Anda di halaman 1dari 9

Waspadai Syirik di Sekitar Kita!

(1/2): Hakikat Kesyirikan


Posted on November 21, 2010 Updated on November 19, 2010

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Kalau ada seorang penceramah berkata di atas mimbar, “Sungguh, perbuatan syirik dan pelanggaran
tauhid sering terjadi dan banyak tersebar di masyarakat kita!”, mungkin orang-orang akan
keheranan dan bertanya-tanya, “Benarkah itu sering terjadi? Mana buktinya?”

Tapi kalau berita ini bersumber dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an, masihkah
ada yang meragukan kebenarannya? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

ْ ‫َو َما ُي ْؤمِنُ أَ ْك َث ُر ُه ْم ِباهَّلل ِ إِاَّل َو ُه ْم ُم‬


َ‫ش ِر ُكون‬
“Dan sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain).” (Qs. Yusuf: 106).

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menjelaskan arti ayat ini, “Kalau ditanyakan kepada mereka, ‘Siapakah
yang menciptakan langit? Siapakah yang menciptakan bumi? Siapakah yang menciptakan gunung?’
Maka mereka akan menjawab, ‘Allah (yang menciptakan semua itu)’, (tapi bersamaan dengan itu)
mereka mempersekutukan Allah (dengan beribadah dan menyembah kepada selain-Nya)”[1]

Semakna dengan ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

ِ ‫َو َما أَ ْك َث ُر ال َّن‬


ْ ‫اس َولَ ْو َح َر‬
َ‫ص َت ِب ُم ْؤ ِمنِين‬
“Dan sebagian besar manusia tidak beriman (dengan iman yang benar), walaupun kamu sangat
menginginkannya.” (Qs Yusuf: 103).

Artinya: Mayoritas manusia walaupun kamu sangat menginginkan dan bersunguh-sungguh untuk
(menyampaikan) petunjuk (Allah), mereka tidak akan beriman kepada Allah (dengan iman yang
benar), karena mereka memegang teguh (keyakinan) kafir (dan syirik) yang merupakan agama
(warisan) nenek moyang mereka.[2]

Dalam hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menegaskan hal ini dalam
sabda beliau,

َ‫ش ِركِينَ َو َح َّتى َي ْع ُبدُوا األَ ْو َثان‬


ْ ‫السا َع ُة َح َّتى َت ْل َح َق َق َبائِل ُ مِنْ أ ُ َّمتِي بِا ْل ُم‬
َّ ‫الَ َتقُو ُم‬
“Tidak akan terjadi hari Kiamat sampai beberapa qabilah (suku/kelompok) dari umatku bergabung
dengan orang-orang musyrik dan sampai mereka menyembah berhala (segala sesuatu yang
disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala).”[3]

Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan, bahwa perbuatan syirik terus ada dan terjadi di umat
Islam sampai datangnya hari kiamat.[4]
Hakikat Syirik
Perbuatan syirik adalah menjadikan syarik (sekutu) bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sifat
rububiyah-Nya (perbuatan-perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang khusus bagi-Nya, seperti
mencipta, melindungi, mengatur dan memberi rezeki kepada makhluk-Nya) dan uluhiyah-Nya (hak
untuk disembah dan diibadahi semata-mata tanpa disekutukan). Meskipun mayoritas perbuatan
syirik (yang terjadi di umat ini) adalah (syirik) dalam sifat uluhiyah-Nya, yaitu dengan berdoa
(meminta) kepada selain Allah bersamaan dengan (meminta) kepada-Nya, atau mempersembahkan
satu bentuk ibadah kepada selain-Nya, seperti menyembelih (berkurban), bernadzar, rasa takut,
berharap dan mencintai.[5]

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menjelaskan hakikat perbuatan syirik yang diperangi
oleh semua Rasul ‘alaihimussalam yang diutus oleh Allah ‘Azza wa Jalla, beliau berkata, “Ketahuilah,
semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam beribadah. Inilah agama (yang dibawa) para Rasul ‘alaihimussalam yang diutus oleh Allah
kepada umat manusia.

