10f78c557b4a7d94e1f882215c11877f
10f78c557b4a7d94e1f882215c11877f
Pd
NATION STATE
DAN
I<EJATUHAN
NASIONALISME
(Kajian atas Pemikiran Driyarkara)
1:1P
Alauddin University Press
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang:
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau
seluruh isl buku ini ke dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis
dari penerbit
Penulis:
Dr. Mustari Mustafa, M. Pd
Editor:
Mukhtar Lutfi
Cetakan: I 2013
x - 152 halaman, 14 cm x 21 cm
ISBN : 978-602-237-657-6
Penulis
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Fokus Penelitian 5
C. Tinjauan Pustaka . 8
D. Landasan Teori 14
E. Metode Penelitian 16
BABI
PENDAHULUAN
1
Oalam penelitian, Mustari (2009} tentang Agama D
a/am Bayang-Bayang Etis Syekh Yusuf al Makassary, krisis ini
disebut sebagai krisis Epistemologis. Penelitian ini dapat lebih jauh
memberikan pemaknaan sebagai krisis Ontologis, krisis yang mana segi-segi
paradigma bernegara dan berbangsa mengalami masalah, atau
mengalami ketidaksesuaian dengan sejarah (a historis) dll.
2Lihat,
Prakata, Karya Lengkap Driyarkara, yang ditulis oleh
Penerbitnya(Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. vii
B. Fokus Penulisan
Pancasila seperti yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman
sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun
1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila
(dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat
dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga
tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan
mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah
tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh,
yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan
sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari
Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan
esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh
ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat
4
Lihat, Filsafat Pancasila, Tim Dasen Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, (dalam Mustari, 2010) h. 12
C. Tinjauan Pustaka
1. Negara dan Nation State
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya negara
bangsa adalah suatu gagasan tentang negara yang
didirikan untuk seluruh bangsa atau untuk seluruh
umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang
menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional
terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan
kesepakatan itu. Negara Bangsa merupakan hasil sejarah
alamiah yang semi kontraktual dimana nasionalisme
merupakan landasan bangunannya yang paling kuat.
Nasionalisme dapat dikatakakan sebagai sebuah situasi
kejiwaan di mana kesetiaan seseorang secara total
diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama
sebuah bangsa. Dalam situasi perjuangan kemerdekaan,
di butuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran
rasional dari tuntunan terhadap penentuan nasib sendiri
yang dapat mengikat ke-ikutsertaan semua orang atas
nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran tersebut,
selanjutnya mengkristal dalam konsep paham ideologi
kebangsaan yang biasa disebut dengan nasionalisme.
Dari sinilah kemudian lahir konsep-konsep turunannya
seperti bangsa (nation), negara (state) dan gabungan
keduanya menjadi konsep negara bangsa (nation state)
sebagai komponen-komponen yang membentuk
identitas nasional atau kabangsaan.
2. Konsep Nasionalisme
Nasionalisme adalah satu ideologi yang mencipta
dan mempertahankan kedaulatan sesebuah negara
( dalam bahasa Inggeris "nation") dengan mewujudkan
satu konsep identiti bersama untuk sekumpulan
manusia. � Dalam zaman moden ini, nasionalisme
merujuk kepada amalan politik dan kesejahteraan yang
berlandaskan nasionalisme secara etnik serta
keagamaan.
ldealogi merupakan sistem kepercayaan yang
menjadi asas kepada tingkah laku seseorang. Pada
lazimnya ia merujuk kepada seperangkat kepercayaan
yang menggerakkan suatu pergerakkan politik dan
sosial.
Menurut Ensiklopedia Brittanica, ideologi
dimaksudkan sebagai "salah satu item yang membentuk
keperluan mental dan jasmani individu yang
membentuk sesebuah masyarakat serta meliputi
permasalahan politik, sosial, ekonomi dan perkara yang
bersangkut paut dengan sejarah dan sosio-geografi
manusia". Ideologi adalah "faham (ajaran) yang dipakai
atau dicita-citakan untuk dasar pemerintahan dan lain-
lain tujuan".
Pengertian ideologi menurut para tokoh dan
sarjana adalah sebagai berikut :
5
Gagasan seperti ini banyak ditemukan dalam karya Driyarkara,
khususnya dalam karya lengkapnya yang disunting oleh A. Sudiarrja, dkk
yang diterbitkan oleh Kompas. lihat juga, makalahnya, Negara Pancasi/a
(tidak diterbitkan), Yogyakarta (2011) h. 3.
