c
Demikian pula dengan para anggota dari suatu negara yang lazim disebut dengan
istilah warga negara. Suatu organisasi tanpa anggota tidak akan ada, begitu pula dengan
negara. Negara membutuhkan warganegara untuk dapat menunjukkan bahwa negara tersebut
ada. Beberapa tahun belakangan ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah
mendapat sorotan dunia internasional dalam menangani konflik separatisme yang terjadi di
dalam negerinya. Konflik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah keberadaan Gerakan Aceh
Merdeka dalam wilayah NKRI.
Dengan dimulai melalui proklamasi 4 Desember 1976 di Desa Tiro, Kabupaten Pidie,
GAM telah menyatakan berpisah dari induk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Proklamasi tersebut memberikan implikasi banyaknya rakyat Aceh yang tergabung dalam
GAM menyatakan untuk melepaskan status kewarganegaraan Indonesianya untuk mengikuti
jejak para elit/pimpinan GAM yang telah melepaskan kewarganegaraan Indonesianya terlebih
dahulu dan berpindah menjadi warga negara asing.
Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan hukum karena melepaskan status
kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan karena akan menimbulkan
berbagai akibat hukum bagi dirinya. Dalam melepaskan kewarganegaraan ada banyak hal
yang perlu diperhatikan karena kewarganegaraan Indonesia secara yuridis hendak
mendekatkan pada paham kewarganegaraan secara sosiologis, yaitu ke arah satu bangsa
Indonesia nasional hegemoni. Paham ini didasari untuk mencegah didapatnya
kewarganegaraan bipatride bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam,
mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat
dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang
menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari
Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan
karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang
setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam
kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang.
Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum
yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat
menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para
pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak
memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan
proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (4
) untuk memperoleh
konfirmasi di kantornya di
(Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Laksamana Muda
Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda
menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat.
Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo.
Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya
di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki
pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari
beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena
Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa
Rengasdengklok.
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon
kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan
Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini
hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan
pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia
9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa
Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh
oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah
dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo
melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad
Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali
ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu -
buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah
masing-masing.
Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak
dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda
Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks
proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia. Malam harinya,
Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf
Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang
(4
) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda
Tadashi dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen
Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan
tersebut.
Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah
diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga , tidak dapat memberi
ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan
oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan
menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar
janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan
menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang
panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh
Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira
penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya
wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini
Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks
Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura,
Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan
oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah,
Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang
mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada
Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan
agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung
Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta,
Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim
Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut
menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor
(Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di
Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno,
Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks
proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para
penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad
Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir
B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang
menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama
bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17
Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain
Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul
10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks.
Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul
dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan
Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan
alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu
ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas
tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah
Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya.
Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera
pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor
yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan
tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang
pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada
mereka.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandar dinata dan
persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama.
Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
p
!
"
# $
Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah
tahun 2605.
Pada tahun 1900 hanya pulau Jawa saja yang secara keseluruhan milik Belanda. Lalu
pada tahun-tahun selanjutnya semua daerah lain diNusantara ditaklukkan atau
³dipasifikasikan´ (didamaikan). Pada puncaknya pada tahun 1942, Hindia-Belanda memiliki
semua daerah Indonesia saat ini. Selain itu, kota Melaka, Taiwan, Sri Lanka pernah dimiliki
VOC dan pemerintah Belanda.
Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI) dengan tujuan menentang
penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah makin kuat, Kartosuwiryo
memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949
dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan operasi
militer yang disebut Operasi Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni
1962, Kartosuwiryo berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya,
Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962.
Gerakan DI/TII juga menyebar ke Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Gerakan
DI/TII di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah di bagian utara, yang bergerak di
daerah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah
kemudian diangkat sebagai komandan pertemburan Jawa Tengah dengan pangkat Mayor
Jenderal Tentara Islam Indonesia. Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950 dibentuk
Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini. Pemberontakan di
Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh.
Mahfudz Abdulrachman (Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu) Gerakan ini berhasil
dihancurkan pada tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan Banteng
Nasional dari Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena
pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Didaerah Merapi-
Merbabu juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan oleh
Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk
menumpas gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng
Raiders.
3. DI/TII Aceh
Gerakan Aceh Mer deka (GAM) didirikan pengasas nya T eungku Hasan
Muhammad Tiro pada 4 Des ember 1976. Pemberitahuan secara meluas t entang
gerakan itu dilakukan di Glee Alimon (gunung ali mun) s ebuah t empat
bers ejarah dalam per gerakan DI/TII yang dipi mpin T eungku Muhammad Dawud
Beur eu-eh. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya
terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah Residen Aceh, yang
juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung
kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan.
Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para
hulubalang, prajurit di medan laga yaitu prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang.
Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal
sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah
Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M.
Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan
perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama
setahun hingga 1946.
Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam,
mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam
Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari
ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI.
Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini
mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan,
pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.
GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto
benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi
melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan
Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri
yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin.
Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.
Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian
bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam.
Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam
Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan
itu tak bisa tercapai tanpa senjata.
Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika.
Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak
lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan
Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi
berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII
dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh
ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian
GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat
menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan
agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM.
Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika
rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah
yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari
rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya. Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi
GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan,
bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan
dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.
Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan
bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia
dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan
Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh
komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani
(Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI
dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya.
Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase
Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-
masing komando dibawahi panglima wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi
anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di
Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi
gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM
sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan
di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden.
Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir
1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat
latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya
sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus).
Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim
melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju
Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina
Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas
imigrasi, polisi, dan patroli TNI-AL.
Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas
pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong balee (pasukan janda korban DOM) dan
karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita).
Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim,
jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban
DOM 6.169 orang.
Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan
Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia
dan 115 dilatih di Filipina -- Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM,
mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di
antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1.
Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya.
Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan
Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan
Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata. Di
antaranya, di Kreung Sabe, Teunom -- Aceh Barat -- dan di Lhokseumawe dan Nisau-Aceh
Utara serta di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras
panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan.
Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata
disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.
Senjata-senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung. Pasar gelap senjata ini
dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang
tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar.
Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan
tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian
senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI.
Kini, senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah
senjata berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki
mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang cepat dan
tepat. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya,
senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa
tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan
menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.
Membeli senjata tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. GAM memiliki donatur
tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya, di Thailand,
Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang
diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh.
Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang
pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat
berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh
Panglima GAM Wilayah Aceh Rajeuek Tengku Tanzura.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut PT. Pupuk
Iskandar Muda (PT. PIM) pernah menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan.
GAM kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut.
Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para pengusaha
4"/ itu.
Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan
GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki
radio tranking, radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali
gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal
total.
Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive.
Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap.
Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling
mengenal.
'
Oleh karena nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM memiliki pengaruh
yang besar terhadap ketatanegaraan khususnya masalah kewarganegaraan, maka
diperlukanlah analisis yang mendalam dalam mencermati pasal-pasal mengenai pemberian
kembali status kewarganegaraan eks-GAM beserta hak-hak istimewa yang didapatkannya.
Mendasarkan hal tersebut di atas, masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
2. Bagaimana implikasi hukum terhadap para anggota GAM yang telah melepaskan
status kewarganegaraan Indonesianya?
3. Akibat-akibat apa saja yang akan terjadi dengan memberikan kembali status
kewarganegaraan terhadap eks-GAM terutama pada tokoh politik GAM?
(
Dalam menyusun makalah ini, penulis mendapatkan dengan mencari referensi dari
media dan kemajuan teknologi informasi yang ada untuk mengikuti perkembangan terkini
dengan harapan penulis juga mendapatkan data-data berkaitan.
c c
°
$
Sebelum membahas lebih jauh mengenai Nota Kesepahaman antara RI±GAM, perlu
diketahui dahulu status GAM di dalam hukum internasional. GAM dalam hukum
internasional belumlah menjadi subyek hukum yang dapat mengadakan kesepakatan dengan
subyek hukum internasional lain dalam hal ini adalah Negara Kesaturan Republik Indonesia.
Melalui konvensi-konvensi internasional subyek hukum yang diklasifikasikan sebagai subyek
hokum internasional antara lain adalah negara, Tahta suci, Palang Merah Internasional,
organisasi internasional, orang perorangan/individu (dalam arti yang terbatas) dan
pemberontak dalam sengketa2. Di antara subyek-subyek hokum tersebut, negara merupakan
subyek hukum yang utama dikarenakan negara memiliki kedaulatan. Dengan kedaulatan
tersebut, negara memiliki hak-hak khusus terhadap negaranya yang tidak dapat diganggu
gugat oleh Negara lain.
Dengan melihat dari sudut ilmu ketatanegaraan, yang dapat memberikan status warga
negara hanyalah negara. Karena itu, apabila ada penduduk Aceh yang tergabung dalam GAM
menyatakan melepaskan status kewarganegaraannya tentunya selanjutnya dipertanyakan
warga negara manakah yang ia anut ataukah dia tidak memiliki kewarganegaraan (apatride)?.
