1. Djarab, Hendarmin, dkk., ed. Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI: Mengenang Almarhum Prof.
Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M. Bandung: Penerbit Angkasa, 1998.
2. Hartono, C.F.G. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 1991.
3. Gaffar, Firoz, ed. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: CYBERconsult, 1999.
4. Juwana, Hikmahanto. Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
5. Kartadjoemena, H.S. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa. Jakarta: UI
Press, 2000.
6. Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni, 2002.
7. Lubis, T. Mulya, ed. Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1986.
8. Mendelson, Wallace. “Law and The Develoopment of Nations”, The Journal of Politics, Vol. 32.
9. Mertokusumo, sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1988.
10. Otto, Jan Michiel. Kepastian Hukum di Negara Berkembang [Reële Rechtszekerheid in ontwikkelingslanden],
diterjemahkan oleh Tristam Moeliono. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003.
11. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
12. Rajagukguk, Erman. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi
Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato pengukuhan Guru Besar FH-UI, Jakarta: 4 Januari 1997.
13. Sarwini dan L. Budi Kagramanto, ed. Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum. Surabaya: Karya
Abditama, 2001.
14. Stiglitz, Joseph E. Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional [Globalization and
Its Discontents], diterjemahkan oleh Ahmad Lukman. Jakarta: Ina Publikatama, 2002.
15. Suhardi, Gunarto. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002.
16. Sumantoro. Hukum Ekonomi. Jakarta: UI Press, 1986.
17. Susanti, Ida dan Bayu Seto, ed. Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum
Indonesia dalam Melaksanakan Peragangan Bebas. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
18. Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, ed. Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Bandung: Mandar Maju, 2000.
19. Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, diedit oleh Ifdhal
Kasim, dkk. Jakarta: Elsam dan HUMA, 2002.
Perkembangan Ekonomi Global
Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada
Rabu, 8 Maret 2006
Indonesia sebagai small open economy dalam perekonomian global memang sangat mudah terpengaruh oleh
perkembangan ekonomi internasional, baik positif maupun negatif. Pengaruh contagious dan spill over dari luar
negeri dengan mudah menerpa ekonomi nasional. Ke depan ini, diperlukan kemampuan otoritas kebijakan untuk
merancang ekonomi yang tahan banting dan tidak mudah terombang-ambing oleh gelombang ekonomi dunia.
Pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia amat rentan terhadap pengaruh
perkembangan negatif internasional. Padahal perkembangan ekonomi internasional bisa dikatakan masih
tidak ramah. Bank sentral AS (the Fed) diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga. Demikian juga tren
penurunan harga minyak di pasar internasional tampaknya juga tidak terus berlanjut seperti yang kita
harapkan. Dan, karena itu, harga minyak yang tinggi masih akan menjadi bagian hidup kita. Sementara itu,
pertumbuhan ekonomi global secara umum juga masih rendah dan cenderung stagnan.
Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook September 2005 menunjukkan
bahwa secara umum ekonomi dunia tahun ini tumbuh lamban.
Ekonomi dunia pada tahun 2005 tumbuh sebesar 3,5%, tapi pada tahun ini diperkirakan hanya 3,3%.
Sementara laju pertumbuhan ekonomi Jepang tahun ini diperkirakan stagnan pada tingkat 2% seperti pada
tahun 2005. Dengan demikian, sulit diharapkan ekspor kita meningkat besar.
Perkembangan ekonomi global yang kurang menguntungkan memang memiliki andil terhadap
memburuknya ekonomi Indonesia. Namun tetap saja masalah utamanya adalah ketidakmampuan tim
ekonomi kita mengantisipasi dan memformulasikan kebijakan yang baik, sehingga kemerosotan yang terjadi
semakin meluas.
Pemerintah sendiri melihat tren yang membahayakan ini. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
melakukan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu terbatas di bidang ekonomi, beberapa waktu lalu.
Kehadiran tim ekonomi baru memang sempat memberikan harapan tinggi. Pasar uang dan modal
merespons positif kehadiran mereka. Namun pasar juga melihat bahwa tim ekonomi baru di kabinet tidak
serta-merta dapat menyelesaikan masalah dan tantangan. Ini dapat kita lihat sekarang ini. Antara lain
karena tantangan dan masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia masih berat.
