Anda di halaman 1dari 15

PROSEDUR PEMBERIAN WASIAT DAN URGENSI PENCATATANNYA

Dosen Pembimbing:

Rizkal, S.Hi.MH

Di

oleh :

Cut tara amalia (19010108)

Intan sulisma sari (190101039)

Mohd.furqan fadhal (190101059)

Nurakmal (190101048)

HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITTAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Pertama kami mengucapkan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
kebesaran dan kelimpahan nikmat yang diberikan-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah pada mata kuliah Administrasi Keperdataan Islam ini.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah ini..

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita.Amin.

Banda Aceh, 2020

Kelompok

1
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Wasiat 2
B. Pengaturan Mengenai Bentuk dan Batasan Wasiat Menurut Kompilasi Hukum
Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 6
C. Urgensi Pencatatan Wasiat 8

BAB III PENUTUP 11

A. Kesimpulan 11
B. Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya manusia diciptakan di muka bumi ini demi melanjutkan kehidupan umat
manusia, setiap manusia yang diciptakan oleh Allah SWT dimuka bumi tidaklah lepas dari
manusia yang hidup di sekitarnya, sebagai manusia yang bertanggung pada manusia yang satu
dengan yang lain.
Harta adalah salah satu benda berharga yang dimiliki manusia. Karena harta itu, manusia
dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya. Harta itu dapat berwujud benda bergerak atau
benda tidak bergerak. Cara memperoleh harta pun kian beragam. Dari cara yang halal seperti
bekerja keras hingga orang yang menggunakan “jalan pintas”. Salah satu cara memperoleh harta
itu adalah melalui jalur warisan yaitu memperoleh sejumlah harta yang diakibatkan
meninggalnya seseorang. Tentunya cara ini pun harus sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku. Khususnya hukum Islam. Melalui berbagai syarat dan ketentuan yang di atur dalam
hukum Islam tersebut diharapkan seorang generasi penerus keluarga atau anak dari salah satu
orang tua yang meninggal dapat memperoleh harta peninggalan orang tuanya dengan tidak
menzhalimi atau merugikan orang lain.
Hukum waris merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang tata Cara atau proses
peralihan harta kekayaan dari perwaris kepada ahli waris atau pada ahli warisnya. Dengan
adanya aturan yang mengatur tentang hal tersebut maka pewaris atau orang yang mewarisi harta
kekayaan harus sesuai dengan aturan yang berlaku.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Prosedur Pelaksanaan Dan Pemberian Wasiat Di Indonesia ?
2. Bagaimana Pengaturan Mengenai Bentuk dan Batasan Wasiat Menurut Kompilasi
Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Wasiat

Wasiat atau dibahasakan dengan testament diartikan dengan sebuah pernyataan dari
seseorang tentang apa yang ia kehendaki setelah ia meninggal dunia. Kata pernyataan ini
memberikan kesan hukum bahwa wasiat itu dilakukan oleh satu pihak (eenzijdig). Bila itu
pernyataan suatu pihak, maka tentunya pernyataan tersebut dapat dicabut kapan saja oleh ia yang
membuat pernyataan. Ada pula yang menyebut bahwa wasiat merupakan kehendak terakhir,
yaitu kehendak yang baru akan terselenggara apabila pewasiat telah meninggal dunia. Kehendak
ini dibuat dengan sebuat ketetapan berupa akta yang isi-isinya telah dikehendaki oleh yang
membuatnya.1

R. Subekti, mengatakan bahwa: “Suatu wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari
seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal”. 2 Secara kebahasaan wasiat
mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, menaruh kasih saying, menyuruh, dan
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara umum kata wasiat disebutkan dalam
Al Qur’an sebayak 9 kali. dalam bentuk kata kerja disebut sebanyak 14 kali, dalam bentuk kata
benda disebut sebanyak 2 kali. Hal yang berhubungan dengan wasiat ini seluruhnya disebut
dalam Al Ouran sebanyak 25 kali."

