itu yang menjadi daya tarik sehingga banyak kalangan
yang menggunakannya sebagai acuan. Kondisi serupa
juga berlaku bagi model implementasi kebijakan yang lain,
seperti yang dikemukakan oleh Edward III, van Meter
dan van Horn, Hogwood dan Gunn, serta Mazmanian dan
Sabatier.
Menurut Grindle (1980: 6-10) proses implementasi
baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah
ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah
siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran. Dalam
kaitan ini Grindle memperkenalkan model implementasi
sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut
menggambarkan proses pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya
ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai
maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam
konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat
melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan
berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi
terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif
yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.
Menurut Grindle (1980) urgensi fase pengambilan
keputusan sebagai fase terpenting dalam model linier
implementasi kebijakan. Sementara itu, enam elemen

Otonomi Khusus Papua 233


isi kebijakan ditambah dengan tiga elemen konteks
implementasi sebagai faktor yang mempengaruhi aktivitas
implementasi melalui interaksi antara pengambil
kebijakan, pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan.
Melalui kedua faktor utama berupa konteks dan konten
kebijakan tersebut Grindle (1980) berpendapat bahwa
dalam setiap implementasi kebijakan pemerintah pasti
dihadapkan pada banyak kendala ketika kebijakan itu akan
diimplementasikan.
Dengan kata lain, setelah suatu kebijakan
ditransformasikan menjadi program aksi, maka tindakan
implementasi belum tentu berlangsung lancar. Hal ini sangat
tergantung pada implementability dari program tersebut.
Bahwa keberhasilan dari implementasi sebuah kebijakan
ditentukan oleh banyak hal, terutama yang menyangkut
kepentingan-kepentingan yang terlibat di dalammya. Bahwa
proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila
tujuan-tujuan dan sasaran yang semula bersifat umum
telah diperinci, program-program aksi telah dirancang dan
sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Tanpa adanya
syarat-syarat tersebut maka kebijakan yang ditetapkan
hanya dianggap sekedar retorika atau slogan politik.
Artinya suatu program kebijakan harus
diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan
yang diinginkan, karena implementasi kebijakan adalah
salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap
keberhasilan suatu kebijakan dalam memecahkan
persoalan-persoalan. Menurut Grindle (1980), proses umum
implementasi dapat dimulai ketika tujuan dan sasaran
telah dispesifikasikan, program-program telah didesain dan
telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan. Ketiga hal

234 Otonomi Khusus Papua


tersebut merupakan syarat-syarat dasar (basic conditions)
implementasi kebijakan.
Grindle (1980:6-10) memperkenalkan model
implementasi sebagai proses politik dan administratif.
Model tersebut menggambarkan proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh aktor yang beragam, dimana
keluaran akhirnya ditentukan oleh materi porgram yang
telah dicapai maupun melalui hubungan interaksi para
pembuat keputusan dalam konteks politik administratif.
Dalam ranah, proses politik dapat terlihat melalui proses
pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor
kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui
proses umum mengenai aksi administratif yang dapat
diteliti pada tingkat program tertentu.
Menurut Grindle (1980), dua kelompok faktor utama
yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
yaitu: variabel isi kebijakan (content of policy) dan variabel
konteks kebijakan (context of policy). Faktor atau variabel
isi sangat berkaitan dengan kepentingan, tujuan yang
hendak dicapai, sumber-sumber yang dapat disediakan dan
latar belakang yang dimiliki oleh faktor yang terlibat dalam
pelaksanaan kebijakan. Sementara itu faktor atau variabel
konteks berkaitan dengan lingkungan dimana kebijakan
itu dibuat dan aktivitas administrasi dilaksanakan. Faktor
atau variabel konten kebijakan meliputi faktor- faktor :
1. Pihak kepentingan yang dipengaruhi
2. Jenis manfaat yang dapat diperoleh
3. Jangkauan perubahan yang diharapkan
4. Pelaksanaan pengambilan keputusan
5. Pelaksana-pelaksana program
6. Sumber daya yang tersedia

Otonomi Khusus Papua 235


Adapun faktor atau variabel konteks kebijakan meliputi
faktor- faktor :
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi dari aktor yang
terlibat
2. Ciri kelembagaan dan rezim
3. Kepatuhan dan daya tanggap

Bagaimana model implementasi kebijakan menurut


Grindle tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar: Implementasi Proses Politik dan administratif


(Implemantation as a Political and Administrative Process)
Gambar: Implementasi Proses Politik dan administratif
Sumber : Merilee
(Implemantation s. Grindle
as a Political (1980:11)
and Administrative Process)
Sumber : Merilee s. Grindle (1980:11)
Implementing Activities
Policy Goals Influenced by:
a. Content of Policy Outcomes
1. Interest affected a. impact on
Action Programs and 2. Type of benefits society
Goals
Individual Projects 3. Exten of change individuals, and
achieved?
Designed and Funded envisioned group
4. Site of decision making b. change and its
5. Program implementors acceptance
Programs delivered 6. Resources commited
as designed
b. Context of implementation
1. Power, interst, and
strategies of actor
involved
2. Institution and regime
characteristics
3. Compliance and
responsiveness

MEASURING SUCCESS

Isi kebijakan (content of policy) yang berkaitan dengan jenis kebijakan yang
Isi kebijakan
diklasifikasikan (contentproses
akan mempengaruhi of policy) yang
implementasi berkaitan
itu sendiri adalah: dengan
jenis kebijakan yang diklasifikasikan akan mempengaruhi
1. Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi;
2. Tipe keuntungan (dapat dibagi/tidak dibagi, jangka pendek/panjang);
proses implementasi
3. Tingkat perubahan perilaku;itu sendiri adalah:
4. Lokasi dan implementasi (secara geografi dan organisasi);
1. 5. Pelaksanaan
Kepentingan-kepentingan
program yang ditunjuk; yang dipengaruhi;
6. Sumber daya.
2. Tipe keuntungan
Kemudian (dapat(context
dalam konteks kebijakan dibagi/tidak dibagi,
of implementation) jangka
meliputi:
pendek/panjang);
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor-aktor terlibat;
2. Karakteristik institusi dan rejim;
3. Tingkat perubahan
3. Kerelaan/kesediaan (compliance)perilaku;
dan responsiveness.

6.5. Model Edwards III


236 Otonomi Khusus Papua
Sudah sejak lama implementasi kebijakan sebagai bagian tahapan dari serangkaian
kebijakan publik mendapat perhatian tersendiri oleh para ahli kebijakan publik dan
administrasi publik. Bagaimanapun bagusnya ide suatu kebijakan, kemungkinan gagalnya
pencapain tujuan kebijakan senantiasa terbuka akibat buruknya dalam proses implementasi.
Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya sebuah implementasi dalam sebuah rangkaian
4. Lokasi dan implementasi (secara geografi dan
organisasi);
5. Pelaksanaan program yang ditunjuk;
6. Sumber daya.

Kemudian dalam konteks kebijakan (context of


implementation) meliputi:
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor-aktor
terlibat;
2. Karakteristik institusi dan rejim;
3. Kerelaan/kesediaan (compliance) dan responsiveness.

6.5. Model Edwards III


Sudah sejak lama implementasi kebijakan sebagai
bagian tahapan dari serangkaian kebijakan publik
mendapat perhatian tersendiri oleh para ahli kebijakan
publik dan administrasi publik. Bagaimanapun bagusnya
ide suatu kebijakan, kemungkinan gagalnya pencapain
tujuan kebijakan senantiasa terbuka akibat buruknya
dalam proses implementasi. Fenomena ini menunjukkan
betapa pentingnya sebuah implementasi dalam sebuah
rangkaian kebijakan publik.
Implementasi kebijakan publik merupakan langkah
atau kegiatan yang mencakup berbagai macam tindakan
yang luas, yakni mengeluarkan dan menguatkan perintah-
perintah, pembelanjaan anggaran, pembuatan utang,
memberikan penghargaan, penandatanganan kontrak,
pengumpulan data, penyebaran informasi, mengalisis
masalah, mengangkat dan memberhentikan pegawai,
pembuatan unit-unit pelaksana, pengajuan alternatif-
alternatif, perencanaan untuk masa akan datang,
menciptakan dan merundingkan dengan sektor privat,

Otonomi Khusus Papua 237


dunia usaha, kelompok kepentingan, badan legislatif, unit-
unit birokrasi, dan lain sebagainya.
Pernyataan tersebut merupakan pendapat George C.
Edwards III (1980 : 1-3) yang intinya mengemukakan bahwa
implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan
antara pembentukan kebijakan seperti bagian dari tindakan
legislatif, menerbitkan perintah eksekutif, penyerahan
down keputusan peradilan, atau diterbitkannya peraturan
aturan dan konsekuensi dari kebijakan bagi orang-orang
yang memengaruhi. Dengan kata lain implementasi
kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan
begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan
suatu implementasi kebijakan.
Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik,
Edwards III (1980) mulai dengan mengajukan dua
pertanyaan, yakni:
1. What is the precondition for successful policy
implementation? [Apakah yang menjadi prasyarat bagi
implementasi kebijakan?]
2. What are the primary obstacles to successful policy
implementation? [Apakah yang menjadi faktor
penghambat utama bagi keberhasilan implementasi
kebijakan?]

Dalam kaitan ini George Edward III (1980, 1)


menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik
adalah lack of attention to implementation. Dikatakannya,
without effective implementation the decission of policymakers
will not be carried out successfully. Edwards menyarankan
untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi
kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource,
disposition or attitudes, dan beureucratic structures. Artinya
George C. Edward III (1980: 17) berusaha menjawab

238 Otonomi Khusus Papua


persoalan krusial dalam proses implementasi kebijakan
dengan mengkaji empat faktor atau variabel utama dari
kebijakan yaitu faktor komunikasi, sumber daya , disposisi
dan struktur birokrasi.
Sebagaimana dinyatakan dalam bukunya yang berjudul
Implementing Public Policy (1980), George C. Edwards III,
menegaskan bahwa Implementasi kebijakan merupakan
kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang
mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
Melalui model implementasi kebijakan publiknya yang
diberi nama Direct and Indirect impact on Implementation ia
menyebutkan empat faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
atau implementasi kebijakan publik. Diantara faktor-faktor
tersebut secara simultan bekerja dan berinteraksi yang
pada gilirannya berpengaruh secara langsung atau tidak
langsung terhadap keberhasilan implementasi kebijakan
publik. Keempat faktor tersebut adalah :
• Communication (komunikasi)
• Resources. (sumber daya)
• Dispositions. (disposisi atau sikap pelaksana)
• Bureaucratic Structure (struktur birokrasi)

Bagaimana peran dan pengaruh masing-masing faktor


tersebut akan diuraikan dalam penjelasan dan gambar di
bawah ini:

Otonomi Khusus Papua 239


Communication

Resources

Implementation

Dispositions

Bureaucratic
Gambar 2.3. Direct and Indirect Impact on Implementation
(Dampak Langsung
Gambar 2.3. Directdan Tidak Impact
and Indirect Langsung pada Implementasi).
on Implementation
Sumber: George(Dampak Langsung dan Tidak Langsung pada
C. Edwards III, Implementing Public Policy
Implementasi). Sumber: George C. Edwards III,
(1980:
Implementing 148).
Public Policy (1980: 148).

Berikut ini penjelasan masing masing faktor yang dikemukakan oleh Edward III
Berikut ini penjelasan masing masing faktor yang
(1980):
dikemukakan
1. Communicationoleh Edward III (1980):
(Komunikasi)
Dalam melaksanakan kebijakan diperlukan komunikasi yang efektif dan efisien.
Tentu1.saja
Communication
komunikasi yang dimaksudkan (Komunikasi)
disini adalah komunikasi dalam arti luas,
mencakup kegiatan sosialisasi dan dilakukan secara timbal balik. Komunikasi diperlukan
sejak tahap Dalam
perumusan melaksanakan
dan pembahasan kebijakan kebijakan diperlukan
hingga kebijakan itu ditetapkan.
Komunikasi juga diperlukan selama proses pelaksanaan kebijakan, sehingga mampu
komunikasi
menciptakan pemahamanyang efektifpada
yang berujung dan efisien.
kesadaran Tentu masyarakat
dan kepatuhan saja atau
merekakomunikasi yang dimaksudkan disini adalah untuk
yang menjadi target kebijakan. Lebih dari itu komunikasi diperlukan
mendorong munculnya partisipasi dari semua stakehoders kebijakan, termasuk dalam bentuk
komunikasi
pengawasan dalam
dan umpan balik arti luas, mencakup kegiatan
(feed back).
sosialisasi dan dilakukan
Tidak salah jika Edward III menyatakan secara
bahwa syarat timbal balik.
pertama agar pelaksanaan
kebijakan itu efektif, kebijakan ini harus disampaikan/diketahui oleh orang-orang yang
Komunikasi
diserahi diperlukan
tanggung jawab untuk sejakdengan
melaksanakannya tahap
jelas .....perumusan
tentu saja dalam hal ini
dan pembahasan kebijakan hingga tepat
diperlukan komunikasi yang akurat dan dilaksanakan dengan kebijakan itu [The first
oleh pelaksana.
requirement for effective policy implementation is those who are to implement a decision
must ditetapkan.
know what are theyKomunikasi
suppost to dojuga diperlukan
….. naturally, selama proses
these communication needed to be
pelaksanaan kebijakan, sehingga mampu menciptakan
accurate, and they must be accurately perceive by implementations.] (Edwards III, 1980 :
17).
pemahaman
Menurut Agustino yang berujung
(2006 : 157), ”Komunikasipada
merupakankesadaran dan penting
salah-satu variabel
yang kepatuhan
mempengaruhi masyarakat atau mereka yang menjadi
implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik”. Implementasi yang
efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui apa yang akan mereka

240 Otonomi Khusus Papua


target kebijakan. Lebih dari itu komunikasi diperlukan
untuk mendorong munculnya partisipasi dari semua
stakehoders kebijakan, termasuk dalam bentuk
pengawasan dan umpan balik (feed back).
Tidak salah jika Edward III menyatakan bahwa
syarat pertama agar pelaksanaan kebijakan itu
efektif, kebijakan ini harus disampaikan/diketahui
oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab
untuk melaksanakannya dengan jelas ..... tentu saja
dalam hal ini diperlukan komunikasi yang akurat dan
dilaksanakan dengan tepat oleh pelaksana. [The first
requirement for effective policy implementation is those
who are to implement a decision must know what are
they suppost to do ….. naturally, these communication
needed to be accurate, and they must be accurately
perceive by implementations.] (Edwards III, 1980 : 17).
Menurut Agustino (2006 : 157), ”Komunikasi
merupakan salah-satu variabel penting yang
mempengaruhi implementasi kebijakan publik,
komunikasi sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan
publik”. Implementasi yang efektif akan terlaksana,
jika para pembuat keputusan mengetahui apa yang
akan mereka kerjakan. Informasi yang diketahui para
pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui
komunikasi yang baik. Agar implementasi efektif,
siapapun yang bertanggung jawab terhadap sebuah
keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan. Pemerintah untuk mengimplementasikan
kebijakan harus ditransmisikan kepada personil yang
tepat dan perintah tersebut harus jelas, akurat dan
konsisten.

