1. Definisi/Pengertian
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversible dimana trakea
dan brokhi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu (Smeltzer
& Bare, 2002).
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan
maupun sebagai hasil pengobatan (Muttaqin, 2008).
Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang
trakeobronkhial terhadap berbagai jenis rangsangan (Pierce, 2007).
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas
yang luas, bervariasi dan sering kali bersifat reversible dengan atau tanpa
pengobatan (Boushey, 2005).
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh
dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan
peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang
(wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness),
dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006;
GINA, 2009).
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada
individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan
menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang
bervariasi derajatnya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Asma
merupakan penyempitan jalan napas yang disebabkan karena hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkhial terhadap stimuli tertentu.
2. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat
300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada
anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-
anak (GINA, 2003). Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
di berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima
dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis
kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema
sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%.
Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13
per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi
penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008),
angka ini konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 5–15%.
3. Penyebab/Faktor Presdiposisi
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas factor genetik dan faktor
lingkungan (National Institutes of Health, 2007)
1. Faktor Genetik
a) Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan
dengan faktor pencetus.
b) Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c) Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d) Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a) Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b) Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
a) Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b) Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta lactam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c) Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d) Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya
yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa
asma pada usia dini.
e) Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
f) Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
g) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).
4. Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang
dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam
jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama
melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat
dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi
fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian
berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi
mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.
Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast
terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan
selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel
inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan
sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.
5. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,
yaitu:
1) Ekstrinsik (alergik)
Asma ekstrinsik ditandai dengan adanya reaksi alergik yang disebabkan oleh
faktor-faktor pencetus spesifik (alergen), seperti serbuk bunga, bulu binatang,
obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Oleh karena itu jika ada
faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan
terjadi serangan asthma ekstrinsik. Pasien dengan asma ekstrinsik
biasanya sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi dalam keluarganya.
2) Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang
tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma
ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan
mengalami asma gabungan.
3) Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.
(Smeltzer & Bare, 2002)
Berdasarkan derajat penyakitnya, asma dapat diklasifikasikan menjadi (PDPI,
2006):
No Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
1 Intermitten - Gejala <1x/minggu ≤2 kali sebulan- VEP1 atau
- Tanpa gejala antar APE ³80%
serangan - Variabilitas APE
- Serangan singkat <20%
2 Persisten - Gejala >1x/minggu > 2 kali- VEP1 atau
ringan tetapi <1x/hari sebulan APE ³80%
- Serangan dapat - Variabilitas APE
mengganggu aktivitas dan 20-30%
tidur
3 Persisten - Gejala setiap hari > 2 kali sebulan- VEP1 atau APE
sedang - Serangan mengganggu 60-80%
aktivitas dan tidur - Variabilitas APE
>30%
4 Persisten - Gejala terus menerus Sering - VEP1 atau
berat - Sering kambuh APE >60%
- Aktivitas fisik terbatas
6. Gejala Klinis
a. Gejala awal dapat berupa batuk terutama pada malam atau dini hari, sesak
napas, napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya, rasa berat di dada, dahak sulit keluar (Direktorat Bina Farmasi dan
Klinik, 2007).
b. Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa atau
disebut juga stadium kronik (status asmatikus). Yang termasuk gejala yang
berat adalah serangan batuk yang hebat, sesak napas yang berat dan tersengal-
sengal, sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), sulit tidur dan
posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk, kesadaran menurun,
thorak seperti barel chest, tampak tarikan otot sternokleidomastoideus,
sianosis, suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest) (Direktorat
Bina Farmasi dan Klinik, 2007).
Menurut Smeltzer & Bare (2002) manifestasi klinis dari asma, diantaranya:
a. Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Serangan asma
biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai
dengan pernapasan lambat, mengi dan laborius.
b. Sianosis karena hipoksia
c. Gejala retensi CO2 : diaforesis, takikardia, pelebaran tekanan nadi.
7. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
(GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada
auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis
jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan
(Chung, 2002). Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil
oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus.
Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang
mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa
batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009)
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan (Bernstein, 2003). Spirometri
adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung
kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas
dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai
VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%. Selain itu, dengan
spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1
>15 % secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator),
atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma
diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer
lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif
dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1 (Bernstein, 2003).
c. X-ray dada/ Thoraks
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
(Bernstein, 2003). Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru
biasanya tidak menunjukkan adanya kelainan.
d. Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent
test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada der-
mographism) (Bernstein, 2003).
e. Petanda inflamasi.
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinophil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan
dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara
jumlah eosinophil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan
derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan
gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset (Bernstein,
2003).
f. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan
berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi
droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas
pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar,
terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam
alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan
berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan
tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan
dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan
metakolin (Bernstein, 2003).
g. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk menunjang dalam menegakkan
diagnostik.
h. Pemeriksaan AGD
Analisa gas darah Hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat
atau status asmatikus.