Wasiat dalam fikih diartikan sebagai pesan khusus, tentang sesuatu kebaikan (baik berupa
harta atau yang lainnya) yang akan dijalankan setelah seseorang meninggal dunia. Menurut
Atha”, Az Zuhri, Abu Majas. Thalhah bin Musbarrif. Imam Ishak. Dawud, Abu "Awamah dan
Ibnu Jarir hukum wasiat adalah wajib. Sedangkan jumhur ulama menghukumi wasiat sebagai
sesuatu yang sunnah.'” Terlebih untuk membayar hutang dan menghilangkan ketidakadilan
(dalam pembagian warisan) sebagaimana pendapat Rafi'I AnNawawi, dalam hal demikian,
menghukuminya sebagai suatu kewajiban. Adapula yang berpendapat bahwa wasiat hukumnya
sunnah bagi orang yang meninggalkan harta yang banyak, yakni untuk menyedekahkan
seperlima hartanya kepada fakir miskin yang masih kerabat dekat tetapi bukan ahli waris. Jika
tidak, hendaknya kepada orang miskin, ulama dan orang shalih, Wasiat dari seorang fakir yang

1 Jurnal Yuridis Vol. 5 No. 1, Juni 2018: 67-97. H.73-74


2 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Pt. Inter Masa, Cetakan Kesepuluh, Jakarta, 1998, Hal. 93

2
mempunyai ahli waris hukumnya makruh, kecuali ahli warisnya mempunyai kekayaan maka
hukumnya boleh."

Pengertian wasiat berbeda dengan pengertian hibah. Hibah berlaku sejak orang yang
memberi hibah kepada orang yang menerima hibah dilaksanakan, dan orang yang menerima
hibah itu telah menerima hibah secara baik tanpa menunggu orang yang memberi hibah itu
meninggal dunia terlebih dahulu. Sedangkan wasiat belum berlaku jika orang yang menyatakan
wasiat itu belum meninggal dunia. Dengan kata lain wasiat itu adalah pemberian yang
ditangguhkan.3

Defenisi mengenai wasiat itu sendiri yang diatur dalam pasal 171 huruf (f) KHI, wasiat
adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia. Pengertian wasiat ini tidak berbeda dengan yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sebagaimana tertuang dalam Pasal 874
yang menyatakan bahwa surat wasiat (testament) adalah suatu akta yang memuat pernyataan
seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah meninggal dunia. Perbedaan
prinsipnya terletak pada proses wasiat itu, jika pada KUH Perdata disyaratkan wasiat dilakukan
secara tertulis, dalam hukum Islam tidak ditemukan adanya keharusan wasiat dilakukan secara
tertulis. 4

1. Syarat Wasiat
Syarat wasiat artinya kerentuan yang harus ada pada masingmasing rukun, agar wasiatnya
berlaku sah.

Pertama, Syarat untuk al Mushi (pemberi wasiat)

a. Pemberi wasiat harus orang yang memiliki kelayakan dalam berwasiat Anak kecil
yang belum tamyiz, tidak sah wasiatnya Jika sudah tamyiz dan sudah brsa
memahami nilai harta, wasiatnya sah. Imam Malik menyebutkan bahwa Umar

3 Abdul Qhofur Ansari, Filsafat Hukum Hibah Dan Wasiat Di Indonesia, (Gadjag Mada University Press :Yogyakarta:
2018)h. 83-84

4 Saija, Iqbal Taufik, Dinamika Hukum Islam Indonesia, (Deepublish : Yogyakarta :2016). H155

3
menerima wasiat seorang ghulam dari Ghassan (al Muwarha', 2 769). Disebutkan
dalam riwayat bahwa usta si ghulam ketika itu 10 tahun.
b. Pemberi wasiat adalah pemilik objek yang dia wasiatkan Berwasiat dengan obyek
yang tidak dimiliki, tidak sah
c. Pemberi wasiat tidak memiliki utang yang menghabiskan seluruh hartanya jika dia
memiliki utang yang menghabiskan seluruh hartanya maka wasiatnya tidak berlaku
Karena pelunasan utang lebih didahulukan dari pada wasiat.

Kedua, Syarat untuk al-Musha lahu (penerima wasiat)


a. Dia bukan ahli waris pemberi wasiat
Wasiat ahli waris tidak sah, karena melanggar hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, “Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Ahmad 22294)
b. Penerima harus tertentu
Termasuk tertentu adalah dijelaskan berdasarkan kriteria, seperti orang miskin di
kampung ini.
Jika penerima tidak jelas, tanpa kriteria, maka tidak sah sebagai penerima.
c. Penerima wasiat bisa memiliki
Jika penerima tidak bisa memiliki, seperti orang yang sudah meninggal, maka
warisannya tidak berlaku.
Termasuk yang bisa memiliki adalah janin, karena dia hiduip dan berhak
memiliki. Namun jika janin ini mengalami keguguran atau lahir meninggal, maka
wasiatnya batal
d. Penerima wasiat bukan pembunuh pemberi wasiat
Jika setelah pernyataan wasiar, lalu penerima wasiat mem bunuh pemberi wasiat
maka wasiatnya batal, digiyaskan dengan warisan.
e. Penerima wasiat mau menerima objek wasiat
Jika penerima wasiat menolak setelah kematian pemberi wasiat, maka harta
dijadikan warisan.
Ketiga, Syarat terkait al-Musha bih (objek wasiat)
a. Objek wasiat harus benda yang memiliki manfaat yang mubah.

