Anda di halaman 1dari 3

Nama : Faiq Rizqi Aulia Rachim

NIM : 18/42650/HK/21607

Kasus Profesi Hakim

1. Penggambaran Singkat Kasus


Dalam kasus yang diberikan, didapati bahwa terdapat seorang hakim yaitu Narto.
Seorang hakim yang taat pada peraturan serta menjunjung tinggi keadilan. Dalam suatu
peradilan, ia harus menjadi hakim untuk kasus penistaan agama dengan tersangka
bernama Sasukeh. Sasukeh didukung oleh beberapa ormas agama, dan Narto menganut
agama yang sama dengan ormas-ormas tersebut. Ormas-ormas yang mendukung Sasuke
memberikan intimidasi pada Narto dengan harapan Sasukeh dapat bebas. Dengan
dukungan yang dimiliki oleh Sasukeh, ia berharap dapat aman dari kata bersalah dalam
pengadilan. Namun, Narto tetap teguh dalam pendiriannya dan menjatuhkan hukuman
kepada Sasukeh. Hal ini tentu saja membuat Sasukeh tidak setuju dengan hasilnya dan
mengajukan banding ke pengadilan tinggi.

2. Pemaparan Opini
Menurut saya, apa yang dilakukan oleh Narto adalah benar. Menurut kode etik
dan pedoman perilaku hakum yang disetujui oleh Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik melalui Keputusan Bersama tahun 2009,
terdapat pengaturan kode etik diantaranya adil, mandiri, dan professional. Adil artinya
seorang hakim harus tidak menitik beratkan satu pihak terhadap pihak lainnya mengingat
derajat semua orang sama dihadapan hukum. Hal ini telah dicerminkan Narto dengan
cara meskipun Sasukeh didukung oleh ormas-ormas agama yang memiliki keyakinan dan
kepercayaan yang sama dengan dirinya, ia tidak membuat hal itu menjadi alasan untuk
membebaskan Sasukeh. Lalu selanjutnya, sifat mandiri artinya seorang hakim harus dapat
bertindak mandiri tanpa bantuan pihak lain serta bebas dari pengaruh apapun. Hal ini
dicerminkan oleh Narto dalam bentuk meskipun diintimidasi oleh ormas-ormas agama, ia
tetap teguh dan berani untuk bertindak sesuai dengan yang seharusnya. Setelah dua hal
tadi, maka dapat disimpulkan bahwa Narto merupakan hakim yang profesional.
Selain menurut kode etik, kasus ini juga dapat dianalisi melalui undang-undang
yang ada di Indonesia. Menurut undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman pasal 3 ayat 1 yaitu dalam menjalankan tugasnya seorang hakim harus
menjaga kemandirian peradilan. Hal ini didukung di ayat 2 dengan pasal yang sama yang
isinya segala campur tangan dalam unsur peradilan dilarang, kecuali sesuai Undang-
Undang Dasar 1945. Dan yang terakhir ayat 3 yang menyatakan bahwa pelanggar ayat 2
dapat dipina. Dari pasal dan ayat-ayat tadi, maka dapat disimpulkan bahwa apa yang
dilakukan oleh Narto dibenarkan oleh pasal 1 dimana ia berusaha untuk menjaga
kemandirian dari peradilan. Ormas-ormas agama yang mengintimidasi Narto seharusnya
dipidanakan karena menurut ayat 3 pihak yang melanggar ayat 2 dimana mencampuri
urusan peradilan dilarang. Namun, apa yang dilakukan Sasukeh yaitu mengajukan
banding kepada pengadilan tinggi diperbolehkan. Menurut pasal 17 ayat 3 undang-
undang tahun 2009, pihak yang diadili memiliki hak ingkar kepada hakim. Hak ingkar
disini adalah sebuah hak untuk menyatakan keberatan terhadap putusan hakim yang
diberikan. Akhirnya dia meminta untuk banding.

3. Kesimpulan akhir
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa apa yang
dilakukan pak Narto adalah benar. Ia telah menggunakan kode etik-kode etik profesi
hakim dengan semestinya. Bahkan, menurut undang-undang no 48 tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman perbuatan Narto juga dibenarkan dan dilindungi dengan pasal 2
dan 3 yang menyatakan bahwa yang menggangu dapat dipidanakan. Memang dalam
undang-undang tidak mengatur tentang bagaimana hukuman untuk orang yang
melakukan tindakan intimidasi. Namun, menurut KUHP pasal 146 tentang penggunaan
“kekerasab atau dengan ancaman kekerasan mengganggu siding legislative”:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dengan
menceraiberaikan persidangan badan pembuat undang - undang, Pemerintahan atau
Perwakilan Rakyat yang dibentuk oleh atau atas kekuasaan negara, memaksa untuk
mengambil atau tidak mengambil keputusan, atau mengusir seorang ketua atau seorang
anggota dari persidangan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama - lamanya
sembilan tahun.” Hal ini dapat dianalogikan bahwa siapapun yang menggunakan
kekerasan maupun ancaman kekerasan dapat dipidanakan. Hal inilah yang membuat
peradilan di Indonesia sangat lah rawan. Menurut Bapak Taufiqurrahman Syhari, Ketua
Bidang Rekrutmen KY alasan terjadinya intimidasi atau terror kepada hakim adalah
belum ada peraturan di Indonesia yang mengatur tentang contempt of court. “Aturan
seperti ini belum ada di undang-undang kita”. Dirilis dari hukumonline.com pada Rabu, 9
Februari 2011. Peraturan perlindungan terhadap hakim selama ini baru ada dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2003. Oleh karena itu, diharapkan hakim dapat
dilindungi lebih baik dengan keluarnya RUU KUHP yang semoga dapat dipercepat.

Anda mungkin juga menyukai