Rasul yang pertama adalah (nabi) Nuh ‘alaihissalam yang diutus oleh Allah kepada kaumnya ketika
mereka bersikap ghuluw (berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan) orang-orang yang
shalih (di kalangan mereka, yaitu) Wadd, Suwa’, Yaguts, Ya’uq dan Nasr.”[6]

Rasul yang terakhir (yaitu) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dialah yang
menghancurkan gambar-gambar (patung-patung) orang-orang shalih tersebut. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah kepada kaum (orang-orang musyrik) yang selalu beribadah,
berhaji, bersedekah dan banyak berzikir kepada Allah, akan tetapi mereka (berbuat syirik dengan)
menjadikan makhluk sebagai perantara antara mereka dengan Allah (dalam beribadah). Mereka
mengatakan, “Kami menginginkan dari perantara-perantara makhluk itu untuk mendekatkan diri
kepada Allah[7], dan kami menginginkan syafa’at mereka di sisi-Nya.”[8] (Perantara-perantara
tersebut adalah) seperti para malaikat, Nabi Isa bin Maryam, dan orang-orang shalih lainnya.

Maka, Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperbaharui
(memurnikan kembali) ajaran agama yang pernah dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam (yaitu
ajaran tauhid) dan menyerukan kepada mereka, bahwa (bentuk) pendekatan diri dan keyakinan
(seperti) ini adalah hak Allah yang murni (khusus bagi-Nya) dan tidak boleh diperuntukkan sedikitpun
kepada selain-Nya, meskipun itu malaikat atau nabi utusan-Nya, apalagi yang selainnya.”[9]

-Bersambung insya Allah-

Waspadai Syirik di Sekitar Kita! (2/2): Contoh-contoh Perbuatan Syirik Zaman


Sekarang
Contoh-contoh Perbuatan Syirik yang Banyak Terjadi di Masyarakat

Perbuatan-perbuatan syirik seperti ini sangat sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, bahkan
perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang-orang di zaman Jahiliyah, sebelum datangnya Islam,
masih juga sering terjadi di zaman modern ini.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Perbuatan syirik yang terjadi di zaman Jahiliyah (juga)
terjadi pada (zaman) sekarang ini:

1- Dulunya orang-orang musyrik (di zaman Jahiliyah) meyakini, bahwa Allah Dialah Yang Maha
Pencipta dan Pemberi Rezeki (bagi semua mekhluk-Nya), akan tetapi (bersamaan dengan itu)
mereka berdoa (meminta/menyeru) kepada para wali (orang-orang yang mereka anggap shalih dan
dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dalam bentuk berhala-berhala, sebagai perantara untuk
(semakin) mendekatkan mereka kepada Allah (menurut persangkaan sesat mereka). Maka Allah
tidak meridhai (perbuatan) mereka menjadikan perantara (dalam berdoa) tersebut, bahkan Allah
menyatakan kekafiran mereka dalam firman-Nya:

‫ إِنَّ هَّللا َ َي ْح ُك ُم َب ْي َن ُه ْم فِي َما ُه ْم فِي ِه‬،‫اء َما َن ْع ُب ُد ُه ْم إِال لِ ُي َق ِّر ُبو َنا إِلَى هَّللا ِ ُز ْل َفى‬
َ ‫َوالَّذِينَ ا َّت َخ ُذوا مِنْ دُونِ ِه أَ ْولِ َي‬
ٌ ‫ إِنَّ هَّللا َ ال َي ْهدِي َمنْ ه َُو َكاذ‬، َ‫َي ْخ َتلِفُون‬
‫ِب َك َّفا ٌر‬
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka
(sembahan-sembahan kami) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang
mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang
pendusta dan sangat besar kekafirannya” (QS az-Zumar:3).

Allah Subhanahu wa Ta’ala maha mendengar lagi maha dekat, Dia tidak butuh kepada perantara dari
makhluk-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

ٌ ‫سأَلَ َك عِ َبادِي َع ِّني َفإِ ِّني َق ِر‬


‫يب‬ َ ‫َوإِ َذا‬
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku
adalah maha dekat.” (Qs al-Baqarah: 186).

Kita saksikan di zaman sekarang ini kebanyakan kaum muslimin berdoa (meminta/menyeru) kepada
wali-wali dalam wujud (penyembahan terhadap) kuburan mereka, dengan tujuan untuk
mendekatkan diri mereka kepada Allah.