Otonomi Khusus Papua 241


Dalam konteks implementasi kebijakan, menurut
Edwards III (1980 : 17), dalam komunikasi terdapat
3 aspek yang penting, yaitu transmisi, kejelasan, dan
konsistensi.
a) Transmisi (Transmission)
Sebelum pejabat publik mengimplementasikan
suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa
suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah
untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan.
b) Kejelasan (Clarity)
Jika kebijakan-kebijakan akan diimplementasikan
sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-
petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus
diterima tetapi juga harus jelas (Clear).
Kejelasan informasi yang disampaikan ini
akan meminimalisir kemungkinan terjadinya
distorsi atau penyimpangan informasi dari
apa yang seharusnya atau dikehendaki oleh
pemberi informasi. Melalui informasi dan proses
komunikasi yang jelas diharapkan tidak muncul
misinterpretasi sehingga proses implementasi
kebijakan bisa lebih mudah dilaksanakan dalam
mencapai tujuaannya.
c) Konsistensi (Consistency)
Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung
secara efektif, maka perintah-perintah
pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Dari
beberapa faktor yang menghasilkan komunikasi
yang tidak jelas juga menyebabkan komunikasi
yang tidak konsisten, yaitu (Edwards III, 1980:42):

242 Otonomi Khusus Papua


(1). Kompleksitas kebijakan publik;
(2). Kesulitan-kesulitan untuk memulai program
baru;
(3). Banyaknya tujuan dari berbagai kebijakan
(Multiple objectives of many policies).

2. Resources (Sumberdaya)
Sumber daya dapat diibaratkan sebagai bahan
bakar dari sebuah mesin, atau sebuah sarana dan
prasarana berupa bahan mentah yang diperlukan
dalam menjalankan sebuah aktivitas atau kegiatan.
Tanpa sumber daya itu aktivitas atau kegiatan
yang direncanakan dan kemudian dilakukan akan
menghadapi kesulitan dalam pelaksanaannya. Sumber
daya ini harus diartikan secara luas, bukan hanya
sumber daya manusia dengan segala aspeknya,
tetapi juga sumber daya keuangan dan sumber daya
berupa modal sosial lainnya yang diperlukan dalam
pelaksanaan kebijakan.
Dengan demikian implementasi kebijakan akan
tidak efektif apabila para implementor kekurangan
sumber daya yang penting untuk melaksanakan
kebijakan. Dengan kata lain keberadaan sumber
daya merupakan syarat berjalannya suatu organisasi.
Dalam konteks ini kepemilikan terhadap sumberdaya
(resources) dalam jumlah yang cukup menjadi
sesuatu yang sangat penting dan menentukan proses
implementasi kebijakan.
Pentingnya sumber daya mendapat perhatian
penuh dari Edwards III yang menyatakan bahwa :
“Imlementation orders may be accurately transmitted,
clear, and consistent, but if implementers lack resources

Otonomi Khusus Papua 243


necessary to carry out policies, implementation is likely to
be ineffective.” (Kurangnya sumberdaya akan berakibat
ketidakefektifan penerapan kebijakan. Sumberdaya
yang dimaksud mencakup orang-orang yang memadai
dari segi jumlah dan kemampuan, informasi yang jelas,
prasarana dan sarana serta wewenang). (Edwards III,
1980;53).
Edwards III (1980:11) mengkategorikan sumber
daya organisasi terdiri dari : “Staff, information,
authority, facilities; building, equipment, land
and supplies”. Masing-masing unsur yang masuk
dalam variabel sumber daya organisasi itu memiliki
keterkaitan satu sama lainnya dalam mengoptimalkan
peranan sumber daya dalam proses implementasi. Jika
salah satu unsur sumber daya itu tidak berjalan baik,
maka akan berakibat pada lemahnya kinerja unsur
sumber daya yang ada.
Dalam konteks yang lebih luas Tachjan (2006 :
135) menjelaskan bahwa:
“Sumber daya diposisikan sebagai input dalam
organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai
implikasi yang bersifat ekonomis dan teknologis.
Secara ekonomis, sumber daya bertalian dengan biaya
atau pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh
organisasi yang merefleksikan nilai atau kegunaan
potensial dalam transformasinya ke dalam output.
Sedang secara teknologis, sumberdaya bertalian dengan
kemampuan transformasi dari organisasi”.
Aspek sumber daya ini dalam proses pelaksanaan
otsus di Papua nyata sekali pengaruhnya. Hal ini terkait
dengan fokus pemerintah daerah dan pemerintah
pusat yang memang menggencarkan pembangunan

244 Otonomi Khusus Papua


sarana dan prasarana dasar, seperti jalan, jembatan
dan sejumlah pembangunan infrastruktur dasar
lainnya. Faktanya, banyak kegiatan pembangunan
yang menghadapi kesulitan besar karena terhambat
oleh keterbatasan sarana dan prasaran infrastruktur.

3. Disposition (Sikap Pelaksana)


Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan
merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-
konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang
efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap
suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya
dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan
kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para
pembuat keputusan awal.
Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-
tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana
berbeda dengan pembuat keputusan, maka proses
pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin
sulit. Dengan demikian pelaksana kebijakan harus
mempunyai kapabilitas, kompetensi, komitmen dan
konsistensi untuk mekaksanakan sebuah kebijakan
sesuai dengan arahan dari penentu kebijakan (policy
makers).
Apabila sikap-sikap dan perspektif implementor
berbeda dari pembuatan keputusan, maka proses
pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin
sulit. Jika pelaksana kebijakan ingin melaksanakan
sebuah kebijakan khusus, maka mereka harus dapat
melaksanakan apa yang diinginkan oleh pembuat
kebijakan. Tetapi ketika sikap atau pandangan para
pelaksana berbeda dengan si pembuat kebijakan maka

Otonomi Khusus Papua 245


proses pelaksanaan sebuah kebijakan akan menjadi
rumit. [Implementators are well- disposed toward a
particular policy, they are more likely to carry it out
the original decision makers intended, but when the
implementators attitudes or perspective different from
the decision makers, the process of implementing a
policy becomes infinetely more complicated.] (Edwards
III, 1980:89).

4. Bureaucratic Structures (Struktur Birokrasi)


Policy implementators may know what to do
and have sufficient desires and resources to do it, but
they may still be hampered in implementation by the
structures of organization, in which they serve. Two
prominent characteristic of bureaucraties are standard
operating procedures (SOPs) and fragmentation (para
pelaksana kebijakan mungkin telah mengetahui apa
yang harus mereka lakukan, dan mereka memiliki sikap
dan sumber daya yang cukup untuk melaksanakan
kebijakan, tetapi mereka mungkin akan terhambat
dalam pelaksanaan kebijakan oleh struktur birokrasi
yang menonjol, yaitu standar prosedur pelaksanaan
dan pembagian kerja). (Edwards III, 1980:125).
Keberadaan struktur birokrasi sangat diperlukan
untuk mendukung kinerja sumber daya maupun
stakeholders yang terkait dengan proses implementasi
kebijakan dengan cara adanya pembagian tugas
maupun tanggung jawab yang jelas sehingga tidak
terjadi ketimpangan tugas dalam proses penerapan
suatu kebijakan. Adanya pembagian tugas maupun
struktur birokrasi yang jelas akan mencegah untuk
tidak terjadinya ketimpangan tugas dalam proses
penerapan suatu kebijakan.

246 Otonomi Khusus Papua


6.6. Model Mazmanian dan Sabatier
Menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier
(1983: 4, 20), implementasi adalah pelaksanaan keputusan
kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-
undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah
atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting
atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan
itu mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin
dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses
implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui
sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan
tahapan pengesahan undang-undang kemudian output
kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan
(instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan
penting terhadap undang-undang atau peraturan yang
bersangkutan.
Berdasarkan pendapat Mazmanian dan Sabatier
tersebut, implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada
tindakan atau perilaku badan alternatif atau unit birokrasi
yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan
menimbulkan kepatuhan dari target group. Lebih dari itu
implementasi juga berlanjut dengan melibatkan jaringan
kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada
perilaku semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya
terdapat dampak yang diharapkan maupun yang tidak
diharapkan.
Implementasi juga merupakan pelaksanaan kebijakan
dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun
dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-
keputusan yang penting atau keputusan badan peradilan.
Keputusan tersebut dibuat untuk mengatasi permasalahan
yang terjadi. Sehingga apabila telah melalui suatu proses

Otonomi Khusus Papua 247


akan dihasilkan suatu output kebijakan dan akan diketahui
dampak nyata dan dampak keputusan tersebut bagi
kelompok sasaran.
Dalam kaitan ini Daniel Mazmanian dan Paul A.
Sabatier mengembangkan model yang disebut sebagai
kerangka analisis implementasi. Adapun faktor faktor
atau variabel variabel yang dianggap penting dan memiliki
pengaruh besar dalam proses implementasi kebijakan
menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 20-30), ada tiga
kategori variabel bebas, yaitu: 1) Tractability of the problem
(risalah tentang tingkat kesulitan permasalahan yang
akan dikendalikan); 2) Ability of policy decision to structure
implementation (kemampuan keputusan kebijakan untuk
menstrukturkan proses implementasinya secara tepat); 3)
Non-statutory variables affecting implementation (variabel-
variabel di luar kebijakan/peraturan perundangan yang
mempengaruhi implementasinya).
Lebih rinci mengenai ketiga variabel bebas (independent
variables) tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Risalah tentang tingkat kesulitan permasalahan yang
akan dikendalikan, dengan indikator:
a. Ketersediaan teori teknis dan teknologi yang valid.
b. Keragaman perilaku kelompok sasaran;
c. Prosentase kelompok sasaran dalam totalitas
penduduk;
d. Ruang lingkup/derajat perubahan perilaku yang
diinginkan;
(2) Kemampuan keputusan kebijakan dalam menstruktur-
kan proses implementasi, dengan indikator:
a. Kejelasan dan konsistensi tujuan;
b. Digunakannya teori kausal yang handal;

248 Otonomi Khusus Papua


c. Ketepatan alokasi sumber dana;
d. Keterpaduan hierarki dalam dan diantara institusi
pelaksana;
e. Aturan-aturan pembuatan keputusan dari
institusi pelaksana;
f. Komitmen dan rekruitmen para pejabat pelaksana;
g. Akses formal pihak luar;
(3) Variabel di luar kebijakan/peraturan perundangan
yang mempengaruhi implementasi, ditentukan oleh
indikator:
a. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi;
b. Dukungan publik;
c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-
kelompok masyarakat;
d. Dukungan dari pejabat/institusi atasan yang
berwenang;
e. Komitmen dan kepemimpinan para pejabat
pelaksana.

Sedangkan tahap-tahap dalam proses implementasi


kebijakan publik sebagai variabel tergantung (dependent
variables) yang dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas,
terdiri dari:
a. Output (keputusan-keputusan) kebijakan institusi-
institusi pelaksana;
b. Kesediaan kelompok sasaran untuk mematuhi output
kebijakan;
c. Dampak nyata output kebijakan;
d. Persepsi terhadap dampak nyata output kebijakan;
e. Perbaikan (revisi) mendasar terhadap kebijakan.

Otonomi Khusus Papua 249


6.7. Model Van Meter dan Van Horn
Van Mater dan Van Horn (1975) menjelaskan bahwa
implementasi kebijakan menekankan pada suatu tindakan-
tindakan, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah
maupun individu (atau kelompok) swasta, yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
suatu keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan
ini, pada suatu saat berusaha untuk mentransformasikan
keputusan-keputusan menjadi pola-pola operasional,
serta melanjutkan usaha-usaha tersebut untuk mencapai
perubahan baik yang besar maupun yang kecil yang
diamanatkan oleh keputusan-keputusan kebijakan
tertentu. Ada dua hal mengapa implementasi kebijakan
publik menjadi sesuatu yang penting, yaitu: (1) memberikan
masukan bagi pelaksanaan operasional program, sehingga
dapat dideteksi apakah program berjalan sesuai dengan
yang telah dirancang, serta mendeteksi kemungkinan
tujuan kebijakan negatif yang ditimbulkan, (2) memberikan
alternatif model pelaksanaan program yang lebih efektif.
Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno,
2002: 110-118), identifikasi indikator-indikator pencapaian
tujuan merupakan tahapan yang krusial dalam analisis
implementasi kebijakan. Indikator pencapaian tujuan ini,
menilai sejauh mana ukuran dasar dan tujuan kebijakan
direalisasikan. Ukuran dasar dan tujuan berguna dalam
menguraikan keputusan kebijakan secara menyeluruh.
Disamping itu, ukuran dasar dan tujuan merupakan bukti
itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa
kasus. Namun demikian dikatakan seringkali dalam banyak
kasus sering terjadi kesulitan dalam mengidentifikasi dan
mengukur pencapaian yang disebabkan oleh dua hal, yaitu
pertama, program yang terlalu luas dan sifat tujuan yang

250 Otonomi Khusus Papua


kompleks. Kedua, adanya kekaburan dalam ukuran-ukuran
dasar tujuan-tujuan sengaja diciptakan oleh pembuat
keputusan agar dapat menjamin tanggapan positif dari
orang-orang yang diserahi tanggung jawab implementasi
pada tingkat organisasi yang lain atau sistem penyampaian
kebijakan.
Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh
Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975) disebut
sebagai A Model of the Policy Implementation Process (model
proses implementasi kebijakan). Model ini berdasarkan teori
yang memiliki argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam
proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan
yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan
suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan
antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu
model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan
prestasi kerja (performance). Kedua ahli ini menegaskan
pula bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak
merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-
prosedur implementasi.
Berdasarkan model implementasi kebijakan ini, bahwa
kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas
yang saling berkaitan, yang terdiri dari: (1) standar/ukuran
dan sasaran-sasaran kebijakan; (2) sumber-sumber daya; (3)
karakteristik/sifat implementor kebijakan (badan/instansi/
pelaksana); (4) komunikasi antar organisasi terkait dan
kegiatan-kegiatan pelaksanaan; (5) sikap para pelaksana;
(6) lingkungan ekonomi, sosial, dan politik.
Van Meter dan Van Horn (1975:447) merumuskan
proses implementasi kebijakan sebagai berikut:
Those Action by public or private individuals (or groups)
there are directed at the achievment of objectives set

Otonomi Khusus Papua 251


forth prior policy decisions” (tindakan-tindakan yang
dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat
atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah
digariskan dalam keputusan kebijakan).