6
Dalam berbagai tulisan Driyarkara, konsep nasionalisme ini
banyak ditemukan. Penelitian ini juga mencari sumber on line yang dapat
memperkuat konsep yang digali dari karya Driyarkara
7
Lihat, Shaleh Tajuddin, Konsep Negara dan Civil Society dalam
Pandangan Thomas Hobbes dan Muhammad Iqbal: Studi Perbandingan
Analisis Fi/safat Politik, (Disertasi PPs UIN Alauddin, 2012).
D. Landasan Teori
1. Aku menurut Driyarkara
Manusia itulah berdiri sendiri, secara berdaulat,
swadiri, merupakan pribadi atau persona.? Akan tetapi
ia masih harus mempribadikan diri. Berkat
kerohaniannya manusia sejak adanya sudah merupakan
pribadi. Akan tetapi, karena kejasmaniannya manusia itu
bersifat evolutif. Artinya, kedewasaan sebagai pribadi
harus dicapai taraf demi taraf, masih harus diisi. Bagi
hewan, isi itu sudah tertulis, sudah tetap, semua sudah
dipastikan oleh dan dalam kodratnya.
Manusia juga mempunyai kodrat. Ia adalah
kodrat yang harus menentukan. Jadi, terletaklah dalam
kodratnya bahwa ia harus menjadi swadiri dan
berdaulat. Pada dirinya terdapat dorongan-dorongan ke
arah itu. ltulah suatu kepastian. Di samping itu, ada juga
ketentuan lain. Ketentuan dan kepastian yang dibawa
oleh berbagai macam keadaan, baik dalam diri sendiri
maupun dari sekitamya. Untuk menyelami apa yang
disebut kepribadian, ingatlah bahwa di antara berbagai
macam ketentuan dan keadaan yang melekat pada diri
manusia terdapat dorongan-dorongan yang akan kita
sebut 'anarkis', perusak. Jika ada pada diri manusia
8
Shaleh Tajuddin, Ibid
9
Konsep manusia berdiri sendiri ini bersifat persona artinya bebas
secara jasad. Lain halnya dengan konsep Aristoteles manusia sebagai zoon
politikon atau konsep homo homoni lupus Thomas Hobbes yang bersifat
sosiologis. Teori Aku menurut Driyarkara ini dielaborasi dari karya
Driyarkara sendiri (2006)
E. Metode Penulisan
1. Materi Penelitian
Penulisan buku ini merupakan penelitian
kepustakaan dan lapangan yang bersifat kualitatif
filsafati. Oleh karena itu sumber-sumber yang
digunakan sebagai objek material penelitian ini adalah
literatur-literatur, fenomena kebangsaan melalui
pemberitaan baik yang diterbitkan ataupun tulisan-
tulisan dalam jumal, majalah, bulletin dan manuskrip
atau naskah yang memuat atau relevan dengan konteks
penelitian ini. Suatu manuskrip atau naskah dapat
menjadi sumber referensi baik berupa naskah asli
maupun naskah terjemahan selama itu dapat
dipertanggungjawabkan.11. Sumber-sumber primer
adalah literatur-literatur yang berisi pemikiran,
pandangan atau ajaran tentang kebangsaan atau
kenegaraan Driyarkara.
Penelitian kepustakaan dengan mengambil
pemikiran atau ajaran tokoh menempatkan sumber-
1
° Konsep ini sebenarnya diilhami juga oleh Thomas Hobbes (homo
homoni lupus)
11
Kaelan, MS., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsajat,
Paradigma, Yogyakarta, (2005) h. 60
2. Langkah Penelitian
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengumpulkan sumber data berupa literatur atau
buku-buku, naskah, serta karya-karya penting yang
terkait, termasuk majalah atau jumal, buletin, surat
kabar, makalah, dan artikel yang berhubungan
dengan penelitian, sambil melakukan diskusi,
mencatat informasi, dan lain-lain baik yang
berkenaan dengan Driyarkara maupun aspek lain
yang dimungkinkan bermanfaat dan relevan.
b. Menganalisis data yang dilakukan sejak tahapan
pengumpulan data maupun pada tahap setelah
pengumpulan data.