Maka, berhala-berhala (di zaman Jahiliyah) adalah wujud dari para wali (orang-orang yang mereka
anggap shalih dan dekat kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala) yang telah wafat menurut pandangan
orang-orang musrik (di zaman Jahiliyah), sedangkan kuburan adalah wujud dari para wali yang telah
wafat menurut pandangan orang-orang yang melakukan perbuatan Jahiliyah (di zaman sekarang),
meskipun harus diketahui bahwa fitnah (kerusakan/keburukan yang ditimbulkan) dari
(penyembahan terhadap) kuburan lebih besar dari fitnah (penyembahan) berhala!.

2- Dulunya orang-orang musyrik (di zaman Jahiliyah) selalu berdoa kepada Allah semata di waktu-
waktu sulit dan sempit, kemudian mereka menyekutukan-Nya di waktu lapang. Allah berfirman,

ْ ‫َفإِ َذا َر ِك ُبوا فِي ا ْلفُ ْلكِ دَ َع ُوا هَّللا َ ُم ْخلِصِ ينَ لَ ُه الدِّ ينَ َفلَ َّما َن َّجا ُه ْم إِلَى ا ْل َب ِّر إِ َذا ُه ْم ُي‬
َ‫ش ِر ُكون‬
“Maka, apabila mereka mengarungi (lautan) dengan kapal mereka berdoa kepada Allah dengan
memurnikan agama bagi-Nya; kemudian tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-
tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (Qs. al-‘Ankabuut: 65).
Maka, bagaimana mungkin diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berdoa kepada selain Allah
dalam waktu sempit dan lapang (sebagaimana yang sering dilakukan oleh banyak kaum muslimin di
jaman ini)?[10]

Contoh-contoh lain perbuatan perbuatan syirik yang banyak tersebar di masyarakat[11]:

1- Mempersembahkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti
berdoa (memohon) kepada orang-orang shaleh yang telah mati, meminta pengampunan dosa,
menghilangkan kesulitan (hidup), atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti keturunan dan
kesembuhan penyakit, kepada orang-orang shalih tersebut. Juga seperti mendekatkan diri kepada
mereka dengan sembelihan kurban, bernadzar, thawaf, shalat dan sujud… Ini semua adalah
perbuatan syirik, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

َ‫ت َوأَ َنا أَ َّول ُ ا ْل ُم ْسلِمِين‬ َ ‫ ال‬، َ‫اي َو َم َماتِي هَّلِل ِ َر ِّب ا ْل َعالَمِين‬
ُ ‫ش ِري َك لَ ُه َو ِب َذلِ َك أُم ِْر‬ َ َّ‫ُقلْ إِن‬
ُ ‫صالتِي َو ُن‬
َ ‫سكِي َو َم ْح َي‬
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
semesta alam. Tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS al-An’aam: 162-163).

2- Mendatangi para dukun, tukang sihir, peramal (paranormal) dan sebagainya, serta membenarkan
ucapan mereka. Ini termasuk perbuatan kafir (mendustakan) agama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka
sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam.”[12]

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan kekafiran para dukun, peramal dan tukang sihir tersebut
dalam firman-Nya,

