Sejarah Filsafat Kontemporer
Sejarah Filsafat Kontemporer
POSTMODEREN
(abad 20-21)
Dalam filsafat, seseorang tidak mungkin disebut filsuf jika tidak mengetahui dengan
baik pemikiran para filsuf besar seperti Platon, Aristoteles, Kant, dan lain-lain.
Karena itu sejarah filsafat merupakan sesuatu yang substansial dalam studi filsafat.
Dalam studi sejarah filsafat biasanya dikenal empat tahapan periodisasi. 2 Pertama,
filsafat Yunani dan Romawi Kuno bermula dari masa lahirnya filsafat pada abad ke-
6 SM hingga tahun 529 M. Pada tahun ini Kaiser Justianus dari Byzantium yang
dekat dengan agama Kristen menutup semua sekolah filsafat kafir di Athena. Kedua,
filsafat Abad Pertengahan yang meliputi pemikiran Boëthius (abad ke-6) sampai
dengan Nicolaus Cusanus (abad ke-15), dengan puncaknya abad ke-13 dan
permulaan abad ke-14. Ketiga, filsafat moderen yang diawali oleh pemikiran para
filsuf Renaissance tetapi mekar secara meyakinkan dengan filsafat Renẻ Descartes
(1596-1650) dan berakhir dengan pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900).
Keempat, filsafat kontemporer yang berawal dari periode setelah abad ke-19 hingga
sekarang.
Filsafat abad ke-20 adalah puncak 2500 tahun sejarah filsafat, ditandai dengan
diferensiasi disiplin ilmu dan pendidikan filsafat serta proses radikalisasi kritik
1 Bdk. K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer. Jerman dan Inggris, Jilid I, Jakarta: Kompas Gramedia,
2014, p. 1
2 Bdk. Ibid., p. 2
Filsafat moderen dimulai dengan pemikiran para filsuf besar abad ke-17. Para
pemikir ini memahami refleksi filosofisnya sebagai sebuah awal baru yang radikal.
Tentu dengan pendasaran yang kokoh dan masuk akal. Namun tak dapat disangkal
pula bahwa apa yang disebut “radikal baru” tersebut memiliki akar-akar yang
tertancap jauh hingga ke abad pertengahan. Sejumlah faktor historis telah
mendorong lahirnya pemikiran moderen. Pada bagian ini akan dikemukanan secara
ringkas beberapa faktor penting yang melahirkan paradigma berpikir moderen yang
sudah bertumbuh di Eropa sejak abad ke-14 hingga abad ke-17.3
3 Bdk. Hans Blumenberg, Die Legitimität der Neuzeit, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1998
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/2
Eropa pada akhir abad pertengahan berhasil menciptakan sebuah tatanan sosial dan
kultural yang terstruktur kendati harus melewati pelbagai kesulitan dan
ketegangan.4 Tatanan tersebut berpijak pada Allah sebagai titik tumpuan terakhir.
Namun sejalan dengan berakhirnya era abad pertengahan berakhir pula pandangan
monolitis tersebut. Kesatuan kerajaan, gereja dan masyarakat feodal hirarkis pun tak
dapat dipertahankan lagi.
Sistem budaya Eropa tidak hanya mengalami guncangan secara internal, tapi juga
mengalami transformasi dalam perjumpaan dengan budaya luar. Sebelumnya
terutama selama abad pertengahan kebudayaan Kristen hanya berhubungan dengan
Islam yang juga secara teologis menganut monoteisme dan juga dipengaruhi oleh
filsafat Yunani. Dalam era moderen Eropa dikonfrontasi dengan pelbagai budaya
dan benua yang baru ditemukan dengan ideologi dan agamanya yang tak dikenal
sebelumnya. Revolusi berpikir menerpa Eropa dengan berakhirnya sistem dunia
geosentris.