12
Geertz, Clifford., The Interpretation of Cultures, Selected Essays
by Clifford Geertz, Basic Books, New York, (1975), h. 3-30
13Kaelan,
Ibid, h. 250-254; Surya, Joko., Sumber-Sumber Sejarah:
Untuk Penelitian Sejarah Indonesia, Sebuah Pengantar, Perpustakaan
Nasional RI, Penyajian Materi Metode Penelitian Sejarah di Jurusan Sejarah
Universitas Airlangga, Surabaya, (2006), h. 1-3
BAB II
RELEVANSI
KETO KOHAN
DRIYARKARA
14Mohammad
Indra," Relasi antara Pendidikan dan Kebudayaan
Untuk Pembentukan Karakter Bangsa Kajian Filsafat Pendidikan Nicolaus
Driyarkara", Skripsi (Universitas Indonesia; 2009), h. 24-25
15Yanci
da Rato, http://agoradriyarkara.weebly.com. (akses
tanggal 12/09/2013).
16Penjelasan
lebih jauh mengenai riwayat hidupt Driyarkara
berikut disarikan dari "Kata Pengantar'' dalam buku Karya lengkap
Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dolam Perjuangan
Bangsanya, oleh F. Danuwinanta, SJ. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006}, h. xix-xxiil.
..
Indonesia oleh Driyarakara' · ... sendiri diterjemahkan:
"Peranan Pengertian partisipasi dalam pengertian
tentang Tuhan menurut Malebranche".
Selama masa penyelesaian disertasinya, ia masih
meluangkan diri mengirim tulisan-tulisan ringan, tetapi
masih dengan makna yang dalam, kepada salah satu
majalah yang terbit dengan bahasa Jawa di Yogyakarta,
yakni Praba dengan seri "Serat Saking Rome". Dari tuli-
sannya dalam Praba yang terbit tanggal 11 November
1951, ia terbukti layak mendapat sebutan Djenthu.
Dengan judul "Napels pralambanging kadojan sing
larut" yang berarti "Napels simbol keduniawian yang
lenyap", yang mengisahkan bagaimana seorang
Driyarkara betul-betul menikmati pendakian gunung
berapi tersohor di Italia yaitu Visuvio. Sewaktu
mudanya Driyarkara memang termasuk seorang yang
memiliki fisik yang kuat untuk naik-turun-gunung, dan
ini diakui oleh Teman-temannya.
Sekembalinya ke tanah air, Driyarkara ditunjuk
sebagai pengajar filsafat pada Ignatius College di
Yogyakarta. Waktu PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan
Guru) Sanata Dharma, Yogyakarta didirikan nasib status
sosial Driyarkara berubah di tengah-tengah masyarakat,
karena pada awal tahun ajaran 1955-1956, Driyarkara
diangkat manjadi pimpinannya. PTPG ini kemudian
berubah menjadi FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan), dan ia tetap menjadi dekannya. Kemudian
waktu FKIP berubah menjadi IKIP (Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan), Driyarkara menjabat sebagai
rektor sampai saat ia meninggal. Sejak tahun 1960 ia
merangkap menjadi Guru Besar Luar Biasa pada
Universitas Indonesia dan Hassanuddin. Kesibukannya
sebagai rektor sekaligus guru besar tidak membebaninya
17
Adapun tulisan-tulisan Diyarkara di majalah ini bertema
"Kembali ke Pantjasila" yang di muat dalam volume XV antara tahun 1965-
1966. Tulisan-tulisannya ini mengantar ia dipandang sebagai tokoh bangsa
yang memahami Pancasila sebagai ideologi negara, sehingga ia pun
dipanggil sebagai pengajar di SESKOAD dan SESKOAL.
19
Ibid., h. 29.
2
°F. Danuwinata, Kata Pengantar dalam "Karya Lengkap
Driyarkara, Esai-Esai Filasafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya" (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. xxv-xxvi. Dikutip
dari Frans Magnis Suseno dalam Bunga Rampai Mengenang Prof. Dr. N.
Driyarkara, SJ dan pemikiran filosofnya.
21A.
Sudiarja, SJ, dkk., peny., Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 273.
22
Zaprulkhan, Filsafat Umun, Sebuah Pendekatan Tematik{Cet. I;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), h. 14.
23Sutardjo
A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat; Sistematika dan
Sejarah Filsafat logika, Filsafat I/mu, Metafisika dan Filsafat Manusia (Cet.
Ill edisi revisi; Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 60.