َ ‫ش َياطِ ينَ َك َف ُروا ُي َعلِّ ُمونَ ال َّن‬


‫اس‬ َّ ‫س َل ْي َمانُ َو َلكِنَّ ال‬ُ ‫سلَ ْي َمانَ َو َما َك َف َر‬
ُ ِ‫ش َياطِ ينُ َعلَى ُم ْلك‬ َّ ‫َوا َّت َب ُعوا َما َت ْتلُو ال‬
‫ان مِنْ أَ َح ٍد َح َّتى َيقُوال إِ َّن َما َن ْحنُ فِ ْت َن ٌة َفال‬ ِ ‫وت َو َما ُي َعلِّ َم‬ َ ‫وت َو َما ُر‬ َ ‫الس ْح َر َو َما أُنزل َ َعلَى ا ْل َملَ َك ْي ِن بِ َبابِل َ هَا ُر‬ ِّ
‫هَّللا‬ َ
ِ ‫ارينَ ِب ِه مِنْ أ َح ٍد إِال ِبإِ ْذ ِن‬ ِّ ‫ض‬ َ ‫َت ْكفُ ْر َف َي َت َعلَّ ُمونَ ِم ْن ُه َما َما ُي َف ِّرقُونَ ِب ِه َب ْينَ ا ْل َم ْرءِ َو َز ْو ِج ِه َو َما ُه ْم ِب‬
‫ش َر ْوا‬ َ ‫س َما‬ َ ‫الق َولَ ِب ْئ‬ٍ ‫ش َت َراهُ َما لَ ُه فِي اآلخ َِر ِة مِنْ َخ‬ ْ ‫م َولَ َقدْ َعلِ ُموا لَ َم ِن ا‬Gْ ‫ض ُّر ُه ْم َوال َي ْن َف ُع ُه‬
ُ ‫َو َي َت َعلَّ ُمونَ َما َي‬
َ‫س ُه ْم لَ ْو َكا ُنوا َي ْعلَ ُمون‬ َ ُ‫بِ ِه أَ ْنف‬
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir
(mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri
Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun
sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.’
Maka, mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat
menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi
mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari
sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan tidak memberi manfaat. Padahal
sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan
sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS al-Baqarah:102).

Hal ini dikarenakan para dukun, peramal dan tukang sihir tersebut mengaku-ngaku mengetahui hal-
hal yang gaib, padahal ini merupakan kekhususan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala,

ْ ‫ض ا ْل َغ ْي َب إِال هَّللا ُ َو َما َي‬


َ‫ش ُع ُرونَ أَ َّيانَ ُي ْب َع ُثون‬ ِ ‫األر‬ َّ ‫قُلْ ال َي ْعلَ ُم َمنْ فِي‬
ِ ‫الس َم َاوا‬
ْ ‫ت َو‬
“Katakanlah, ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib,
kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan.” (Qs. an-Naml:
65).

Selain itu, mereka selalu bekerjasama dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktek
perdukunan dan sihir mereka, bahkan para jin dan setan tersebut tidak mau membantu mereka
dalam praktik tersebut sampai mereka melakukan perbuatan syirik dan kafir kepada AllahSubhanahu
wa Ta’ala, misalnya mempersembahkan hewan kurban untuk para jin dan setan tersebut,
menghinakan al-Qur’an dengan berbagai macam cara, atau perbuatan-perbuatan kafir lainnya[13].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

‫ال مِنَ ا ْل ِجنِّ َف َزادُو ُه ْم َر َه ًقا‬ ِ ‫َوأَ َّن ُه َكانَ ِر َجال ٌ مِنَ اإْل ِ ْن‬
ٍ ‫س َي ُعو ُذونَ ِب ِر َج‬
“Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada
beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.”
(Qs. al-Jin: 6).

3- Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamsendiri yang melarang hal ini dalam sabda beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kalian berlebihan dan melampaui batas dalam memujiku
sebagaimana orang-orang Nashrani berlebihan dan melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin
Maryam, karena sesungguhnya aku adalah hamba (Allah), maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-
Nya.”[14]

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang tidak mungkin beliau ikut
memiliki sebagian dari sifat-sifat yang khusus milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti mengetahui
ilmu ghaib, memberikan manfaat atau mudharat bagi manusia, mengatur alam semesta, dan lain-
lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

َّ ‫ت مِنَ ا ْل َخ ْي ِر َو َما َم‬


‫سن َِي‬ ُ ‫الس َت ْك َث ْر‬ ُ ‫شا َء هَّللا ُ َولَ ْو ُك ْن‬
ْ ‫ت أَ ْعلَ ُم ا ْل َغ ْي َب‬ َ ‫قُلْ ال أَ ْملِ ُك لِ َن ْفسِ ي َن ْف ًعا َوال‬
َ ‫ًًّرا إِال َما‬GM ‫ض‬
َ‫سو ُء إِنْ أَ َنا إِال َنذِي ٌر َو َبشِ ي ٌر لِ َق ْو ٍم ُي ْؤ ِم ُنون‬ ُّ ‫ال‬
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan seandainya aku mengetahui yang ghaib, tentulah
aku akan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku
tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang
beriman.’” (Qs. al-A’raaf: 188).