Menurut Van Meter dan Van Horn (1975), ada beberapa


faktor yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi
kibijakan. Beberapa faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Policy standard and objective, which ‘elaborate on the
overall goals of the policy decision................ to provide
concrete and more specific standard for assessing
performance’ (Standar dan sasaran kebijakan.
Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat
secara spesifik sehingga di akhir program dapat
diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan
atau program yang dijalankan);
2. the resources and ancentive made available,
(sumber daya, menunjuk kepada seberapa besar
dukungan finansial dan sumber daya manusia
untuk melaksanakan program atau kebijakan untuk
menghasilkan implementasi kebijakan dengan kinerja
baik dan dapat menjelsakan nilai yang efisien);
3. the quality of inter-organizational relationships (we
find in their discussion of this, as in so much of the
American literature on implemantation, an extensive
discussion of aspects of federalism), (komunikasi antar
badan pelaksana. Komunikasi ini harus ditetapkan
sebagai acuan, misalnya sering dilaksankan rapat-
rapat rutin secara berkala dengan tempat dan waktu
yang telah ditetapkan, agar dapat mendukung
komunikasi organisasi antar institusi yang berkaitan
dengan program/kebijakan dengan kelompok sasaran

252 Otonomi Khusus Papua


yang mampu memahami serta bertanggungjawab atas
program yang dilaksanakan);
4. the characteristics of the implementation agencies,
including issues like organizational control but olso,
going back surely to inter organitizational issues, ‘the
agency`sformal and informal linkages with the “policy-
making” or “policy-enforcing” body’, (karakteristik
badan pelaksana, menunjuk seberapa besar daya
dukung organisasi yang mendapat dukungan dari
struktur (sumber daya) organisasi, nilai-nilai (budaya)
yang berkembang dalam organisasi, hubungan dan
interaksi komunikasi internal organisasi dalam
birokrasi.
5. the economic, social and political environment,
(lingkungan sosial, ekonomi dan politik, menunjuk
bahwa lingkungan dan ranah implementasi dapat
mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu
sendiri); dan
6. the disposition or response oh the implementers, involving
three elements: ‘their cognition (comprehension,
understanding) of the policy, the direction of their
response to it (acceptance, neutrality, rejection) and the
iuntensity of that response’, (sikap pelaksana, menunjuk
bahwa sikap pelaksana menjadi variabel penting dalam
implementasi kebijakan. Seberapa besar demokratis,
antusias dan responsif terhadap kelompok sasaran
dan lingkungan, beberapa yang dapat ditunjuk sebagai
bagian dari sikap pelaksana ini).

Mengenai keterkaitan antar variabel dalam model Van


Meter dan Van Horn diperlihatkan pada gambar di bawah
ini:

Otonomi Khusus Papua 253


Mengenai keterkaitan antar variabel dalam model Van Meter dan Van Horn
diperlihatkan pada gambar di bawah ini:

Komunikasi antar
Organisasi dan
kegiatan
pelaksanaan

Ukuran dan Ciri ciri Sikap Para Kinerja


tujuan pelaksana
Pelaksana Kebijakan
kebijakan

Sumber-
sumber
kebijakan Lingkungan
ekonomi,
social dan
politik

Gambar Model of Policy Implementation Process (Model Proses Implementasi Kebijakan)


Gambar
Sumber: Model
Van Meter dan VanofHorn,
Policy Implementation
The Implementation Process: AProcess (Model
Conceptual Framework,
Administration and Society (1975: halaman 445-448).
Proses Implementasi Kebijakan) Sumber: Van Meter dan Van
Horn, TheHogwood
6.8. Model Implementation
dan Gunn Process: A Conceptual Framework,
Dalam praktiknya tidak semua kebijakan dalam pelaksanaannya masuk kategori
Administration
berhasil, andmasuk
tetapi juga tidak semua Society (1975:
kategori gagal, halaman 445-448).
termasuk kebijakan yang sudah
dilaksanakan sesuai dengan jadwal atau waktu yang ditetapkan. Tidak sedikit kebijakan yang
masuk kategori gagal, atau juga masuk kategori tidak berhasil. Kebijakan yang masuk
kategori tidak berhasil biasanya dikaitkan dengan sebuah kebijakan yang sudah dilaksanakan
6.8. Model
tetapi masih jauhHogwood
dari tujuan yang dan Gunn
ditetapkan. Kebijakan seperti ini sering disebut sebagai
kebijakan yang tidak sukses atau unsuccessful implementation (implementasi yang tidak
Dalam praktiknya tidak semua kebijakan dalam
berhasil).
Pengertian tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak
pelaksanaannya
dilaksanakan sesuai dengan masuk rencanakategori
atau tidak berhasil,
sesuai dengan tetapi
apa yang juga tidak
diharapkan.
Implementasi yang tidak berhasil biasanya tidak mencapai hasil tertentu manakala suatu
semua masuk kategori gagal, termasuk kebijakan
kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi yang
sudah dilaksanakan sesuai dengan jadwal atau waktu yang
eksternal ternyata tidak menguntungkan sehingga kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam
mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Mungkin juga karena pihak–pihak
ditetapkan. Tidak
yang terlibat didalam sedikittidak
pelaksanaannya kebijakan yang
mau bekerja sama, ataumasuk
mereka telahkategori
bekerja
secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai
gagal, atauatau
permasalahan, juga masukyangkategori
permasalahan tidak
dibuat di luar berhasil.
jangkauan Kebijakan
kekuasaannya, sehingga
betapapun gigih usaha mereka, hambatan–hambatan yang ada tidak sanggup mereka
yang masuk kategori tidak berhasil
tanggulangi dan masih banyak faktor atau sebab yang lain. biasanya dikaitkan
dengan sebuah kebijakan yang sudah dilaksanakan tetapi
masih jauh dari tujuan yang ditetapkan. Kebijakan seperti
ini sering disebut sebagai kebijakan yang tidak sukses atau
unsuccessful implementation (implementasi yang tidak
berhasil).

254 Otonomi Khusus Papua


Pengertian tidak terimplementasikan mengandung arti
bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan
rencana atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Implementasi yang tidak berhasil biasanya tidak mencapai
hasil tertentu manakala suatu kebijakan tertentu telah
dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat
kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan sehingga
kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan
dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Mungkin juga
karena pihak–pihak yang terlibat didalam pelaksanaannya
tidak mau bekerja sama, atau mereka telah bekerja secara
tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak
sepenuhnya menguasai permasalahan, atau permasalahan
yang dibuat di luar jangkauan kekuasaannya, sehingga
betapapun gigih usaha mereka, hambatan–hambatan yang
ada tidak sanggup mereka tanggulangi dan masih banyak
faktor atau sebab yang lain.
Ada kalanya kebijakan tertentu masuk kategori gagal
atau hanya bernasib jelek, karena sejak awal kebijakan
tersebut memang jelek, dalam artian bahwa ia telah
dirumuskan secara sembrono, tidak didukung oleh informasi
yang memadai, alasan yang keliru, atau asumsi–asumsi dan
harapan– harapan yang tidak realistis. Semua kemungkinan
tersebut bisa menimpa semua jenis kebijakan.
Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk
gagal itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri
jelek (bad policy) atau kebijakan itu memang bernasib jelek
(bad luck) (Abdul Wahab: 2001). Kebijakan yang tergolong
pelaksanaan jelek (bad execution) disebut juga kegagalan
implementasi (implementation failure). Dalam praktek
biasanya disebabkan antara lain karena ketidakmampuan

Otonomi Khusus Papua 255


SDM. Kemudian kebijaksanaannya yang tergolong jelek
(bad policy) menurut Abdul Wahab (2001), disebut juga
kegagalan kebijakan (policy failure). Kegagalan demikian
lebih disebabkan kurangnya pengetahuan, keterampilan
pemahaman pembuat kebijakan atas berbagai kebutuhan
yang menjadi tuntutan publik. Lazimnya kebijakan demikian
kurang didukung informasi, hasil penelitian atau survai atas
berbagai kebutuhan yang menjadi tuntutan publik (needs &
demands publik). Sementara itu kebijaksanaan bernasib
jelek (bad luck) biasanya berlangsung secara kondisional
dan temporer.
Hogwood dan Gunn sebagaimana dikutip Wahab (2001:
47) membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure)
ini dalam dua kategori, yaitu:
1) Tidak terimplementasikan (Non implementation),
dalam hal ini mengandung arti bahwa suatu
kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana,
mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam
pelaksanaannya tidak mau bekerjasama atau mereka
telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah
hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai
permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang
digarap di luar jangkauan kekuasaannya, sehingga
betapapun gigih usaha mereka hambatan-hambatan
yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi, akibatnya
implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi.
2) Implementasi yang tidak berhasil (Unsuccessful
implementation), dalam hal ini mengandung arti bahwa
implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi
manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan
dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal
ternyata tidak menguntungkan. Kebijakan tersebut

256 Otonomi Khusus Papua


tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau
hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan
yang memiliki resiko untuk gagal itu disebabkan
oleh faktor-faktor berikut: pelaksanaannya jelek,
kebijakannnya sendiri memang jelek atau kebijakan
itu memang bernasib jelek. Dengan demikian suatu
kebijakan boleh jadi tidak dapat diimplementasikan
secara efektif sehingga dinilai oleh para pembuat
kebijakan sebagai pelaksanaan yang jelek, atau baik
pembuat kebijakan maupun mereka yang ditugasi
untuk melaksanakannya sama-sama sepakat bahwa
kondisi eksternal benar-benar tidak menguntungkan
bagi efektifitas implementasi.

Lebih lanjut Hogwood dan Gunn (Hill, 1993) juga


(Wahab, 2001: 70) menyatakan bahwa: untuk dapat
mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna
(perfect implementation) maka diperlukan beberapa
kondisi atau persyaratan tertentu sebagai berikut: 1) The
circumstances external to the implementing agency do not
impose crippling constraints; 2) that adequate time and
sufficient recources are made available to the programme;
3) that the required combination of resources is actually
available; 4) that the policy tobe implemented is based upon
a valid theory of cause and effect; 5) that the relationship
between cause and effect is direct and that there are few, if
any, intervening links; 6) that dependency relationships are
minimal; 7) that there is understanding of, and agreement on,
objectives; that tasks are fully specified in correct sequences;
9) that there is perfect communication and co-ordination;
10) that those in authority can demand and obtain perfect
compliance. [1. kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/
instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/

Otonomi Khusus Papua 257


kendala yang serius; 2. untuk pelaksanaan program tersedia
waktu dan sumber yang cukup memadai; 3. perpaduan
sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia;
4. kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh
suatu hubungan kausalitas yang andal; 5. hubungan
kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya; 6. hubungan saling ketergantungan harus
kecil; 7. pemahaman yang mendalam dan kesepakatan
terhadap tujuan; 8. tugas-tugas dirinci dan ditempatkan
dalam urutan yang tepat; 9. komunikasi dari koordinasi
yang sempurna; 10. pihak-pihak yang memiliki wewenang
kekuasaan dapat menuntut dan mendapat kepatuhan yang
sempurna].

258 Otonomi Khusus Papua


BAB VII

BEBERAPA AGENDA KEDEPAN

7.1. Masih Banyak Faktor dan Agenda untuk Disele-


saikan
Sejumlah faktor atau variabel teoritik yang
mempengaruhi implementasi kebijakan sebagaimana
yang dikemukakan para ahli administrasi publik di bab-
bab sebelumnya adalah faktor atau variabel yang sifatnya
umum. Bahkan bisa disebut sebagai sekedar contoh dari
banyaknya faktor yang sejatinya memiliki peran dan
pengaruh penting dalam pelaksanaan otsus di tanah Papua.
Jika tidak demikian, maka persoalan Papua akan lebih
mudah diatasi dan diselesaikan termasuk salah satunya
melalui otsus.
Otsus yang sejak awal diniatkan sebagai salah satu
alat untuk menyelesaikan persoalan Papua secara lebih
komprehensif, ternyata tidak mudah dalam pelaksanaannya.
Setelah sekian tahun diimplementasikan, maka akhirnya
semua maklum dan mengerti, termasuk pihak-pihak yang
sejak awal bersikap pesimis terhadap kebijakan ini bahwa
memang tidak mudah melaksanakan kebijakan.
Bahkan mereka yang sebelumnya sangat optimis juga
tersadar bahwa harapan mereka yang tumbuh dari niat
baik ternyata begitu sulit dilaksanakan. Meskipun mereka

