Anda di halaman 1dari 7

ETIKA PROTESTAN (MAX WEBER)

Weber dilahirkan di Erfurt 1864 sebagai anak tertua dari delapan orang bersaudara. Ayahnya
seorang otoriter sedangkan ibunya adalah seorang saleh yang teraniaya. Oleh karena itu,
terjadi cekcok hebat antara Max Weber dengan a sehingga dia mengusir ayahnya. Ia lebih
banyak dipengaruhi paman clan tantenya. Weber mengecap berbagai pendiclikan, antara lain
ekonomi, sejarah, hukum, filosofi, dan teologi. Ia meraih gelar doktor dalam studi organisasi
clagang Abad Pertengahan. la diangkat jadi guru besar dalam studi sejarah agraria Romawi di
Berlin serta menjadi guru besar ekonomi di Freiburg 1894 clan 1896 di Heidelberg.

Meskipun Marx dan para pengikutnya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 setae
berada di luar arus utama sosiologi Jerman, pada batas-batas tertentu arch perkembangan
sosiologi Jerman awal dapat dikatakan berlawanan dengan teori Marxian.

Weber dan Marx. Albert Salomon, misalnya, menyatakan bahwa teori-teori awal sosiolog
besar Jerman, Max Weber, berkembang "dalam perdebatan panjang dan melelahkan dengan
hantu Marx" (1945: 596). Mungkin ini terlalu dibesarbesarkan, namun dalam banyak hal teori
Marxian memang memainkan pecan negatif dalam teori Weberian. Namun, dalam hal lain,
Weber justru bekerja di dalam tradisi Marxian, di mana dia mencoba "melengkapi" teori
Marx. Selain itu juga, banyak pengaruh lain selain teori Marxian yang memasuki teori
Weberian (Burger, 1976). Kita dapat mengklarifikasi sumber-sumber sosiologi Jerman yang
memaparkan pandangan masing-masing tentang hubungan antara Marx dan Weber (Antonio
dan Glassman, 1985; Schroeter, 1985). Hams diingat bahwa Weber tidak terlalu terbiasa
dengan karya Marx (yang sebagian besar belum diterbitkan sampai meninggalnya Weber)
dan Weber lebih banyak menanggapi karya-karya kalangan Marxis daripada karya Marx
sendiri (Antortio, 1985: 29; Turner, 1981: -20).

Dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Weber menyatakan bahwa
keteliteian yang khusus, perhitungan dan kerja keras dari Bisnis Barat didorong oleh
perkembangan etika Protestan yang muncul pada abad ke- 16 dan digerakkan oleh doktrin
Calvinisme, yaitu doktrin tentang takdir. Pemahaman tentang takdir menuntut adanya keper-
cayaan bahwa Tuhan telah memutuskan tentang keselamatan dan keeclakaan. Selain itu,
doktrin tersebut menegaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengetahui apakah dia
termasuk salah seorang yang terpilih. Dalam kondisi seperti mi menurut Weber, pemeluk
Calvinisme mengalami "panik terhadap keselamatan." Cara untuk menenangkan kepanikan
tersebut adalah orang harus berpikir bahwa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkahi
Tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterpilihan. Untuk mencapai
keberhasilan, seseorang harus melakukan aktivitas kehidupan, termasuk aktivitas ekonomi
dan politik, yang dilandasi oleh disiplin clan bersahaja, menjauhi kehidupan bersenang-
senang, yang didorong oleh ajaran keagamaan. Menurut Weber etika kerja dari Calvinisme
yang berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa masyarakat Barat kepada
perkembangan masyarakat kapitalis modern. Jadi, doktrin Calvinisme tentang takdir
memberikan days dorong psikologis bagi rasionalisasi clan sebagai perangsang yang kuat da-
lam meningkatkan pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap
pembentukannya.
Hubungan antara semangat kapitalisme dan etika Protestan, oleh karena itu, memiliki kaitan
konsistensi logic dan pengaruh motivasional yang bersifat menclukung secara timbal balik.
Hubungan semacam itu disebut sebagai elective affinity. Hubungan tersebut menghantarkan
kapitalisme mentransformasi din dalam bentuk modern, yang bercirikan: tata buku/akuntansi
rasional, hukum rasional, teknik rasional (mekanisasi), clan massa buruh menerima upah di
pasar bebas karena mereka perlu untuk memperoleh penghasilan

