Anda di halaman 1dari 12

Makalah

Fiqh dan ushul fiqh


Kata pengantar
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini.
Penulisan makalah ini disusun rivaldi pratama untuk memenuhi Tugas kelompok yang
telah di berikan oleh ibu dosen Hj.Dr.Nurjannah Ismail,M.Ag. Selaku dosen dari mata kuliah
fiqh ushul fiqh. Atas tersusunnya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

24 September 2019 Darussalam


Banda Aceh

Rivaldi pratama
170704016
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

1.2. Rumusan Masalah

1.3.  Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al Quran, sumber dan dalil

2.2 pengertian hukum syara

2.3 dalil qath’i

2.4 dalil zhanni

2.5 dalil kulli

2.6 dalil juz’i

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Qur’an merupakan nama kitab suci Allah Swt. Yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw, dengan perantaraan malaikat Jibril. Dalam kajian ushul fiqih, Al-Qur’an
juga disebut beberapa nama seperti : Al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa Arab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantaraan malaikat Jibril serta
diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.
Pembahasan Qath’i dan Dzanni, Kully dan Juz’i hanya dapat ditemukan di kalangan
ahli ushul fiqh ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil serta kandungan
makna dalil itu sendiri. Dalam kitab-kitab Ushul fiqh, telah disepakati para ulama ushul,
bahwa Qath’i adalah yang secara tegas telah ditentukan oleh nash. Dalam pengertian yang
lebih sesuai, Qath’i dalam hukum Islam adalah sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-
ubah dan karena itu bersifat fundamental, yakni nilai kemaslahatan atau
keadilan. Sementara Dzanni secara harfiyah berarti persangkaan atau hipotesis yang
merupakan kebalikan dari yang Qath’i (kategori). Yakni ajaran atau petunjuk agama baik dari
al-Qur'an maupun Hadits Nabi yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang
universal. Dalil kully adalah dalil yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan
kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.Apa pengertian Al quran

2.mengapa Al quran sebagai dalil hukum syara

3.apa itu dalil qath’i,dalil zhanni,dalil kulli dan dalil juz’i

1.3TUJUAN PENULISAN

1.Untuk mengetahui pengertian Al quran

2.Untuk mengetahui dalil hukum syara

3.Untuk mengetahui perbedaan dalil qath’i,dalil zhanni,dalil kulli dan dalil juz’i
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al-Qur’an
Dalam pembahasan tentang arti al-Qur‟an akan ditinjau dari dua segi, yaitu arti al-Qur‟an
menurut bahasa (etimologi) dan arti al-Qur‟an menurut istilah (terminologi).

Al-Qur‟an menurut bahasa (etimologi).Dikemukakan oleh Subhi As Shalih, “Al-Qur’an


      

berarti ‘’bacaan‟, asal kata qara’a. kata Al-Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim
maf’ul yaitu maqru’ (dibaca).

Al-Qur’an menurut istilah (terminologi). Adapun definisi Al-Qur’an ialah “kalam Allah
SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad saw
dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah
ibadah”.

Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau
13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Oleh para ulama membagi masa turun ini
dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah
berlangsung selama 12 tahun masa kenabian RasulullahSAW dan surat-surat yang turun pada
waktu ini tergolong surat Makkiyyah.

Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10


tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.Kitab suci Al-
Qur’an diawali surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas yang berjumlah 30 juz,
114 surah dan 6666 ayat yang diturunkan kepada Muhammad saw dan disampaikan kepada
umatnya hingga sekarang ini dengan jalan mutawatir lagi berbahasa Arab, sebagai pedoman
hidup dalam kehidupan manusia, khususnya bagi umat Islam.
Banyak Pendapat para ‘Ulama mengenai definisi dari Al-Qur’an, diantaranya sebagai
berikut :
a.       As Sayuthy dalam kitab Al Itqan : Watas arti kata Al Qur’an ialah, “Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang tidak dapat ditandingi oleh yang
menentangnya, walaupun sekedar sesurat saja dari padanya.” Sebagian Mutaakhirin
menambahkan : “Yang kita beribadat dengan mentilawatkannya.”

b.      Asy Syaukani dalam kitab Al Irsyad : Yang lebih utama dikatakan, “Al Qur’an itu
Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang ditilawatkan dengan lisan, lagi
mutawatir penukilannya.”
c.       Ahli Agama (‘Uruf Syara’) : “Al Qur’an itu wahyu Illahi yang diturunkan kepada
Muhammad yang telah disampaikan kepada kita, umatnya, dengan jalan mutawatir, yang
dihukumi kafir orang yang meriwayatkannya. Jadi, dari beberapa pendapat para ‘Ulama
tentang definisi Al Qur’an, dapat disimpulkan bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. secara munajjaman oleh Malaikat Jibril agar
disampaikan kepada umatnya, yang ditilawatkan dengan lisan.