Otonomi Khusus Papua 259


dan banyak pihak yang lain telah bersungguh-sungguh
melaksanakannya dengan sepenuh hati, tetapi faktanya
tidak mudah mewujudkan apa yang diharapkan.
Tidak cukup berbekal niat baik dan kesungguhan,
tetapi perlu sejumlah upaya untuk ‘mengorganisasi dan
mengadministrasikan’ harapan dan keinginan tersebut
untuk menjadi sebuah karya nyata. Ternyata, memang
tidak mudah melaksanakan sebuah kebijakan, betapapun
itu didukung oleh niat baik dan ketulusan, termasuk niat
baik dan sikap pragmatis dengan menerima kenyataan
bahwa otsus adalah pilihan kompromistis dari berbagai sisi
dan kepentingan.
Belajar dari kasus pelaksanaan otsus itu tergambar
bahwa ada sejumlah faktor krusial yang mendorong atau
sebaliknya menghambat implementasinya. Artinya banyak
faktor, dan faktor tersebut jika dirinci akan sangat banyak,
dan bisa saja masing-masing pihak atau daerah di Papua
memiliki rincian akan faktor-faktor pengaruh yang beragam
atau berbeda-beda.
Artinya tidak akan cukup melihat pelaksanaan otsus
di Papua dari satu sudut atau sisi, karena ada banyak
sudut dan sisi yang harus dilihat dan dicermati untuk
sampai pada satu kesimpulan. Atas dasar itu buku ini tidak
berupaya menyimpulkan pelaksanaan otsus, meskipun ada
kecenderungan bahwa otsus yang sudah dilaksanakan bisa
dianggap sebagai berhasil, namun diakui masih jauh dari
harapan sebagaimana yang menjadi keinginan masyarakat
Papua.
Keberadaan sejumlah faktor yang diuraikan di bab
bab sebelumnya dalam buku ini sesungguhnya sebagai
alat untuk membuka pemahaman yang lebih utuh dari sisi
administrasi publik. Bahwa ada banyak persoalan yang

260 Otonomi Khusus Papua


perlu dicermati dari pelaksanaan otsus. Jika diantara faktor
tersebut tidak berhasil dilaksanakan, maka tidak otomatis
pelaksanaan otsus bisa dianggap gagal. Sesungguhnya
kesimpulan demikian merupakan tindakan yang terburu-
buru dan kontraproduktif terhadap upaya mencari jalan
keluar atas kompleksitas persoalan yang ada.
Secara umum keberadaan sejumlah faktor faktor
tersebut, baik ia masuk kategori gagal atau sebaliknya
berhasil, diharapkan bisa berguna untuk membedah dan
menganalisis sejumlah persoalan implementasi kebijakan,
dan secara khusus untuk kasus implementasi otsus di
Papua. Secara umum masing-masing faktor tersebut bisa
digunakan untuk membedah dan menganalisis persoalan
implementasi kebijakan, hanya saja perlu kreativitas dan
sejumlah penyesuaian atau bahkan modifikasi agar lebih
sesuai dengan kondisi obyektifnya.
Sebagai sesuatu yang sifatnya umum, namun
diharapkan bisa digunakan untuk berbagai kasus
implementasi kebijakan, maka dalam konteks Papua
sejumlah faktor atau variabel tersebut akan nampak terlalu
sederhana jika dibandingkan dengan kompleksitas dan
beragamnya persoalan di wilayah Papua. Artinya agar
analisis yang dilakukan bisa menukik dan terfokus, maka
perlu sejumlah modifikasi atau penyesuaian faktor-faktor
jika digunakan untuk membedah persoalan implementasi
kebijakan di Papua. Misalnya soal topografis dan
demografis Papua yang bisa saja dimasukkan sebagai faktor
eksternal atau lingkungan stretegis dan sebutan lainya
dari sebuah kebijakan dan pelaksananya, namun lebih
tepat jika keberadaannya dianalisis secara khusus, karena
kedua faktor tersebut memang memiliki peran yang sangat
signifikan sebagaimana faktor sumber daya (resources).

Otonomi Khusus Papua 261


Catatan kritis tersebut sekedar hendak menunjukkan
bahwa masih banyak persoalan krusial dan juga agenda
yang perlu dikerjakan untuk mencermati pelaksanaan
otsus di masing-masing faktor yang dianggap memiliki
peran dan pengaruh signifikan. Sebut saja misalnya soal
peranan perempuan, nilai-nilai sosial budaya, faktor sosial
politik dan sebagainya yang faktanya sering dianggap
sebagai faktor kunci dalam pelaksanaan otsus. Buktinya,
tidak sedikit kajian terkait Papua yang melihatnya dari sisi
politik dan juga sosial budaya. Kedua hal tersebut dianggap
sangat penting dalam proses hubungan pemerintahan dan
pembangunan masyarakat Papua disamping faktor-faktor
yang lain sebagaimana yang diuraikan dalam buku ini.
Buku ini adalah bagian dari upaya memperluas
perspektif dan cara pandang dalam melihat Papua, sehingga
apapun yang dilakukan terkait dengan Papua, baik itu
mengenai pembangunan dan upaya lain yang intinya
dimaksudkan untuk menyelesaikan sejumlah persolaan
di Papua perlu melihat banyak faktor secara utuh. Faktor
politik sebagaimana yang oleh sejumlah pihak sering
dijadikan faktor utama, ternyata bukan satu satunya faktor
yang krusial, sebagaimana diuraikan dalam analisis di bab
bab sebelumnya dari buku ini bahwa masih banyak faktor
krusial yang mempengaruhi apa yang secara umum sering
disebut sebagai pembangunan Papua.
Sejumlah faktor krusial yang diuraiakan sebelumnya
hanyalah ‘sekedar contoh’, yang berangkat dari sebuah
kesaaran bahwa masih banyak faktor lain yang perlu
dibedah dan dianalisis satu persatu. Tanpa mengecilkan
faktor sosial politik, tetapi faktor-faktor lain, seperti faktor
administrasi publik yang terkait dengan pengelolaan
sumber daya pelaksana kebijakan, perilaku dan struktur

262 Otonomi Khusus Papua


birokrasi adalah faktor yang memiliki peran dan pengaruh
besar dalam proses implementasi kebijakan publik, dalam
hal ini otsus.
Dalam konteks demikian tentu saja, penyelesaian
berbagai persoalan di Papua tidak cukup hanya melalui
kebijakan otonomi khusus (otsus) karena persoalan yang ada
di Papua sudah begitu kompleks. Tentu saja ada sejumlah
faktor klasik yang selama ini banyak mendapat perhatian
pemerintah dan juga masyarakat, seperti faktor sumber
daya manusia, baik jumlah dan kualitasnya, faktor dana
atau anggaran, faktor infrastruktur dan juga faktor faktor
turunannya, seperti faktor pendidikan dan kesehatan yang
merupakan aspek penting dalam meningkatkan kualitas
SDM.
Semua faktor klasik tersebut adalah bagian yang
sangat penting tetapi jangan lupa faktor lain misalnya faktor
perilaku dan juga kelembagaan. Kedua faktor ini seringkali
luput perhatian dengan adanya otsus yang memang telah
merubah kelembagaan atau organisasi pemerintahan, tetapi
tidak dengan perilaku pelaksana kebijakan. Perubahan
kelembagaan dan hubungan kewenangan dengan hadirnya
otsus perlu diterjemahkan ke dalam perubahan lanjutan
yang lebih teknis dan rinci. Misalnya langkah lanjutan
berupa Perdasi dan juga Perdasus bahkan kebijakan di
tingkat daerah kabupaten/kota terkait dengan kondisi
wilayah Papua yang memang beragam dan kompleks.
Singkatnya masih banyak faktor dan juga agenda
yang perlu segera diselesaikan dalam proses pembangunan
Papua. Kebijakan otsus adalah bagian dari upaya tersebut
dimana didalamnya juga masih banyak faktor dan agenda
yang perlu diselesaikan. Tugas ini adalah tugas bersama
dan memerlukan kesadaran dan kerjasama antar semua

Otonomi Khusus Papua 263


pihak, bukan hanya pihak yang mendukung pelaksanaan
otsus, tetapi juga pihak lain yang sebelumnya menolak
keberadaan otsus. Suka atau tidak suka kebijakan otsus
harus mendapat dukungan semua pihak, karena ia bukan
lagi sebuah alternatif atau pilihan bagi pembangunan
Papua. Otsus ibarat sebuah jalan yang harus ditempuh
atau dilaksanakan, sehingga jika ada persoalan yang
menghambat pelaksanaannya, maka beberapa faktor
tersebut yang harus diatasi atau dicarikan jalan keluarnya.

7.2.
Otsus Bukan Lagi Pilihan, Kini Saatnya
Melaksanakan Otsus
Otsus adalah kebijakan yang lahir dalam kondisi sosial
politik yang bisa digolongkan sangat demokratis dimana ada
keterbukaan dan adanya kesetaraan posisi dalam arti tidak
ada pihak yang dominan dan menentukan, apalagi menekan
pihak lain untuk menyetujui keputusan yang diambil. Otsus
adalah kebijakan publik yang lahir dalam kondisi bebas
dan bukan kebijakan yang lahir karena keterpaksaaan,
meskipun ia adalah kebijakan yang kompromistis.
Kebijakan otsus lahir dalam suasana bebas bahkan
cenderung euforia (kebablasan) dimana posisi pemerintah
pusat atau negara tidak dalam posisi yang kuat untuk
menolak tekanan hanya karena ia adalah pihak yang
mempunyai otoritas dan alat-alat kekuasaan. Dalam
suasana krisis politik dan ekonomi dan kuatnya tekanan
dunia internasional terhadap pemerintah Indonesia, otsus
dilahirkan sebagai solusi untuk mengatasi persoalan Papua.
Bagi pemerintah Indonesia, otsus adalah pilihan yang tidak
punya opsi lain kecuali melaksanakan dengan sebaik-
baiknya.

264 Otonomi Khusus Papua


Penetapan otsus adalah sebuah pilihan terakhir
sehingga seharusnya tidak ada pilihan lagi kecuali
melaksanakannya. Kemungkinan yang masih terbuka
adalah menyempurnakannya jika dianggap ada kekurangan,
tetapi bingkai atau dasar yang sama. Jika dalam otsus
jelas dinyatakan bahwa pelaksanaan otsus adalah dalam
kerangka NKRI, maka dasar pemikiran demikian tidak
boleh berubah. Artinya tidak ada pilihan lain di luar itu.
Dasar pemahaman seperti ini harus menjadi kesadaran
bersama, sebagai prasyarat untuk melaksanakan otsus
sebaik-baiknya. Ketika otsus hanya diperlakukan sebagai
sasaran antara maka pelaksanaannya tidak akan optimal
karena dirongrong oleh kondisi dan suasana kecurigaan.
Hal demikian nampak nyata di awal-awal pelaksanaannya.
Diperlukan ketulusan dan kejujuran dan bukan sebaliknya
kepura-puraan dari semua pihak.
Ketika pilihan sudah ditetapkan bahwa otsus adalah
kebijakan pilihan untuk mengelola persoalan pembangunan
dan pemerintahan di Papua, maka seharusnya semua
daya upaya dicurahkan untuk melaksanakannya. Sikap
dan perilaku kita seolah tidak ada pilihan lain, meskipun
pada hakekatnya pilihan itu senantiasa ada dan terbuka.
Otsus adalah satu satu jalan dan pilihan yang realistis atau
masuk akal dibandingkan pilihan lain yang sudah dikubur
sejak tahun 2001.
Kini ketika otsus sudah berjalan lebih satu dasawarsa,
maka kondisinya seolah tidak ada pilihan lain kecuali
melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Kini bukan
saatnya mempersoalkan kelayakan otsus sebagai sebuah
pilihan, kemudian berusaha menggantinya dengan pilihan
yang lain. Intinya jangan perlakukan otsus atau setiap

Otonomi Khusus Papua 265


kebijakan yang berlaku di tanah Papua pasca reformasi
sebagai ‘kelinci percobaan’.
Jika otsus masih diperlakukan sebagai pilihan atau
alternatif dari penyelesaian Papua, berdampingan dengan
sejumlah alternatif atau pilihan lain yang dianggap layak
dan masih tersedia, maka pelaksanaan otsus akan setengah
hati dan menghadapi kegamangan. Artinya pelaksanaan
otsus akan sulit memperoleh dukungan dan upaya maksimal,
tidak hanya dari pemerintah daerah dan masyarakat Papua
tetapi juga dari pemerintah pusat dan dunia internasional.
Setelah hampir separuh jalan otsus menjadi bagian dari
pelaksanaan pembangunan di Papua, maka kemungkinan
yang ada adalah melanjutkan pelaksanaannya. Pilihan
yang ada adalah menyempurnakannya, bukan bukan
menggantinya dengan kebijakan yang lain. Artinya otsus
harus diniatkan berjalan sesuai dengan jadwal yang
ditentukan, kecuali Papua terpisah dari NKRI. Lebih dari itu
tidak dimungkinkan, kecuali dengan menambah sejumlah
kewenangan khusus yang dimiliki Papua sebagaimana
yang akhir-akhir ini disuarakan oleh sejumlah pihak.
Dalam konteks ini sesungguhnya upaya yang ada adalah
upaya menyempurnakan otsus dikaitkan dengan proses
pelaksanaan dan pencapaian tujuan yang diharapkan.
Melalui penyempurnaan itu diharapkan proses pelaksanaan
dan tujuan otsus lebih mudah diraih.
Ibaratnya seperti ‘jalan demokrasi’ yang sudah dipilih
oleh bangsa Indonesia pasca reformasi 1998/99. Bahwa
jalan demokrasi tersebut membawa sejumlah komplikasi
persoalan, tetapi tidak ada pilihan lain bagi bangsa
Indonesia untuk meneruskannya. Kisah sukses negara
lain, seperti Malaysia dan Singapura yang menerapkan
‘jalan demokrasi’ yang berbeda (semi otoritarian) dengan

266 Otonomi Khusus Papua


jalan demokrasi Indonesia tidak cukup menjadi alasan bagi
bangsa Indonesia untuk mengubah jalan demokrasi yang
telah dipilih. Opsi yang ada adalah menyempurnakan jalan
demokrasi yang sudah dipilih dengan menerima segala
konsekuensinya.
Logika serupa juga berlaku bagi otsus Papua, bahwa opsi
yang ada – karena lebih realistis dan murah biayanya adalah
melaksanakan otsus dan berusaha menyempurnakannya.
Jika otsus yang berlaku di Aceh menetapkan hadirnya
partai lokal, maka tidak berarti hal serupa juga berlaku
bagi Papua. Bahkan model pemilihan kepala daerah secara
langsung yang berlaku untuk seluruh Indonesia, juga
bisa saja berbeda modelnya untuk wilayah Papua sebagai
konsekuensi sifatnya yang khusus. Bahkan untuk sejumlah
wilayah yang ada di Papua bisa saja memberlakukan model
pelaksanaan otsus yang berbeda-beda. Hal-hal yang sifat
dan bentuknya teknis administratif demikian yang perlu
mendapat perhatian lebih dalam rangka menterjemahkan
pelaksanaan otsus dalam mencapai tujuannya.
Saat ini tidak ada pilihan lain yang lebih realistis selain
melaksanakan otsus sebaik-baiknya. Jika ada sejumlah
kekurangan maka yang harus dilakukan adalah melakukan
sejumlah pembenahan atau menyempurnakannya, jika
sumbernya terletak pada sejumlah pasal atau rumusan
dalam otsus. Bukan mencari jalan yang lain, hanya karena
ada sekelompok masyarakat atau bahkan bangsa atau
negara lain yang mendorong untuk melakukannya.
Masyarakat Papua ‘terlalu tua’ untuk terus menerus
mencari jalan atau alternatif lain selain otsus ketika ia
sesungguhnya sudah mulai diimplementasikan dengan
kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Hanya karena
beberapa hal belum berjalan atau belum sepenuhnya