24Louis
Leahy dalam Zaprulkhan, op. cit., h. 133.
25Hendaknya
bagi setiap orang yang menganggap dirinya sebagai
pencari kebenaran, maka ia melengkapinya dengan 'compound eye' horizon
penglihatan yang kaya terhadap realitas sehingga terbebas dari perangkap
lingkaran fanatisme palsu. Lihat Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris
(Yaogyakarta: Kanisiusm, 2007), h. 19. Lihat pula Zaprulkhan, op. cit., h. 31.
26A.
Sudiarja, SJ, dkk, op. cit., h. 32
27/bid.
pembahasan tentang masalah ini pernah di muat dalam
majalah Basis tahun Ill Pebruari 1954 halaman 109-113.
28Driyarkara,
Tentang Negara dan Bangsa (Yogyakarta: Kanisius,
1990), h. 7-15
29Driyarkara,
Tentang Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h.
7-10.
30Driyarkara,
Budaya, Seni don Religi, dalam buku kelima A.
Sudiarja, SJ dkk, op. cit., h. 708-710.
31Mohammad
Indra, op. cit., h. 41. Lihat pula pada Driyar-kara
tentang Pendidikan (Yogyakarta, Kanisius, 1980), h. 32-34
35
Ibid., h.840
36ream
CSIS, Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasi/a (ed.
II, Cet. I; Jakarta: CSIS, 1976}, h. 39.
J
, J�
o.,,:
.>!� tL, 0
. J..,-4 ..J
JJ�.,,
o.,,
�'il_ \
p--
.,,,
0&..lJ
0
.T ..
..- ... �oJ
0 •
.,,
� :: .,,
�
.,, .,, &
o0 .,,{�o0'" .,, o
1)-Ll��t\ �
�J
>>� \"' ·' \ .j:. 0°'•"'"'
� ... �� , CJ
.,,
"Dan hendaklan ada diantara kamu segolongan umai
yang menyeru kepada kebaikan, menyeru kepada yang
ma'ruf dan mencegab dari yang mungkar, mereka itulan
orang-orang yang beruntung'w
���\cf �l
0 .,, jj;j � .,, �
37
A. Sudiarja, SJ dkk, op. cit., h. 841
38Departemen
Agama RI. Alqur'an don Terjemahnya (Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alqur'an, 1989), h. 847.
39/bid.,
h. 623
40
Muhammad Qutub, Al Tathowur wa Al Tsabat Ji Hayah Al
Nasyariyah. Diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dan Marwan,
Evo/usi Moral (cet. I; surabaya, Al lkhlas, 1995), h. 359.
41A.
Sudiarja, SJ dkk, Joe. cit.
42/bid.
43K.
Bertens, , Filsafat Barat Abad XX: lnggris-lerman (Jakarta:
Gramedia, 1981), h. 90
44Bernard
Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Alih Bahasa Soejono
Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), h. 12.
45
Ibid
46
Ibid
49N.
Drijarkara, SJ., Percikan Filsafat (Jakarta: PT Pembangunan,
1981), h. 120-121.
so Ibid
51Risieri
Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, dialihbahasakan oleh
Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 109
52/bid
53
Ibid., h. 110
BAB III
NATION STATE
54Miriam
Budiarjo, Dasar-Dasar I/mu Politik (Cet. ke-29;Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 39. lihat pula Sufyanto dan Imam
Musbikin (eds), Fazlurrahman, Cito-Cito Islam, dalam bab "Konsep Negara
Islam: Menumbuhkan sikap Demokrasi Rakyat," (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), h. 129.
55
A. Gafar Karim, Metamorfosis NU don Politisasi Islam Indonesia,
(Jogjakarta: LKIS, 1992), h. 105.
56William
Outhwaite (ed), The Blackwell Dictionary of Modem
Social Thougt, dialibahasakan oleh Tri Wibowo B.S., Kamus Lengkap
Pemikiran Sosial Modern (Edisi 2. Cet. I; Jakarta: Prenada Media Group,
2008), h. 845.