Weber memang cenderung memandang Mars dan kaum Marxis pada zamannya Sebagai
determines ekonomi yang menawarkan teori sebab tunggal kehidupan sosial. Jade, teori
Marxian mereka pandang sebagai teori yang hanya melacak seluruh perkembangan historis
ke dalam basis ekonomi dan melihat seluruh struktur dibangun di atas basis ekonomi saja.
Meskipun tidak berlaku pada teori Marx sendiri (seperti akan kita baca pada Bab 2), ini
merupakan pendapat sebagian besar pemikir Marxis yang lebih belakangan.

Salah satu contoh determinisme ekonomi yang tampaknya paling tidak disukai Weber adalah
pandangan bahwa ide hanyalah refleksi dari kepentingan material (kbususnya ekonomi),
bahwa kepentingan material menentukan ideologi. Dari sudut pandang ini, Weber dianggap
telah "membalikkan Marx" (persis seperti Marx telah membalikkan Hegel). Alih-alih
berfokus pada faktor ekonomi dan efeknya pada ide, Weber lebih mencurahkan perhatiannya
pada ide dan efeknya bagi ekonomi. Ketimbang memandang ide sebagai refleksi sederhana
dari faktorfaktor ekonomi, Weber memandang keduanya sebagai kekuatan otonom yang
mampu memengaruhi dunia ekonomi. Weber sangat menaruh perhatian pada masalah
gagasan-gagasan, terutama sistem gagasan keagamaan, dan dia secara khusus membahas
dampak gagasan-gagasan keagamaan pada ekonomi. Dalam buku The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism (1904-05/1958), ia memberikan perhatian pada agama Protestan,
terutama sebagai sistem ide, dan dampaknya terlhadap, kelahiran sistem gagasan lain,
"semangat kapitalisme", dan pada akhirnya, dampak yang ditimbulkannya terhadap sistem
ekonomi. Weber memiliki minas serupa terhadap agama-agama dunia lainnya, dengan
melihat bagaimana sifat agama-agama tersebut menghambat perkembangan kapitalisme pada
masyarakat tempat agama-agama tersebut tumbuh. Berdasarkan karya ini, beberapa orang
ilmuan sampai pada kesimpulan bahwa Weber mengembangkan gagasan yang bertentangan
dengan gagasan Marx.

Pandangan kedua tentang hubungan Weber dengan Marx, sebagaimana disebutkan pada
bagian sebelumnya, adalah bahwa ia sebetulnya tidak berlawanan dengan Marx karena ia
justru mencoba melengkapi perspektif teoretisnya. Dalam hal ini Weber dipandang lebih
banyak bekerja di dalam tradisi Mandan daripada menentangnya. Karyanya tentang agama,
yang ditafsirkan dari sudut pandang ini, adalah upaya untuk menunjukkan bahwa bukan
hanya faktor materi yang memengaruhi ide, namun ide juga memengaruhi struktur materi.

Contoh yang baik dari pandangan ini adalah bahwa Weber terhbat dalam proses melengkapi
teori Mandan dalam teori stratifikasi. Dalam karyanya tentang stratifikasi, Marx memusatkan
perhatiannya pada kelas sosial, yakni dimensi ekonomi dari stratifikasi sosial. Meskipun
Weber menerima and penting faktor ini, namun ia berpendapat bahwa dimensi-dimensi
stratifikasi lain pun sama pentingnya. Menurut dia, pengertian stratifikasi sosial ini harus
diperluas sehingga mencakup stratifikasi yang didasarkan pada prestise (status) dan
kekuasaan. Dimasukkannya dua dimensi ini tidak became penolakan atas Marx namun justru
melengkapi gagasan-gagasannya.

Kedua pandangan yang disinggunk di atas mengakui arti penting teori Marxian bagi Weber.
Kedua posisi tersebut sama-sama benar; di beberapa titik tertentu, Weber memang menentang
Marx, sementara itu di titik lain, ia memperluas gagasan Marx. Namun, pandangan ketiga
dari masalah ini memberikan penjelasan yang lebih baik perihal hubungan Marx dengan
Weber. Pandangan yang terakhir ini, memandang Marx hanya sebagai salah satu faktor yang
memengaruhi pemikiran Weber.