4
Jika obyek tidak memiliki manfaat yang mubah, seperti berhala atau alat musik, maka
tidak boleh diwasiatkan.
b. Objek tersebut memungkinkan untuk dimiliki.
Jika obyek tersebut habis atau tidak bisa bertahan setelah kematian pemberi wasiat maka
objek ini tidak boleh diwasiatkan Seperti makanan yang cepat basi.

Keempat, syarat terkait al-Musha ilaih (al-Washi) orang yang mendapatkan


amanah untuk menyampaikan wasiat.
1. Harus mukallaf muslim, baligh, berakal
2. Memiliki kelayakan menerima amanah wasiat (rasyid)
3. Orang baik (adil) dalam arti bukan tipe orang yang suka menipu atau khianat.
Aturan untuk al-Washi (orang yang mendapotkan amanah untuk menyampaikan wasiat)
a. Al Washi tidak boleh melakukan tindakan yang melebihi pesan wasiat
Sehingga jika dia diberi wasiat untuk mengelola tanah wakaf mayit, maka dia
tidak boleh mengelola harta mayit yang lain. Karena itu bukan wewenangnya,
b. Al-Washu tidak boleh mengundurkan diri sebelum amanah ini ditunaikan, karena ini
bisa menggagalkan pelaksanaan wasiat,
Redaksi Wasiat (Shighat Wasiat)
Shighat wasiat (redaksi wasiat) adalah pernyataan dari al Mushi (pemberi wasiat) terhadap
wasiatnya.
Beberapa ketentuan shighar wasiar,
1. Wasiat bisa dinyatakan secara lisan, tulisan, maupun isyarat yang bisa dipahami
maksudnya.
2. Tidak ada redaksi khusus untuk wasiat. Karena itu, bisa disampaikan dengan tegas.
misalnya dengan menyarakan: “Aku berwasiat" atau di bagian atas pertanyaan ditulis
“Surat Wasiat.” Bisa juga disampaikan dengan pernyataan yang dipahami sebagai wasiat,
yaitu semua pernyataan yang bentuknya melepas kepemilikan yang digantungkan dengan
kematian. Misalnya, “Kalau saya mati sebelum idul adha, tolong belikan seekor sapi
untuk diqurbankan atas nama saya.” Atau pemberian yang digantungkan dengan
kematian, misalnya, “Jika saya meninggal dunia, tolong tanah sebelah diserahkan ke
masjid al Huda untuk perluasan”

5
3. Pernyataan wasiar secara lisan atau tulisan disebut ijab wasiat.
4. Bagi pihak yang mendapatkan amanah untuk melaksanakan wasiat (al Musha ilaih) dia
bisa menyatakan bahwa dia siap menerima amanah ini dan akan menjalankannya sesuai
yang diamanahkan.5