Otonomi Khusus Papua 267


dilaksanakan dan membuahkan hasil seperti yang
diharapkan, maka muncul upaya untuk mengganti atau
bahkan mencampakkannya. Sikap demikian disamping
resikonya sangat besar, juga ongkosnya sangat mahal. Jika
tidak cermat dan hati-hati dampak dan resikonya akan sulit
disembuhkan.
Pilihan yang paling mungkin adalah melakukan
perubahan kebijakan otsus, dalam arti disempurnakan,
misalnya dengan menggunakan istilah otsus plus atau
istilah lainnya yang intinya masih mengacu paa semangat
dasar dari otsus. Dalam konteks ini fokus pemerintah dan
masyarakat Papua, termasuk juga pemerintah pusat adalah
meneruskan pelaksanaan otsus, dan bukan melakukan
upaya untuk mengganti apalagi membatalkan kebijakan
ini hanya karena munculnya sejumlah pandangan dan
penilaian terhadap otsus oleh sebagian masyarakat bahwa
otsus dianggap gagal.
Gagal atau berhasilnya sebuah kebijakan adalah
sesuatu yang relatif, karena memang faktanya ada
sejumlah kemajuan signifikan yang diraih, meskipun diakui
kemajuan tersebut belum seperti yang diharapkan. Di sisi
lain juga diakui bahwa ada sejumlah persoalan krusial yang
secara langsung atau tidak langsung justru disebabkan
oleh pelaksanaan kebijakan otsus sebagai sebuah ekses
negatif. Misalnya muncul dan meningkatnya sejumlah
kasus disparitas ekonomi antar daerah, antar kelompok dan
golongan di Papua.
Fenomena demikian sesungguhnya bukan khas Papua
atau daerah lain yang dianggap atau digolongkan masih
tertinggal. Di sejumlah daerah yang tergolong maju secara
ekonomi, juga menyimpan persoalan yang kurang lebih

268 Otonomi Khusus Papua


sama bahwa ada sejumlah kemajuan yang berhasil diraih,
tetapi juga tidak sedikit persoalan yang ditimbulkan.
Terlebih persoalan yang ada, baik di Papua dan juga
daerah lain sekarang ini jauh lebih kompleks daripada
sebelumnya, sehingga tidak heran jika otsus nampak terlalu
kecil dibandingkan dengan kompleksitas persoalan yang
ada. Bahkan sejak awal sudah disadari bahwa sejatinya
otsus bukanlah obat satu satunya yang diperlukan untuk
mengatasi persoalan di Papua. Diperlukan kebijakan
lain yang secara khusus dimaksudkan untuk mengatasi
persoalan yang sifatnya lebih spesifik dan kasuistis.
Sesungguhnya kebijakan otsus adalah kebijakan
pemerintahan daerah yang menganut paradigma otonomi
luas sebagaimana yang berlaku di daerah lain di Indonesia.
Hanya saja kebijakan khusus diberlakukan untuk Papua
terkait dengan sejumlah ciri dan karakter kekhususannya.
Jika di daerah lain ada sejulah kebijakan yang spesifik
dimaksudkan untuk mengatasi persoalan khusus yang ada
di masyarakat yang bersangkutan, misalnya Aceh, DKI dan
DIY, maka hal demikian juga berlaku di Papua yang juga
memiliki sejumlah karakter dan kondisi khusus.
Singkatnya, sekarang ini bukan zamannya lagi
untuk berkutat pada penolakan otsus, tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana melaksanakannya. Upaya
penyempurnaan otsus aalah bagian dari upaya mengatasi
sejumlah persoalan implementasi kebijakan karena dianggap
masih ada sejumlah kekurangan dan kelemahan. Artinya
sikap atau posisi yang harus dikedepankan pemerintah, baik
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat
adalah bagaimana mempercepat pelaksanaan otsus melalui
berbagai program pembangunan.

Otonomi Khusus Papua 269


Posisi dan sikap masyarakat Papua harus sama dengan
masyarakat lain di Indonesia, sebagaimana masyarakat Aceh
yang sekarang ini juga sudah berusaha keras melaksanakan
otsus dan kesepakatan damai yang sudah ditandatangani
sebagai sebuah pilihan politik untuk menyelesaikan
persoalan yang ada. Intinya masyarakat Papua diharapkan
berada dalam sikap posisi untuk melaksanakan sesuatu
yang sudah ada yaitu otsus, sekalipun itu kebijakan dan
pelaksanaannya belum semuanya mampu diwujudkan.
Bukan zamannya lagi untuk berfikir merdeka dalam
arti lepas dari NKRI karena hal demikian akan banyak
membuang buang waktu yang sejatinya sangat berharga
bagi masyarakat Papua untuk mengejar ketertinggalannya
dari daerah lain di Indonesia.

7.3. Beberapa Persoalan Kritis Lainnya


Tidak akan ada habis habisnya jika ditanyakan
persoalan kritis apa lagi yang ada di Papua, sebuah wilayah
dengan karakter yang khas dan unik, dengan luas wilayah
besar tapi penduduk sedikit dan memiliki sejarah politik
dan pemerintahan yang berbeda dengan daerah lain di
Indonesia. Pertanyaan serupa juga terhadap pelaksanaan
otsus yang faktanya ada sejumlah kegagalan tetapi juga
tidak sedikit keberhasilan yang telah diraih. Kondisi
demikian menunjukkan betapa kompleks dan rumitnya
persoalan pelaksanaan kebijakan di tanah Papua.
Tidak heran jika ada pihak yang memberi julukan
sebagai tanah atau wilayah dimana ironi dan bahkan
tragedi mudah ditemui (the land of irony), berdampingan
dengan julukan lain yang bernada optimis dan positif yaitu
land of paradise (tanah dari surga). Kedua sisi tersebut
masih saja menghiasi dan memang menjadi fakta di tanah

270 Otonomi Khusus Papua


Papua. Mudah bagi kita untuk menunjukkan sisi optimis
dan positif, tetapi juga tidak sulit untuk menunjukkan sisi
negatif dan pesimis.
Posisi buku ini adalah berusaha menunjukkan sisi
optimis dan positif, tetapi dengan pendekatan kritis dan
berusaha bersifat obyektif. Maka setelah sejumlah analisis
kritis tersebut dipaparkan di bab bab sebelumnya, maka
tidak ada salahnya jika berikut ini dikemukakan sejumlah
persoalan yang masih dihadapi pemerintah dan masyarakat
Papua dalam perspektif yang agak ‘berbeda’.
Sejumlah persoalan kritis yang dikemukakan disini
adalah bentuk apresiasi dan sekaligus akomodasi terhadap
sejumlah aspirasi yang disuarakan sebagian masyarakat
Papua dalam melihat persoalan Papua dari sisi yang
berbeda dengan apa yang menjadi fokus perhatian buku
ini. Fakta tersebut perlu dikemukakan dan tentu saja perlu
untuk mendapat kajian tersendiri dengan pendekatan
yang berbeda, meskipun muaranya bisa saja sama yaitu
demi kemaslahatan masyarakat Papua dan Indonesia pada
umumnya.
Hal demikian dilakukan dengan kesadaran bahwa
buku ini hanya fokus melihat dari satu sisi yaitu
administrasi publik sehingga diperlukan cakrawala
lain untuk melihatnya. Dalam perspektif yang lain, ada
beberapa aspek penting yang perlu dilakukan dalam rangka
pelaksanaan otsus yaitu bagaimana mengelola sumber daya
alam Papua secara baik agar optimal pemanfaatannya
bagi peningkatan kesejahteraan orang asli Papua sehingga
mampu menjadikan orang Papua tidak hanya sebagai
obyek tetapi juga subyek dalam pengelolaan sumberdaya
alam yang memungkinkan terjadinya partisipasi serta
tingkat kesejahteraan masyarakat secara optimal dan

Otonomi Khusus Papua 271


berkelanjutan. Jika hal demikian bisa dilakukan dengan
baik, maka sejumlah potensi dan konflik sosial, ekonomi
dan politik yang di Papua yang berbasis SDM lebih mudah
diatasi dan dicarikan jalan keluarnya.
Aspek selanjutnya yang juga krusial adalah bagaimana
mengelola pembangunan sarana – prasasarana sosial di
wilayah Papua, khususnya yang ada di tingkatan kabupaten
/ kota, distrik dan kampung yang dimaksudkan untuk
mengatasi persoalan kemiskinan, ketertinggalan wilayah
Papua. Lebih spesifik lagi adalah mengatasi persoalan
pengangguran masyarakat Papua terus bertambah,
sehingga aspek pendidikan dan juga SDM menjadi sesuatu
yang penting untuk dikedepankan. Begitu juga persoalan
kesehatan, khususnya kesehatan yang bersifat dasar seperti
mencegah tingginya angka kematian anak dan Ibu yang
melahirkan dan penyediaan sarana – prasarana kesehatan
termasuk harga obat yang dibutuhkan masyarakat.
Dari sisi organisasi pemerintahan juga perlu dilakukan
penguatan kapasitas kelembagaan, termasuk melakukan
sinergi antar unsur pemerintahan daerah, seperti antara
pemerintah daerah DPRP dan juga MRP. Termasuk sinergi
dengan unsur unsur pemerintah pusat dan kalangan
pengusaha yang melakukan aktivitas usaha atau kegiatan
di Papua. Melalui sinergi yang baik diharapkan sejumlah
persoalan otsus seperti persoalan tumpang tindih aturan
hukum yang dikeluarkan pusat dengan aturan Perdasus
dan Perdasi bisa lebih mudah dicarikan jalan keluar
pemecahannya. Sejauh ini permasalahan belum optimalnya
sinergisitas tiga pilar utama Pemerintah Daerah (Pemprov,
MRP dan DPRP) di Papua dan juga dengan unsur
pemerintah pusat dan kalangan dunia usaha di Papua masih
menjadi faktor utama yang menghambat pelaksanaan otsus

272 Otonomi Khusus Papua


meskipun sejumlah rekomendasi terkait hal ini sudah sering
dikemukakan oleh berbagai pihak termasuk dari kalangan
pemerintah sendiri.
Dalam kaitan ini sikap dan kesungguhan pemerintah
pusat sangat diperlukan untuk mendorong dan mengarahkan
bagaimana sinergitas itu bisa dilakukan. Pertama-tama
tentu saja pemerintah pusat melalui sejumlah badan
atau lembaga yang dimiliki harus memberi contoh berupa
ketegasan dan keseriusannya, misalnya dalam bidang
penegakan hukum terkait pengelolaan anggaran atau
keuangan daerah, khususnya dana otsus. Hal demikian
dianggap penting karena sejumlah temuan atau bahkan
kasus yang menunjukkan adanya indikasi kuat terjadinya
pelanggaran hukum, sebagaimana yang dilaporkan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kerugian negara
ternyata tidak berujung pada proses pengadilan, meskipun
beberapa diantaranya sudah ada yang dijatuhi hukuman.
Aspek yang terkait pengelolaan keuangan pemerintahan
atau negara merupakan salah satu akar utama yang
menghambat pelaksanaan otsus karena ia adalah dapat
diibaratkan sebagai darah dalam tubuh manusia. Dalam
kaitan ini perlu ada model atau pola pembagian dana otsus
yang adil sesuai dengan besaran dan kompleksitas persoalan
yang dihadapi masing-masing daerah yang berbeda-beda
tingkat kompleksitas dan kerumitannya. Pola atau model
pembagian dana otsus yang ada sekarang masih dianggap
belum ideal, sehingga ada sejumlah daerah yang merasakan
diperlakukan tidak adil terkait dengan besaran persoalan
yang dihadapi. Pola pembagian dana Otsus tidak cukup
dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota se-
tanah Papua dan pengelolaannya hanya didasarkan pada
Permendagri No. 59 Tahun 2006, tetapi harus ada aturan

Otonomi Khusus Papua 273


yang lebih rinci dan kontekstual yang diharapkan lahir
dalam bentuk Perdasus.
Disinilah letak pentingnya Perdasi dan juga
Perdasus dan sejumlah peraturan daerah kabupaten/
kota yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah.
Posisi pemerintah pusat dalam hal ini sangat penting
untuk memberikan supervisi dan asistensi, khususnya
dikaitkan dengan sejumlah faktor yang sifatnya khusus
di masing-masing daerah. Tujuannya bukan hanya untuk
mengefektifkan pengelolaan keuangan daerah, tetapi juga
untuk mencegah terjadinya tindakan hukum akibat diskresi
atau kalalaian dalam membuat dan menerapkan aturan
hukum yang bersifat khusus. Hal demikian penting karena
model pengelolaan keuangan di Papua dalam praktiknya
tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan daerah lain di
Indonesia terkait dengan karakter, nilai-nilai sosial budaya
yang hidup di Papua.
Semua itu pada intinya harus dikembalikan atau
diletakkan pada tujuan dasar dari otsus bahwa apapun
bentuk penyelenggaraan pembangunan di Tanah Papua
yang lebih memberi ruang kesempatan bagi orang asli
Papua yang ujungnya adalah bagaimana meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Papua. Tujuan
ini tentu saja sejalan dan sebangun dengan tujuan konstitusi
Indonesia sebagaimana terungkap dalam pembukaan UUD
45. Dalam kaitan ini sebuah kebijakan, baik yang sifatnya
umum seperti otsus dan juga kebijakan lain yang lebih
khusus seperti Perdasi dan Perdasus serta kebijakan lain
di tingkat pemerintahan kabupaten/kota harus memiliki
muara yang sama.
Aspek lain yang seringkali dikemukakan, tetapi
sering dianggap sebagai angin lalu adalah persoalan klasik