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta
pemeriksaan penunjang (Bernstein, 2003).
a) Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksema atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian
cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat
berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat
asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam
rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk
mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet
berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah
sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah
pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat
yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.
(Bernstein, 2003).
b) Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan
terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas
cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut
dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang
(Bernstein, 2003).
c) Pemeriksaan Penunjang
1) Spirometer
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau
rasio VEP1/KVP < 75%. Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui
reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1 >15 % secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu.
2) Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk mendukung anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan (pada der-mographism) (Bernstein, 2003).
3) Petanda inflamasi.
Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah
eosinophil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan
derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar
riset (Bernstein, 2003).
4) Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi
saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis
yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma.
5) Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan lekositosis dengan
neutrofil yang meningkat menunjukkan adanya infeksi, eosinofil darah
dapat meningkat > 250/mm3.
6) Pemeriksaan X-Ray
Beberapa tanda yang menunjukkan yang khas untuk asma adanya
hiperinflasi, penebalan dinding bronkus, vaskulasrisasi paru
7) Pemeriksaan AGD
Analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma
berat atau status asmatikus. Pada keadaan ini dapat terjadi hipoksemia,
hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Pada asma ringan sampai sedang
PaO2 normal sampai sedikit menurun, PaCO2 menurun dan terjadi alkalosis
respiratorik. Pada asma yang berat PaO2 jelas menurun, PaCO2 normal atau
meningkat dan terjadi asidosis respiratorik.
10. Terapi/Tindakan Penanganan.
Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi
klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan
untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu
dipertimbangkan, yaitu:
a) Medikasi
Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara
seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah
melalui inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik
yang minimal ataupun tidak ada. Macam–macam pemberian obat inhalasi
dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer),
Dry powder inhaler (DPI), breath–actuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma
terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever).
1. Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma
persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap
terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering
disebut sebagai pencegah terdiri dari Glukokortikosteroid inhalasi dan
sistemik, Leukotriene modifiers , Agonis β-2 kerja lama (inhalasi dan oral),
Metilsantin (teofilin), Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil
Sodium
2. Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat
mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip
kerja obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi
golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hipersensitivitas jalan napas. Pelega terdiri dari Agonis β-2
kerja singkat, Kortikosteroid sistemik, Antikolinergik (Ipratropium
bromide), Metilsantin.
b) Penatalaksanaan non Medikamentosa:
1. Saat serangan
- pemberian oksigen, bila ada tanda-tanda hipoksemia, baik atas dasar
gejala klinik maupun hasil analisa gas darah.
- pemberian cairan, terutama pada serangan asma yang berat dan yang
berlangsung lama ada kecenderungan terjadi dehidrasi. Dengan
menangani dehidrasi, viskositas mukus juga berkurang dan dengan
demikian memudahkan ekspektorasi.
- drainase postural atau chest physioterapi, untuk membantu pengeluaran
dahak agar supaya tidak timbul penyumbatan.
- menghindari paparan alergen.
2. Diluar serangan
- Pendidikan/penyuluhan
Penderita perlu mengetahui apa itu asma, apa penyebabnya, apa
pengobatannya, apa efek samping macam-macam obat, dan bagaimana
dapat menghindari timbulnya serangan. Menghindari paparan alergen.
Imti dari prevensi adalah menghindari paparan terhadap alergen.
- Imunoterapi/desensitisasi.
Penentuan jenis alergen dilakukan dengan uji kulit atau provokasi
bronkial. Setelah diketahui jenis alergen, kemudian dilakukan
desensitisasi.
- Relaksasi/kontrol emosi.
untuk mencapai ini perlu disiplin yang keras. Relaksasi fisik dapat
dibantu dengan latihan napas.
11. Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah:
1) Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura. Keadaan
ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan
kegagalan napas.
2) Status asmatikus
Serangan asma akut yang sangat parah, berkepanjangan, dan tidak merespon
terapi biasa secara memadai. Hal ini disebabkan oleh penyempitan saluran napas
akibat bronkospasme yang sedang berlangsung, edema, dan penyumbatan lendir.
3) Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai
emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum.
Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan
oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru,
saluran udara atau usus ke dalam rongga dada.
4) Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.
5) Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6) Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam
dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami
bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak).
Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya
mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena
sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.
Oxygen Therapy
1. Membersihkan mulut,
hidung dan trachea dari
sekret dilakukan agar pada
saat pemberian terapi
oksigen, oksigen yang
masuk tetap optimal
2. Jalan nafas dipertahankan
agar tetap paten berfungsi
agar oksigen yang masuk
dapat optimal.
3. Pemasangan oksigen
dilakukan sesuai dengan
kebutuhan oksigen yang
diperlukan oleh pasien
sehingga pasien tidak
mengalami kelebihan
oksigen yang dapat
memperburuk kondisi
pasien juga.