B. Pengaturan Mengenai Bentuk dan Batasan Wasiat Menurut Kompilasi Hukum


Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Baik KHI maupun KUHPerdata sama-sama mengatur mengenai bentuk wasiat. Namun
bentuk wasiat yang dikenal dalam KHI berbeda dengan bentuk wasiat yang dikenal dalam
KUHPerdata. Perbedaan bentuk wasiat menurut KHI dan KUHPerdata yakni KHI mengenal
bentuk wasiat lisan dan wasiat tertulis berupa akta dibawah tangan dimana apabila wasiat lisan
dan wasiat tertulis berupa akta dibawah tangan dibuat dengan disaksikan oleh minimal dua orang
saksi, maka wasiat sudah dianggap sah.
Bentuk wasiat lisan tidak dikenal dalam KUHPerdata dikarenakan unsur dari wasiat
menurut Pasal 875 KUHPerdata mengharuskan wasiat dibuat dalam bentuk akta. Menurut
Penulis, wasiat menurut KHI berupa wasiat lisan dan wasiat tertulis
dengan akta dibawah tangan dianggap sudah sah asalkan dibuat dengan disaksikan oleh minimal
dua orang saksi dikarenakan rukun dan syarat wasiat sudah terpenuhi meskipun pembuatan
wasiat tidak menghadap ke notaris. Wasiat dengan akta dibawah tangan sebenarnya juga dikenal
dalam KUHPerdata, dimana testament olografis dan testament rahasia sebenarnya merupakan
testament/wasiat yang berbentuk akta dibawah tangan yang ditulis sendiri oleh Pewaris (untuk
testament rahasia, dapat pula ditulis oleh orang lain). Namun KUHPerdata mengharuskan
testament olografis yang ditulis sendiri oleh Pewaris dan testament rahasia yang ditulis sendiri
oleh Pewaris atau orang lain untuk diserahkan kepada Notaris dan dibuatkan akta mengenai
penyerahan testament oleh Notaris tersebut. Dengan diserahkannya testament olografis dan
testament rahasia yang awalnya merupakan akta dibawah tangan tersebut kepada Notaris,
kekuatannya dianggap sama dengan wasiat yang dibuat dengan akta umum.
Persamaan mengenai bentuk wasiat menurut KHI dan KUHPerdata yakni keduanya
mengenal bentuk wasiat berupa akta notaris. Menurut Penulis, wasiat berbentuk akta notaris
memiliki beberapa keunggulan dibanding bentuk wasiat lisan maupun wasiat dengan akta

5 Ammi Nur baits, Pengantar Ilmu Waris, (muamalah Publishing : Yogyakarta) h. 31-34

6
dibawah tangan. Keunggulan yang utama adalah mengenai kekuatan pembuktiannya dikarenakan
akta notaris merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Keunggulan lain dari wasiat dengan akta notaris yakni lebih aman dari resiko hilang karena
wasiat tersebut disimpan oleh Notaris diantara minuta aktanya. Sedangkan apabila wasiat dibuat
secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi, maka mungkin saja terjadi peristiwa dimana
salah seorang atau kedua saksi yang menyaksikan pemberian wasiat tersebut justru meninggal
terlebih dahulu dari si Pewaris sehingga setelah Pewaris meninggal dunia, sudah tidak ada orang
yang mengetahui perihal wasiat Pewaris semasa hidupnya. Atau seandainya Pewaris membuat
wasiat dengan akta dibawah tangan yang kemudian akta tersebut dititipkan kepada salah seorang
ahli warisnya, namun ahli warisnya justru tidak sengaja menghilangkan akta wasiat tersebut. Hal
tersebut menunjukkan bahwa wasiat lisan dan wasiat dengan akta dibawah tangan sangat rentan
terhadap resiko hilang dibandingkan wasiat dengan akta notaris.
Sehubungan dengan batasan wasiat, KHI menentukan bahwa wasiat hanya diperbolehkan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
Maksud dari adanya batasan wasiat bertujuan untuk melindungi ahli waris yang bersangkutan
dan mencegah praktek wasiat yang bisa merugikan mereka. Bagi Pewaris yang akan
mewasiatkan sebagian hartanya, sebaiknya mendahulukan kepentingan ahli waris. Sebab
meninggalkan ahli waris dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin.
Tujuan ketentuan batasan wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam ini dapat dilihat
persamaannya dengan KUH Perdata, akan tetapi dalam konsep yang berbeda. Menurut KUH
Perdata, pada dasarnya setiap orang mempunyai untuk mengatur mengenai apa yang akan terjadi
dengan harta kekayannya setelah meninggal dunia. Seorang pewaris juga mempunyai kebebasan
untuk memberikan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Akan tetapi untuk beberapa
ahli waris ab intestato oleh Undang-undang diadakan bagian tertentu yang harus diterima mereka
yang bagiannya dilindungi oleh hukum. Ahli waris ini dinamakan legitimaris, sedangkan
bagiannya disebut legitime portie.
Legitime portie adalah semua bagian dari harta warisan yang harus diberikan kepada ahli
waris dalam garis lurus menurut Undang-undang, terhadap bagian mana orang yang meninggal
dunia tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pembagian yang masih hidup