2. PENGARUH- PENGARUH LAIN TERHADAP PEMIKIRAN WEBER

Kita dapat meng- idetifikasi sumber-sumber teori Weberian termasuk sejarawan, filsuf,
ekonom, dan teoretisi politik Jerman. Di antara pemikir yang paling menonjol pengaruhnya
terhadap Weber adalah filsuf Immanuel Kant (1724-1804). Namun kita tidak boleh
mengesampingkan dampak Friedrich Nietzsche (1844-1990) (Antonio, 2001) -khususnya
penegasannya tentang pahlawan- terhadap karya Weber tentang kebutuhan individu untuk
melawan dampak birokrasi dan struktur lain masyarakat modern.

Pengaruh Immanuel Kant terhadap Weber dan sosiologi Jerman pada umumnya
menunjukkan bahwa sosiologi Jerman dan Mar)dsme tumbuh dari akar-akar filosofis yang
berlainan. seperti telah kita ketahui, adalah Hegel, bukan Kant, yang memberikan pengaruh
filosofis penting pada teori Marxian. Kalau filsafat Hegel mendorong Marx dan kalangan
Marxis lain untuk mencari hubungan, konflik, dan kontradiksi, maka filsafat Kantian paling
tidak menggiring beberapa orang sosiolog Jerman untuk mengambil perspektif yang lebih
statis. Bagi Kant, dunia tersusun dari sejumlah peristiwa membingungkan yang tidak dapat
diketahui secara langsung. Dunia ini hanya dapat diketahui dengan proses pemikiran yang
menyaring, memilih, dan mengategorikan peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh Kant, isi dunia
nyata dibedakan dari bentuk yang digunakan untuk memahami isinya. Penekanan pada
bentuk ini memberi karya-karya sosiolog dalam tradisi Kantian kualitas yang lebih statis bila
dibandingkan dengan filsafat Marxis dalam. tradisi Hegelian.

Teori Weber. Kalau Karl Marx menawarkan teori tentang kapitalisme, maka karya Weber
merupakan teori tentang proses rasionalisasi (Brubaker, 1984; Kalberg, 1980, 1990, 1994).
Weber tertan.k pada pertanyaan umum mengapa institusi di dunia Barat tumbuh begitu
progresif ke arah rasional, sementara sejumlah hambatan yang begitu kuat tampak mencegah
perkembangan serupa di belahan dunia lain.

Meskipun rasionalitas digunakan dalam berbagai pengertian yang berlainan dalam karya
Weber, yang menjadi minas kita dalam pembahasan ini adalah proses yang melibatkan salah
satu dari empat tipe yang diidentifikasikan oleh Kalberg (1980, 1990, 1994; baca juga
Brubaker, 1984; Levine, 1981a), yakni rasionalitas formal. Rasionalitas formal, sebagaimana
yang dipahami Weber, meliputi perhatian pada aktor yang memilih sarana dan tujuan.
Namun, dalam hal ini, pilihan tersebut dijadikan sebagai rujukan bagi aturan, regulasi, dan
hukum yang berlaku secara universal. Pada gilirannya, rasionalitas formal ini berasal dari
struktur yang skalanya lebih besar, khususnya birokrasi dan ekonomi. Weber
mengembangkan teorinya dalam konteks banyaknya kajian perbandingan sejarah Barat, Cina,
India, dan kawasan-kawasan lain di dunia. Dalam, studi-studi ini, ia berusaha menguraikan
sejumlah faktor yang membantu mendorong atau merintangi perkembangan rasionalisasi.

Weber melihat birokrasi (dan proses historis birokratisasi) sebagai contoh klasik rasionalisasi,
namun kini rasionalisasi sangat tepat bila diilustrasikan oleh restoran cepat saji (Ritzer,
2000a). Secara formal, restoran cepat saji adalah sistem rasional di mana (pelayan dan
pelanggan) digiring untuk mengupayakan sarana paling rasional dalam mencapai tujuan.
Jendela drive-through, misalnya, adalah sarana rasional di mana pelayan dapat
menyuguhkan, dan pelanggan dapat mengambil, makanan secara cepat dan efisien.
Kecepatan dan efisiensi ditunjukkan oleh restoran cepat saji dan aturan Berta regulasi yang
menjalankannya.

Weber meletakkan pembahasan proses birokratisasi dalam, diskusi yang lebih luas tentang
institusi politik. Ia membedakan tiga tipe sistem kekuasaan -tradisional, karismatik, dan
rasional-legal. Hanya di dunia Barat modern-lah otoritas rasional-legal dapat berkembang,
dan hanya di dalam sistem tersebutlah orang dapat menemukan perkembangan menyeluruh
birokrasi modern. Di belahan dunia lain, masyarakat tetap didominasi oleh sistem otoritas
tradisional atau karismatik, yang secara umum menghambat perkembangan sistem otoritas
rasional-legal dan birokrasi modern. Singkat kata, otoritas tradisional lahir dari sistem
kepercayaan yang telah berlangsung lama. Contohnya adalah pemimpin yang berkuasa
karena keluarga atau marganya selalu menjadi pemimpin kelompok tersebut. Pemimpin ,ka-
rismati,k mengambil otoritasnya dari kemampuan atau sifatnya yang istimewa, atau hanya
sekadar dari kepercayaan pengikutnya bahwa sang pemimpin memiliki keistimewaan.
Meskipun kedua jenis otoritas ini penting secara historis, Weber percaya bahwa di Barat, clan
pada hakikatnya di seluruh dunia, kecenderungan ini mengarah pada sistem otoritas rasional-
legal. Dalam sistem seperti isu, otoritas berasal dari aturan yang diputuskan secara legal dan
rasional. Jadi, pada hakikatnya presiders Amerika Serikat menclapatkan otoritasnya dari
hukum masyarakat. Evolusi otoritas rasional-legal, dengan birokrasi yang menyertainya,
hanyalah satu bagian dari argumen umum Weber tentang rasionalisasi dunia Barat.

Weber juga melakukan analisis yang begitu terperinci dan cermat tentang rasionalisasi
fenomena-fenomena seperti agama, hukum, kota, dan bahkan musik. Namun kita dapat
mengilustrasikan cara berpikir Weber dengan sebuah contoh lain -rasionalisasi institusi
ekonomi. Pembahasan ini diletakkan pada analisis Weber yang lebih luas tentang hubungan
agama dengan kapitalisme. Dalam satu studi historisnya, Weber berusaha memahami
mengapa sistem ekonomi rasional (kapitalisme) berkembang di Barat dan mengapa sistem ini
gagal berkembang di belahan dunia lain. Weber sepakat dengan peran agama dalam proses
ini. Di satu level, ia terlibat dalam dialog dengan pars Marxis dalam menunjukkan bahwa,
berlawanan dengan yang diyakini sebagian besar kaum Marxis hari ini, agama bukanlah
sekadar epifenomena. Namun, agama memainkan peran kunci dalam lahirnya kapitalisme di
Barat dan dalam kegagalannya untuk berkembang di belahan dunia lain. Weber berpendapat
bahwa adalah sistem agama rasional (Calvinisme) yang memainkan peran sentral dalam,
lahirnya kapitalisme di Barat. Sebaliknya, di belahan dunia lain yang ia kaji, Weber
menemukan sistem agama yang lebih irasional (misalnya, Konfusianisme, Taoisme,
Hinduisme), yang merintangi berkembangnya sistem ekonomi rasional. Namun, pada
akhimya orang merasa bahwa agama-agama ini hanya menjadi kendala sesaat, karena sistem
ekonomi -dan seluruh sistem sosial- masyarakat-masyarakat ini pada akhirnya akan
terasionalkan.

Meskipun rasionalisasi ada di pusat teori Weberian, namun ini sama sekali tidak berlaku bagi
teorinya. Sekarang belum saatnya untuk membahas lebih dalam masalah ini. Kita lebih balk
kembali lagi ke perkembangan teori sosiologi. Isu kunci dalam perkembangan ini adalah:
Mengapa teori Weber terbukti lebih menarik perhatian para. teoretisi sosiologi akhir-akhir-
akhir ini dibandingkan dengan teori Mandan?