274 Otonomi Khusus Papua


yang terkait dengan pelanggaran HAM, baik yang terjadi
sebelum otsus atau selama pelaksanaan otsus. Meskipun hal
demikian bukan menjadi domain otsus, tetapi pelaksanaan
otsus harus juga dikaitkan dengan aspek ini, sehingga para
korban pelanggaran HAM dapat memperoleh kebijakan
khusus, sebagaimana yang juga terjadi di Aceh dimana
ada dana khusus dalam bentuk ‘dana reintegrasi dan dana-
dana lain’ untuk mengembalikan hak-hak sosial, ekonomi
dan politik dari mereka yang tergolong menderita akibat
terjadinya pelanggaran HAM.
Meskipun tidak terkait langsung dengan kebijakan
otsus, namun sejumlah aspek yang memiliki keterkaitan
erat dengan aspek politik dan juga pelanggaran HAM sering
menjadi ganjalan yang sulit sekali dicarikan jalan keluar
pemecahannya. Yang menjadi soal bukan berapa besaran
‘ganti rugi’ dalam artian ekonomi, tetapi ganti rugi dalam
artian sosial budaya dan politik yang sulit dicarikan formula
pemecahan yang tepat dan win win solutions. Otsus adalah
kebijakan yang salah satunya dimaksudkan untuk mengatasi
persoalan tersebut, tetapi sesungguhnya titik tekan otsus
adalah di bidang pemerintahan dan aspek-aspek lain yang
sifatnya non politis. Dalam konteks ini diperlukan kebijakan
yang juga secara khusus dimaksudkan untuk mengatasi
persoalan Papua yang dimensinya politis, sebagaimana
yang dilakukan di Aceh dalam bentuk kesepakatan damai
atau bentuk lain yang intinya mencari format politik yang
langgeng dan win-win solutions dalam konteks NKRI.
Tentu saja tidak mudah untuk menemukan format
politik yang tepat, selain apa yang telah dituangkan dalam
otsus, tetapi upaya demikian harus senantiasa dilakukan.
Tidak perlu tergesa-gesa atau buru-buru karena persoalan
demikian sangat sensitif, sehingga perlu momentum yang

Otonomi Khusus Papua 275


tepat. Momentum tersebut tentu saja bukan menunggu
ketika salah satu pihak berada dalam posisi politik yang
relatif lemah, tetapi momentum ketika semua pihak
merasa sudah menemukan kesepahaman awal dan justru
dilakukan dalam kondisi dingin, sehingga lebih mudah
dicarikan jalan keluar berupa perasaan saling memahami,
memberi dan menerima, serta pada posisi mencari jalan
yang terbaik untuk kemaslahatan bersama. Jika kondisi
demikian dianggap belum pas dilakukan sekarang, maka
upaya demikian bisa dilakukan pada kesempatan lain,
tetapi ikhtiarnya tetap harus dimulai dan digiatkan sejak
dari sekarang.

7.4. Otsus: Bukan Bagi-bagi Uang Untuk Perorangan


Otsus adalah kebijakan khusus yang ditujukan kepada
masyarakat Papua terkait dengan sejumlah kondisi obyektif
Papua yang khusus. Ada sejumlah persoalan yang tidak
bisa ditangani atau dikelola dengan cara dan pendekatan
biasa sebagaimana yang berlaku secara umum di Indonesia.
Diperlukan kebijakan khusus untuk mengatasinya,
termasuk dengan memberikan kewenangan khusus dan
juga dana khusus dengan nama dana otsus untuk mencapai
tujuan tersebut.
Keberadaan kewenangan dan juga dana khusus, selain
kewenangan dan dana umum yang berlaku di pemerintahan
daerah di Indonesia adalah dimaksudkan sebagai upaya
untuk menangani dan mengelola persoalan di wilayah Papua
yang juga khusus. Khusus untuk mengatasi kemiskinan,
pengangguran dan ketertinggalan, pendidikan dan
kesehatan masyarakat Papua. Khusus karena di dalamnya
bukan hanya dana dalam jumlah besar yang digelontorkan
untuk masyarakat papua melalui pemerintah daerah

276 Otonomi Khusus Papua


untuk dikelola sebagaimana prinsip prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik, tetapi juga harus memperhatikan
kondisi khusus.
Kondisi khusus dalam mengelola dana otsus ini
jangan diartikan sebagai kewenangan yang bisa digunakan
sekehendak hati pemerintah daerah dan juga masyarakat
dengan alasan bahwa hal demikian biasa dilakukan di
masyarakat. Justru dana khusus tersebut harus digunakan
sepenuhnya untuk berbagai tujuan khusus dan dengan cara-
cara yang khusus dalam arti harus dikelola dengan tingkat
akuntabilitas yang tinggi sehingga tujuan otsus bisa lebih
mudah diraih.
Adalah keliru jika ada persepsi di sebagian masyarakat
bahwa dana otsus itu adalah dana yang berasal dari
pemerintah pusat untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat
Papua untuk menyenangkan hati atau memberi kompensasi
atas berbagai persoalan berat yang mereka hadapi selama
ini. Persepsi demikian tentu saja sangat keliru dan sekaligus
berakibat menjerumuskan dalam jangka panjang.
Jika otsus dimaksudkan sebagai kebijakan bagi bagi
uang atau semacam kompensasi atau ganti rugi, maka
tidak perlu menggunakan undang undang sebagai dasar
hukumnya. Juga tidak perlu perdebatan sengit dalam
proses perumusan dan kemudian penetapannya. Juga tidak
perlu susah-susah untuk melaksanakannya. Sesungguhnya
kebijakan otsus bukan kebijakan bagi bagi dana atau uang
bagi masyarakat Papua, apalagi jika bagi-bagi itu dipersepsi
sebagai bagi bagi uang untuk perorangan.
Benar bahwa salah satu rumusan terpenting dalam
otsus adalah persoalan alokasi dana dengan menggunakan
rumusan tertentu dalam jumlah tertentu yang diperuntukkan
bagi masyarakat dan pemerintah daerah di wilayah Papua.

Otonomi Khusus Papua 277


Namun keberadaan sejumlah dana yang secara khusus
dialokasikan untuk pemerintah dan masyarakat Papua itu
bukan untuk dibagi bagikan seperti model pembagian dana
BLSM, tetapi untuk dikelola oleh pemerintah daerah guna
mengatasi sejumlah persoalan khusus di Papua.
Dikelola dengan mengacu prinsip prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik dan juga kondisi khusus di Papua,
namun bukan dengan cara membagi bagikan dana otsus
untuk kepentingan perorangan, melainkan dikelola untuk
kepentingan seluruh masyarakat Papua. Dalam proses
pengelolaannya, baik itu alokasi dan besarannya ditentukan
oleh pemerintah daerah dengan mengacu pada aspirasi dan
kebutuhan yang paling mendesak bagi masyarakat Papua.
Pada prinsipnya otsus harus dipahami bukan sebagai
kebijakan bagi bagi uang, apalagi untuk perorangan. Otsus
adalah kebijakan yang dirancang untuk dikelola pemerintah
sebagaimana dana-dana publik lainnya kemudian
dimanfaatkan untuk kepentingan yang berkelanjutan yang
sekaligus memberdayakan. Dengan demikian dana otsus
sama sekali bukan untuk keperluan konsumtif seperti untuk
keperluan perayaan dan kegiatan seremonial apalagi untuk
berfoya-foya atau terserah kepada siapa yang diberikan
dana tersebut.
Otsus adalah kebijakan yang dirancang sebagai
‘kail’ bagi masyarakat Papua untuk ‘mencari ikan’ dan
mengembangbiakkannya demi kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat Papua. Atas prinsip ini dana otsus harus
disalurkan untuk pembangunan sarana dan prasarana
publik yang dianggap vital dan mendasar, seperti
pembangunan sarana pendidikan dan kesehatan, perbaikan
layanan publik, seperti jalan dan jembatan, perumahan dan
kebutuhan masyarakat Papua secara umum.

278 Otonomi Khusus Papua


Untuk itu masyarakat Papua harus mengawasi dan
kritis terhadap setiap sen dana yang berasal dari otsus.
Bahwa dengan demikian masyarakat Papua secara individu
tidak merasakan langsung sejumlah dana otsus dengan
besaran tertentu sebagaimana dana BLSM yang merupakan
kompensasi dari naiknya harga minyak, karena otsus
adalah kebijakan untuk pemberdayaan yang menggunakan
strategi: memberi ikan daripada kail.
Untuk itu diperlukan perubahan mendasar terhadap
sikap masyarakat yang hingga kini masih mempersepsi
kebijakan otsus sebagai kebijakan bagi bagi uang, apalagi
jika bagi bagi itu diperspesikan untuk perorangan dan
bisa seenaknya digunakan untuk apa dan dengan cara
bagaimana terserah kepada masyarakat. Sungguh fatal
akibatnya jika otsus dipersepsi dalam konteks yang sangat
sempit dan sederhana demikian.
Berbahaya karena seberapa besar dana otsus yang akan
digelontorkan, tidak akan pernah cukup untuk memenuhi
apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat atau
perorangan yang masing-masing memiliki kecenderungan
yang berbeda-beda. Disinilah letak pentinganya pemerintah
daerah dalam mengelola dan menyalurkannya. Otsus
adalah kebijakan yang meskipun memiliki niat untuk ‘bagi-
bagi’, tetapi proses bagi bagi itu sepenuhnya diamanatkan
kepada pemerintah daerah dan wakil-wakilnya untuk
digunakan pada kegiatan yang produktif dan memiliki efek
berkelanjutan.
Andaikan setelah dana itu dibagi bagi kepada
perorangan dimana per kepala mendapat uang dengan
besaran tertentu dan hal demikian dianggap sebagai
langkah yang jitu untuk meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat, maka pemerintah daerah

Otonomi Khusus Papua 279


dan siapapun yang diberikan amanat untuk mengelola
dengan cara demikian tentu saja akan dengan senang
hati melakukannya. Tetapi faktanya tidak demikian,
karena yang terjadi justru seringkali sebaliknya. Model
bagi-bagi uang yang dananya dari pemerintah seringkali
kontraproduktif dan dalam kasus tertentu bisa dianggap
menghina masyarakat Papua itu sendiri.
Dana otsus yang jumlah terbatas, meskipun jika
dikumpulkan secara agregat hingga kini lebih tidak kurang
dari angka 40,8 triliun rupiah, namun hal demikian akan
terasa kecil manfaatnya dalam arti tidak memberi efek
menyebar (multiplier efect) yang berkesinambungan
dibandingkan jika ia disalurkan untuk kegiatan produktif
tertentu yang kemudian manfaatnya bisa disebarkan kepada
kepentingan seluruh masyarakat Papua khususnya mereka
yang dianggap paling membutuhkan. Misalnya kebutuhan
untuk pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di daerah
yang terpencil dan rawan akan bencana kelaparan dan
kekurangan sarana pendidikan dan kesehatan.
Dengan model pengelolaan keuangan yang demikian,
maka dana otsus akan terasa cukup besar dan memiliki
efek menyebar yang sistemik dan berjangka panjang
dibandingkan jika ia disalurkan secara langsung secara
pukul rata pada setiap kepala warga Papua. Dengan bahasa
teoritiknya, dana otsus itu bukan untuk tujuan karitatif
atau kedermawanan, tetapi untuk tujuan pemberdayaan
masyarakat.
Pada prinsipnya pengelolaan dana otsus sama dengan
pengelolaan dana publik lainnya, hanya karena ia sifatnya
khusus maka diberikan sejumlah keluasaan atau diskresi
kepada pemerintah daerah yang untuk menyalurkannya.
Meskipun demikian pemerintah daerah harus tetap

280 Otonomi Khusus Papua


berpegang pada tujuan dasar dari otsus, sehingga
penyaluran dana otsus itu difokuskan pada sejumlah aspek
pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan
dan keperluan lain yang dianggap sangat mendesak bagi
keperluan daerah.
Dengan model pengelolaan dana yang demikian, maka
masyarakat akan diberdayakan melalui penciptakaan
lapangan kerja, peningkatan sarana dan prasarana
kesehatan dan pendidikan, sehingga masyarakat dapat sema­
kin produktif dalam melakukan aktivitas kehidupannya.
Pemberdayaan model demikian lebih otentik dan berjangka
panjang serta memiliki efek menyebar yang jauh lebih luas
dibandingkan dengan model pemberdayaan yang sifatnya
karitatif.
Sudah banyak contoh dan juga banyak model yang
penekanannya mirip dengan bagi bagi uang atau bantuan
yang sifatnya karitatif ternyata memiliki efek jangka pendek
yang cenderung menipu dan meninabobokan. Akibatnya
masyarakat justru lebih terpuruk kondisinya setelah model
karitatif demikian dihentikan atau bahkan sekedar dikurangi
jumlahnya. Jumlahnya mungkin saja bisa sama atau sedikit
meningkat, tetapi kebutuham masyarakat peningkatannya
jauh lebih cepat, sehingga model bagi bagi uang sangat tidak
efektif sebagai alat untuk memberdayakan. Lain halnya jika
otsus memiliki tujuan lain di luar apa yang secara formal
tercantum dalam kebijakan.
Perlu ditegaskan dan terus disosialisasikan kepada
masyarakat bahwa otsus itu bukan kebijakan bagi bagi
uang, tetapi merupakan kebijakan ‘bagi bagi kondisi
dan kesempatan’ yang lebih baik kepada semua orang di
Papua. Khususnya mereka yang tidak beruntung atau
perlu dilakukan pemihakan, yaitu penduduk asli Papua,

Otonomi Khusus Papua 281


lebih khusus mereka yang berada di daerah terpencil dan
terpinggirkan dari pusat-pusat kegiatan ekonomi, sosial dan
pemerintahan.
Uang yang berasal dari dana otsus yang dikelola
pemerintah daerah adalah uang rakyat Papua yang tujuan
penggunaannya untuk kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat Papua. Dalam konteks ini masyarakat
Papua khususnya harus sepenuhnya aktif melakulan
pengawasan dan memastikan bahwa setiap sen dana
otsus bisa memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar
dibandingkan jika seandainya ia dibagi bagi kepada masing-
masing individu masyarakat Papua, betapapun secara
substansif dana otsus adalah hak dari setiap individu
masyarakat Papua.
Perlu kesadaran dari semua pihak bahwa uang atau
dana otsus itu adalah dana untuk pemberdayaan yang
pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah daerah.
Pemerintah daerah aalah organ yang memiliki kompetensi
dan memang dirancang untuk melakukan hal demikian
sesuai prinsip prinsip manajemen keuangan modern,
yaitu yang menganut pendekatan kinerja, menerapkan
prisnip keterbukaan atau transparansi, akuntabilitas dan
sebagainya.
Adalah tugas kita bersama, baik masyarakat
Papua dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk
senantiasa mengkritisi dan mengawasi pengelolaan dana
otsus agar sesuai dengan tujuan dasar yang hendak dicapai.
Pemerintah daerah adalah sekedar pelaksana kebijakan
yang diberikan amanat untuk mengelola dana otsus agar
disalurkan sesuai dengan peruntukannya dan kemudian
mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat melalui
wakil wakilnya.