7
maupun selaku wasiat. Ahli waris yang mempunyai bagian mutlak adalah ahli waris dalam garis
lurus ke bawah dan garis lurus ke atas.
Batasan wasiat yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam untuk mewasiatkan sebanyak-
banyaknya 1/3 (sepertiga) harta warisan ini merupakan suatu perlindungan terhadap semua ahli
waris yang bersang- kutan. Sedangkan peraturan bagian mutlak/legitieme portie menurut KUH
Perdata memberikan perlindungan secara individual dikarenakan Legitieme Portie tidak dimiliki
oleh suami/isteri yang hidup terlama serta ahli waris dalam garis menyamping, selain itu
pelaksanaannya juga diserahkan kepada masing- masing ahli waris yang berkepentingan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam, wasiat dapat dibuat secara
lisan maupun tertulis dan membatasi wasiat hanya dapat diberikan maksimal sebesar sepertiga
dari harta warisan Pewaris atau jika wasiat lebih dari sepertiga maka diperlukan persetujuan dari
ahli waris. Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, wasiat harus berbentuk akta
dan memerlukan bantuan Notaris dalam pembuatannya dan wasiat tidak boleh melanggar
Legitieme Portie yang dimiliki oleh ahli waris.6

C. Urgensi Pencatatan Wasiat

Mengkaji tentang wasiat tentunya tidak akan lepas dari kajian terhadap masalah kewarisan.
Pada konteks ini, wasiat selalu dijadikan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan masalah
waris. Karena pelaksanaan sebuah wasiat sendiri baru dapat dilakukan apabila seorang pewasiat
itu telah meninggal dunia. Sejalan dengan meninggalnya pewasiat maka saat itu pula si pewasiat
juga bersatus menjadi pewaris bagi para ahli warisnya.

Penambahan status seorang pewasiat yang telah meninggal dunia dengan menjadi pewaris
inilah yang kemudian kadang pelaksanaan wasiat berpotensi tidak terlaksanakan. Tentunya hal
ini disampaikan dengan tidak melanggar suatu hukum atau undang-undang. Hal itu disebabkan
oleh beberapa hal yang halangannya karena pelaksanaan wasiat itu dihalangi oleh para ahli waris
dari si pewasiat. Akibatnya pelaksanaan okum wasiat yang sudah dibuat secara okum dapat saja
dihapus, dihentikan, atau dikurangi dari jumlah wasiat yang sudah ditentukan. Tentu hal ini dapat
dilakukan melalui proses okum yang berlaku. Dari uraian singkat diatas, perlu dipahami bahwa

6 Notarius Volume 11 No 1 ISSN: 2086-1702, 2018. h .117-119

8
sesungguhnya wasiat itu perlu adanya perlindungan okum bagi para penerima wasiat. Hal itu
tentunya harus sesuai dengan pemahaman okum terhadap wasiat. 7

Dalam wasiat tidak mengenal asas eksekusi pelaksanaan wasiat, atau asas harus dilaksanakannya
wasiat, Terhadap keinginan untuk tidak mengeksekusi wasiat ini dapat saja menimbulkan
sengketa wasiat kedepannya, dengan konsekuensi sengketa itu dibawa ke oknum pengadilan.

Wasiat diatur pada pasal 875 yang isinya, Pasal 875 KUHPerdata menyatakan : “Adapun
yang dinamakan surat wasiat atau testament ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang
tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya
dapat dicabut kembali”.8Dari pengertian ini, maka wasiat itu dapat terjadi bila memiliki okum :

1. Berupa akta, artinya wasiat itu berupa tulisan yang dibuat dengan akta otentik ataupun
dibawah tangan;
2. Ada pernyataan kehendak, artinya kehendak itu adalah keinginan sepihak. Keinginan ini
dapat menimbulkan akibat okum sepihak;
3. Meninggal dunia, artinya wasiat ini baru berlaku apabila seseorang yang berwasiat itu
telah meninggal; dan
4. Dapat dicabut kembali olehnya, artinya perbuatan okum wasiat ini dapat tidak
dilaksanakan bila isi wasiat itu dicabut oleh yang membuatnya.

Terhadap pembuatan wasiat itu pun memerlukan syarat-syarat yang jelas tertera didalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat yang berlaku dalam wasiat adalah :

1. Ada orang yang berwasiat. Orang ini hendaklah orang yang sudah cakap dimata okum;
2. Ada orang yang menerima wasiat, artinya penerima wasiat pada saat ia ditetapkan dan
hendak menerima dalam keadaan hidup;
3. Ada harta wasiat, harta wasiat ini berupa benda yang pada saat diwasiatkan itu ada
keberadaannya baik itu aktiva atau pasiva. Benda yang dimaksud dalam konteks ini
adalah benda yang dapat dinilai dengan uang. Lebih detail hal yang diwasiatkan seperti
hak eigondom, hak erfpacht, kreditor, debitor, ada juga hak yang timbul karena suatu

7 Jurnal Yuridis Vol. 5 No. 1, Juni 2018: 67-97 P-ISSN: 1693-4458 E-ISSN: 2598-5906. h. 72
8 Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 5, Volume 2, Tahun 2014. H. 110

9
hubungan kontraktual seperti hak pada perjanjian tenaga kerja, perkongsian, perseroan,
ataupun firma. Dapat disimpulkan secara lebih detail lagi tentang harta wasiat, maka
a. Dapat berupa benda bergerak ataupun benda tidak bergerak;
b. Dapat berupa hak, hak lain dari harta kekayaan, seperti hak membeli, hak menjual; dan
c. Dapat berupa hak, hak untuk menikmati, seperti menikmati rumah, saham, uang.9
Siapapun yang menjadi pelaksana wasiat adalah salah jika pelaksana wasiat melanggar isi
dari wasiat dan bertindak atas kemauannya sendiri sehingga merugikan kepentingan si
penerima wasiat dan menjual; serta menerima hasil penjualan warisan tersebut untuk
kepentingan pribadinya. Dalam hal tersebut pelaksanaan atas suatu wasiat bagi ahli
warisnya mungkin dapat bermasalah, misalkan tindakan pelaksana wasiat dalam suatu
kasus yang tidak sesuai dengan isi wasiat atau adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan
atas isi surat wasiat sehingga memilih menyelesaikannya di Penggadilan.
Umumnya, surat wasiat dibuat dengan tujuan agar para ahli waris tidak dapat mengetahui
apakah harta warisan yang ditinggalkan oleh pewasiat akan diwariskan kepada ahli warisnya,
atau malah diwariskan kepada pihak lain yang sama sekali bukan ahli warisnya sampai tiba
waktu pembacaan surat wasiat tersebut.

9 Jurnal Yuridis Vol. 5 No. 1, Juni 2018: 67-97 P-ISSN: 1693-4458 E-ISSN: 2598-5906. h. 74-75

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
a. Wasiat atau dibahasakan dengan testament diartikan dengan sebuah pernyataan dari
seseorang tentang apa yang ia kehendaki setelah ia meninggal dunia. Adapun syarat
Wasiat yakni : Al-Mushi (Pemberi Wasiat), Al-musha lahu (Penerima Wasiat), Al-Musha
Bib (Objek Wasiat), Al-Musha Ilaih (Orang yang menyampaikan Wasiat), dan serta
Sighab Wasiat (Ijab Wasiat).
b. Baik KHI maupun KUHPerdata sama-sama mengatur mengenai bentuk wasiat. Namun
bentuk wasiat yang dikenal dalam KHI berbeda dengan bentuk wasiat yang dikenal
dalam KUHPerdata. Perbedaan bentuk wasiat menurut KHI dan KUHPerdata yakni KHI
mengenal bentuk wasiat lisan dan wasiat tertulis berupa akta dibawah tangan dimana
apabila wasiat lisan dan wasiat tertulis berupa akta dibawah tangan dibuat dengan
disaksikan oleh minimal dua orang saksi, maka wasiat sudah dianggap sah.
c. Pelaksanaan sebuah wasiat sendiri baru dapat dilakukan apabila seorang pewasiat itu
telah meninggal dunia. Sejalan dengan meninggalnya pewasiat maka saat itu pula si
pewasiat juga bersatus menjadi pewaris bagi para ahli warisnya. Wasiat diatur pada pasal
875 yang isinya, Pasal 875 KUHPerdata menyatakan : “Adapun yang dinamakan surat
wasiat atau testament ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut
kembali”.

B. Saran

Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak kesalahan
dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman
pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdul Qhofur Ansari, Filsafat Hukum Hibah Dan Wasiat Di Indonesia, Gadjah Mada
University Press :Yogyakarta: 2018
Ammi Nur baits, Pengantar Ilmu Waris, muamalah Publishing : Yogyakarta
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Pt. Inter Masa, Cetakan Kesepuluh, Jakarta,
1998
Saija, Iqbal Taufik, Dinamika Hukum Islam Indonesia, Deepublish : Yogyakarta :2016

Jurnal
Jurnal Yuridis Vol. 5 No. 1: 67-97 P-ISSN: 1693-4458 E-ISSN: 2598-5906, Juni 2018
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 5, Volume 2, Tahun 2014.
Notarius Volume 11 No 1 ISSN: 2086-1702, 2018. h .

12

Anda mungkin juga menyukai