3. PENERIMAAN ATAS TEORI WEBER

Alasannya adalah bahwa Weber terbukti lebih dapat diterima secara politis. Alih-alih
mengambil radikalisme Marxian, Weber lebih bersikap liberal terkait dengan sejumlah isu
dan lebih konservatif untuk isu lain (misalnya, peran negara). Meskipun ia adalah seorang
pengkritik berbagai sisi masyarakat kapitalis modern dan sampai pada kesimpulan kritis yang
sama dengan Marx, ia bukanlah orang yang mengusulkan solusi radikal atas sejumlah
masalah (Heins, 1993). Sebaliknya, ia merasa bahwa reformasi radikal yang ditawarkan oleh
kalangan Marxis dan sosialis lain akan lebih banyak mendatangkan mudarat daripada
kebaikan.

Para teoretisi sosiologi akhir-akhir ini, khususnya di Amerika, melihat masyarakat mereka
diserang oleh teori Marxian. Karena sebagian besar berorientasi konservatif, mereka berusaha
membangun alternatif teoretis bagi Marxisme. Salah seorang yang terbukti memiliki daya
tarik adalah Max Weber. (Durkheim dan Vilfredo Pareto adalah dua orang lainnya).
Sebenarnya, rasionalisasi tidak hanya memengaruhi kapitalis namun juga masyarakat sosialis.
Memang, dari sudut pandang Weber, rasionalisasi menimbulkan lebih banyak masalah di
masyarakat sosialis daripada di masyarakat kapitalis.

Weber lebih dipilih juga karena caranya menyajikan penilaian. Ia menghabiskar, sebagian
besar hidupnya dengan melakukan kajian sejarah terperinci, dan kesimpulan politisnya sexing
kah dibuat berdasarkan konteks penelitiannya. Jadi, kesimpulan-kesimpulan tersebut terkesan
ilmiah dan akademis. Marx, meskipun banyak melakukan penelitian serius, juga banyak
menulis bahan-bahan yang jelas polemis. Bahkan karyanya yang lebih akademis sarat dengan
penilaian politis. Sebagai contoh, dalam buku Capital (1867/1967), ia menggambarkan
kapitalis sebagai "pengisap darah" dan "serigala jadi-jadian". Gaya Weber yang lebih
akademis menyebabkan ia lebih diterima oleh para sosiolog di kemudian hari.

Alasan lain dari lebih diterimanya. Weber adalah bahwa ia bergerak di atas tradisi filosofis
yang juga membantu membentuk karya sosiolog-sosiolog lain di kemudian hari. Jadi, Weber
bergerak di atas tradisi Kantian, dan itu berarti ia cenderung berpikir dengan model sebab-
akibat. Cara berpikir semacam ini lebih diterima oleh para sosiolog di kemudian hari, yang
sebagian besar tidak terbiasa dan merasa tidak cocok dengan logika dialektis yang
memengaruhi karya Marx.

Akhirnya, Weber menawarkan pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap dunia sosial
ketimbang Marx. Kalau Marx hampir secara keseluruhan mendalami ekonomi, Weber tertarik
pada berbagai fenomena sosial. Keragaman fokus ini tampaknya memberikan lebih banyak
bahan bagi para sosiolog di kemudian hari, bila dibandingkan dengan perhatian Marx yang
lebih berkacamata tunggal.

Weber menghasilkan karya-karyanya pada akhir tahun 1800-an dan awal tahun 1900-an.
Karier awal Weber membuatnya lebih diidentikkan Sebagai sejarawan yang memberikan
perhatian pada isu-isu sosiologi, namun pada awal tahun A900-an fokusnya semakin
mengarah ke isu sosiologi. Pada zamannya, ia memang menjadi sosiolog dominan di Jerman.
Pada tahun 1910, ia membangun Masyarakat Sosiologi Jerman (di antaranya bersama dengan
Georg Simmel, yang akan kita diskusikan di bawah ini) (Glatzer, 1998). Rumahnya di
Heidelberg adalah pusat intelektual tidak hanya bagi sosiolog namun juga bagi para ilmuwan
dari berbagai bidang. Meskipun karyanya memang berpengaruh lugs di Jerman, karyanya
jauh lebih terasa di Amerika Serikat, khususnya setelah Talcott Parsons memperkenalkan
gagasan-gagasan Weber (dan teoretisi Eropa lainnya, khususnya Durkheim) kepada audien
Amerika. Kalau gagasan-gagasan Marx tidak membawa dampak signifikan bagi para teoretisi
sosiologi Amerika sampai dengan tahun 1960-an, maka Weber telah begitu berpengaruh pada
akhir 1930-an.