'$
GAM agar dapat menjadi sebuah negara yang dapat memberikan status
kewarganegaraan terhadap penduduk Aceh haruslah memenuhi unsur-unsur yang terbagi
menjadi dua jenis yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur obyektif ada tiga, yang
pertama adalah wilayah. Wilayah merupakan batas/yuridiksi/wilayah hukum kewenangan
suatu negara.
Dalam kasus Aceh, wilayah yang diklaim oleh GAM adalah wilayah Aceh
berdasarkan perjanjian Sumatera 1 Juli 1956 antara pemimpin Aceh pada masa itu dengan
kolonial Belanda pada abad ke-17. Kedua adalah penduduk, yang dianggap sebagai penduduk
yang sah adalah sekelompok manusia yang memiliki kesamaan (keturunan, ciri, ataupun
tempat) yang menyatakan bahwa mereka merupakan suatu negara. Ada beberapa kriteria
tidak tertulis yang harus dipenuhi dalam menilai unsur penduduk.
Ketiga adalah pemerintahan yang mendapat legitimasi dari rakyatnya, dengan melihat
sepak terjang GAM dalam melakukan aksinya tidaklah dapat dikatakan GAM mendapat
legitimasi oleh rakyat Aceh. Belum jelas siapakah yang diperjuangkan oleh GAM karena
selama ini banyak pula
tindakan dari GAM yang sewenang-wenang terhadap rakyat Aceh sendiri. Rakyat
Aceh masih memberikan legitimasinya terhadap Republik Indonesia.
Selain syarat obyektif tersebut masih diperlukan syarat subyektif untuk dapat
dikategorikan menjadi negara. Unsur subyektif tersebut adalah pengakuan dari negara lain.
Unsur inilah yang diperjuangkan oleh Hasan Tiro dan elit GAM lainnya dari negara lain.
Dalam kehidupan politik internasional pengakuan dari Negara lain memiliki pengaruh yang
kuat dalam terbentuknya suatu
negara. Dengan mendapat dukungan dari negara ketiga maka tahapan untuk menjadi
negara telah ditempuh. Minimal, walaupun tidak diakui sebagai negara, akan tetapi dapat
berkedudukan sebagai subyek hukum internasional lainnya yaitu pihak dalam sengketa
(
).
($ #°
%c &
Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai
pihak yang bersengketa (
) dalam keadaan tertentu. Contoh yang paling mudah
adalah Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Untuk mendapatkan status subyek hukum
internasional tersebut, GAM haruslah mendapat pengakuan dari negara lain bahwa
eksistensinya dapat dibenarkan berdasarkan alasan-alasan yang rasional3.
Dalam menilai siapa saja yang dapat dimasukkan ke pihak dalam sengketa, negara-
negara yang hendak memberikan pengakuan dituntut untuk berhati-hati karena pengertian ini
sudah berbeda konteks. Konteks yang dimaksud oleh konvensi-konvensi internasional
terdahulu adalah mereka yang merupakan suatu bagian terjajah berjuang untuk mendapatkan
kemerdekaan. Sedangkan pada masa kini penjajahan dalam arti menyerang kedaulatan negara
lain sudah tidak tampak lagi. Bila tidak hati-hati maka dapat dipastikan akan banyak pihak-
pihak yang berusaha melepaskan diri dari negara lain, sehingga dapat membahayakan
kedaulatan dari tiap-tiap negara. GAM belumlah dapat dianggap sebagai pihak yang
bersengketa karena belum adanya negara lain yang mengakui secara tegas eksistensi GAM
dalam memperjuangkan pencapaiannya.
Adapun negara yang memberikan bantuan terhadap secara tidak langsung terhadap
GAM adalah Negara Finlandia. Kedekatan Hasan Tiro dengan Pemerintahan Finlandia telah
menimbulkan pertanyaan apakah benar Finlandia telah mengakui eksistensi GAM. Walaupun
Negara ini telah memberikan bantuan-bantuan berupa kewarganegaraan bagi Hasan Tiro dan
sebagai fasilitator perundingan bagi GAM dan Indonesia, negara ini belum pernah
memberikan pernyataan secara tegas akan eksistensi GAM.
/ K
%&
*$
Dalam hubungan itu RI akan mengalokasikan dana untuk rehabilitasi bangunan publik
dan pribadi yang hancur akibat konflik, dana tersebut akan dikelola oleh penguasa di Aceh.
Selain itu, Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan juga dana kepada
penguasa Aceh yang akan dialokasikan kepada semua pejuang GAM terdahulu. Mereka akan
menerima tanah pertanian yang sesuai, pemberian kerja, dan jika tidak mampu bekerja akan
diberikan jaminan sosial yang memadai dari pihak berwenang di Aceh.Hal itu juga berlaku
bagi bekas tahanan politik yang telah mendapat amnesti, termasuk orang sipil yang terkena
dampak.
Dengan semua hak istimewa tersebut diharapkan para pejuang GAM yang telah
menaruh senjatanya diharapkan dapat segera berbaur dengan rakyat Aceh yang lain tanpa
harus merasa terasing. Maksud pemerintah RI tersebut memang baik tetapi hal tersebut tentu
saja akan menimbulkan kecemburuan sosial di antara rakyat Aceh sendiri dan mungkin saja
bagi rakyat provinsi lain bias juga melakukan hal yang sama seperti usaha-usaha yang
dilakukan oleh GAM.
Bukan tak mungkin partai politik local tersebut tak lain merupakan dari perubahan
nama GAM saja. Melalui jangka panjang bukan tak mungkin bila konflik Aceh kembali
timbul ke permukaan manakala partai politik tersebut merasa tidak puas dengan
pemerintahan pusat. Karena bila kita bicara politik kepentingan pribadi dan golonganlah yang
bermain di dalamnya.
' #
$ #v
Sikap dan perilaku yang ditunjukkan para petinggi GAM tersebut mengakibatkan
berbagai pihak mengusulkan diadakannya sebuah pengujian terhadap kesetiaan para ekstokoh
GAM kepada NKRI. Pendapat itu menyatakan bahwa seharusnya pemberian amnesti kepada
pimpinan dan anggota GAM yang berada di lembaga pemasyarakatan dilakukan dengan
syarat pengucapan janji setia.
Guru Besar Hukum Internasional Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.
merekomendasikan pemerintah untuk menjalankan MoU berdasarkan tafsiran-tafsiran MoU
yang telah mereka sampaikan pada masyarakat. Seluruh tafsiran yang disampaikan dalam
menyikapi pasal-pasal kontroversial selalu berbasis pada peraturan perundangundangan
Indonesia.
Beliau juga berpendapat, seruan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar
pimpinan dan anggota GAM berikrar setia pada NKRI setelah mendapatkan amnestiatau
abolisi perlu diperhatikan oleh pemerintah. Kewajiban ikrar ini merupakan tafsiran yang
didasarkan pada bingkai NKRI karena MoU tidak mengaturnya. Ikrar menjadi penting karena
pemerintah harus menghindari situasi di mana anggota dan pimpinan GAM menerima abolisi
atau amnesty tetapi tidak mengakui NKRI.
c c0
"
0
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
a. GAM dalam hukum internasional belumlah menjadi subyek hukum yang dapat
mengadakan kesepakatan dengan subyek hukum internasional lain dalam hal ini adalah
Negara Kesaturan Republik Indonesia.
b. Kewarganegaraan GAM tidak dapat diakui karena yang berhak untuk memberikan
kewarganegaraan bagi rakyatnya hanyalah negara. Dengan demikian, penolakan
kewarganegaraan Indonesia oleh para anggota GAM dapat menyebabkan hilangnya hak-hak
dasar mereka sebagai Warga Negara Indonesia.
0
'°
Adalah hal yang amat penting bagi Pemerintah RI untuk menjalankan MoU
berdasarkan tafsiran-tafsiran dengan berdasar pada bingkai RI, yaitu yang telah disampaikan
kepada publik di Indonesia. Namun demikian, perlu disadari bahwa tafsiran ini belum tentu
sejalan dengan tafsiran dari GAM. Kemungkinan yang ada adalah GAM menafsirkan dengan
berdasar pada keinginan mereka untuk merdeka.
Dalam situasi seperti telah dijelaskan di atas, peran lembaga negara seperti DPR serta
masyarakat sangat penting untuk memberikan tekanan pada pemerintah agar implementasi
MoU selalu mengacu pada peraturan perundangundangan Indonesia.
1" *°"
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Istimewa:Pencarian&search=Sejarah+lahirn
ya+GAM. diakses : 27/11/2010
http://gurumuda.com/bse/pembentukan-alat-kemerdekaan-nkri#more
10486.diakses:27/11/2010
http://syadiashare.com/sinopsis-sejarah-indonesia.html. diakses:28/11/2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Proklamasi_Kemerdekaan_Indonesia. diakses:28/11/2010