Berbagai kemerosotan yang terjadi masih menjadi saldo ekonomi pada tahun ini, dan itu memang tidak
mudah diatasi. Apalagi keuangan negara juga masih berat karena besarnya beban utang yang ditanggung
pemerintah.
* * *
Indonesia sebagai small open economy semakin membuka ekonomi dalam kerangka Kawasan
Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), dan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO). Karena itu ekonomi Indonesia akan banyak dipengaruhi perkembangan
ekonomi regional ataupun global. Padahal persaingan kian meningkat.
Beratnya anggaran juga membuat kemampuan pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi sangat
terbatas. Karena itu, gerak ekonomi nasional sangat tergantung pada kinerja dunia usaha. Dengan itu pula,
kita memasuki fase pengelolaan ekonomi yang banyak mengandalkan peran pemerintah. Seperti selama
ini, itu membuat ekonomi nasional tidak mampu bangkit juga.
Itu hanya mungkin bisa dihindari kalau kita melakukan perubahan paradigma dalam manajemen ekonomi
Indonesia. Reformasi ekonomi yang sudah dilaksanakan di berbagai bidang sejak 1998 tampaknya belum
dapat meletakkan dasar-dasar pembangunan yang diperlukan untuk membangkitkan ekonomi nasional.
Bahkan sekarang ini ancaman pertumbuhan ekonomi rendah yang menciptakan pengangguran dan
kemiskinan masih menghadang di depan mata. Artinya, ke depan ini masih banyak perbaikan yang perlu
dilakukan.
Stabilitas ekonomi makro yang kuat, daya saing internasional yang tinggi, kemampuan membangun sumber
daya manusia yang andal, serta sistem jaringan sosial yang baik menjadi kata kunci untuk memajukan
ekonomi nasional ini. Sehubungan dengan itu, peran dunia usaha dalam menggerakkan ekonomi semakin
penting. Namun, peningkatan daya saing internasional kita menjadi faktor sangat krusial. Apalagi daya saing
internasional kita saat ini sudah sangat rendah.
Menurut International Finance Corporation (IFC), kemampuan Indonesia memberikan dukungan bagi dunia
usaha dalam menjalankan bisnis ternyata amat rendah – berada di peringkat 115 dari 155 negara.
Sementara itu, anggota AFTA seperti Singapura berada di posisi 2, Thailand 20, Malaysia 21, dan Filipina di
peringkat 113. Sungguh sangat menyedihkan, mengingat pada tahun 2010 AFTA diimplementasikan
penuh.
Melihat perkembangan itu, tentu sikap Kadin Indonesia menolak rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL)
dan ekonomi biaya tinggi yang memang menjadi masalah besar harus ditangani pemerintah dengan hati-
hati. Sudah bukan zamannya pemerintah menyalahkan dunia usaha. Masalah utama ekonomi kita lebih
banyak berada pada domain otoritas kebijakan. Pemerintah tidak perlu menggunakan kekuasaan dalam
mengatasi masalah ekonomi.
Keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005 yang sungguh
merusak ekonomi nasional jangan sampai terulang lagi. Pemerintah perlu lebih arif mengatasi masalah.
Kegagalan Indonesia membangun dunia usaha yang kuat dan kompetitif dapat mendorong terjadinya the
lost decade ekonomi kita.
Kini beban masyarakat, khususnya dunia usaha semakin berat. Dampak kenaikan harga BBM yang tinggi
tahun ini masih akan terasa hingga tahun depan (second round effects).
Itu masih ditambah lagi dengan dampak kenaikan tarif listrik, pulsa telepon, dan sebagainya. Ongkos
produksi niscaya melonjak, sementara daya beli masyarakat belum lagi pulih – meski upah buruh dan gaji
PNS/TNI naik karena tidak sebanding dengan laju inflasi.
Jadi, kelesuan sektor riil masih membayang di depan mata. Sektor properti, otomotif, pengolahan,
elektronik, garmen, tekstil dan produk tekstil (TPT) akan mengalami penurunan omzet pada tahun ini
selama peningkatan pendapatan masyarakat belum mampu mengimbangi kenaikan harga barang dan jasa.