Thomas Aquinas masih memahami “ada” atau “Sein” sebagai sebuah konsep
analogis yang selalu berarti satu tingkatan kesempurnaan tertentu. Sebaliknya Duns
Scotus mengajarkan konsep ada yang bersifat univok, para komentator Thomas
bahkan mengartikannya sebagai eksistensi semata. Pemahaman ini akhirnya
Bdk. Emerich Coreth, Harald Schöndorf, Philosophie des 17. und 18. Jahrhunderts, Stuttgart:
4
Kohlhammer, 2000, p. 13
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/3
mengarah kepada konsep “ada” dalam pemikiran moderen sebagai realitas empiris
yang berada satu di samping yang lain.
Juga pandangan tentang alam atau kodrat ikut bergeser. Nominalisme dan ilmu
pengetahuan alam moderen menghancurkan gambaran tentang sebuah tatanan alam
yang otonom dengan tujuan kodrati (telos) tertentu. Di sini kesulitan berhubungan
dengan pemahaman teologis seputar relasi antara rahmat (gratia) dan kodrat (natura)
ikut juga berperan. Sejumlah orang menemukan sebuah kontradiksi ketika rahmat
Allah mengungkapkan kesempurnaan kodrat manusia satu-satunya dan yang
sesungguhnya, sementara manusia tak punya hak atas rahmat tersebut. Akibat dari
pandangan seperti ini, sejumlah orang berpendapat bahwa kodrat atau alam
memiliki kesempurnaan otonom dan tidak membutuhkan rahmat lagi. Teolog
lainnya berpandangan bahwa kodrat manusia sebelum jatuh ke dalam dosa memang
sempurna sehingga tidak membutuhkan rahmat. Namun dosa asal telah
menghancurkan kodrat manusia sehingga seluruh pengetahuan kodrati dan usaha
manusia bersifat sia-sia dan diwarnai dosa. Hal ini telah membuka perdebatan dan
pluralitas interpretasi atas konsep “kodrat”, hingga sampai pada tahap degradasi
alam atau kodrat kepada sekedar instrumen untuk kepentingan-kepentingan
manusia.
Astronom dan ahli fisika seperti Nikolaus Kopernikus (1473-1543), Johannes Kepler
(1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1642) membawa dan memaklumkan
pengetahuan baru bahwa bumi seperti halnya planet-planet lainnya berputar
mengitari mata hari. Kendati tidak semua aspek dapat dibuktikan secara empiris,
pengetahuan ini memenangkan pertarungan diskursus ilmiah dalam bidang
astronomi dan fisika. Runtuhnya gambaran tentang dunia yang lama tidak hanya
mengguncangkan rasa percaya pada tradisi, tapi juga menggugat keyakinan dan
pandangan manusia yang berpijak pada penginderaan.5
5 Bdk. Ibid., p. 15
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/4
perbedaan kuantitatif sehingga dapat dihitung dan diukur secara eksak matematis.
Hal ini menentukan perkembangan matematik pada awal abad moderen.
Penemuan mesin juga membawa perkembangan baru. Mesin tidak lagi digerakkan
oleh manusia atau hewan, tapi menggunakan kekuatan mekanik atau tenaga uap.
Mesin-mesin otomatik pun mulai diciptakan. Pengetahuan tentang tubuh dan
peredaran darah manusia semakin berkembang. Dengan demikian hidup manusia
dan makhluk-makhluk lainnya dapat diinterpretasi secara mekanis. Penemuan
teropong membawa perkembangan pengetahuan baru dalam bidang astronomi.
Tanpa teropong sulit untuk memberikan pembuktian empiris atas sistem yang telah
dibangun oleh Nikolaus Kopernikus.
Jika konsep religius tentang harapan akhir zaman ini dihubungkan dengan tafsiran
duniawi tentang 1000 tahun apokalypse, maka konsep akhir zaman terarah menuju
masa yang lebih baik. Bersama dengan mesianisme, harapan akhir zaman ini
menciptakan basis bagi terbentuknya ideologi-ideologi kemajuan zaman moderen
hingga marxisme dan esoterik.