Diantara bentuk-bentuk pengagungan yang berlebihan dan melampaui batas kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut,
– Meyakini bahwa beliau mengetahui perkara yang ghaib dan bahwa dunia diciptakan karena beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

– Memohon pengampunan dosa dan masuk surga kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
semua perkara ini adalah khusus milik Allah Ta’ala dan tidak ada seorang makhlukpun yang ikut serta
memilikinya.

– Melakukan safar (perjalanan) dengan tujuan menziarahi kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang melarang perbuatan ini dalam sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh melakukan perjalanan (dengan tujuan ibadah)
kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.”[15]

Dan semua hadits yang menyebutkan keutamaan melakukan perjalanan untuk mengunjungi
kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah hadits yang lemah dan tidak benar penisbatannya
kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang ditegaskan oleh sejumlah imam ahli
hadits.

Adapun melakukan perjalanan untuk melakukan shalat di Masjid Nabawi, maka ini adalah perkara
yang dianjurkan dalam Islam berdasarkan hadits yang shahih.[16]

– Meyakini bahwa keutamaan Masjid Nabawi adalah karena adanya kuburan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ini jelas merupakan kesalahan yang sangat fatal, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menyebutkan keutamaan shalat di Mesjid Nabawi sebelum beliau wafat.

4- Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan kuburan orang-orang shalih, yang
terwujud dalam berbagai bentuk di antaranya:

– Memasukkan kuburan ke dalam masjid dan meyakini adanya keberkahan dengan masuknya
kuburan tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani,
(kerena) mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai mesjid (tempat ibadah).”[17]

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, orang-orang
sebelum kalian selalu menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih (di antara) mereka
sebagai masjid (tempat ibadah), maka janganlah kalian (wahai kaum muslimin) menjadikan kuburan
sebagai mesjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari perrbuatan tersebut.”[18]

– Membangun (meninggikan) kuburan dan mengapur (mengecat)nya.

Dalam hadits yang shahih Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang dari mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atasnya, dan membangun di
atasnya.”[19]

Perbuatan-perbuatan ini dilarang, karena merupakan sarana yang membawa kepada perbuatan
syirik (menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan orang-orang shalih tersebut).

5- Termasuk perbuatan yang merusak tauhid dan akidah seorang muslim adalah menggantungkan
jimat, yang berupa benang, manik-manik atau benda lainnya, pada leher, tangan, atau tempat-
tempat lainnya, dengan meyakini jimat tersebut sebagai penangkal bahaya dan pengundang
kebaikan. (kalung atau gelang kesehatan).

Perbuatan ini dilarang keras oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebda beliau,
“Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka sungguh di telah berbuat syirik.”[20]

6- Demikian juga perbuatan ath-thiyarah/at-tathayyur, yaitu menjadikan sesuatu sebagai sebab


kesialan atau keberhasilan suatu urusan, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikannya
sebagai sebab.

Perbuatan ini juga dilarang keras oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebda beliau,
“(Melakukan) ath-thiyarah adalah kesyirikan.”[21]

7- Demikian juga perbuatan bersumpah dengan nama selain Allah, biasanya dikalangan adat di sisni
ada sumpah pocong. Sumpah pocong memang sering dilakukan oleh umat islam namun hal tersebut
tidaklah membuat sumpah pocong diperbolehkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang bersumpah dengan (nama) selain Allah maka sungguh dia telah berbuat
syirik.”[22]

Nasihat Dan Penutup


Demikianlah sedikit dari contoh-contoh perbuatan syirik yang terjadi di masyarakat, yang ini semua
seharusnya menjadikan seorang muslim selalu memikirkan dan mengkhawatirkan dirinya akan
kemungkinan terjerumus ke dalam perbuatan tersebut. Karena siapa yang mampu menjamin dirinya
dan keluarganya selamat dari keburukan yang terjadi pada orang-orang yang hidup disekitarnya?

Kalau Nabi Ibrahim ‘alaihissalam saja sampai mengkhawatirkan dirinya dan keluarganya terjerumus
dalam perbuatan menyembah kepada selain Allah (syirik), sebagaimana doa yang diucapkannya,

‫األص َنا َم‬


ْ َ‫اج ُن ْبنِي َو َبن َِّي أَنْ َن ْع ُبد‬
ْ ‫َو‬
“Jauhkanlah diriku dan anak cucuku dari (perbuatan) menyembah berhala.” (Qs. Ibrahim: 35).