57
Bandingkan dengan tulisan M. Nurkhoiron, ia memaparkan
mengenai berbagai bentuk kebijakan yang lahir terutama di awal-awal
kemerdekaan Indonesia merupakan wujud dari pengaruh kolonial. Lebih
jauh Nurkhoiron memaparkan bahwa bagi pemerintah kolonial seperti
Belanda selalu menekankan penerapan sistem birokrasl modern di
koloninya, pengelompokan dan pemisahan serta diversitas kultural, etnis
dan agama telah dijadikan sebagai modal kultural produktif bagi kuasa
kolonial. Setelah Indonesia merdeka, Soekarno pun nampaknya mencoba
mengontrol masyarakat meski dalam bingkai persatuan, namun kurang
memberikan perhatian terhadap perbedaan budaya dan etnis, sehingga
kerap muncul gesekan-gesekan kultural dan sosial di beberapa daerah.
Selain itu pemerintahan baru paska kolonial, bayangan masa lalu
nampaknya tidak mudah diretas bersamaan dengan proses perubahan yang
terjadi, seperti halnya pada ketidakmampuan merubah Undang-Undang
warisan kolonlal itu. Lihat M. Nurkhoiron, "Minoritas dan Agenda
Multikulturalisme di Indonesia, Sebuah Catatan Awai" dalam Hok Minoritas
B. Bagaimana Artikulasinya.
Dalam kenyataan tidak satupun negara di dunia
ini yang tidak heterogen. ltu berarti bahwa mau tidak
mau setiap pribadi warga suatu negara harus mengakui
adanya perbedaan-perbedaan itu, baik perbedaan suku,
agama, budaya maupun ideologi; tanpa dibenarkan
adanya pemaksaan agar orang lain atau kelompok lain
menerima kebenaran yang ada dalam suatu kelompok
tertentu.
Bila di masa perjuangan kemerdekaan,
masyarakat Indonesia dipersatukan dalam semangat
nasionalisme dan patriotisme sebagai warga negara yang
hidup dalam kondisi yang sama, yakni sebagai
masyarakat terjajah, sehingga sama-sama bahu-
membahu untuk dapat lepas atau merdeka demi suatu
tatanan dalam sebuah negara yang bebas mengatur
tatanan normatif negaranya sendiri, maka untuk konteks
saat ini setiap warga negara dipersatuakan (dan
seharusnya memang demikian) oleh perbedaan-
perbedaan yang ada. Artinya, setiap warga negara harus
58Said
Agil Husain AI-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Cet
Ill; Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 1.
59Dadang
Kahmad, Sosiologi Agama (Cet. V; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009), h. 147.
60Sutardjo
a. Wiramihardja, Pengantar Filsafat (Cet. Ill; Bandung:
Refika Aditama, 2009), h. 80.
61A.
Sudiarja, SJ, dkk. peny., Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 607.
62Dalam
bahasa Montgomery Watt bahwa munculnya atau masih
adanya penyakit seperti disebutgkan di atas disebabkan karena sebagian
besar kaum beragama masih terperangkap dalam krisis pencitraan. Lihat
Riaz Hassan, Keragaman Iman, Studi Komparatif Masyarakat Muslim.
Diterjamahkan dari buku asli Faitlines: Muslim Comception of Islam and
Society oleh Jajang Jahroni dkk. (Jakarta: RajaGraf indo Persada, 2006), h.
13.
63M
Sumartono dalam http://print.kompas.com. Akses 9 Agustus
2013.
64A.
Sudiarja, SJ, dkk., op. cit., h. 614.
65
Ibid., h. 953.
66
/bid.
67/bid., h. 955-956.
BAB IV
KEJATUHAN
NASIONALISME
A. Hidup Menegara
Dalam perbincangan kali ini bukan hendak
membicarakan tentang me-negara dalam kaintannya
dengan konsep negara hukum, karena ketika berbicara
dalam tataran ini berarti memperbincangkan negara
dengna segala aturan-aturan yang dijalankan dengan
mengutamakan unsur-unsur ketertiban hukum,
sekalipun harus dijalankan secara paksa sehingga
berpotensi untuk berbenturan dengan hak-hak dasar
manusia. Karena negara dalam arti rule of law, selain
memproteksi hak-hak dasar manusia juga membatasi
pelaksanaan hak dan kebebasan masyarakatnya.es
68Munir
Fuady, Konsep Negara Demokrasi (Cet. I; Bandung: Reflka
Aditama, 2010), h. 20.
69
Menurut Agustinus {354-430 M), sumber kejahatan adalah dosa
yang lahir dari kehendak bebas. lihat Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar
Filsafat (Cet. Ill; Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 66.
70A.
Sudiarja, SJ, dkk. peny., Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 845-846.
"tu«, h. 843.
72
William Outhwaite (ed), The Blackwell Dictionary of Modem
Social Thougt, dialibahasakan oleh Tri Wibowo B.S., Kamus Lengkap
Pemikiran Sosial Modern (Edisi 2. Cet. I; Jakarta: Prenada Media Group,
2008), h. 544.
"tu«, h. 552.
74Clifford
Geertz mendefinisikan bahwa etnik terbentuk dari faktor
primordial seperti keterikatan biologis, yang dapat dilihat dan dievaluasi
dari persamaan ciri fisik dan ciri kultural. Karenanya, ciri fisik menjadi bagian
dari ciri kultural. Lihat ibid., h. 283.
75Dominasi
kaum agamawan di Barat terhadap masyarakat
melahirkan gerakan dan prates di berbagai belahan dunia Barat itu.
sedangkan di dunia politik, dominasi kaum agamawan kemudian melahirkan
gagasan pembentukan nation-state, sebagai sikap antiagama di pihak kaum
politisi Barat. Gagasan kebangsaan itu kemudian menarik perhatian Bung
• Nasionalisme Pancasila
Pada prinsipnya nasionalisme Pancasila adalah
pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia
terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada
nilai-nilai Pancasila. Prinsip nasionalisme bangsa
Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan
agar bangsa Indonesia senantiasa:
1. menempatkan persatuan-kesatuan, kepentingan
dan keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau kepentingan golongan
2. menunjukkan sikap rela berkorban demi
kepentingan bangsa dan negara
3. bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air
Indonesia serta tidak merasa rendah diri
4. mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan
kewajiban antara sesama manusia dan sesama
bangsa
5. menumbuhkan sikap saling mencintai sesama
manusia
6. mengembangkan sikap tenggang rasa
7. tidak semena-mena terhadap orang lain
8. gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
76/bid.,
h. 49.
78Globalisasi
dan modernisme memunculkan terma-terma konsep
internasionalisme dan kosmopolitanlsme sehingga mendobrak berbagai
batasan seperti budaya, tradisi, etnls dan bahkan pada tataran politis
meruntuhkan rasa nasionalisme. Dengan kata lain bahwa globalisasi dan
modernisasi adalah keunggulan global atas kebudayaan lokal. lihat Bryan S.
Turner, Runtuh Universalitas Sosio/ogi Barat: Bongkar Wacana Atos: Islam
Vis A Vis Barat, Orientalisme, Posmodernisme, dan G/oba/isme.( cet. I;
Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 248.
79
A. Sudiarja, SJ, dkk., op. cit., h. 897.
80
/bid.
2. Nasionalisme-Internasionalisme
Tanggung jawab menyelamatkan generasi
merupakan yang asasi bagi setiap individu, dan bukan
hanya tanggung jawab lembaga seperti institusi
pendidikan, tanpa memandang untuk siapa dan dalam
kondisi bagaimana yang akan dihadapi generasi itu.
Karena secara de jure masyarakat manusia itu tidak
terbatas, melainkan meliputi seluruh jenis manusia,
maka setiap individu, bangsa-bangsa dan negara harus
berusaha untuk melaksanakan masyarakat yang besar
itu. ini mengindikasikan bahwa kodratnya, nasionalisme
itu menuju intemasionalisme, negara-negara menuju ke
kesatuan yang mondial (meliputi seluruh dunia).
Akan tetapi, menurut Driyarkara bahwa semua
itu harus merupakan pelaksanaan cinta kasih, jadi harus
merupakan pelaksanaan Perikemanusiaan, bukan
menjajah, memaksakan ideologinya, menginjak-injak
hak asasi dan sebagainya. Seperti yang telah dijelaskan
bahwa semua orang harus saling menerima dan
81/bid., h. 847.
82/bid.
83
/bid.
84/bid.,
h. 616.
BABV
REFLEKSI KRITIS
85Bahkan
saat ini sedang terjadi proses pengelabuan atas akal dan
logika publik dengan menghadirkan bahasa-bahasa sandi dalam setiap kasus
korupsi yang mencuat sebagai upaya pengaburan identitas. Kasus yang
masih sangat baru seperti kasus suap kuota impor daging sapi (baca: Ahmad
Fathonah), banyak sekali memunculkan bahasa-bahasa atau kata-kata sandi
semisal "Bunda Putri, Engkong'', atau dengan angka saja seperti "40".