6 Bdk. Ibid., p. 17
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/6
memahami seluruh proses secara deterministis. Ketegangan antara kebebasan dan
determinisme menjadi objek kajian filsafat yang intensif sejak Immanuel Kant.
Jika tatanan tradisional mulai goyah, maka setiap individu ditantang untuk menata
keyakinan dan konsep hidup baiknya sendiri. Pada tataran agama, pendalaman dan
pembaharuan spiritualitas hanya terjadi jika setiap orang mengusahakannya secara
pribadi. Pelbagai usaha pembaharuan dalam gereja pada akhir abad pertengahan
dan awal abad moderen berhubungan erat dengan internalisasi iman. Hal ini
berhubungan dengan makin bertambahnya dan penekanan pengalaman religius
pribadi yang mencapai puncaknya dalam pengalaman mistik. Penghargaan
terhadap doa pribadi, meditasi dan kontemplasi semakin bertambah dan dipandang
sebagai model doa tertinggi.7
Gerakan spiritual yang menyeruak pada abad 14 dan 15 yang dikenal dengan
“devotio moderna” (devosi moderen) serta karya Thomas von Kempen berjudul
“Imitatio Christi” membentuk model devosi atau kesalehan yang menekankan sikap
batiniah dan bukan tindakan. Pada masa ini muncul petunjuk-petunjuk praktis
untuk meditasi serta model kesalehan pribadi lannya.
Apa yang dikenal sebagai karunia pribadi atau penampakan, bisa juga merupakan
bentuk ajaran sesat atau kepercayaan sia-sia. Maka bukan kebetulan jika pada awal
7 Bdk. Ibid., p. 19
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/7
abad moderen di hampir semua konfesi banyak terdapat dukun santet atau
kepercayaan sia sia. Di sini dibutuhkan kriteria-kritereia yang jelas untuk
membedakan yang benar dari yang salah.
Seperti sudah dijelaskan, filsafat abad ke-20 diwarnai dengan proses radikalisasi
kritik rasionalitas pada segala bidang. Radikalisasi kritik akal budi bergerak dari
persoalan ketaksadaran menuju eksistensi manusia dan bahasa hingga masyarakat
dan ilmu pengetahuan. Proses radikalisasi didorong oleh sejumlam bencana
kemanusiaan yang menimpa manusia awal abad kedua puluh: dua perang dunia,
holocaust, Hirosima. Dalam konteks ini modernitas tidak hanya dibangun di atas
singgasana prestasi inovatif teknologi, sosial dan ilmu pengetahuan, melainkan juga
ditandai pelbagai fenomen destruktif.
Berdasarkan penjelasan di atas, uraian ini bertolak dari asumsi dasar bahwa karya-
karya filsafat paling penting abad ke-20 seperti kritik bahasa Wittgenstein, kritik
ontologi Heidegger dan kritik alienasi serta proses pembendaan oleh Adorno
memiliki kemiripan dalam struktur dasarnya.
Untuk memahami awal dan perkembangan filsafat abad ke-20, sangat penting
pertama-tama melihat paradigma dan karya penting nonakademis dan nonfilosofis
abad ke-19 dan 20 yang berpengaruh terhadap perkembangan filsafat. Perubahan-
perubahan substansial dan proses radikalisasi menandai cara berpikir zaman ini. Hal
ini dipicu oleh perubahan radikal pada bidang sosial, budaya, teknologi, ilmu
pengetahuan dan gambaran diri manusia. Pemikir-pemikir berpengaruh pada zaman
ini adalah Kierkegaard, Marx, Peirce, Nietzsche, Frege, Freud dan Einstein. Pada
masa peralihah dari abad 19 ke abad 20 mereka memberikan pendasaran atas
pergeseran paradigma dan memperjuangkan revolusi berpikir. Filsafat abad ke-20
tak mungkin dapat dipahami tanpa filsafat eksistensialisme, marxisme, analisis
konsep logis dan bahasa pragmatis, tanpa kritik peradaban dan moral, psikoanalisa
dan teori relativitas. Paradigma-paradigma ini berakar jauh di abad ke-19 dan
menariknya kebanyakan bukan dikembangkan oleh ahli filsafat. Awalnya tak ada
tempat dalam ilmu pengetahuan dan filsafat untuk model-model berpikir ini.
8Bdk. Thomas Rentsch, Philosophie des 20.Jahrhunderts. Von Husserl bis Derrida, München: Verlag C.H.
Beck, 2014, p. 6
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/9
pengambilan keputusan sesaat (Der Augenblick, 1855), dalam rasa kagum dan takut
dan di hadapan kemungkinan hidup estetis, etis dan religius Kierkegaard
mendirikan filsafat eksistensialis (Jaspers), ontologi eksistensial (Heidegger) dan
eksistensialisme (Sartre dan Camus) yang mewarnai abad ke-20.
Juga Karl Marx (1818-1883) mengembangkan karya pentingnya Das Kapital (Jilid I
1867) dan kumpulan tulisan Zur Kritik der politischen Ökonomie (1857-59) di luar
universitas. Pandangannya tentang materialisme historis dan dialektis berpengaruh
terhadap perkembangan sosialisme dan komunisme global. Marxisme teoretis abad
ke-20 ikut mempengaruhi perdebatan akademis di bidang filsafat.
Untuk perkembangan filsafat pada paruh kedua abad ke-20, pengaruh pragmatisme
Amerika memainkan peran penting. Di Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce (1839-
1914), Wiliam James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952) mengembangkan
epistemologi (teori pengetahuan) dan filsafat ilmu pengetahuan atas dasar prinsip
teori tindakan yang bertolak dari fenomen empiris sehari-hari. Prinsip teori tindakan
ini memasukkan proses-proses perkembangan jangka panjang ke dalam refleksi atas
persoalan-persoalan moral dan memandang ideal demokrasi sebagai basis makna
tuntutan-tuntutan kebenaran. Dengan demikian proses ini menunjukkan secara kasat
mata implikasi praktis-normatif dari sistem ilmu pengetahuan deskriptif teoretis,
seperti halnya syarat-syarat deskriptif teoretis dari etika, pedagogik dan sosiologi.
Peirce belajar filsafat, namun menjadi insinyur teknik. Juga dampak internasional
dari transformasi semiotik dari kritik pengetahuan baru mulai dirasakan pada
paruhan kedua abad ke-20. Ia menghubungkan filsafat bahasa dengan pragmatik
dan filsafat sosial dengan cara menjadikan penggunaan simbol atau tanda
kemunukasi manusiawi sebagai pusat analisisnya. Teori ini menjadi cikal bakal
lahirnya teori-teori sistematik abad ke-20 seperti pragmatik transendental dan
universal dari Karl Otto Apel dan Jürgen Habermas.
Friedrich Niatzsche (1844-1900) adalah seorang ahli filologi tua. Ia meninggalkan dunia
universitas dan mengabdikan seluruh waktunya untuk penelitian dan menulis buku.
Karya-karyanya berisikan kritik fundamental atas kebudayaan dan peradaban Eropa
termasuk filsafat sejak zaman Yunani Kuno dan kekristenan. Menurut Nietzsche,
hampir seluruh dari apa yang dihasilkan oleh kebudayaan dan peradaban manusia
hingga kini tak lebih dari ideologi (kesadaran palsu). Ia mengumumkan
“Umwertung aller Werte“ (penjungkirbalikan nilai-nilai) dan “den Tod Gottes“
(Kematian Allah). Setelah kematian Nietzsche karya-karyanya memicu perdebatan
Gottlob Frege (1848-1925) adalah seorang ahli logika dan matematik di Universitas
Jena. Ia juga menekuni filsafat Kant. Ia mengembangkan analisis-analisis penting
tentang bahasa, konsep, penilaian dan struktur logis kalimat-kalimat. Pemikirannya
ini ditulisnya dalam karya-karyanya seputar teori makna. Ia menjalin relasi personal
dengan filsuf-filsuf besar seperti Russel, Wittgenstein dan Rudolf Carnap. Berkat jasa
filsuf-filsuf ini pemikiran Frege setelah ia meninggal dunia berpengaruh secara
global terhadap filsafat bahasa dan filsafat analitis. Frege telah menyiapkan lahir dan
berkembangnya salah satu aliran filsafat terpenting abad ke-20 yakni linguistic turn
atau revolusi kritis filsafat bahasa.
Sigmund Freud (1856-1939) adalah seorang dokter ahli saraf. Di tempat praktik dokter
ia sering dikonfrontasi dengan persoalan gangguan dan penyakit psikis. Persoalan
ini mendorongnya untuk mengembangkan teori revolusi jiwa manusia dalam
hubungan dengan ketubuhan dan dimensi perasaan manusia terutama naluri
seksual. Ia mengajarkan struktur kesadaran manusia yang terdiri dari tiga bagian
yakni Ich, Es dan Über-Ich. Teori psikoanalisa Freud membahas ranah pengalaman
dan eksistensi manusia yang selalu ditekan, tabu untuk dibaicarakan atau mengalami
proses ideologisasi, yakni pengalaman masa kanak-kanak tentang seksualitas,
ketakutan, mimpi dan kegilaan. Pandangan Freud tentang ketaksadaran dan
analisisnya tentang cinta badaniah serta mimpi waktu tidur setiap hari (Die
Traumdeutung, 1900) telah melahirkan paradigma berpikir baru tentang masyarakat
moderen klasik. Menurut Freud, dalam praksis hidup sehari-hari dimensi
ketaksadaran memainkan peran jauh lebih penting ketimbang kesadaran.
Albert Einstein (1879-1955) mengembangkan teori tentang relasi antara ruang dan
waktu, cahaya dan masa (berat) yang kemudian dikenal dengan teori relativitas. Di
satu sisi teori ini melahirkan sebuah pemahaman baru tentang pengaruh timbal-balik
yang sangat erat antara keempat unsur di atas, di sisi lain memunculkan penilaian
metodologis yang baru tentang ketergantungan teori-teori fisika dari hitungan-
hitungan geometris. Penemuan Einstein ini mendapat sambutan luar biasa dari
publik waktu itu. Einstein telah membawa sebuah revolusi kopernikan dalam teori
fisika.
Ketujuh ilmuwan di atas telah ikut membentuk dan memberi arah bagi
perkembangan filsafat abad ke-20. Perkembangan ilmu pengetahuan telah
Salah seorang pemikir neokantian terpenting abad ke-20 adalah Ernst Cassirer (1874-
1945). Ia mengembangkan konsep Kant tentang konstruksi pengetahuan lewat
bentuk-bentuk transendental. Hal ini berlaku untuk semua jenis pengetahuan dan
bukan hanya pengetahuan konseptual. Cassirer berbicara tentang apriori absolut di
sampiang apriori relatif yang berlaku untuk konteks-konteks tertentu. Kritik
rasionalitas Kant yang bersifat statis diperluas menjadi kritik kebudayaan dinamis-
prosedural. Dalam opus magnum-nya Philosphie der symbolischen Formen (tiga jilid
1923, 1925, 1929) Cassirer mendefinisikan manusia sebagai animal symbolicum.
Manusia adalah makhluk yang menggunakan simbol dalam segala ranah kehidupan.
Pemikiran dan rumusan konseptual hanyalah salah satu contoh khas dari
representasi simbolis yang jauh lebih kemprehensif. Cassirer membedakan tiga jenis
representasi simbolik. Pertama, fungsi ungkapan yang ditemukan dan bersifat
konstitutif di bidang mitologi dan agama. Kedua, fungsi pandangan hidup atau
ideologis, konstitutif untuk pengalaman sehari-hari. Ketiga, fungsi makna ditemukan
dalam dunia ilmu pengetahuan konseptual. Lewat metode analisis simbol Cassirer
mengembangkan prinsip-prinsip sebuah filsafat kebudayaan yang komprehensif.
Pada 1919-1933 Cassirer bekerja sebagai profesor di Hamburg, tahun 1933 harus
meninggalkan Jerman. Pertama menuju Inggris, lalu ke Swedia dan akhirnya
menetap di USA di mana dia bekerja sebagai profesor di Yale dan New York.
Karyanya tentang filsafat kebudayaan ditulis dalam buku An Essay on Man. An
Introduction to a Philosophy of Human Culture (1944).
Wilhelm Dilthey (1833-1911) ingin mengembangkan lebih jauh kritik akal budi Kant
menjadi sebuah kritik akal budi historis. Ia belajar sejarah, filsafat dan teologi. Jika
kita menerapkan kritik akal budi Dilthey dengan analisis batas-batas rasionalitas dan
kefanaan ke dalam bidang sejarah, maka lahirlah pertanyaan dasariah tentang
kemungkinan untuk memahami bentuk-bentuk kehidupan yang asing. Pertanyaan
ini menghantar Dilthey kepada hermeneutik sebagai teori pengetahuan khusus
tentang memahami. Karena itu hermeneutik Dilthey disebut hermeneutik
kehidupan. Ia menulis: “Pengetahuan tak dapat melampaui kehidupan.” Dilethey
juga merancang teori kategori-kategori kehidupan yang pesimistis dengan berpijak
pada faktisitas irasional. Dilthey menulis: “Analisis kontemporer tentang eksistensi
manusia memenuhi hidup kita dengan perasaan kerapuhan, kekuasaan nafsu gelap,
penderitaan lantaran kekelaman dan ilusi, terutama kefanaan hidup itu sendiri.”
Konsep sentral Dilthey tentang kehidupan adalah kerapuhan dan kefanaan. Akarnya
terletak pada historisitas kehidupan dan ini menghantar Dilthey menuju relativisme
ideologi yang menguak prasyarat historis setiap ideologi atau pandangan hidup.
Georg Simmel (1858-1918) merupakan salah seorang pendiri disiplin ilmu sosiologi
yang menjadikan Lebensphilosophie (filsafat kehidupan) sebagai pusaran refleksi
filosofisnya. Ia membangun dialog dengan pemikiran Kant, Darwin dan Nietzsche.
Dari penelitian moderen manusia dan seluruh hidup sosialnya dimengerti sebagai
hasil sebuah proses sejarah genus yang dapat dijelaskan secara biologis. Sementara
itu di sisi lain filsafat terutama Kant selalu mengajarkan bahwa manusia adalah
makhluk bebas dan otonom. Itu berarti ia bebas dari ketergantungan pada alam dan
atas dasar tanggungjawab mampu menciptakan “kerajaan keadilan“ (Reich der
Gerechtigkeit). Penelitian-penelitian ilmiah tentang hidup manusia di atas merupakan
serangan terhadap konsep moral dalam filsafat. Dari perspektif moral penelitian-
penelitian ilmu alam tak menjanjikan kebaikan selain hanya menguak
Filsafat dialog merupakan salah satu mazhab filsafat penting pada abad ke-20. Aliran
filsafat ini dikembangkan oleh Martin Buber (1878-1965) dan Franz Rosenzweig
(1886-1929). Filsafat ini menjadikan komunikasi dan relasi dialogal sebagai pusat
refleksi etika dan filsafat agama. Dalam Ich und Du (1923), Martin Buber mengulas
relasi dialogal manusia sebagai basis seluruh tindakan atau praksis. Sesuai tradisi
judeo-biblis relasi manusia dengan Allah juga dipahami sebagai sebuah dialog.
Bersama Martin Buber, Rosenzweig menerjemahkan kitab suci Perjanjian Lama ke
dalam bahasa Jerman dan dalam karyanya Der Stern der Erlösung ia mengembangkan
dalam diskursus dengan Kekristenan sebuah teologi filsafat Yahudi yang bersifat
dialogal. Ia coba menangkap pengalaman hidup yang nyata tentang makna dan
komunikasi dalam momen kekinian. Dengan cara itu ia memikirkan relasi antara
bahasa dan waktu.
Perkembangan ilmu pengetahuan lainnya yang mewarnai sejarah filsafat abad ke-20
adalah proses pemisahan psikologi dan sosiologi dari disiplin ilmu filsafat. Sejak
kelahiran filsafat dalam masyarakat Yunani kuno sejumlah disiplin ilmu
pengetahuan seperti fisika, politik, ekonomi, zoologi lahir dari rahim ilmu filsafat
dan kemudian mengembangkan dirinya sebagai disiplin ilmu yang otonom. Proses
pemisahan terakhir terjadi pada abad ke-20 dalam disiplin ilmu sosiologi dan
psikologi. Hal ini berkaitan erat dengan perubahan radikal yang dialami masyarakat
moderen. Di satu sisi manusia sendiri dengan segala kemungkinannya sebagai objek
penelitian empiris semakin menjadi pusat pemikiran dan kajian ilmu pengetahuan.
Di sisi lain manusia sendiri juga semakin sadar bahwa dalam perubahan radikal ini
masyarakat dengan kota-kotanya yang makin besar, hubungan produksi dan kerja
serta jaringan-jaringan global menjadi semakin kompleks dan berarti bagi prasyarat-
prasyarat hidup dan pemahaman manusia, sehingga masyarakat tersebut harus
ditematisasi dalam disiplin ilmu pengetahuan yang khusus.
Proses pemisahan diri sosiologi dari filsafat dapat juga dijelaskan sebagai berikut.
Disiplin-disiplin filsafat tradisional yang sejak zaman Yunani Kuno mentematisasi
persoalan masyarakat (etika, politik dan ekonomi) dirancang untuk menjelaskan
persoalan sosial untuk ukuran polis atau negara kota. Perkembangan global
masyarakat moderen membawa perubahan-perubahan ekstrim, masyarakat moderen
dengan jutaan kotanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali baru.
Seperti halnya Karl Marx di Jerman, Auguste Comte (1798-1857) dan Emile
Durkheim (1858-1917) di Prancis sudah memperkenalkan teori-teori dan analisis-
analisis khusus yang baru. Durkheim misalnya pada masanya sudah bicara secara
khusus tentang pembagian kerja, bunuh diri dan sosiologi agama.
Max Weber (1867-1920) memberikan pendasaran atas sosiologi sebagai teori yang
otonom yang ingin menjelaskan realitas sosial dengan bantuan “tipe-tipe ideal“
(Idealtyppen). Tipe-tipe ideal dalam bidang hukum, negara, ekonomi dan kekuasaan
dapat digali lewat studi-studi lintas dan perbandingan budaya. Dalam karya utama
Wirtschaft und Gesellschaft Weber menggambarkan proses rasionalisasi yang
konstitutif bagi modernitas dan menjangkau seluruh ranah kehidupan lewat
perkembangan masyarakat industrial. Ia menamakan proses tersebut sebagai
Entzauberung der Welt (demitologisasi atau sekularisasi dunia).
Pemisahan psikologi dan sosiologi telah melahirkan situasi baru bagi filsafat abad ke-
20. Jaringan relasi interdisipliner dan perkembangan yang kontradiktoris dari
masing-masing bidang tetap bertahan dalam pelbagai bentuk. Di satu sisi, konsep-
konsep dasar sosiologi dan psikologi (jiwa, roh, masyarakat dan komunitas) dan
persoalan metodenya tetap sama dan menuntut refleksi kritis filosofis, di sisi lain,
filsafat hanya menjadi relevan jika tetap harus mengikuti perkembangan aktual hasil
penelitian-penelitian dalam bidang psikologi dan sosiologi.