282 Otonomi Khusus Papua


7.5. Otsus: Membangun Tata Kelola Pemerintahan
Yang Baik
Bukan latah jika dinyatakan bahwa kebijakan otsus
adalah kebijakan yang dirancang secara khusus untuk
masyarakat Papua sebagai bagian dari upaya untuk
menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Tentu
saja pemerintahan yang baik atau apa yang sering disebut
sebagai good governance itu bukan tujuan sebenarnya
melainkan hanya tujuan antara untuk mencapai tujuan
berupa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Papua
dan bingkai NKRI. Artinya tata kelola pemerintahan yang
baik bisa disebut sebagai alat untuk mencapai tujuan
tersebut.
Meskipun demikian keberadaannya tetap sangat
penting karena kebijakan otsus itu sesungguhnya
merupakan bagian dari sistem kebijakan pemerintahan
yang diberlakukan di daerah yaitu Papua, sebagaimana
kebijakan lain yang terkait dengan pemerintahan daerah.
Hanya saja kebijakan otsus ini memiliki sejumlah ketentuan
atau rumusan yang sifatnya khusus, baik kewenangan
dan juga dana yang digunakan untuk melaksanakan
kewenangan tersebut.
Sebagai sesuatu yang terkait secara langsung dengan
proses penyelenggaraan pemerintahan, maka kebijakan
otsus dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Melalui
penerapan prinsip good governance itu diharapkan tujuan
otsus lebih mudah dibandingkan jika menerapkan prinsip
yang lain. Misalnya dalam pengelolaan dana otsus, maka
prinsip seperti akuntabilitas, transparansi, fairness,
keadilan dan sebagainya adalah sesuatu yang harus
menjadi acuan dalam mengelola keuangan. Prinsip serupa

Otonomi Khusus Papua 283


juga berlaku dalam mengelola kewenangan otsus dimana
pemerintah daerah dituntut untuk menerapkan prinsip
good governance.
Good governance adalah sebuah prinsip dasar dalam
mengelola pemerintahan yang kompatibel dengan prinsip
prinsip demokrasi, perlindungan dan penghargaan HAM
serta sejumlah prinsip lain yang dalam ilmu administrasi
publik sering disebut sebagai new public management
(NPM/manajemen publik baru) dan sejumlah varian atau
turunannya. Pada dasarnya prinsip ini yang harus menjadi
acuan dalam pelaksanaan otsus.
Pemikiran ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia
pasca reformasi yang lebih terbuka dan demokratis,
menjunjung tinggi HAM dan prinsip-prinsip lain yang
sejalan dan sebangun dengan nilai-nilai tersebut. Hal
serupa juga menjadi dasar atau acuan dalam kebijakan
pemerintahan daerah, termasuk di dalamnya kebijakan
otsus. Kebijakan ini bukan lahir semata karena didorong
oleh kebutuhan obyektif untuk membangun Papua dengan
cara dan pola yang lebih baik, lebih demokratis dan
bermartabat, tetapi juga didorong oleh kondisi obyaktif
Indonesia pasca reformasi yang memang lebih demokratis,
terbuka dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
keadilan, kesetaraan dan independensi.
Sejumlah nilai-nilai tersebut sesungguhnya juga
menjadi nilai nilai dasar yang dianut dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau yang
sering disederhanakan menjadi kalimat good governance.
Meskipun sejumlah prinsip tersebut belum sepenuhnya bisa
diimplementasikan dengan baik, namun secara normatif
sejak reformasi hingga sekarang ini nilai nilai keterbukaan
atau transparansi, akuntabilitas, fairness, independensi

284 Otonomi Khusus Papua


dan sebagainya sudah menjadi acuan dalam mengelola
pemerintahan.
Bahkan prinsip tersebut juga diberlakukan di
organisasi publik non negara dan juga organisasi privat,
terutama yang berskala besar dan memiliki kegiatan atau
aktivitas yang terkait secara langsung atau tidak langsung
dengan kepentingan publik dalam skala luas dan melibatkan
pengelolaan dana dalam jumlah besar. Bagi organisasi atau
lembaga dengan karakteristik tersebut, penerapan nilai-
nilai yan sering disebut good corporate governance (GCG),
sementara itu bagi pemerintah atau negara disebut dengan
istilah good governance atau tata kelola pemerintahan yang
baik.
Tata kelola pemerintahan yang baik adalah kepentingan
semua pihak, baik pihak negara atau pemerintah juga
pihak masyarakat atau sektor privat. Dalam kaitan ini
sejumlah lembaga atau organisasi berskala besar dan
kegiatannya secara langsung atau tidak langsung berkaitan
dengan publik dan berskala luas seperti World Bank, IMF,
ADB dan UNDP dan sejumlah organisasi internasional
dan multinasional lainnya gencar mengkampanyekan
pentingnya menggunakan prinsip prinsip good corporate
governance di lembaga korporasi atau perusahaan. Hal
serupa juga dilakukan lembaga pemerintahan karena
prinsip prinsip tersebut sejatinya merupakan model yang
tepat untuk mencapai tujuan organisasi, baik privat atau
publik.
Dalam konteks ini tidak berlebihan, dan tentu saja
bukan sesuatu yang latah jika semua pihak diingatkan
bahwa kebijakan otsus harus menjadi bagian integral
dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik.
Meskipun otsus memiliki tujuan yang lebih spesifik

Otonomi Khusus Papua 285


yaitu memberdayakan masyarakat Papua dengan cara
memberikan kewenangan dan alokasi dana khusus yang
berbeda dengan model kewenangan dan dana yang diberikan
kepada pemerintah daerah di Indonesia pada umumnya.
Namun harus diingat bahwa prinsip dasar yang digunakan
adalah sama yaitu prinsip-prinsip good governance. Juga
jangan dilupakan bahwa desain besar otonomi khusus dan
juga otonomi luas yang berlaku di daerah Indonesia pada
umumnya adalah sama yaitu sama sama sebagai alat
pemberdayaan daerah dan masyarakatnya.
Kedua model pengelolaan pemerintahan daerah pasca
reformasi sejatinya sama, dimana sejumlah pengecualian
atau kekhususan yang diberikan kepada pemerintah di
wilayah Papua sejatinya hanya pengecualian yang sifatnya
tidak pokok, tetapi terjemahan atau kelanjutan dari prinsip
dasar yang ada yang disesuaikan dengan kondisi obyektif
wilayah Papua. Artinya bisa saja sebuah daerah di wilayah
lain di Indonesia mendapat perbedaan perlakuan, meskipun
tidak disebut khusus dalam mengelola pemerintahan
daerah terkait dengan kondisi obyektifnya yang dianggap
menghendaki demikian dalam rangka pencapaian tujuan.
Dalam perspektif ini sesungguhnya tidak ada
perbedaan mendasar dalam hal pengelolaan pemerintahan
daerah antara daerah yang mendapat perlakuan khusus
berupa kewenangan dan dana khusus dengan daerah yang
mendapat perlakuan umum sebagaimana daerah lain di
Indonesia pada umumnya. Semua pemerintahan daerah
harus menerapkan prinsip prinsip tata kelola pemerintahan
yang baik agar tujuan yang diharapkan bisa lebh mudah
diraih dibandingkan dengan menggunakan cara lain yang
bertentangan dengan prinsip good governance.

286 Otonomi Khusus Papua


Kekhususan yang dimiliki pemerintah daerah di
wilayah Papua sama sekali tidak berarti mereka memiliki
kekhususan untuk menyimpang dari prinsip prinsip
good governance dalam melaksanakan otsus. Artinya
pemerintahan daerah dalam mengelola dana otsus itu
harus bersikap terbuka atau trasparan, independen, adil,
akuntabel, demokratis dan seterusnya sebagaimana prinsip-
prinsip yang menjadi acuan sebuah tata pemerintahan
yang baik. Kekhususan yang dimiliki pemerintah daerah di
wilayah Papua adalah kekhususan di bidang kewenangan
otonomi yang diberikan kepada daerah oleh pemerintah
pusat yang berbeda dengan apa yang diberikan kepada
daerah lain. Begitu juga dalam hal alokasi dana otonomi,
dimana wilayah Papua mendapat alokasi dana yang
disebut dana otsus sementara daerah lain – kecuali Aceh
(NAD) – tidak mendapatkannya. Sementara itu prinsip-
prinsip dalam mengelola pemerintahan adalah sama yaitu
menerapkan prinsip good governance sebagaimana yang
berlaku untuk daerah di Indonesia pada umumnya.
Adalah soal lain jika faktanya penerapan prinsip-
prinsip good governance itu belum sepenuhnya bisa
diterapkan karena berbagai kendala dan kondisi obyektif,
karena hal demikian sejatinya juga terjadi di pemerintahan
daerah Indonesia pada umumnya. Adalah tugas kita
bersama untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip good
governance itu bisa diterapkan secara baik karena ia adalah
model atau cara yang diyakini paling tepat dan sudah teruji
di berbagai negara untuk mencapai tujuan kebijakan.
Bukan hanya karena iklim dan sistem sosial politik dan
pemerintahan Indonesia yang berlaku sekarang ini yang
semakin demokratis dan terbuka, maka penerapan prinsip
atau nilai nilai good governance tidak bisa dihindarkan.

Otonomi Khusus Papua 287


Justru yang lebih mendasar adalah disebabkan oleh fakta
dan juga kajian teoritik dan konseptual bahwa sejumlah
prinsip atau nilai-nilai yang dikemukakan dalam good
governance adalah sesuatu yang diyakini akan memudahkan
sebuah organisasi dalam mencapai tujuannya, tidak
terkecuali bagi pemerintah daerah di Papua yang mendapat
perlakuan khusus. Dengan menerapkan prinsip-prinsip
good governance diharapkan terjadi keseimbangan dan
keselarasan dengan nilai-nilai lokal dan juga cara-cara
pengelolaan pemerintahan yang bukan hanya efektif dan
efisien tetapi juga jujur, berkeadilan dan tentunya akuntabel.

7.6. Beberapa Agenda Ke Depan


Setidaknya ada dua hal penting dalam pelaksaan otsus
yang harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan
(stakehoders) yaitu persoalan kewenangan dan dana
otsus. Kewenangan menjadi sesuatu yang penting karena
kewenangan serupa tidak dimiliki daerah lain karena ia
hanya diberlakukan untuk wilayah Papua. Begitu juga
dana otsus, terlepas dari besaran yang dialokasikan untuk
wilayah Papua, maka dana serupa tidak diberikan kepada
daerah lain meskipun memiliki kondisi yang sejatinya juga
unik dan khas terkait dengan kedudukan dan fungsi yang
diembannya.
Melalui kedua hal yang sifatnya khusus tersebut
diharapkan tujuan dari otsus lebih mudah dicapai. Tidak
heran jika sejumlah usulan yang mengemuka beberapa
tahun terakhir ini berusaha menyempurnakan otsus pada
aspek kewenangan yang dianggap masih kurang, baik ruang
lingkupnya ataupun kejelasan dalam pelaksanaannya.
Alasan teknisnya, masih banyak dijumpai persoalan tupang
tindih kewenangan, baik antara pemerintah pusat dengan

288 Otonomi Khusus Papua


pemerintah provinsi atau antar pemerintahan daerah di
wilayah Papua.
Begitu juga soal dana otsus, meskipun jumlahnya cukup
terbilang besar, dimana angkanya hingga tahun 2013 tidak
kurang dari 40,8 triliun akumulasi dari dana otsus yang
telah dikucurkan sejak tahun 2002, namun dana ini masih
dianggap kurang dan perlu ‘disempurnakan’ jumlahnya:
dalam arti ditambah. Begitu juga dalam hal pengelolaannya,
dimana masih dirasakan ada persoalan mengenai distribusi
atau alokasi serta besarannya yang dianggap kurang tepat
jika dikaitkan dengan kebutuhan obyektif masing-masing
daerah di wilayah Papua yang berbeda-beda.
Tidak mengherankan jika kedua hal penting ini akan
senantiasa menjadi fokus dan sekaligus tolok ukur dalam
pelaksanaan otsus, setidaknya untuk saat ini dan beberapa
tahun mendatang. Hingga kini, baik secara langsung atau
tidak langsung pelaksanaan otsus dianggap terkendala oleh
kedua faktor ini, meskipun sejatinya masih banyak faktor
lain yang menjadi kendala, seperti soal jumlah dan kualitas
SDM, kondisi demografis dan topografi dan sebagainya.
Karena kedua hal tersebut merupakan ciri dari otsus, maka
banyak pihak yang terfokus perhatiannya pada kedua aspek
ini.
Khusus mengenai dana otsus, sebagaimana diuraikan
sebelumnya bahwa kebijakan ini dalam pengelolaannya
bukan dilakukan dengan cara karitatif atau bagi bagi uang,
apalagi jika itu diperuntukkan bagi masing-masing individu
atau perorangan. Otsus adalah bagian dari upaya untuk
menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, sehingga
persoalan hubungan kewenangan dan besaranya menjadi
sesuatu yang penting bagi pemerintahan daerah di wilayah
Papua.