Padahal, beliau ‘alaihissalam adalah nabi mulia yang merupakan panutan dalam kekuatan iman,
kekokohan tauhid, serta ketegasan dalam memerangi syirik dan pelakunya.

Maka, tentunya kita lebih pantas lagi mengkhawatirkan hal tersebut menimpa diri kita, dengan
semakin bersunggh-bersungguh berdoa dan meminta perlindungan kepada-Nya agar dihindarkan
dari semua perbuatan tersebut dan sebab-sebab yang membawa kepadanya.

Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang
mulia, Abu Bakar ash-Shiddiqradhiallahu ‘anhu,

‫ َوأَ ْس َت ْغفِ ُر َك لِ َما ال أَ ْع َل ُم‬، ‫ش ِر َك ِب َك َوأَ َنا أَ ْعلَ ُم‬


ْ ُ ‫اللَّ ُه َّم إِ ِّني أَ ُعو ُذ ِب َك أَنْ أ‬
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku
ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari).”[23]
Juga tentu saja, dengan semakin giat mengusahakan sebab-sebab yang semakin memantapkan
akidah tauhid dalam diri kita, yaitu dengan semakin semangat mempelajari ilmu tentang tauhid dan
keimanan, serta berusaha semaksimal mungkin mempraktekkan dan merealisasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.

‫ وآخر دعوانا أن الحمد هلل رب العالمين‬،‫وصلى هللا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين‬
Kota Kendari, 19 Jumadal Tsaniyah 1431 H

Penulis: Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Artikel www.manisnyaiman.com

[1] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (2/649), lihat juga kitab Taisiirul Kariimir
Rahmaan (hal. 406).

[2] Kitab Fathul Qadiir (4/77).

[3] HR Abu Dawud (no. 4252), at-Tirmidzi (no. 2219) dan Ibnu Majah (no. 3952), dinyatakan shahih
oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.

[4] Lihat kitab al-‘Aqiidatul Islaamiyyah (hal. 33-34) tulisan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

[5] Kitab at-Tauhid (hal. 8) tulisan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan.

[6] Ini adalah nama-nama orang shalih dari umat Nabi Nuh ‘alaihissalam, yang kemudian setelah
mereka wafat, kaumnya menjadikan patung-patung mereka sebagai sembahan selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Lihat surat Nuh: 23.

[7] Sebagaimana yang disebutkan dalam surat az-Zumar: 3.

[8] Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Yuunus: 18.

[9] Kitab Kasyfusy Syubuhaat (hal. 7).

[10] Kitab al-‘Aqiidatul Islaamiyyah (hal. 46).

[11] Pembahasan ini diringkas dari kitab Mukhaalafaat Fit Tauhiid tulisan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ar-
Rayyis, dengan sedikit tambahan dan penyesuaian.

[12] HR Ahmad (2/429) dan al-Hakim (1/49), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi
dan Syaikh al-Albani dalam ash-Shahiihah (no. 3387).

[13] Lihat kitab at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid (hal. 317) dan kitab Hum Laisu Bisyai (hal. 4).

[14] HSR. al-Bukhari (no. 3261).

[15] HSR. al-Bukhari (no. 1132) dan Muslim (no. 1397).

[16] HSR. al-Bukhari (no. 1133) dan Muslim (no. 1394).

[17] HSR. al-Bukhari (no. 1265) dan Muslim (no. 529).

[18] HSR. Muslim (no. 532).

[19] HSR. Muslim (no. 970).


[20] HR Ahmad (4/156) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (no.
492).

[21] HR Abu Dawud (no. 3910), at-Tirmidzi (no. 1614) dan Ibnu Majah (no. 3538), dinyatakan shahih
oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (no. 429).

[22] HR. Abu Dawud (no. 3251) dan at-Tirmidzi (no. 1535), dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi
dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahiihah (no. 2042).

[23] HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 716) dan Abu Ya’la (no. 60), dinyatakan shahih oleh
Syaikh al-Albani.

Disalin dari artikel Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Anda mungkin juga menyukai