Kelambanan ekonomi (stagnasi) itu akan sedikit tertolong dengan pengeluaran konsumsi pemerintah
melalui pengeluaran belanja dalam bentuk proyek-proyek padat karya, seperti infrastruktu
VIVAnews - Dunia sedang resesi. Pasar uang global belum stabil, bursa saham masih fluktuatif, likuiditas sulit dan neraca
perdagangan defisit. Resesi ekonomi global belum ada tanda-tanda pulih. Bahkan, diperkirakan masih akan terjadi 1-2 tahun lagi.
Krisis ekonomi global ini sesungguhnya tak lepas dari situasi ekonomi yang bubble atau gelembung, bukan ekonomi riil. Kondisi
ini sudah tidak efisien sehingga harus diubah. Berdasarkan pembicaraan multilateral dan bilateral dengan pemimpin negara lain,
Indonesia sepakat bahwa tata perekonomian dunia harus diperbaiki.
Namun, dari sisi domestik, untuk menghadapi krisis ini, pemerintah Indonesia sedang gigih meminimalkan dampak krisis. Dalam
hal ini, dua poin penting perlu diperhatikan, yakni kebersamaan dan kemandirian.
Kebersamaan diperlukan untuk menghadapi ancaman krisis dalam jangka pendek. Pada tahun ini dan tahun depan krisis masih
akan ada. Kebersamaan sangat penting untuk menghadapinya.
Kedua, kemandirian. Ini merupakan agenda penting yang perlu waktu membangun dan memperkuatnya dalam menghadapi
tantangan. Untuk itu, kita perlu memperkuat ekonomi domestik dan memperluas pasar dalam negeri.
Kemandirian juga diperlukan di sektor kebutuhan dasar, seperti beras atau gula. Ini sangat penting mengingat pengalaman tahun
lalu terjadi krisis pangan dan minyak global. Untuk menghadapi volatilitas harga pangan dan energi, Indonesia perlu membangun
sistem kemandirian.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia perlu mengambil langkah strategi bagi perekonomian. Di tingkat global, Indonesia harus aktif
dalam semua forum multilateral dan bilateral. Ini untuk apa? Ini penting bagi Indonesia untuk mendapatkan fasilitas swap
(bilateral swap arrangement), dukungan dana untuk berjaga-jaga agar cadangan devisa aman untuk menjaga ekspor dan
perdagangan dalam batas tertentu.
Jika Indonesia tidak berperan aktif, maka posisi kita akan dinomorduakan. Padahal, negeri ini membutuhkan dana dari Bank
Dunia dan ADB untuk berjaga-jaga. Misalnya, jika ada situasi darurat, dana itu diperlukan untuk menjaga kepercayaan
internasional terhadap domestik dan katakan “we are able to force crisis” kepada masyarakat global.
Lantas, bagaimana manajemen menangani krisis. Untuk menangani ini, kita perlu memprioritaskan sejumlah langkah. Langkah
itu adalah mengamankan sektor riil, mencegah gelombang PHK, menjaga daya beli rakyat, memprioritaskan pangan dan energi,
dan menjaga pertumbuhan ekonomi di level yang pantas.
Pemerintah telah menyiapkan stimulus fiskal dalam struktur APBN dan APBD. Dalam situasi krisis, penerimaan pemerintah
memang berkurang sehingga defisit perlu ditutup, tapi itu tidak apa-apa agar sektor riil relatif terjaga.
Pemerintah sudah menaikkan gaji pegawai negeri sipil, menjaga upah buruh, nilai upah petani di atas kenaikan harga sembako
sehingga produk lokal harus ada yang beli.
Karena itu, teruslah belanja sebanyak-banyaknya. Apalagi pada musim pemilu, belanja kain dan spanduk akan mendorong sektor
riil terus bergerak.
Pengusaha juga jangan buru-buru melakukan PHK. Jika menghadapi persoalan, pengusaha sebaiknya datang ke pemerintah guna
mendapatkan solusi terbaik. Dalam situasi krisis sekarang, sulit untuk win-win solution.
dengan soal suku bunga. Setelah BI memangkas BI Rate beberapa kali, perbankan harus mengikuti dengan menurunkan suku
bunga pinjaman. Perbankan memang perlu kehati-hatian, tapi tidak hanya memperhatikan ke dalam, harus juga melihat ke luar.