Pengertian Sumber dan Dalil 


Sumber secara etimologi berarti asal dari segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu.
Dan dalil berarti petunjuk pada sesuatu, baik yang bersifat materil maupun non materil.
Adapun secara terminologi dalam ushul fiqih, sumber diartikan sebagai rujukan yang pokok
atau utama dalam menetapkan hukum Islam, yang berupa Al-Qur’an dan As-sunnah.
Sedangkan dalil mengandung pengertian sebagai suatu petunjuk yang dijadikan landasan
berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang
kedudukannya qathi (pasti) maupun yang zhanni (relatif).(1)
Al adillah ialah bentuk jama’ dari kata dalil. Secara bahasa dalil artinya sesuatu yang
menunjukkan hal-hal yang dapat ditanggap secara indrawi atau ditanggap secara maknawi.
Menurut istilah dalil adalah: sesuatu yang dapat menyampaikan fikiran yang sehat kepada apa
yang dimaksud untuk memperoleh hukum. Sedangkan Abdul wahab khallaf dalam bukunya
ushul fiqih menyatakan dalil adalah sesuatu yang dipakai untuk menunjukkan hukum syara’
tentang perbuatan manusia melalui proses berfikir yang benar, baik melalui jaln yang pasti
(qath’i) ataupun secara dugaan yang kuat (zhanni). (2)
Dalam kaitannya dengan pengertian dalil diatas Al-Qur’an dan As-Sunnah disebut dalil
hukum. Artinya, ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi SAW disamping sebagai sumber
juga sebagai dalil (alasan dalam penetapan hukum Islam. Namun dalil lain seperti ijma’,
qiyas, istihsan  dan sebagainya, tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum Islam karena
dalil-dalil hanya bersifat at-kasyf wa al-izhar li al-hukum (menyingkap dan memunculkan
hukum) yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Suatu dalil yang membutuhkan dalil lain
untuk dijadikan hujjah tidaklah dapat dikatakan sumber karena yang dikatakan sumber
bersifat berdiri sendiri.(3)

(1)Chaerul Uman dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 31.


 (2)Musnad Rozim, Ushul Fiqh, (Metro: STAIN Jurai Siwo Metro, 2013), h. 24.
(3)Chaerul Uman dkk, Op.Cit., h. 32.
2.2 pengertian hukum syara

Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. (4)
Menurut istilah, terminologi hukum dipahami dalam dua pengertian. Menurut ushuliyah
(ulama ahli ushul fiqih) hukum adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf. Sedangkan menurut fuqaha’ atau ulama ahli fiqih hukum adalah sifat yang
bersifat syar’i yang merupakan pengaruh dari titah Allah atau pengaruh titah Allah yang
berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf

kata syara’ secara etimologi berarti “jalan yang biasa dilalui air”, maksudnya adalah
jalan yang dilalui manusia dalam menuju jalan Allah. Dalam Al-Qur’an terdapat 5 kali
disebutkan kata syara’ dalam arti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh.Jadi hokum
syara’ berarti seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku
manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama
islam.

2.3 Pengertian Dalil Qath’i


Qath’I menurut bahasa mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut
istilah adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak membuka
penafsiran yang lain.(5)
Nash-nash Al-Qur’an, seluruhnya bersifat qoth’i dari segi kehadiranya dan
ketetapanya , dan periwayatanya dari Rosulullah.(6)
Menurut Abdul Wahab Khallaf Qath’I adalah sesuatu yang menunjukan kepada
makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau
hadist). Qath’I dan Zhonnimerupakan salah satu bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli
ushul fiqh ketika mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau
sumber suatu dalil.
Dalam dalil Qath’I ada ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an mengenai rukun-rukun
agama seperti shalat dan puasa, bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum
yang telah ditetapkan semuanya yang tidak mungkin dibantah oleh siapapun, setiap orang
wajib mengikutinya dan ketentuan-ketentuan ini tidak membuka peluang bagi ijtihad.
Nash-nash yang qoth’i adalah nash-nash yang menunjukkan kepada suatu arti yang
pemahamannya tertentu , tidak mungkin ditakwilkan dan tidak mungkin diphahamkan
lain.seperti ayat dibawah ini :
            Tentang warisan

Artinya :Dan bagimu (suami-suami) seper dua dari harta yang ditiggalkan oleh istri-istrimu
jika mereka tidak mempunyai anak (an-Nisa').

