Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MAKALAH

G30-S/PKI

DI SUSUN OLEH :

NAMA : 1. M. ABDI HASBULLAH ( 16 )

KELAS : IX D

MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI 1


KABUPATEN REMBANG
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di
seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya
berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga
mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan
pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota.
Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan
sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekret presiden sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia
memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke
posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin“.
PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan
bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis,
Agama, dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peristiwa G30-S/PKI?
2. Siapa saja yang menjadi korban G30-S/PKI?
3. Bagaimana penangkapan dan pembantaian PKI?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peristiwa G30-S/PKI
Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI),
Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah
sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1
Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang
lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan
kepada anggota partai komunis. PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di
seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5
juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan
serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani
Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani),
organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20
juta anggota dan pendukung serta tersebar di seluruh daerah yang luas.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekret presiden dengan dukungan penuh dari PKI. Ia
memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke
posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin”.
PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan
bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis,
Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM. Pada era “Demokrasi
Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam
menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan
ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat
dan militer menjadi wabah.
PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno
untuk memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan dengan
persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan
Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal
ini. Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-
pemimpin PKI mementingkan “kepentingan bersama” polisi dan “rakyat”. Pemimpin
PKI D.N. Aidit mengilhami slogan “Untuk Ketenteraman Umum Bantu Polisi”. Di
bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari
“sikap-sikap sektarian” kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang
dan seniman sayap-kiri untuk membuat “massa tentara” subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas
tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka
dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi
revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah
pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk
meningkatkan kerja sama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan
minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki
pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat
tinggi juga menjadi anggota kabinet. Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di
sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus
mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah
merupakan bagian dari revolusi demokratis “rakyat”.
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata
di mana ia berbicara tentang “perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah
kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat
Indonesia, termasuk para komunis”. Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap
para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak
berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan
NASAKOM. Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk
pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian “angkatan
kelima” di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang
bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk
melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah
berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-
batas hukum kapitalis negara.
Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul
PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral
PKI bahwa “NASAKOMisasi” angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerja sama untuk menciptakan “angkatan kelima”. Kepemimpinan PKI tetap
berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei
1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatur militer dan negara
sedang diubah untuk memencilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Menjelang dilancarkannya G 30 S/PKI, banyak sekali kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakannya oleh Biro Khusus PKI yang telah dibentuk pada tahun 1964 dengan
mengadakan beberapa kali rapat rahasia yang diikuti oleh beberapa orang oknum
ABRI. Rapat pertama 6 September 1965 yang dilaksanakan rumah Kapten Wahjudi
Jl. Sindanglaya 5, Jakarta, diikuti oleh:
1. Sjam Kamaruzaman.
2. Pono (Soepono).
3. Letnan Kolonel Untung Sutopo (Komandan Batalion I Kawal Kehormatan
Resimen Cakrabirawa).
4. Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infantri I Kodam V/Jaya).
5. Mayor Udara Suyono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU
Halim).
6. Mayor A. Sigit (Komandan Batalion 203 Brigade Infantri I Kodam V/Jaya).
7. Kapten Wahjudi (Komandan Kompi Artileri sasaran Udara).
Rapat ini membicarakan tentang situasi umum sebelum gerakan dan isu
sakitnya Bung Karno. Selanjutnya Sjam melontarkan isu adanya Dewan Jendral
yaitu yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak
puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini,
Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan
membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno, dan dari ABRI pun terhasut dan ikut
dalam gerakan yaitu Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion 1 Resimen
Cakrabirawa (pasukan pengawal Presiden). Sjam kemudian menyampaikan instruksi
Aidit untuk mengadakan gerakan mendahului kudeta Dewan Jendral. Setelah rapat
pertama kemudian banyak diadakan lagi rapat-rapat selanjutnya guna membahas
persiapan serangan gerakan. Di antaranya rapat ke-2 pada tanggal 9 September 1965,
rapat ke-3 tanggal 13 September 1965, rapat ke-4 tanggal 15 September 1965, rapat
ke-5 tanggal 17 September 1965, rapat ke-6 19 September 1965, dan rapat ke-7
tanggal 22 September 1965, ke-8 24 September 1965, ke-9 tanggal 29 September
1965.
Pada rapat-rapat setelah rapat ke -6 membahas tentang penetapan sasaran
gerakan bagi masing-masing pasukan yang akan bergerak menculik atau membunuh
para jendral Angkatan Darat yang diberi nama Pasukan Pasopati. Pasukan teritorial
dengan tugas menduduki gedung RRI dan gedung Telekomunikasi di beri nama
Pasukan Bimasakti kemudian pasukan yang mengkoordinasi lubang Buaya di beri
nama Pasukan Gatotkaca. Setelah persiapan terakhir selesai, rapat terakhir di adakan
tanggal 29 September 1965 yang dilaksanakan di rumah Sjam, gerakan itu
dinamakan “Gerakan 30 September” (G 30 S/PKI atau Gestapu/PKI). Secara fisik-
militer gerakan di pimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion 1
Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) selaku pimpinan formal seluruh
gerakan.
Pelaksanaan G30S/PKI 1965 Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan
kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan
pada saat itu dipimpin oleh Letkol Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan
Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap
gerakan tersebut. Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa
hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan
Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan
kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang
menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani
yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu.