Teori Weber mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya di
sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama. Max Weber adalah sosiolog Jerman yang dianggap
sebagai bapak sosiologi modern. Dia membahas bermacam gejala kemasyarakatan, misalnya
tentang perkembangan bangsabangsa di dunia, tentang kepemimpinan, tentang birokrasi, dan
sebagainya. Salah satu topik yang penting bagi masalah pembangunan yang dibahas oleh
Max Weber adalah tentang peran agama sebagai faktor yang menyebabkan munculnya
kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pembahasan ini diterbitkan dalam duo buah
esei pada tahun 1904 dan 1905, yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dengan
judul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.

Dalam bukunya Weber mencoba menjawab pertanyaan, mengapa beberapa negara di Eropa
dan Amerika Serikat mengalami kemajuan ekonomi yang pesat di bawah sistem kapitalisme.
Setelah melakukan analisis, Weber mencapai kesimpulan bahwa salah satu penyebab
utamanya adalah apa yang disebutnya sebagai Etika Protestan.

Etika Protestan lahir di Eropa melalui agama Protestan yang dikembangkan oleh Calvin. Di
sini muncul ajaran yang mengatakan bahwa seseorang itu sudah ditakdirkan sebelumnya
untuk masuk ke surga atau neraka. Tetapi, orang yang bersangkutan tentu saja tidak
mengetahuinya. Karena itu, mereka menjadi tidak tenang, menjadi cemas, karena ketidak-
jelasan nasibnya ini.
Salah satu cara untuk mengetahui apakah mereka akan masuk surga atau neraka adalah
keberhasilan kerjanya di dunia yang sekarang ini. Kalau seseorang berhasil dalam kerjanya di
dunia, hampir dapat dipastikan bahwa dia ditakdirkan untuk naik ke surga setelah dia coati
nanti. Kalau kerjanya selalu gagal di dunia ini, hampir dapat dipastikan bahwa dia akan pergi
ke neraka.

Adanya kepercayaan ini membuat orang-orang penganut agama Protestan Calvin bekerja
keras untuk meraih sukses. Mereka bekerja tanpa pamrih; artinya mereka bekerja bukan
untuk mencari kekayaan material, melainkan terutama untuk mengatasi kecemasannya.
Inilah yang disebut sebagai Etika Protestan oleh Weber, yakni cara bekerja yang keras dan
sungguh-sungguh, lepas dari imbalan materialnya. (Memang, orang ini kemudian menjadi
kayo karena keberhasilannya, tetapi ini adalah produk sampingan yang tidak disengaja.
Mereka bekerja keras sebagai pengabdian untuk agama mereka, bukan untuk mengumpulkan
harta. Tetapi Weber sendiri mengakui bahwa hal ini kemudian berubah jadi sebaliknya.)

Etika Protestan inilah yang menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa.
Calvinisme kemudian menyebar ke Amerika Serikat, dan di sang pun berkembang
kapitalisme yang sukses.

Studi Weber ini merupakan salah satu studi pertama yang meneliti hubungan antara agama
dan pertumbuhan ekonomi. Kalau agama kita perluas menjadi kebudayaan, studi Weber ini
menjadi perangsang utama bagi munculnya studi tentang aspek kebudayaan terhadap
pembangunan. Dalam melakukan penelitian tentang aspek kebudayaan ini, peran agama pun
menjadi sangat penting sebagai salah satu nilai kemasyarakatan yang sangat berpengaruh ter-
hadap warga masyarakat tersebut.

Sementara itu, istilah Etika Protestan menjadi sebuah konsep umum yang tidak dihubungkan
lagi dengan agama Protestan itu sendiri. Etika Protestan menjadi sebuah nilai tentang kerja
keras tanpa pamrih untuk mencapai sukses. Dia bisa ada di luar agama Protestan, dapat
menjelma menjadi nilai-nilai budaya di luar agama. Misalnya, salah seorang pengikut Weber
di Amerika Serikat, Robert Bellah, melakukan penelitian pada agama Tokugawa d.i Jepang.
Dalam bukunya yang terkenal, Tokugawa Religion, dia menyatakan bahwa apa yang disebut
sebagai Etika Protestan itu juga ada pada agama Tokugawa. Karena itulah, Jepang berhasil
membangun kapitalisme dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai