Anda di halaman 1dari 10

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Dan Hukum Ekonomi Internasional Dalam

Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia


Tue, 19/08/2008 - 09:19 |  syarip hidayat
Oleh:  Syarip Hidayat, S.H., M.H.[1]
[Penulis adalah Perancang Muda pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia] 
I. Pendahuluan.
Kata globalisasi dalam dekade terakhir ini tidak saja menjadi konsep ilmu pengetahuan sosial dan ekonomi, tetapi
juga telah menjadi jargon politik, ideologi pemerintahan (rezim), dan hiasan bibir masyarakat awam di seluruh dunia.
Teknologi informasi dan media elektronik dinilai sebagai simbol pelopor yang mengintegrasikan seluruh sistem dunia,
baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan.
Globalisasi bukanlah sesuatu yang baru, semangat pencerahan eropa di abad pertengahan yang mendorong
pencarian dunia baru bisa dikategorikan sebagai arus globalisasi. Revolusi industri dan transportasi di abad XVIII
juga merupakan pendorong tren globalisasi, yang membedakannya dengan arus globalisasi yang terjadi dua-tiga
dekade belakangan ini adalah kecepatan dan jangkauannya. Selanjutnya, interaksi dan transaksi antara individu dan
negara-negara yang berbeda akan menghasilkan konsekuensi politik, sosial, dan budaya pada tingkat dan intensitas
yang berbeda pula. Masuknya Indonesia dalam proses globalisasi pada saat ini ditandai oleh serangkaian kebijakan
yang diarahkan untuk membuka ekonomi domestik dalam rangka memperluas serta memperdalam integrasi dengan
pasar internasional.
Sangat menarik apa yang dikemukakan oleh Joseph E. Stiglitz, peraih hadiah Nobel Ekonomi tahun 2001 yang
menyatakan bahwa ”Globalisasi sendiri sebenarnya tidak begitu baik atau buruk, Ia memiliki kekuatan untuk
melakukan kebaikan yang besar, dan bagi negara-negara di Asia Timur yang telah menerima globalisasi dengan
persyaratan mereka sendiri, dengan kecepatan mereka sendiri, globalisasi memberikan manfaat yang besar,
walaupun ada kemunduran akibat krisis 1997”.[2]
Prof. A.F.K. Organski menyatakan bahwa negara-negara yang sekarang ini disebut negara modern menempuh
pembangunanannya melalui tiga tahap pembangunan, yaitu unifikasi (unification), industrialisasi (industriali-zation),
dan negara kesejahteraan (social welfare).[3] Pada tingkat pertama, yang menjadi masalah berat adalah bagaimana
mencapai integtarsi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Tingkat kedua, perjuangan untuk
pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Akhirnya dalam tingkat ketiga, tugas negara yang terutama adalah
melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan
menekankan kesejahteraan masyarakat. Tingkat-tingkat tersebut dilalui secara berurutan (consecutive) dan
memakan waktu relatif lama. Persatuan nasional adalah prasyarat untuk memasuki tahap industrialisasi,
industrialisasi merupakan jalan untuk mencapai negara kesejahteraan.[4]
Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivitas manusia perlu diatur oleh suatu instrumen yang disebut sebagai hukum.
Hukum disini direduksi pengertiannya menjadi perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara.[5]
Cita-cita hukum nasional merupakan satu hal yang ingin dicapai dalam pengertian penerapan, perwujudan, dan
pelaksanaan nilai-nilai tertentu di dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang berasaskan Pancasila
dan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. khusus dalam bidang kehidupan dan kegiatan ekonomi pada
umumnya dan dalam rangka menyongsong masyarakat global, cita hukum nasional sangat membutuhkan kajian dan
pengembangan yang lebih serius agar mampu turut serta dalam tata kehidupan ekonomi global dengan aman, dalam
pengertian tidak merugikan dan dirugikan oleh pihak-pihak lain.[6]
Lembaga hukum adalah salah satu di antara lembaga/pranata-pranata sosial, seperti juga halnya keluarga, agama,
ekonomi, perang atau lainnya.[7] Hukum bagaimanapun sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat di dalam segala aspeknya, baik dalam kehidupan sosial, politik, budaya, pendidikan, dan yang tak
kalah penting adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah
justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya
permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi dilain pihak, sehingga konflik antara sesama warga dalam
memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi.[8] Berdasarkan pengalaman sejarah, peranan
hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia yang menjadi daya
dorong utama dalam pembangunan ekonomi.
Tuntutan agar hukum mampu berinteraksi serta mengakomodir kebutuhan dan perkembangan ekonomi dengan
prinsip efisiensinya merupakan fenomena yang harus segera ditindaklanjuti apabila tidak ingin terjadi kepincangan
antara laju gerak ekonomi yang dinamis dengan mandeknya perangkat hukum.[9] Di samping itu ahli hukum juga
diminta peranannya dalam konsep pembangunan, yaitu untuk menempatkan hukum sebagai lembaga (agent)
modernisasi dan bahwa hukum dibuat untuk membangun masyarakat (social engineering).[10]
Perubahan tatanan dunia saat ini ditandai oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan komunikasi dan
informasi antara masyarakat internasional menjadi sangat mudah, dan hukum internasional saat ini bercirikan hukum
yang harmonis atau setidak-tidaknya hukum transnasional. Harmonisasi hukum di sini diartikan bahwa hukum
internasional dipengaruhi hukum nasional dan hukum nasional juga dipengaruhi hukum internasional. Dalam proses
harmonisasi hukum, dimana hukum internasional mempengaruhi hukum nasional, berarti negara nasional harus
membuat aturan-aturan nasional yang mendorong realisasi kesepakatan guna mencapai tujuan bersama.[11]
Sebagai contoh dalam bidang perdagangan internasional, ketentuan-ketentuan perdagangan internasional dalam
rangka World Trade Organization (WTO) telah mendorong negara-negara membuat aturan-aturan nasional sebagai
tindak lanjut penerapan ketentuan tersebut dalam suasana nasional.
Sebagai akibat globalisasi dan peningkatan pergaulan dan perdagangan internasional, cukup banyak peraturan-
peraturan hukum asing atau yang bersifat internasional akan juga dituangkan ke dalam perundang-undangan
nasional, misalnya di dalam hal surat-surat berharga, pasar modal, kejahatan komputer, dan sebagainya. Terutama
kaidah-kaidah hukum yang bersifat transnasional lebih cepat akan dapat diterima sebagai hukum nasional, karena
kaedah-kaedah hukum transnasional itu merupakan aturan permainan dalam komunikasi dan perekonomian
internasional dan global.[12] Akibatnya semakin memasuki abad XXI, semakin hukum nasional Indonesia akan
memperlihatkan sifat yang lebih transnasional, sehingga perbedaan-perbedaan dengan sistem hukum lain akan
semakin berkurang.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan suatu kajian mengenai pengaruh globalisasi
ekonomi dan hukum ekonomi internasional dalam pembangunan hukum ekonomi di Indonesia.
II. Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi Internasional dalam Pembangunan Hukum
Ekonomi di Indonesia.
Pembangunan hukum adalah suatu pekerjaan yang sama tuanya dengan pekerjaan pembangunan negara dan
bangsa.[13] Hadirnya undang-undang sebagai hukum tertulis melalui perundang-undangan dan dalam proses
peradilan sebagai yurisprudensi (judge made law) juga telah lama dikenal dalam dunia hukum, demikian pula halnya
dengan bagian dari hukum Indonesia yang saat ini semakin penting dan berpengaruh, yaitu hukum ekonomi
Indonesia yang daya berlakunya di samping dalam lingkup nasional juga internasional. Relevansi hukum ekonomi
semakin menonjol sejak lintas niaga masuk dalam dunia tanpa batas atau globalisasi ekonomi. Bagi Indonesia,
tepatnya setelah meratifikasi persetujuan internasional di bidang perdagangan dalam suatu organisasi internasional
yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO), karena dengan demikian Indonesia harus mematuhi segala
ketentuan yang berlaku bagi semua negara anggota WTO dengan segala konsekuensinya.
Realita ini menempatkan Indonesia untuk benar-benar dan bersungguh-sungguh “mengikuti dan mengembangkan”
hukum ekonomi internasional, terutama dalam pelaksanaannya atau penegakkan hukumnya, dimana semua penegak
hukum dan pelaku hukum dalam lintas bisnis nasional dan internasional. Hal ini berarti kekeliruan dalam
pengelolaannya akan berakibat dirugikannya Indonesia dalam perdagangan internasional atau perdagangan bebas,
bahkan dampaknya tidak hanya menyangkut para pihak dalam perjanjian bisnis internasional, melainkan juga rakyat
Indonesia secara keseluruhan.
Menjawab dan mengantisipasi dampak perdagangan internasional abad XXI, tidak ada jalan lain kecuali harus
menempatkan “Manajemen Penegakkan Hukum Bisnis Internasional” sebagai misi strategis dalam mewujudkan
ketahanan ekonomi nasional di tengah globalisasi ekonomi yang sudah dan sedang berlangsung akhir-akhir ini.[14]
Semakin baik dalam suatu negara hukum itu berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata.
Sebaliknya, bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang berfungsi secara otonom, maka semakin kecil pula
tingkat kepastian hukumnya.[15]
Perkembangan dalam teknologi dan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat di dunia semakin saling
bersentuhan, saling membutuhkan, dan saling menentukan nasib satu sama lain, tetapi juga saling bersaing. Hal ini
secara dramatis terutama terlihat dalam kegiatan perdagangan dunia, baik di bidang barang-barang (trade in goods),
maupun di bidang jasa (trade in services). Saling keterkaitan ini memerlukan adanya kesepakatan mengenai aturan
main yang berlaku. Aturan main yang diterapkan untuk perdagangan internasional adalah aturan main yang
berkembang dalam sistem GATT/WTO.[16]
Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade
Organization) telah didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA
dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya integrasi ekonomi
global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru. Berdagang dengan WTO dan kerjasama ekonomi
regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis, memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan
sistim hukum.
Perkembangan yang mandiri dari perusahaan multinasional kerap kali diramalkan sebagai perkembangan suatu
badan yang benar-benar tanpa kebangsaan, dan benar-benar mandiri. Peradaban dunia yang kemudian menjadi
hukum internasional turut mempengaruhi pembangunan hukum nasional dan sistem perekonomian negara
berkembang. Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai
sistem ekonomi internasional. Sebagai suatu ideologi, globalism menawarkan seperangkat ide, konsep, keyakinan,
norma dan tata nilai mengenai tatanan masyarakat dunia yang dicita-citakan serta bagaimana cara untuk
mewujudkannya.[17]
Bagaimanapun karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada
bidang hukum, globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak
hanya didasarkan kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara
barat dan timur.
Globalisasi di bidang kontrak-kontrak bisnis internasional sudah lama terjadi, karena negara-negara maju membawa
transaksi baru ke negara berkembang, maka mitra kerja mereka dari negara-negara berkembang akan menerima
model-model kontrak bisnis internasional tersebut, dapat disebabkan karena sebelumnya tidak mengenal model
tersebut, dapat juga karena posisi tawar (bargainig position) yang lemah. Oleh karena itu tidak mengherankan,
perjanjian patungan (joint venture), perjanjian waralaba (franchise), perjanjian lisensi (license), perjanjian keagenan
(agence), memiliki format dan substansi yang hampir sama diberbagai negara. Konsultan hukum suatu negara
dengan mudah mengerjakan perjanjian-perjanjian semacam itu di negara-negara lain, persamaan ketentuan-
ketentuan hukum di berbagai negara bisa juga terjadi karena suatu negara mengikuti model negara maju berkaitan
dengan institusi-institusi hukum untuk mendapatkan akumulasi modal. Undang-undang Perseroan Terbatas
diberbagai negara, baik dari negara-negara Civil Law maupun Common Law  berisikan substansi yang serupa. Begitu
juga dengan peraturan pasar modal, dimana saja tidak berbeda, satu sama lain. Hal ini terjadi karena dana yang
mengalir ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat benar dengan waktu dan batas-batas negara. Tuntutan
keterbukaan (transparency) yang semakin besar, berkembangnya kejahatan internasional dalam pencucian uang
(money laundering) dan insider trading mendorong kerjasama internasional.
Dibalik usaha keras menciptakan globalisasi hukum, tidak ada jaminan bahwa hukum tersebut akan memberikan
hasil yang sama di semua tempat. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan politik, ekonomi dan budaya. Hukum itu
tidak sama dengan kuda, orang tidak akan menamakan keledai atau zebra adalah kuda, walau bentuknya hampir
sama, kuda adalah kuda. Hukum tidak demikian, apa yang disebut hukum itu tergantung kepada persepsi
masyarakatnya.[18]
Friedman, menyatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung kepada budaya hukum
masyarakatnya. Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-
kepentingan.[19]  Dalam menghadapi hal yang demikian itu perlu “check and balance” dalam bernegara. “check and
balance” hanya bisa dicapai dengan parlemen yang kuat, pengadilan yang mandiri, dan partisipasi masyarakat
melalui lembaga-lembaganya. Dalam hal tersebut, khususnya dalam masalah pengawasan dan Law Enforcement,
dua hal yang merupakan komponen yang tak terpisahkan dari sistim rule of law. Tidak akan ada law enforcement
kalau tidak ada sistim pengawasan dan tidak akan ada rule of law  kalau tidak ada law enforcement yang memadai.
E.C.W. Wade dan Godfrey Philips menyatakan tiga konsep mengenai “Rule of Law” yaitu The Rule Of Law
mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat yang dalam pandangan tradisi barat lahir dari alam
demokrasi; The Rule of Law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai
dengan hukum; The Rule of Law menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus diperinci oleh peraturan-
peraturan hukum baik substantif maupun hukum acara.[20] Berbagai unsur dari pengertian Rule of Law tersebut
haruslah dilaksanakan secara keseluruhan, bukan sepotong-sepotong, dan dalam waktu bersamaan. Pengecualian
dan penangguhan salah satu unsurnya akan merusak keseluruhan sistim.
Pada tataran ide normatif dalam GBHN,  hukum secara tegas diletakkan sebagai pendorong pembangunan,
khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan amanat ini, maka hukum tentu sangat memerlukan
dukungan yang terdiri dari personalia yang profesional dan beretika, organisasi yang kapabel dan berdaya guna,
serta peradilan yang bebas dan berhasil guna. Semuanya ini adalah sebagian prasyarat konsepsional yang paling di
butuhkan dalam konteks kekinian Indonesia.[21] Sayangnya, ketika memasuki tataran implementasi-sosiologis, selain
tampak dengan jelas berbagai hal yang menggembirakan, terlihat pula adanya “peminggiran” peran hukum dalam
upaya mencapai kemajuan bangsa yang telah dicanangkan. Dalam berbagai arena pergulatan hidup masyarakat,
terkadang dengan mudah  dilihat atau dirasakan kemandulan peran dan fungsi hukum.
Sebagai penutup tulisan ini, rasanya masih sangat relevan apa yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja
yang menyatakan bahwa dalam usaha membangun hukum nasional yang berlaku untuk seluruh bangsa dan sanggup
mengantisipasi kemajuan dan pergaulan dengan dunia internasional, kita harus memegang teguh pada batas-batas
dan pembedaan antara hukum perdata, dan hukum publik dan antara hukum perdata dan hukum pidana yang sudah
umum diterima oleh masyarakat dunia.[22]
III. Penutup.
Rasanya tidaklah adil apabila melihat globalisasi dan liberalisasi ekonomi secara apriori, namun sebaliknya
menerimanya dengan mentah-mentah begitu saja tanpa bersikap kritis juga bukan sikap yang bijaksana. Dengan
berbagai akibat positif dan negatifnya, globalisasi ekonomi bukanlah sesuatu yang tidak dapat dikendalikan, diubah
atau bahkan dihentikan. Salah satu langkahnya adalah dengan tetap memberikan kewenangan kepada negara untuk
melakukan fungsinya sebagai pengendali pasar melalui berbagai regulasi ekonomi, menyerahkan sepenuhnya
aktivitas ekonomi nasional pada mekanisme pasar yang diyakini sebagai “self regulating” justeru akan menimbulkan
ketidakadilan bagi banyak pihak di dalam negeri dan sebaliknya membuka peluang transnational untuk
mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi bangsa Indonesia. Pelaksanaan roda pemerintahan dengan
demokratis dan menggunakan hukum sebagai salah satu instrumen untuk merencanakan dan melaksanakan program
pembangunan yang komprehensif, semoga akan membawa negara ini menuju masyarakat dengan tingkat
kesejahteraan yang di cita-citakan.
BIBLIOGRAFI:

1. Djarab, Hendarmin, dkk., ed. Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI: Mengenang Almarhum Prof.
Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M. Bandung: Penerbit Angkasa, 1998.
2. Hartono, C.F.G. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 1991.
3. Gaffar, Firoz, ed. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: CYBERconsult, 1999.
4. Juwana, Hikmahanto. Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
5. Kartadjoemena, H.S. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa. Jakarta: UI
Press, 2000.
6. Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni, 2002.
7. Lubis, T. Mulya, ed. Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1986.
8. Mendelson, Wallace. “Law and The Develoopment of Nations”, The Journal of Politics, Vol. 32.
9. Mertokusumo, sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1988.
10. Otto, Jan Michiel. Kepastian Hukum di Negara Berkembang [Reële Rechtszekerheid in ontwikkelingslanden],
diterjemahkan oleh Tristam Moeliono. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003.
11. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
12. Rajagukguk, Erman. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi
Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato pengukuhan Guru Besar FH-UI, Jakarta: 4 Januari 1997.
13. Sarwini dan L. Budi Kagramanto, ed. Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum. Surabaya: Karya
Abditama, 2001.
14. Stiglitz, Joseph E. Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional [Globalization and
Its Discontents], diterjemahkan oleh Ahmad Lukman. Jakarta: Ina Publikatama, 2002.
15. Suhardi, Gunarto. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002.
16. Sumantoro. Hukum Ekonomi. Jakarta: UI Press, 1986.
17. Susanti, Ida dan Bayu Seto, ed. Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum
Indonesia dalam Melaksanakan Peragangan Bebas. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
18. Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, ed. Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Bandung: Mandar Maju, 2000.
19. Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, diedit oleh Ifdhal
Kasim, dkk. Jakarta: Elsam dan HUMA, 2002.
Perkembangan Ekonomi Global
Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada 
Rabu, 8 Maret 2006

Indonesia sebagai small open economy dalam perekonomian global memang sangat mudah terpengaruh oleh
perkembangan ekonomi internasional, baik positif maupun negatif. Pengaruh contagious dan spill over dari luar
negeri dengan mudah menerpa ekonomi nasional. Ke depan ini, diperlukan kemampuan otoritas kebijakan untuk
merancang ekonomi yang tahan banting dan tidak mudah terombang-ambing oleh gelombang ekonomi dunia.  
Pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia amat rentan terhadap pengaruh
perkembangan negatif internasional. Padahal perkembangan ekonomi internasional bisa dikatakan masih
tidak ramah. Bank sentral AS (the Fed) diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga. Demikian juga tren
penurunan harga minyak di pasar internasional tampaknya juga tidak terus berlanjut seperti yang kita
harapkan. Dan, karena itu, harga minyak yang tinggi masih akan menjadi bagian hidup kita. Sementara itu,
pertumbuhan ekonomi global secara umum juga masih rendah dan cenderung stagnan.  
Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook September 2005 menunjukkan
bahwa secara umum ekonomi dunia tahun ini tumbuh lamban.  
Ekonomi dunia pada tahun 2005 tumbuh sebesar 3,5%, tapi pada tahun ini diperkirakan hanya 3,3%.
Sementara laju pertumbuhan ekonomi Jepang tahun ini diperkirakan stagnan pada tingkat 2% seperti pada
tahun 2005. Dengan demikian, sulit diharapkan ekspor kita meningkat besar.  
Perkembangan ekonomi global yang kurang menguntungkan memang memiliki andil terhadap
memburuknya ekonomi Indonesia. Namun tetap saja masalah utamanya adalah ketidakmampuan tim
ekonomi kita mengantisipasi dan memformulasikan kebijakan yang baik, sehingga kemerosotan yang terjadi
semakin meluas.  
Pemerintah sendiri melihat tren yang membahayakan ini. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
melakukan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu terbatas di bidang ekonomi, beberapa waktu lalu.  
Kehadiran tim ekonomi baru memang sempat memberikan harapan tinggi. Pasar uang dan modal
merespons positif kehadiran mereka. Namun pasar juga melihat bahwa tim ekonomi baru di kabinet tidak
serta-merta dapat menyelesaikan masalah dan tantangan. Ini dapat kita lihat sekarang ini. Antara lain
karena tantangan dan masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia masih berat.  
Berbagai kemerosotan yang terjadi masih menjadi saldo ekonomi pada tahun ini, dan itu memang tidak
mudah diatasi. Apalagi keuangan negara juga masih berat karena besarnya beban utang yang ditanggung
pemerintah.  
* * *  
Indonesia sebagai small open economy semakin membuka ekonomi dalam kerangka Kawasan
Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), dan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO). Karena itu ekonomi Indonesia akan banyak dipengaruhi perkembangan
ekonomi regional ataupun global. Padahal persaingan kian meningkat.  
Beratnya anggaran juga membuat kemampuan pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi sangat
terbatas. Karena itu, gerak ekonomi nasional sangat tergantung pada kinerja dunia usaha. Dengan itu pula,
kita memasuki fase pengelolaan ekonomi yang banyak mengandalkan peran pemerintah. Seperti selama
ini, itu membuat ekonomi nasional tidak mampu bangkit juga.  
Itu hanya mungkin bisa dihindari kalau kita melakukan perubahan paradigma dalam manajemen ekonomi
Indonesia. Reformasi ekonomi yang sudah dilaksanakan di berbagai bidang sejak 1998 tampaknya belum
dapat meletakkan dasar-dasar pembangunan yang diperlukan untuk membangkitkan ekonomi nasional.
Bahkan sekarang ini ancaman pertumbuhan ekonomi rendah yang menciptakan pengangguran dan
kemiskinan masih menghadang di depan mata. Artinya, ke depan ini masih banyak perbaikan yang perlu
dilakukan.  
Stabilitas ekonomi makro yang kuat, daya saing internasional yang tinggi, kemampuan membangun sumber
daya manusia yang andal, serta sistem jaringan sosial yang baik menjadi kata kunci untuk memajukan
ekonomi nasional ini. Sehubungan dengan itu, peran dunia usaha dalam menggerakkan ekonomi semakin
penting. Namun, peningkatan daya saing internasional kita menjadi faktor sangat krusial. Apalagi daya saing
internasional kita saat ini sudah sangat rendah.  
Menurut International Finance Corporation (IFC), kemampuan Indonesia memberikan dukungan bagi dunia
usaha dalam menjalankan bisnis ternyata amat rendah – berada di peringkat 115 dari 155 negara.
Sementara itu, anggota AFTA seperti Singapura berada di posisi 2, Thailand 20, Malaysia 21, dan Filipina di
peringkat 113. Sungguh sangat menyedihkan, mengingat pada tahun 2010 AFTA diimplementasikan
penuh.  
Melihat perkembangan itu, tentu sikap Kadin Indonesia menolak rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL)
dan ekonomi biaya tinggi yang memang menjadi masalah besar harus ditangani pemerintah dengan hati-
hati. Sudah bukan zamannya pemerintah menyalahkan dunia usaha. Masalah utama ekonomi kita lebih
banyak berada pada domain otoritas kebijakan. Pemerintah tidak perlu menggunakan kekuasaan dalam
mengatasi masalah ekonomi.  
Keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005 yang sungguh
merusak ekonomi nasional jangan sampai terulang lagi. Pemerintah perlu lebih arif mengatasi masalah.
Kegagalan Indonesia membangun dunia usaha yang kuat dan kompetitif dapat mendorong terjadinya the
lost decade ekonomi kita.  
Kini beban masyarakat, khususnya dunia usaha semakin berat. Dampak kenaikan harga BBM yang tinggi
tahun ini masih akan terasa hingga tahun depan (second round effects).  
Itu masih ditambah lagi dengan dampak kenaikan tarif listrik, pulsa telepon, dan sebagainya. Ongkos
produksi niscaya melonjak, sementara daya beli masyarakat belum lagi pulih – meski upah buruh dan gaji
PNS/TNI naik karena tidak sebanding dengan laju inflasi.  
Jadi, kelesuan sektor riil masih membayang di depan mata. Sektor properti, otomotif, pengolahan,
elektronik, garmen, tekstil dan produk tekstil (TPT) akan mengalami penurunan omzet pada tahun ini
selama peningkatan pendapatan masyarakat belum mampu mengimbangi kenaikan harga barang dan jasa.
Kelambanan ekonomi (stagnasi) itu akan sedikit tertolong dengan pengeluaran konsumsi pemerintah
melalui pengeluaran belanja dalam bentuk proyek-proyek padat karya, seperti infrastruktu