4. Pemantauan humidifier
sangat penting karena
berfungsi dalam
melembabkan gas oksigen
yang bersfiat kering
sehingga tidak mengiritasi
saluran nafas pasien.
2 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan NIC Label: S:
pola napas keperawatan selama ...x 24 Pasien mengatakan
Respiratory Monitoring Respiratory Monitoring
berhubungan jam, diharapkan pola napas sudah tidak sesak
dengan penyakit pasien dapat teratasi 1. Pantau laju, kedalaman, 1. Sebagai data dasar untuk O:
(asma) ditandai dengan kriteria hasil: ritme dan upaya mengetahui apakah terjadi - Frekuensi
dengan dispnea, pernapasan pasien kelainan pada proses pernapasan normal
NOC Label:
pernapasan dengan 2. Pantau pola pernapasan pernapasan pasien (12-20 kali/menit)
cuping hidung, Respiratory Status: pasien 2. Pola pernapasan yang - Pola napas teratur
pernapasan bibir, Ventilation 3. Pantau nilai PFT, tidak normal merupakan - Tidak ada pursed
penggunaan otot kapasitas vital, volume tanda adanya kelainan pada lips breathing
1. Frekuensi pernapasan
aksesorius untuk tidal dan volume fungsi pernapasan pasien - Tidak ada
normal (12-20
bernapas, cadangan 3. Nilai PFT digunakan untuk penggunan otot
kali/menit)
perubahan inspirasi/ekspirasi pasien menguji kemampuan bantu napas
2. Pola napas teratur
kedalaman 4. Pantau sesak nafas dan bernafas pasien - TD dalam rentang
3. Tidak ada sesak napas
pernapasan. keadaan yang dapat 4. Sekret atau sputum yang normal (120/80
4. Tidak ada pursed lips
meningkatkan dan dikeluarkan memiliki mmHg)
breathing
memperburuk sesak berbagai karakteristik - Nadi dalam rentang
5. Tidak ada penggunan
pasien seperti warna, kekentalan normal (60-100x
otot bantu napas
dan bercampur darah atau per menit)
Vital Sign
tidak. Sputum tersebut A:
1. TD dalam rentang Ventilation Assistance
dianalisis untuk Berdasarkan tujuan
normal (120/80 mmHg)
2. Nadi dalam rentang 1. Posisikan pasien mengetahui penyebab dari yang di harapkan
normal (60-100x per dengan benar dan kelainan tersebut. semua tujuan tercapai
menit) nyaman 5. Dengan memantau kondisi P:
2. Dorong pasien untuk apa yang dapat Pertahankan kondisi
tarik nafas dalam memperburuk sesak nafas klien dengan intervensi
dengan perlahan pasien sehingga dapat baru khususnya dengan
3. Bantu pasien dengan memberitahu pasien agar Health Education
pemeriksaan spirometer tidak melakukan hal-hal
4. Ajarkan teknik bernafas yang mampu memperburuk
dengan bibir dirapatkan kondisinya jadi dapat
5. Ajarkan teknik latihan sebagai tindakan
bernafas pencegahan.
6. Ajukan program
kekuatan otot
Ventilation Assistance
pernapasan dan atau
endurance training 1. Posisi yang benar dapat
mengurangi sesak pasien
dan memberikan
Vital Sign Monitoring
kenyamanan dapat
1. Pantau tekanan darah membantu dalam
dan nadi pasien. pernapasan pasien.
2. Tarik nafas dalam secara
perlahan dapat memenuhi
asupan oksigen yang harus
masuk ke tubuh dan dapat
merilekskan pasien.
3. Pemeriksaan spirometer
digunakan untuk
mengetahui fungsi
fisiologis paru-paru pasien
sehingga dapat mengetahui
kelainan yang dialami
pasien.
4. Bernafas dengan bibir
dirapatkan dapat
melambatkan ekspirasi,
mencegah kolaps unit paru,
dan membantu pasien
untuk mengendalikan
frekuensi serta kedalaman
pernapasan yang
memungkinkan pasien
untuk control terhadap
dyspnea dan perasaan
panik.
5. Latihan bernafas dilakukan
dengan pernapasan
diafragmatik yang dapat
mengurangi frekuensi
pernapasan, meningkatkan
ventilasi alveolar, dan
terkadang membantu
mengeluarkan udara
sebanyak mungkin selama
ekspirasi.
6. Latihan otot pernapasan
dilakukan apabila pasien
telah menjalani latihan
pernapasan diafragmatik.
Latihan ini dapat
membantu menguatkan
otot-otot pernapasan
pasien. Latihan ini
mengharuskan pasien
bernafas terhadap suatu
tahanan selama 10 sampai
15 menit setiap hari.