Modus untuk memisterikan pelaku korupsi dan orang-orang besar yang
diduga terlibat sengaja didesain untuk memengaruhi persepsi publik,
sehingga apapun yang mereka lakukan selalu dibentengi oleh asumsi
penciptaan asumsi defensif bahwa "itu bukan kerja koruptor''. Akal sehat
kita dikelabui, seolah olah setiap warga tidak punya nalar dan logika. Lebih
jelasnya lihat Marwan Mas, "Kesaksian dan Logika Publik" dalam kolom
opini Tribun Timur, kamis 12 September 2013, h. 13
86Sejarawan
sepertl Anhar Gonggong melihat politik bangsa
Indonesia saat ini tidak lebih sebagai politik untuk kepentingan pribadi atau
kelompok, bukan untuk kebaikan bersama. Buktinya adalah masyarakat
sebagai pemilih maupun calon yang akan dipilih sama bermain untuk
sebuah jabatan, sehingga yang lahir atau yang terpilih nantinya adalah para
pejabat bukan pemimpin. Dewasa ini yang banyak ditemukan adalah
pejabat. Padahal sejatinya yang harus ada adalah pemimpin, yakni orang-
orang yang mampu melampaui diri sendir. Lihat Philips Tangdilintin, "Pilih
Pemimpin atau Pejabat?" dalam opni Tribun Timur, terbit Kamis 19
September 2013, h. 13
87Mahfud
MD, Makalah pada Kuliah Perdana Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin, 17 September 2012 di
Gedung Graha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta.
88Hampir
setiap regenerasi pemerintahan dan kepemimpinan
nasional melahirkan pemimpin yang berwatak koruptor. Sjarifuddin Jurdi
menegaskan bahwa korupsi dan disintegrasi mengancam kesaktian
Pancasila. Tapi sesungguhnya apa yang diutarakan oleh Jurdi ini telah
melampau dari sekedar mengancam, namun telah nyata mencabik-cabik
nilai-nilai luhur itu. lihat "Masikah Pancasila Sakti" dalam Upsus Tribun
Timur Minggu 29 September 2013, h. 3.
89Suryono
Brandoi, "Pancasila Penghias Etalase Bangsa", dalam
harian Medan Bisnis, 5 Juni 2013.
90Dalam
diskusi tentang Masikah Pancasila Sakti? yang
diselenggarakan oleh Forum Pembauran Kebangsaan Sulawesi Selatan, pada
peringatan hari kesaktian Pancasila 1 Oktober 2013, tergambar kerisauan
para pembicara seperti Ishak Ngeljaratan, Halilintar Latief dan Syarif uddin
Jurdi. Mereka sepaharn bahwa upaya pemerintah untuk meng-sakti-kan
Pancasila telah gaga!, karena kesaktian itu dipertanyakan ketika
diperhadapkan pada berbagai fenomena sosial dan kebangsaan. Bahkan
Ngejalratan menyatakan dengan sinis bahwa "bagaimana kalau 1 Oktober
bendera dikibarkan setengah ti<1ng dan kita semua tangisi Pancasila yang
tidak saktl lagi. Lipsus Tribun Timur, Joe. cit.
91Suryono
Brandoi, "Pusaka Sakti Bernama Pancasila", dalam
harian Analisa, 01 Juni 2013.
92
Ahmad Syafii Mufid, "Ketika Korupsi Menjadi Kebudayaan",
dalam editorial buku Munawar Fuad Noeh, Islam don Gerakan Moral Anti
Korupsi (Cet. I; Jakarta: Zikru'I-Hakim, 1997), h. 14.
93Suryono
Brandoi dalam http://analisa-Pancasila-penghias-
etalase-bangsa.com. Akses tanggal 18 Oktober 2013.
94Saat
ini kita benar-benar merasakan suatu ketimpangan
moralitas dalam generasi. Ketimpangan atau ketidakseimbangan itu terjadi
karena kesalahan dan dosa-dosa masa lalu yang dilakukan oleh para
generasi pendahulu yang kemudian terwariskan dan kian diperparah pada
generasi masa kini dan (kemungkinan besar) tetap diwariskan pada generasi
anak-anak kita. Dalam ungkapan lain "masa /a/u membunuh masa kini dan
masa kini menghancurkan masa depan''. Di satu sisi kita mengharapkan
lahirnya generasi-generasi yang perfeksionis, generasi yang mampu eksis
dalam berbagai persaingan bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan,
tekhnologi, ekonomi, budaya dan sebagainya, namun di sisi lain kita
melupakan aspek moralitas-religiusnya. Sehingga yang tampak adalah
generasi yang cerdas secara intelektual tapi bobrok dalam hal moralitas;
cumlaude dari segi akademiknya tapi nol dalam bersikap; sehat akal fisiknya
namun sakit mentalitas ruhaniahnya. Yang implikasi terjauhnya adalah
lahirnya generasi-generasi yang mampu mendesain dan melakukan
pembangunan gedung-gedung pencakar langit tapi tidak mampu
membangun spiritualitas dalam dlrinya. Segala macam bentuk kebodohan
yang saat ini sedang terjadi merupakan akumulasi dari kebodohan-
kebodohan masa lalu. Jika di masa lalu saat di mana kemajuan tak
sekompleks masa kini, maka dapat dibaca dalam sejarah bila kebodohan itu
hanya terjadi pada suatu generasi dalam suatu kaum.
95Bila
bercermin terhadap beberapa kejadian/kasus korupsi yang
dipublikasikan media, maka di situ nampak jika para pelaku itu merupakan
kelompok intelektual birokrat muda yang diharapakan menjadi
aset/generasi yang akan memberi arah posistif bagi perkembangan bangsa.
Mereka adalah generasi yang memang kuran bahkan tidak merasakan pahlt
getirnya perjuangan bangsa meraih cita-cita kemerdekaan.
96Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. Pancasila Sebagai
Rambu Politik Hukum Nasional. http://www.-
mahkamahkonstitusl.go.id/index.php, diakses tanggal 8 Oktober 2013
97
Achmad Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory), Teori
Peradilan (Judicialprudence) Termasuk /nterpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), (Jakarta, Prenada Media Group:2009), h. 62.
98
Jazim Hamidi, Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus
1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jurnal Konstitusi
Volume 3 Nomor 1, Februari 2006, (Jakarta, Mahkamah Konstitusi: 2006), h.
100-124.
99Jurnal
Universitas Negeri Malang. Pembe/ajaran Nilai, Norma,
dan Moral dalam PPKn. http://journal.-
um.ac.id/index.php/ppkn/article/view/1716, diakses pada tanggal 8
September 2013.
100Moh.
Mahfud MD, Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah
Mada. Penuangan Pancasila di Dalam Peraturan Perundang-Undangan.
http://www.psp.ugm.ac.id/pub/ikasi/artikel/53-penuangan-Pancasila-di-
dalam-peraturan-perundang-undangan. htm/, diakses tanggal 18 September
2013.
101soedjito
S., Transformasi Sosial Menuju Masyarakat lndustri
(Cet. II, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 3.
102sastrapratedja
dalam Mahkamah Konstitusi. Pancasi/a Sebagai
Dasar Negara, Asas Etika Politik, don Acuan Kritik ldeo/ogi, Kongres
Pancasi/a: Pancasila dalam Berbagai Perspektif, (Jakarta, Setjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2009), h. 66-67.
103Soenoto,
Filsafot Sosial dan Politik Pancasila ( cet. I; Yogyakarta:
Andi Offset, 1989), h. 108.
104
Agus Wahyudi dalam Mahkamah Konstitusi. Membangun
Negara Pancasila dengan Teori Kebaikan dan Teori Kebenaran, Kongres
Pancasila: Pancasila dalam Berbagai Perspektif, (Jakarta, Setjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi:2009), h. 120.
105Notonagoro.
Pancasila Secora 1/miah Populer, (Jakarta: Bumi
Aksara: 1971), h, 100.
106
Mahfud MD, Makalah ... , /oc. cit.
C. Kesimpulan
Berdasarkan pada keseluruhan pembahasan yang
telah dikupas, dan dengan rumusan masalah yang ada
kiranya dapat disimpulkan bahwa konsep nation state
yang dirumuskan oleh Driyarkara adalah hidup
menegara dengan berbuat dalam kesatuan sebagi bentuk
aksi bersama. Kita menjadi kita tanpa mempersoalkan
adanya perbedaan. Karena perbedaan merupakan suatu
yang kodrati dan alami. Dengan perbedaan ini, kita tidak
saja menjadi persona tapi juga menjadi personasi, yakni
menjadi manusia yang merealisasikan diri dalam
keragaman.