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO, PRESIDEN RI

Solusi Hadapi Resesi Ekonomi Global


Resesi ekonomi global belum ada tanda-tanda pulih.
RABU, 11 MARET 2009, 10:07 WIB
Presiden SBY (R Rekotomo)
BERITA TERKAIT

 Sistem Islam, Masa Depan Ekonomi Dunia


 Stimulus Obat Mujarab Krisis Global
 Ke Mana Cari Dana Infrastruktur
 Hidup di Tengah Krisis Ekonomi Dunia
 Pembentukan BPPN Baru Harus Hati-hati

 
VIVAnews - Dunia sedang resesi. Pasar uang global belum stabil, bursa saham masih fluktuatif, likuiditas sulit dan neraca
perdagangan defisit. Resesi ekonomi global belum ada tanda-tanda pulih. Bahkan, diperkirakan masih akan terjadi 1-2 tahun lagi.
Krisis ekonomi global ini sesungguhnya tak lepas dari situasi ekonomi yang bubble atau gelembung, bukan ekonomi riil. Kondisi
ini sudah tidak efisien sehingga harus diubah. Berdasarkan pembicaraan multilateral dan bilateral dengan pemimpin negara lain,
Indonesia sepakat bahwa tata perekonomian dunia harus diperbaiki. 

Namun, dari sisi domestik, untuk menghadapi krisis ini, pemerintah Indonesia sedang gigih meminimalkan dampak krisis. Dalam
hal ini, dua poin penting perlu diperhatikan, yakni kebersamaan dan kemandirian.  

Kebersamaan diperlukan untuk menghadapi ancaman krisis dalam jangka pendek. Pada tahun ini dan tahun depan krisis masih
akan ada. Kebersamaan sangat penting untuk menghadapinya. 

Kedua, kemandirian. Ini merupakan agenda penting yang perlu waktu membangun dan memperkuatnya dalam menghadapi
tantangan. Untuk itu, kita perlu memperkuat ekonomi domestik dan memperluas pasar dalam negeri. 

Kemandirian juga diperlukan di sektor kebutuhan dasar, seperti beras atau gula. Ini sangat penting mengingat pengalaman tahun
lalu terjadi krisis pangan dan minyak global. Untuk menghadapi volatilitas harga pangan dan energi, Indonesia perlu membangun
sistem kemandirian. 

Dalam situasi seperti ini, Indonesia perlu mengambil langkah strategi bagi perekonomian. Di tingkat global, Indonesia harus aktif
dalam semua forum multilateral dan bilateral. Ini untuk apa? Ini penting bagi Indonesia untuk mendapatkan fasilitas swap
(bilateral swap arrangement), dukungan dana untuk berjaga-jaga agar cadangan devisa aman untuk menjaga ekspor dan
perdagangan dalam batas tertentu. 
Jika Indonesia tidak berperan aktif, maka posisi kita akan dinomorduakan. Padahal, negeri ini membutuhkan dana dari Bank
Dunia dan ADB untuk berjaga-jaga. Misalnya, jika ada situasi darurat, dana itu diperlukan untuk menjaga kepercayaan
internasional terhadap domestik dan katakan “we are able to force crisis” kepada masyarakat global. 

Lantas, bagaimana manajemen menangani krisis. Untuk menangani ini, kita perlu memprioritaskan sejumlah langkah. Langkah
itu adalah mengamankan sektor riil, mencegah gelombang PHK, menjaga daya beli rakyat, memprioritaskan pangan dan energi,
dan menjaga pertumbuhan ekonomi di level yang pantas.

Pemerintah telah menyiapkan stimulus fiskal dalam struktur APBN dan APBD. Dalam situasi krisis, penerimaan pemerintah
memang berkurang sehingga defisit perlu ditutup, tapi itu tidak apa-apa agar sektor riil relatif terjaga.

Pemerintah sudah menaikkan gaji pegawai negeri sipil, menjaga upah buruh, nilai upah petani di atas kenaikan harga sembako
sehingga produk lokal harus ada yang beli.
Karena itu, teruslah belanja sebanyak-banyaknya. Apalagi pada musim pemilu, belanja kain dan spanduk akan mendorong sektor
riil terus bergerak.

Pengusaha juga jangan buru-buru melakukan PHK. Jika menghadapi persoalan, pengusaha sebaiknya datang ke pemerintah guna
mendapatkan solusi terbaik. Dalam situasi krisis sekarang, sulit untuk win-win solution.

 dengan soal suku bunga. Setelah BI memangkas BI Rate beberapa kali, perbankan harus mengikuti dengan menurunkan suku
bunga pinjaman. Perbankan memang perlu kehati-hatian, tapi tidak hanya memperhatikan ke dalam, harus juga melihat ke luar.

 
Analisis ini disarikan dari pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Sidang Dewan Pleno I Himpunan Pengusaha
Muda Indonesia (HIPMI) di Hotel Shangri-La Jakarta, Selasa, 10 Maret 2009.

OECD: Pangan & Pertanian Masalah Ekonomi Global


Jum'at, 26 Februari 2010 - 00:27 wib

TEXT SIZE :    


Dadan Muhammad Ramdan - Okezone

Pertanian salah satu isu ekonomi global (foto: Koran SI)

JAKARTA - Sebanyak 39 negara berkumpul di Paris Perancis atas undangan OECD, organisasi dunia untuk
ekonomi dan kerja sama pembangunan.
 
Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Khrisnamurthi, secara khusus perwakilan dari negara-negara tersebut
membicarakan kebijakan pangan dan pertanian untuk masa depan yang berkelanjutan (sustainable future),
menjawab tantangan dan peluang global di bidang pangan dan pertanian.

Kegiatan ini merupakan pertemuan tingkat menteri- menteri pertanian OECD pertama dalam 12 tahun. Indonesia
sendiri ditempatkan bersama China, India, Brazil, dan Afrika Selatan sebagai negara nonanggota OECD yang
dianggap sangat penting dalam keseimbangan ekonomi dan pembangunan dunia.

Bayu menjelaskan ada tiga isu yg dibahas, yakni ketahanan pangan, degradasi lingkungan, dan kemiskinan. Ketiga
hal tersebu saling terkait dan juga dipandang telah menjadi masalah bersama dalam skala global.

"Memperhitungkan pertumbuhan penduduk dan daya beli global, dunia harus mampu memproduksi 50 persen lebih
banyak pangan di tahun 2030 dibandingkan pasokan tersedia saat ini dan harus memproduksi dua kali lipat lebih
banyak pangan di tahun 2050," paparnya, Kamis (25/2/2010).

Di sisi lain, kata dia, sumber daya untuk memproduksi semakin terbatas. Negara-negara produsen besar
menginginkan pasar yang lebih terbuka untuk menjawab tantangan itu. Sementara itu, negara-negara konsumen
menganggap perlunya pengembangan produksi di dalam negeri.

Dalam hal ini diakui volatilitas pasar pangan dunia akan semakin tidak menentu dan akan berpengaruh terhadap
produsen maupun konsumen pangan. "Air dipandang menjadi faktor penentu dalam produksi pangan global," ujar
Bayu.

Menurut dia, air telah menjadi pembatas serius di banyak bagian dunia. Perubahan iklim juga telah menambah serius
masalah air tersebut. Situasi perubahan lingkungan juga terkait denga kontribusi pertanian terhadap emisi gas rumah
kaca dari pertanian, yang mencapai 14 persen dari total emisi GRK global, nomor 4 setelah energi (26 persen),
industri (19 persen) dan kehutanan (17 persen).

Oleh sebab itu, produksi pangan harus dilakukan dengan pendekatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
menggunakan kerangka 'green growth economy'.

"Usulan Indonesia yang diwakili Wakil Menteri Pertanian tentang kebutuhan investasi besar di bidang infrastruktur
pertanian, pengembangan teknologi, dan pembukaan lahan baru mendapat perhatian serius peserta pertemuan,
termasuk masih terbukanya investasi pangan di Indonesia," ungkapnya.

Pandangan Indonesia tentang pentingnya mencermati keterkaitan pasar uang, pasar modal, dan pasar komoditi juga
mendapat dukungan dari beberapa negara, terutama kaitannya dengan spekulasi dan dampaknya pada fluktuasi
harga komoditi. Para peserta meminta OECD untuk melakukan pendalaman atas masalah ini.

Akhirnya, pertemuan Menteri-Menteri Pertanian OECD menegaskan pesan politik yang jelas bahwa pangan dan
pertanian memiliki peran signifikan dalam ekonomi dan pembangunan negara-negara peserta. "Diperlukan
kesungguhan untuk penanganan ketahanan pangan dan pembangunan pertanian termasuk mereka yang
bertanggung jawab di bidang pembangunan ekonomi," tandas Bayu.(mbs)

DAFTAR ISI
 Kata penagantar                                                                                   i
 Daftar isi                                                                                               iii
 Judul                                                                                                    1
 Pendahuluan                                                                                         1
 Intensitas Dan Kompleksitas Masalah                                       3
 Latar belakang masalah                                                             5
 Upaya penaganan masalah                                                                    7
 Daftar pustaka                           

Anda mungkin juga menyukai