(4) Satria effendi ,M.zain.Ushul fiqh ,hlm 36


(5) Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol aen  M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada), halaman 86.
(6) Drs.H.A.Baiq Djalil S.H.M.A ushul fiqih dalil qoth’i dan dzonni hlm 29

Ayat ini qoth’i dalalahnya karena dengan tegas hak suami yang ditinggalkan oleh mati
istrinya  yang tidak punya anak, artinya bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah
seperdua, tidak yang lain.
Tentang hukuman had zina

Artinya : Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari


keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan  kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari
Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-
orang yang beriman. (an-Nur : 2)
Ayat-ayat yang  menyangkut hal-hal tersebut,  maknanya jelas dan tegas dan
menujukkan arti dan maksud tertentu dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad.
Tentang hukuman menuduh berzina
 
Artinya “Dan orang-orang  yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Bahwa seorang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina, sedangkan ia   tidak
memiliki 4 orang saksi maka ia didera sebanayak 80 kali deraan sebagai hukuman telah
menuduh. Kata “delapan puluh” merupakan kata yang sudah jelas dan tidak mungkin kata
tersebut dita’wil menjadi kalimat lain.

2.4.     Pengertian Dalil Dzanni


Secara bahasa yang dimaksud dengan Dzanni adalah perkiraan, sangkaan (antara
benar dan salah). Adapun Dzanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis)
yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.
Dalil dzanni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan
kepada maknanya (ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah)
diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para
saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Sedangkan nash-nash yang dzanny dalalahhnya adalah nash-nash yang menunjukkan
kepada suatu arti akan tetapi ada kemungkinan bisa ditakwilkan(7)
Contoh-contoh Dalil Dzanni
  Al Baqarah : 228

Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri  (menunggu) tiga kali
quru”. (Al Baqarah : 228)

Lafadz quru dalam bahasa arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih).


Di dalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut
memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru’.
(7) Prof. Abdul Wahhab Khallaf., Ilmu ushul hadits,  ( Semarang  :  Dina Utama  Semarang ,
1994 ), halaman  36.
Dalam hal ini sangatlah wajar apabila para ulama’ berbeda pendapat , lafazd ‘am, dan
yang sewmacamnya mengandung pemahaman yang yang dzanny, karena meskipun
menunjuk pada suatu arti , akan tetapi ada kemungkinan pemahaman yang lain,
Al Maidah : 3

Artinya : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”. (Al-Maidah : 3).


Lafadz Al-Maitatu di dalam ayat tersebut ‘Am, yang mempunyai
kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan selain bangkai
binatang laut/air. karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am mutlak dan yang
seperti itu maka disebut zhanni dalalahnya. hal ini disebabkan karena lafadz tersebut
mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.
Dengan demikian istilah qoth’i dan dzanni menyangkut soal nilai suatu dalil , hal-hal
yang qoth’i tidak diragukan lagi, sudah tentu berbeda dengan yang dzanni baik didalam
fungsinya maupun didalam tenpatnya

2.5  DALIL KULLI
Dalil kulli adalah dall yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan
kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf (8) Dalil kully ini ada kalanya ayat
al-qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.
Dalil kully adakalanya berupa ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah .
Contoh dari ketiganya ialah:
Firman Allah surah al-Baqarah ayat 29:

“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.”
Ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh untuk
dipergunakan oleh manusia. Kata 

