Anda di halaman 1dari 4

TUGAS HUKUM DIPLOMATIK II

NAMA : ANA KUSUMA A

NIM : 1805010080

1. Bagaimana caranya agar penyadapan tersebut tidak terulang lagi di lingkungan


perwakilan diplomatik?

Berdasarkan pendapat Astri Ariani dalam Makalahnya yang berjudul Penyelesaian


Penyadapan Kedutaan Republik Indonesia berdasarkan Konvensi Wina 1961, penulis
berpendapat bahwa terdapat 2 (dua) cara agar penyadapan tersebut tidak terulang kembali.
Adapun sebagaimana berikut:

Seyogyanya Pemerintah Indonesia harus lebih meningkatkan sistem atau cara-cara


pengamanan perwakilan diplomatiknya, serta melakukan pemeriksaan terhadap alat-alat dan
kelengkapan yang terdapat di dalam gedung perwakilan diplomatik.

Karena belum adanya suatu kodifikasi hukum mengenai hal-hal yang menimbulkan tanggung
jawab negara, maka Komisi Hukum Internasional hendaknya harus tetap berusaha untuk
merancang ketentuan mengenai hal tersebut agar tercipta suatu ketentuan (code of conduct)
yang mengikat secara luas bagi berbagai pihak khususnya bagi para subjek hukum
internasional. Atau dengan alternatif lain, sehingga negara-negara didunia yang menjalin
hubungan diplomatik dapat membuat suatu rule (aturan) ketika melakukan hubungan
diplomatik dengan suatu negara, sehingga aturan tersebut disepakati oleh pihak-pihak yang
menjalankan hubungan diplomatik.

2. Apakah pelaku penyadapan dapat diadili di Indonesia?

Untuk menentukan apakah pelaku penyadapan dalam kasus posisi tersebut dapat di
adili di Indonesia atau tidak, sejatinya kita harus menentukan pilihan hukum (choice of law)
atau hukum negara manakah yang digunakan. Untuk mengetahui hal tersebut, tentunya
haruslah dipastikan terlebih dahulu apakah penyadapan yang dilakukan tersebut melanggar
ketentuan undang-undang negara (penyadap dan yang di sadap) atau tidak. Dalam sistem
hukum Indonesia, penyadapan di atur didalam berberapa undang-undang salah satunya
adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE). Dalam undang-undang ITE larangan terkait penyadapan diatur dalam Pasal 31ayat
(1) dan (2) yang berbunyi sebagaimana berikut:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi
atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu
Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas
transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari,
ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik
yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan,
penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang sedang ditransmisikan.”

Akan tetapi, perlu diketahui bahwa atas larangan intersepsi atau penyadapan tersebut,
terdapat pengecualiannya yang juga telah diakomodir dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE, yang
berbunyi sebagaimana berikut:

“Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau
institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.”

Dalam Pasal 1 angka 21 UU ITE, yang dimaksud sebagai “orang” adalah warga
negara Indonesia, Warga negara asing maupun badan hukum. Oleh karenanya, jika pelaku
penyadapan secara ilegal adalah warga negara asing ketentuan undang-undang ini tetap dapat
diberlakukan. Berdasarkan Pasal 2 UU ITE, ketentuan dari undang-undang tersebut secara
keseluruhan dapat diberlakukan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, tidak
terkecuali yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia
dengan catatan perbuatan hukum tersebut memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan UU ITE sebagaimana yang telah penulis
uraikan di atas, penulis berpendapat bahwa sejatinya pelaku penyadapan dalam kasus ini
dapat diadili di Indonesia

3. Tindakan apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap negara lain yang
terbukti melakukan pelanggaran hukum diplomatik sehingga merugikan kepentingan
Indonesia.
Kasus penyadapan terhadap Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangoon,
Myanmar telah menimbulkan rasa kekecewaan luar biasa yang di rasakan oleh Bangsa
Indonesia. Tindakan illegal yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar telah menyalahi tata
krama dalam hubungan diplomatik sebagaimana dituangkan dalam Konvensi Wina 1961
yang menyatakan bahwa gedung perwakilan diplomatik kebal terhadap alat-alat negara
penerima serta tidak dapat diganggu-gugat. Tindakan ini mengindikasikan bahwa rezim
penguasa di Myanmar tidak menghargai dukungan politik dan diplomatik Republik Indonesia
selama ini dalam menghadapi tekanan dunia barat baik dalam forum internasional melalui
Perserikatan Bangsa Bangsa maupun dalam forum regional melalui ASEAN.

Dalam pasal 3 Undang-undang No 37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri


dinyatakan bahwa politik luar negeri Bangsa Indonesia menganut prinsip bebas aktif yang
berarti politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap
permasalah-an internasional serta secara aktif menyelesaikan konflik, sengketa, per-
masalahan demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Hal ini bersesuaian dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa
pasal 2 ayat yang menyatakan bahwa seluruh anggota Perserikatan Bangsa Bangsa harus
menyelesaikan sengketa inte-rnasional dengan jalan damai sehingga perdamaian dan
keamanan internasional tidak terancam. Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa juga
menegaskan bahwa Perserikatan Bangsa Bangsa meminta kepada negara-negara wajib
menyelesaikan secara damai sengketa yang dihadapi dan dapat memilih prosedur yang telah
ditetapkan dalam pasal ini. Dari ketentuan-ketentuan ter-sebut terlihat bahwa garis kebijakan
penyelesaian sengketa yang diambil oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa pasal 2 ayat (3) dan pasal 33 dimana lebih mengutamakan
penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang ditujukan untuk menciptakan perdamaian di
muka bumi yang telah dicita-citakan oleh setiap bangsa. Terlebih bukan zamannya lagi
menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara kekerasan maupun peperangan mengingat
hubungan antar bangsa telah berkembang dengan pesat dan lebih mengedepankan
penghargaan terhadap kemanusian. Tentunya penyelesaian sengketa tersebut harus
dilandaskan pada prinsip yang utama di dalam penyelesaian sengketa internasional, yaitu
prinsip iktikad baik (good faith). Prinsip ini dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan
paling sentral dalam penyelesaian sengketa antar negara. Prinsip ini mensyaratkan dan
mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang
dihadapi. penyelesaian sengketa secara politik dapat dikatakan merupakan pilhan terbaik,
mengingat dari penyelesaian sengketa secara politik dapat tercapai kondisi yang harmonis
dan dapat diterima secara baik oleh kedua negara.

Langkah-langkah yang harus dilakukan Bangsa Indonesia di dalam melaksanakan


proses negosiasi dengan Pemerintah Myanmar adalah dengan melakukankan persiapan
negosiasi. Negosiasi antar negara dilakukan melalui saluran diplomatik yakni melalui
Menteri Luar Negeri atau wakil-wakil diplomatik dan dapat pula membawa delegasi dari
departemen pemerintah yang berkepentingan. Langkah konkrit yang harus dilakukan adalah
Depar-temen Luar Negeri (Deplu) sesegera mungkin untuk memanggil Duta Besar Myanmar
untuk Indonesia guna memberikan keterangan yang diperlukan sehubungan dengan kasus
penyadapan tersebut, disamping itu juga Bangsa Indonesia harus mengirimkan nota
diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Myanmar untuk mengklarifikasi-kan masalah
tersebut dan menyatakan kekecewaan atas terjadinya penyadapan tersebut yang sempat
menghambat kinerja dari para diplomat.

Selanjutnya melalui tahap perundingan, Indonesia sebagai negara yang dirugikan atas
terjadinya pe-nyadapan harus menyampaikan harapan-harapan supaya Pemerintah Myanmar
mengakui perbuatannya dan tidak mengulangi serta akan tetap mematuhi ketentuan-ketentuan
yang tertuang dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik. Dalam bernegosiasi
Indonesia dan Myanmar harus melakukan secara bersahabat, berkomunikasi secara terbuka,
dan melakukan pertukaran informasi secara transparan demi mencapai kesepakatan yang
memenuhi kepentingan kedua belah pihak. Apabila kedua belah pihak gagal di dalam
menyelesaikan sengketa melalui jalur diplomatik, maka dapat ditempuh cara-cara
penyelesaian sengketa secara hukum dan membawanya ke Mahkamah Internasional. Namun
untuk membawa sengketa ke depan Mahkamah Inter-nasional perlu diperhitungkan terlebih
dahulu keuntungan dan kerugiannya, terutama dilihat dari karakteristik sengketa yang
berlatar belakang sengketa diplomatik. Keengganan membawa kasus tersebut ke Mahkamah
Internasional adalah merujuk pada tujuan akhir dari hukum internasional mengenai
penyelesaian sengketa adalah penyelesaian secara damai dan hukum internasional tidak
menghendaki penyelesaian secara kekerasan (militer).Bangsa Indonesia tidak perlu
membawa kasus penyadapan tersebut ke dalam Kerjasama ASEAN karena untuk membentuk
sebuah High Council yang terdiri dari wakil-wakil setingkat menteri dari negara-negara
anggota tidaklah mudah, hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang
tidak sedikit sehingga pada akhirnya tidak efisien dan berdampak pada penyelesaian sengketa
yang tidak efektif. Sementara itu mengingat hubungan bilateral antara Indonesia-Myanmar
sehingga dalam kasus penyadapan ini pihak yang terkait hanyalah kedua negara tersebut
bukan bersifat multilateral yang menyangkut negara-negara ASEAN dengan begitu guna
efisiensi dan efektifitas penyelesai-an sengketa akan lebih baik bila kedua negara tersebut
yang menyelesaikanya. Jalur diplomasi yang dikedepankan tersebut didasari pula atas
keinginan kedua negara dalam menyelesaikan sengketa, karena meski kepentingan nasional
merupakan tujuan utama namun keberhasilan perundingan merupakan unsur penting dalam
kerjasama bilateral.

Anda mungkin juga menyukai