Analisis ini disarikan dari pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Sidang Dewan Pleno I Himpunan Pengusaha
Muda Indonesia (HIPMI) di Hotel Shangri-La Jakarta, Selasa, 10 Maret 2009.
JAKARTA - Sebanyak 39 negara berkumpul di Paris Perancis atas undangan OECD, organisasi dunia untuk
ekonomi dan kerja sama pembangunan.
Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Khrisnamurthi, secara khusus perwakilan dari negara-negara tersebut
membicarakan kebijakan pangan dan pertanian untuk masa depan yang berkelanjutan (sustainable future),
menjawab tantangan dan peluang global di bidang pangan dan pertanian.
Kegiatan ini merupakan pertemuan tingkat menteri- menteri pertanian OECD pertama dalam 12 tahun. Indonesia
sendiri ditempatkan bersama China, India, Brazil, dan Afrika Selatan sebagai negara nonanggota OECD yang
dianggap sangat penting dalam keseimbangan ekonomi dan pembangunan dunia.
Bayu menjelaskan ada tiga isu yg dibahas, yakni ketahanan pangan, degradasi lingkungan, dan kemiskinan. Ketiga
hal tersebu saling terkait dan juga dipandang telah menjadi masalah bersama dalam skala global.
"Memperhitungkan pertumbuhan penduduk dan daya beli global, dunia harus mampu memproduksi 50 persen lebih
banyak pangan di tahun 2030 dibandingkan pasokan tersedia saat ini dan harus memproduksi dua kali lipat lebih
banyak pangan di tahun 2050," paparnya, Kamis (25/2/2010).
Di sisi lain, kata dia, sumber daya untuk memproduksi semakin terbatas. Negara-negara produsen besar
menginginkan pasar yang lebih terbuka untuk menjawab tantangan itu. Sementara itu, negara-negara konsumen
menganggap perlunya pengembangan produksi di dalam negeri.
Dalam hal ini diakui volatilitas pasar pangan dunia akan semakin tidak menentu dan akan berpengaruh terhadap
produsen maupun konsumen pangan. "Air dipandang menjadi faktor penentu dalam produksi pangan global," ujar
Bayu.
Menurut dia, air telah menjadi pembatas serius di banyak bagian dunia. Perubahan iklim juga telah menambah serius
masalah air tersebut. Situasi perubahan lingkungan juga terkait denga kontribusi pertanian terhadap emisi gas rumah
kaca dari pertanian, yang mencapai 14 persen dari total emisi GRK global, nomor 4 setelah energi (26 persen),
industri (19 persen) dan kehutanan (17 persen).
Oleh sebab itu, produksi pangan harus dilakukan dengan pendekatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
menggunakan kerangka 'green growth economy'.
"Usulan Indonesia yang diwakili Wakil Menteri Pertanian tentang kebutuhan investasi besar di bidang infrastruktur
pertanian, pengembangan teknologi, dan pembukaan lahan baru mendapat perhatian serius peserta pertemuan,
termasuk masih terbukanya investasi pangan di Indonesia," ungkapnya.
Pandangan Indonesia tentang pentingnya mencermati keterkaitan pasar uang, pasar modal, dan pasar komoditi juga
mendapat dukungan dari beberapa negara, terutama kaitannya dengan spekulasi dan dampaknya pada fluktuasi
harga komoditi. Para peserta meminta OECD untuk melakukan pendalaman atas masalah ini.
Akhirnya, pertemuan Menteri-Menteri Pertanian OECD menegaskan pesan politik yang jelas bahwa pangan dan
pertanian memiliki peran signifikan dalam ekonomi dan pembangunan negara-negara peserta. "Diperlukan
kesungguhan untuk penanganan ketahanan pangan dan pembangunan pertanian termasuk mereka yang
bertanggung jawab di bidang pembangunan ekonomi," tandas Bayu.(mbs)
DAFTAR ISI
Kata penagantar i
Daftar isi iii
Judul 1
Pendahuluan 1
Intensitas Dan Kompleksitas Masalah 3
Latar belakang masalah 5
Upaya penaganan masalah 7
Daftar pustaka