B. Korban G30-S/PKI
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana
(Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol
Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto
kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut. Korban keenam
pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
1. Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani
2. Mayjen TNI R. Suprapto
3. Mayjen TNI M.T. Haryono
4. Mayjen TNI Siswondo Parman
5. Brigjen TNI D.I. Panjaitan
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun
dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani
Nasution dan ajudan A.H. Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam usaha
pembunuhan tersebut. Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
1. Lettu Pierre Tandean
2. AIP Karel Satsuit Tubun
3. Kolonel Katamso Darmokusumo
4. Kolonel Sugiono
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede,
Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3
Oktober.

C. Penangkapan dan Pembantaian PKI


Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI,
atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas
buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain
dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.
Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur
(bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai
tidak diketahui dengan persis, perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000
orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga
setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang
mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari
organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti Barisan Ansor NU dan Tameng
Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat
Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu
“terbendung mayat”. Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota
dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu
lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua
anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji
terhadap mereka, majalah “Time” memberitakan:
“Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian
sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di
Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk.
Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil
yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi
terhambat secara serius.”
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit
35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan
komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan
ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang
mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-
desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-
kerangka rumah mereka yang sudah hangus. Di daerah-daerah lain, para terdakwa
dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan
mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis “anti-Tionghoa” terjadi.
Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok
sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110.000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan
politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang,
termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tahanan politik, Johannes
Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman, dan Nobertus
Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Peristiwa G 30S/PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa pemberontakan
yang dilakukan PKI, yang bertujuan untuk menyebarkan paham komunis di
Indonesia. Pemberontakan ini menimbulkan banyak korban, dan banyak korban
berasal dari para Jendral Angkatan Darat Indonesia. Gerakan PKI ini menjadi isu
politik untuk menolak laporan pertanggung jawaban Presiden Soekarno kepada
MPRS. Dengan ditolaknya laporan Presiden Soekarno ini, maka Indonesia kembali
ke pemerintahan yang berasaskan kepada Pancasila dan UUD 1945.
Peristiwa G30S/PKI 1965 yang terjadi di Indonesia telah memberi dampak
negatif dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia yaitu dampak
politik dan dampak ekonomi. Setelah Supersemar diumumkan, perjalanan politik di
Indonesia mengalami masa transisi. Kepemimpinan Soekarno kehilangan
supremasinya. MPRS kemudian meminta Presiden Soekarno untuk
mempertanggungjawabkan hasil pemerintahannya, terutama berkaitan dengan
G30S/PKI. Dalam Sidang Umum MPRS tahun 1966, Presiden Soekarno
memberikan pertanggung jawaban pemerintahannya, khususnya mengenai masalah
yang menyangkut peristiwa G30S/PKI.

B. Saran
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Bangsa yang melupakan sejarah,
akan dengan mudah tercerabut dari akar sejarah itu sendiri, dan menjadi bangsa
antah berantah.

Anda mungkin juga menyukai