ِ ْ‫ َما فِى األَ ر‬ (segala sesuatu yang ada di bumi) bersifat umum mencakup
‫ض َج ِم ْيعًا‬
 semua yang ada di darat dan di laut.
Dari ayat ini diambil dasar kaidah:
ُ‫احة‬
َ َ‫اإلب‬ ْ َ‫ص ُل فِى األ‬
ِ ‫شيَا ِء‬ ْ َ‫األ‬
“Pokok hukum segala sesuatu adalah membolehkan”.
Hadist Nabi yang berbunyi:
ُ‫هللا‬   ‫صلَّى‬ ُ ‫الخ ْد ِرى قَا َل َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ان‬ٍ َ‫سن‬ َ ‫عَنْ أَبِى‬
َ ‫س ِع ْي ِد ْب ِن َمالِ ٍك ْب ِن‬
‫ار‬
َ ‫ض َر‬ِ َ‫ض َر َر َوال‬َ َ‫ال‬: ‫سلَّ َم‬ َ ‫َعلَ ْي ِه َو‬
“Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sanan al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw: “Tidak boleh
memadlaratkan diri sendiri dan tidak boleh dimadlaratkan orang lain” (H.R. Ibnu Majah dan
Daru Quthniy).(9)
Hadits di atas melahirkan kaidah kemaslahatan, yakni membina segala ketetapan
dibangun atas dasar kemaslahatan.
(8)Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih,(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), halaman 85-86.
(9)] 
Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,2014), halaman 86.

Kaidah fikih yang berbunyi:

“Kesukaran itu mendatangkan kemudahan”.


Di antara contoh dalil yang juz’iy adalah ayat:

“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sekalian”.


Dalam pembahasan mengenai kedua dalil ini harus dibedakan antara dalil yang kully
dengan lafadz ‘am,dan dalil yang juz’iy dengan lafadz khas. Istilah ‘am dan khas, dikenal di
dalam kajian lafadz atau pendekatan linguistik (kebahasaan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an, di
mana yang difokuskan adalah makna ayat dari sudut pandang kata perkata.(10)

2.6  Dalil Juz’i
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang menunjukkan kepada suatu persoalan dengan
satu hukum tertentu.
Contohnya :

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagai mana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqoroh :183)
Ayat diatas termasuk kedalam dalil juz’I, karena hanya menunjukkan kepada perintah puasa
saja.(11)
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya dengan cara:
Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti
yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan
masalah pidana hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul
fiqih disebut sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
 Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global
(kulli), umum , dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci beberapa kali
sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan syaratnya. Demikian
juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci, dan berapa benda yang wajib
dizakatkan, berapa nisab zakat, dan berapa kadar yang harus di zakatkan. Untuk hukum-
hukum yang bersifat global, umum dan mutlak ini, Rasulullah Saw, melalui sunnahnya,
bertugas menjelaskan, mengkhususkan, dan membatasi.(12)
(11)Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih, (Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2014).
(12) Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2014).

BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, maka kami dapat menyimpulkan bahwa al-Qur’an itu betul-
betul datang dari Allah secara qat’iy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung
di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh (Mukhalaf) manusia
sepanjang masa.
 dalil syar’iyyah merupakan sumber rujukan bagi penetapan hukum. dalil merupakan
bukti, indikasi atau petunjuk yang terdapat didalam didalam sumber-sumber dimana
ketentuan syariat atau hukum, di simpulkan. Sehingga segala sesuatu perbuatan yang
dikerjakan oleh mukallaf dapat dikanai hukum syara.
Adapun pembagian dalil dapat dilakukan dalam berbagai aspek. Jika Ditinjau dari
segi asalnya dalil dapat dikelompokkan menjadi dua : Dalil naqli dan Dalil aqli. Ditinjau dari
ruang lingkupnya yaitu : Dalil kulli dan Dalil juz’I, dan jika Ditinjau dari segi daya
kekuatannya digolongkan kedalam Dalil qoth’I dan Dalil dhonni.
          Qath’I menurut bahasa mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut
istilah adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak membuka
penafsiran yang lain.
 Dalil dzonni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan
kepada maknanya (ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah)
diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para
saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Dalil kulli adalah dall yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan
kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf .Dalil kulli ini ada kalanya ayat al-
qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang menunjukkan kepada suatu persoalan dengan
satu hukum tertentu.
Daftar pustaka

Ash-Shabuni, Syekh Muhammad Ali. IKHTISARI ULUMUL QUR'AN PRAKTIS.


Jakarta:Pustaka Amani.

Djazuli, Prof. Drs. H.A., Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih,(Metodologi Hukum
Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014).

Drs.H.A.Basiq,S.H.M.A. Ilmu ushul fiqih (satu dan dua). (perpustakaan Nasional


KDT 2010)
Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin .Ushul fiqh,jilit 1 (Prenada Media Grub 2008)

Wahhab Khallaf, Abdul, Prof., Ilmu Ushul Hadits, ( Semarang  :  Dina


Utama  Semarang , 1994 )

Anda mungkin juga menyukai