Otonomi Khusus Papua 289


Sekali lagi kedua hal ini yaitu aspek kewenangan
dan juga dana otsus akan terus menjadi perhatian utama
karena dianggap sebagai faktor utama yang menghambat
pelaksanaan otsus. Oleh karena itu kedua aspek ini harus
senantiasa menjadi fokus perhatian pemerintah. Setidaknya
untuk saat ini dan beberapa tahun ke depan sebelum kedua
hal tersebut benar-benar mantap dan tidak lagi menjadi
polemik atau perdebatan yang tidak perlu.
Adapun isu atau persoalan lain yang juga penting dan
perlu menjadi perhatian, meskipun tidak menonjol adalah
posisi otsus dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Bahwa
sifat- sifat khusus yang melekat pada otsus sesungguhnya
hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, sehingga
keberadaannya senantiasa terbuka untuk dimodifikasi
atau disempurnakan, baik itu ditambah atau sebaliknya
dikurangi.
Artinya, dalam penerapannya, otsus harus selaras
dengan sistem pemerintahan di Indonesia yang menganut
bentuk negara kesatuan dan bukan sistem federal. Di
samping itu pelaksanaan otsus juga harus dilakukan dalam
bingkai NKRI. Kedua hal ini sering dilupakan atau dianggap
kurang penting bagi masyarakat Papua, tetapi sebaliknya
menjadi sesuatu yang sangat penting bagi pemerintah
pusat. Wajar jika ada indikasi atau sekadar anasir bahwa
pelaksanaan otsus akan mengganggu integritas NKRI
dan bangunan sistem pemerintahan nasional maka sikap
pemerintah akan berbeda dan terkesan sangat hati-hati.
Hal mana terlihat jelas di saat awal awal pelaksanaan otsus.
Aspek lain yang juga penting tetapi sering dianggap
kurang diperhatikan dalam pelaksanaan otsus adalah
prinsip-prinsip dasar atau paradigma yang digunakan
dalam melaksanakan otsus. Sesungguhnya prinsip dasar

290 Otonomi Khusus Papua


atau paradigma yang digunakan di wilayah Papua tidak
berbea dengan apa yang menjadi acuan daerah lain di
Indonesia. Prinsip tersebut, sebagaimana diuraikan di
sub bab sebelumnya adalah prinsip tata kelola yang baik.
Artinya pelaksanaan otsus harus dilakukan dalam konteks
dan sistem good governance.
Bukan sebaliknya keberadaan otsus itu sendiri yang
menjadi dasar atau legitimasi untuk menerapkan prinsip
yang berbeda hanya karena otsus adalah kebijakan khusus.
Otsus dalam pelaksanaannya tidak boleh menyimpang
dari prinsip-prinsip good governance. Luas atau besaran
kewenangan serta adanya dana otsus yang diberikan kepada
suatu daerah aalah sebuah model teknis administratif
dalam mengelola pemerintahan dalam mencapai tujuannya.
Dengan demikian, tidak berarti suatu daerah yang mendapat
perlakuan khusus melalui kebijakan yang sifatnya khusus
atau diberlakukan berbeda dengan daerah lain, bisa
menyimpang dari praktik tata kelola pemerintahan yang
baik. Sesungguhnya perbedaan tersebut hanya sekadar alat
atau model yang secara teknis administrasi dimungkinkan
demi tercapainya tujuan kebijakan dengan cara yang lebih
efektif dan efisien.
Justru perbedaan itu untuk menciptakan tata
kelola pemerintahan yang lebih baik, sebagaimana
disebutkan secara singkat di sub bab sebelumnya. Dengan
mengambil contoh perbedaan perlakuan berupa pemihakan
terhadap usaha kecil dan menengah, justru dimaksudkan
untuk menciptakan iklim persaingan pasar yang sehat
dibandingkan jika model yang ada diserahkan sepenuhnya
kepada pasar bebas. Meskipun mendapat perlakuan
berbeda, pengusaha kecil dan menengah harus menerapkan
prinsip-prinsip usaha yang benar dan memiliki perilaku

Otonomi Khusus Papua 291


atau etos kerja yang baik yang sejatinya memang sudah
dimiliki. Logika serupa juga berlaku untuk kebijakan otsus
Papua.
Dalam perspektif ini pengelolaan kewenangan dan juga
dana otsus serta pelaksanaan tugas tugas pemerintahan
umum yang lain harus mengikuti atau menjadi bagian
dari sistem tata kelola pemerintahan yang baik yang
diterapkan di Indonesia. Meskipun pelaksanaannya
masih sulit diwujudkan, tetapi secara teoritik prinsip dan
model pengelolaan pemerintahan yang demikian diyakini
sebagai sesuatu yang terbaik untuk mencapai tujuan yang
diharapkan dibandingkan dengan model lain, misalnya
membagi bagi dana otsus secara langsung kepada setiap
individu atau perorangan.
Sebagai kebijakan yang tergolong populis dan kuat
nuansa politisnya, maka otsus dalam pelaksanaannya dapat
diibaratkan seperti gelombang laut. Adakalanya terjadi
pasang naik tetapi juga tidak jarang terjadi pasang surut.
Kondisi demikian juga berlaku dalam pelaksanaan otsus di
Papua.
Jika di awal pelaksanaan otsus ada dorongan yang
begitu kuat dari sejumlah elemen masyarakat di Papua,
sementara pemerintah pusat terkesan hati-hati atau
bahkan menunggu. Dalam suasana pemerintahan yang
masih belum sepenuhnya stabil dan cenderung masih
dalam kondisi krisis ekonomi dan politik, pemerintah justru
dianggap melakukan sejumlah langkah yang dipersepsi
sebagai upaya menghambat pelaksanaan otsus meskipun
dilakukan secara tidak langsung.
Pada periode awal pelaksanaan otsus memang ada
dugaan bahwa pemerintah pusat tidak ikhlas dengan
kebjakan otsus karena kebijakan ini diambil dalam kondisi

292 Otonomi Khusus Papua


pemerintah pusat yang tidak dalam posisi menentukan.
Kini kondisinya jauh berbeda, bahwa pemerintah pusat
bersama pemerintah daerah aktif melakukan upaya untuk
mempercepat pelaksanaan otsus. Terlepas dari apapun
motivasi utama yang mendorongnya, ternyata peranan
pemerintah pusat menjadi aktor penting dalam pelaksanaan
otsus. Jika masing-masing aktor yang menjadi bagian dari
proses pelaksanaan otsus bisa bersinergi dengan baik,
maka otsus akan semakin mudah dilaksanakan mencapai
tujuannya.
Dalam kondisi demikian sering muncul dilema, jika
pemerintah pusat tidak aktif terlibat dalam pelaksaaan
otsus, maka ada tudingan pemerintah pusat tidak peduli
dengan pencapaian tujuan otsus yang sejatinya juga menjadi
tujuan pemerintah pusat. Begitu juga jika pemerintah
pusat aktif di dalamnya, maka ada tudingan intervensi atau
agenda lain di luar otsus, dimana otsus hanya dijadikan
sebagai alat. Logika serupa juga berlaku bagi pihak-pihak
lain, termasuk mereka yang selama ini dianggap tidak
setuju dengan adanya otsus.
Fenomena demikian adalah sesuatu yang wajar dalam
proses pelaksanaan kebijakan yang sifatnya strategis
seperti otsus. Kepercayaan (trust) diantara aktor-aktor atau
pihak pihak yang berujung sinergi adalah salah satu aspek
penting yang menjadi kata kunci keberhasilan pelaksanaan
kebijakan ini. Koordinasi dan supervisi yang masih lemah
diantara berbagai antar di berbagai tingkatan pemerintahan
adalah bukti bahwa persoalan otsus memerlukan sinergi yang
kuat diantara masing-masing pihak atau aktor. Sementara
itu sinergi hanya muncul jika tumbuh kepercayaan diantara
masing-masing pihak. Dalam konteks ini pengelolaan otsus
berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang
baik menjadi sesuatu yang sangat penting.

Otonomi Khusus Papua 293


Barangkali itulah dinamika pelaksanaan otsus yang
dapat diibaratkan seperti pasang surut gelombang lautan.
Hanya saja kini gelombang tersebut sudah semakin
mengecil dan kondisinya relatif stabil. Di beberapa tempat
hanya muncul riak riak kecil yang mudah diatasi jika ada
kesungguhan untuk melakukannya. Singkatnya sejumlah
persoalan krusial yang muncul sebagaimana di awal awal
pelaksanaan otsus sudah mulai berkurang karena adanya
sejumlah titik temu untuk menyelesaikannya.
Jika di beberapa tempat masih muncul sejumlah
persoalan yang dianggap krusial, maka persoalan atau
fenomena demikian tentu saja bukan khas seluruh daerah
Papua. Masing-masing daerah memiliki dinamikanya
sendiri-sendiri. Diantara daerah yang relatif stabil
dinamikanya adalah wilayah Papua Barat khususnya
wilayah ‘Sorong Raya’. Dalam arti sejak awal kawasan ini
konsisten mengusung pelaksanaan otsus, meskipun ada riak
riak kecil yang berusaha menghambatnya, namun secara
umum daerah ini adalah indikator utama keberhasilan
pelaksanaan otsus. Jika di daerah ini otsus sudah dianggap
gagal, maka bagaimana dengan daerah lain di Papua.
Namun tidak berarti daerah lain khususnya yang ada di
provinsi Papua rata-rata kondisinya lebih buruk. Tidak
sedikit daerah yang bisa dianggap berhasil, tetapi sebagian
daerah bisa dianggap sangat sulit untuk melaksanakan
otsus. Itulah sedikit fakta tentang pelaksanaan otsus di
wilayah Papua yang harus menjadi tugas bersama untuk
melaksanakannnya secara konsisten dan kerja keras.

294 Otonomi Khusus Papua


Daftar Pustaka

Anderson, James E, 2006, Public Policy Making: An


Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company
Antoh, Demmy, 2008., Menggugat Implementasi Otsus
Papua, Pusat Pengkajian Pembangunan Papua, Sorong.
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi
Papua, 2005., Laporan Akhir Studi Peluang dan
Kendala dalam Melakukan Investasi di Provinsi Papua,
Jayapura.
Bardach, E. 1977. The Implementation Game: What
Happens After Bill Becomes a Law. Cambridge, Mass:
MIT Press.
Dye, Thomas R, 2005, Understanding Public Policy, Eleventh
Edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall
Dwijowijoto, Riant Nugroho, 2006, Kebijakan Publik Untuk
Negara-Negara Berkembang; Model-Model Perumusan,
Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media
Kompetindo.
Dunn, William N., 2003, Public Policy Analysis: An
Introduction Second Edition, Prentice-Hall, Inc,
Englewood Cliffs, NJ.
Edwards III, G.C. 1980. Implementing Public Policy.
Washington: Congressional Quarterly Press.
Fitzsimmons, James A & Mona. J. Fitzsimmons, 1994 Service
Management for Competitive Advantage, Mc graw-Hill
inc. New York.
Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation
in the Third Worl. Princeton, New Jersey: Princeton
University Press.
Hogwood, B.W. dan L.A. Gunn. 1984. Policy Analysis for the

Otonomi Khusus Papua 295


Real Word. Oxford: Oxford University Press.
Howlett, Michael dan M. Ramesh. 1995. Studying Public
Policy: Policy Cycles and Policy Subsystems. Toronto:
Oxford University Press.
Islamy, Irfan, 1984. “ Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan
Negara “, Jakarta : Bina Aksara.
Jones, Charles O. 1970, An Introduction to the
Study of Public Policy. Belmont, California:
Wadsworth, Inc.
Kemitraan, 2012,.Nilai-nilai Dasar Orang Papua Dalam
Mengelola Tata Pemerintahan (Governance): Studi
Refleksif Antropologis, Partnership for Governance
Reform Centre for Learning and Advancing
Experimental Democracy Indonesia Forestry and
Governance Institute, Jakarta.
LAN RI. 2005. Sistem Administrasi Negara RI.
Jakarta: Haji Masagung.
Mardiasmo & Halim, Abdul. 1999. Prinsip-
prinsip dalam Manajemen Pembiayaan
Desentralisasi, Yogyakarta: MEP & KKD PPE
FE-UGM.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen
Keuangan Daerah, Yogyakarta: Penerbit Andi.
Mazmanian, Daniel dan Paul A. Sabatier (eds). 1981.
Effective Policy Policy Implementation. Lexington Mass
DC: Health.
______. 1983. Implementation and Public Policy. London:
Scott, Foresman and Company.
Osborne, David; Gaebler, Ted. 1992. Reinventing Government:
How The Entrepreneurial Spirit is Transforming the
Public Sector, Jakarta: Pustaka Budiman Presindo.

296 Otonomi Khusus Papua


Osborne, David, dan Plastrik, Peter, 2001, Memangkas
Birokrasi; Lima Strategi Menuju Pemerintahan
Wirausaha, PPM: Jakarta.
Patton, Carl U and David S Sawacki, 1985. “ Basic Methods
Of Policy Analysis and Planning”. New Jersey : Prentice
– Hall International Inc,
Pressman, Jeffrey L. dan Aaron B. Wildavsky. 1973.
Implementation: How Great Expectations in Washington
are Dashed in Oakland. 3rd ed. Berkeley: University of
California Press.
Rusli, Budiman, 2013, Kebijakan Publik (membangun
pelayanan publik yang responsif, Hakim: Bandung.
Raweyai, Yorrys TH, 2002. Mengapa Papua Ingin Merdeka,
Jayapura: Presidium Dewan Papua.
Sugandi, Yulia, 2008, Analisis Konflik dan Rekomendasi
Kebijakan Mengenai Papua, Friedrich Ebert Stiftung
(FES), Jakarta.
Saefullah.2007. Pemikiran Kontemporer Administrasi
Publik. Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia
Dalam Era Desentralisasi. Cetakan pertama. Bandung.
SANKRI. 2003. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara.
buku 1, Jakarta: LAN.
Smith, Jenkins, 1990. “ Democratic Politics and Policy
Analysis” : California Publishing Company.
Subarsono, AG. 2009. Analisis Kebijakan Publik, Konsep,
Teori dan Aplikasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Soenarko, 1998. “ Public Policy “, Surabaya : CV. Papyrus.
Thoha, Miftah, 2005. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu
Aministrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Tachjan. 2008. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung:
AIPI Bandung-Puslit KP2W Lemlit Unpad

Otonomi Khusus Papua 297


Udoji, Chief J.O. 1981. The African Public Policy in Africa
. Addis Ababa: African Association and Management.
Van Meter, D.S. dan C.E. Van Horn. 1975. “The Policy
Implementation Process: A Conceptual Framework”,
Administration Society (February: 445- 488).
Wahab, S.A. 2008. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi
ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Weiner, David L. and Aidan R. Vinning, 1989. “ Policy
Analysis : Concepts and Practice. New Jersey : Prentice
Hall Inc,
Winarno, Budi. 2007.Kebijakan Publik Teori dan Proses.
Yogyakarta: MedPress.

298 Otonomi Khusus Papua

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai