Anda di halaman 1dari 23

STRUKTUR AKAD BISNIS SYARI’AH

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS

ISLAMIC ENTREPRENEUR

Disusun Oleh:

Kelompok 3

Fahrur Rozi NPM 19411018

Wahyu Prasetyo NPM 19411041

Dosen Pembimbing: Erni Suyani, S.Sos. I., MA

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS DHARMAWANGSA

MEDAN

T.A 2020/2021
DAFTAR ISI

Daftar Isi i
Kata Pengantar ii
BAB I Pendahuluan 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Masalah 1

BAB II Pembahasan 3

A. Pengertian Akad 3
B. Aspek Syariah Akad 4
C. Aplikasi Akad Syariah Dalam Bisnis 5
D. Rukun Dan Syarat Akad 10
E. Macam-Macam Syarat Akad 14
F. Pembagian Macam-Macam Akad 14
G. Berakhirnya Akad 17

BAB III Penutup 19

A. Kesimpulan 19
B. Saran 19

Daftar Pustaka 20

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH S.W.T yang telah
mengizinkan penulis dalam menyusun dan menulis makalah ini yang berjudul
“Struktur Akad Bisnis Syari’ah”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
salah satu syarat lulus mata kuliah Islamic Entrepreneur.

Pada kesempatan kali ini penulis juga mengucapkan banyak terima kasih yang
tak terhingga atas bimbingan dosen, rekan-rekan dan semua pihak yang telah
membantu, membimbing dan memberikan saran atas penyusunan makalah ini.

Andai ada kekurangan dalam makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Dan penulis mengharapkan saran serta masukan untuk perbaikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun para pembaca.

Medan, Maret 2021

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis
secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang
menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan
memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan
mereka.

Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan
janji dan kontrak adalah kewajiban menghormati semua kontrak dan janji (akad),
serta memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa setiap
orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan
ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah Al
Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Al Quran menginginkan
keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah
disetujui. Oleh karena pentingnya kewajiban menghormati serta memenuhi semua
akad (kontrak) dalam kehidupan berbisnis.

B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi dari akad?
b. Apa aspek Syariah dalam akad?
c. Bagaimana aplikasi dari akad syariah dalam kehidupan ekonomi?
d. Apa saja rukun dan syarat akad?
e. Apa macam-macam syarat akad ?
f. Bagaimana pembagian macam-macam akad ?

g. Bagaimana berakhirnya akad ?

C. Tujuan Masalah
a. Mengetahui definisi dari akad.

1
b. Mengetahui aspek Syariah dalam akad.
c. Mengetahui aplikasi dari akad syariah dalam kehidupan ekonomi.
d. Mengetahui rukun dan syarat akad.
e. Mengetahui macam-macam syarat akad.
f. Mengetahui pembagian macam-macam akad.

g. Mengetahui berakhirnya akad.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad

Secara etimilogi, akad antara lain berarti “ikatan antara dua perkara, baik
secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hamper sama dengan pengertian
akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan
Hanabilah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan,
dan gadai.1

Pengertian akad secara khusus yang dikemukakan oleh ulama Fiqh, antara
lain: Menurut Ibn Abidin, Akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab
qabul berdasarkan ketentuan syra’ yang berdampak pada objeknya. Menurut Al
Kamal Ibn Human, Akad adalah pengaitan salah seorang yang akad dengan yang
lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.

Dasar Hukum akad yaitu:

ۚ
‫ص ُد ٰقَتِ ِه َّن نِ ۡحلَ ٗة فَإِن ِط ۡبنَ لَ ُكمۡ عَن َش ۡي ٖء ِّم ۡنهُ ن َۡفسٗ ا فَ ُكلُوهُ هَنِ ٗٔٓ‍يا َّم ِر ٗٔٓ‍يا‬ ْ ُ‫َو َءات‬
َ ‫وا ٱلنِّ َسٓا َء‬

Artinya : ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)


sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
(Q.S. An Nisa: 4)

1
Muhammad Firdaus, Cara Mudah Memahami Akad-Akad Syariah, (Jakarta: Renaisan,
2005), hlm. 13.

3
ِ ۗ ‫ض ۡو ْا بَ ۡينَهُم بِ ۡٱل َم ۡعر‬
‫ُوف‬ َ ‫ضلُوه َُّن أَن يَن ِك ۡحنَ أَ ۡز ٰ َو َجه َُّن إِ َذا تَ ٰ َر‬ ُ ‫َوإِ َذا طَلَّ ۡقتُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء فَبَلَ ۡغنَ أَ َجلَه َُّن فَاَل ت َۡع‬
‫ ۚ ُر َوٱهَّلل ُ يَ ۡعلَ ُم َوأَنتُمۡ اَل‬‰‰َ‫ك يُو َعظُ بِِۦه َمن َكانَ ِمن ُكمۡ ي ُۡؤ ِمنُ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ۗ ِر ٰ َذلِ ُكمۡ أَ ۡز َك ٰى لَ ُكمۡ َوأَ ۡطه‬ َ ِ‫ٰ َذل‬
َ‫ت َۡعلَ ُمون‬

Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang
ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah : 232)

B. Aspek Syariah Akad

Dalam perbankan syariah semua aturan bukan hanya terpaku pada peraturan-
peraturan dari pihak pemerintah, akan tetapi peraturan dari Al-quran dan As-sunah
yang paling utama, sehingga memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi.
Ketentuan-ketentuan akad dalam melakukan transaksi di perbankan syariah
diantaranya :

1. Rukun, seperti: penjual, pembeli, barang, harga, akad/ijab-qabul


2. Syarat, diantaranya :
a. Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang
haram menjadi batal demi hukum syariah.
b. Harga barang dan jasa harus jelas.
c. Tempat penyerahan harus jelas karena akad berdampak pada biaya
transportasi

d. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak


boleh menual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang
terjadi pada transaksi.2

C. Aplikasi Akad Syariah Dalam Bisnis

2
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.
294.

4
Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis
secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang
menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan
memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan
mereka. Al Quran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-
prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis antar individu maupun
kelompok.Al Quran mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan
memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al Quran
mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang
individu atau kelompok. Al Quran memberikan kemerdekaan penuh untuk
melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas
yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa
diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal
atau tanpa izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh karena
itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama
sebagaimana terungkap dalam Surah An-Nisa’ ayat 29.

Pengakuan Al Quran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar


legalitas seorang Muslim untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan
harta miliknya, apakah dia akan menggunakan, menjual atau menukar harta
miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Quran memberikan kebebasan
berbisnis secara sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Pembatasan dalam hal keuangan dan kontrol pertukaran juga dibebaskan, karena
hal itu menyangkut kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka didasarkan
pada hukum natural dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan permintaan
(supply dan demand). Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di
atas, jangan diartikan dapat menghapuskan semua larangan tata aturan dan norma
yang ada di dalam kehidupan berbisnis.3 Seorang Muslim diwajibkan
melaksanakan secara penuh dan ketat semua etika bisnis yang ditata oleh Al
Quran pada saat melakukan semua transaksi, yakni:

3
Muhammad Firdaus, Op.cit., hlm. 25.

5
1. Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang
melakukan transaksi.
2. Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah.
3. Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai.
4. Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar.
5. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika
mendapatkan kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan
(Khiyar Ar-Ru’yah).
6. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam
jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar
Asy- Syarth)

Meskipun dalam melakukan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga


memperhatikan keadilan sosial bagi masyarakat luas. Ajaran Al Quran yang
menyangkut keadilan dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi dua, yakni
bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan. Salah satu ajaran Al
Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan kontrak adalah
kewajiban menghormati semua kontrak dan janji, serta memenuhi semua
kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai
pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak
yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah Al Israa’ ayat 34. Hal ini
merupakan bukti nyata bahwa Al Quran menginginkan keadilan terus ditegakkan
dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.

Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan


dan kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar
melakukan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan konsumen. Al
Quran berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang
memerintahkan umat Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang
benar dan akurat, dan memperingatkan dengan keras siapa saja yang melakukan
kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.

6
Dalam membangun sebuah usaha, salah satu yang dibutuhkan adalah modal.
Modal dalam pengertian ekonomi Syariah bukan hanya uang, tetapi meliputi
materi baik berupa uang ataupun materi lainnya, serta kemampuan dan
kesempatan. Berbagai macam bentuk akad muamalah terdapat dalam Ekonomi
Syariah guna membangun sebuah usaha, yakni antara lain sebagaimana yang
dipaparkan secara singkat berikut ini.

1. Al Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha)


Al Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dan masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan. Al Musyarakah dalam aplikasi lembaga
keuangan Syariah dapat berbentuk:
a. Pembiayaan Proyek, yaitu pelaku usaha dan Lembaga Keuangan
Syariah (selaku pemodal) sama-sama menyediakan dana untuk
membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah
mengembalikan dana yang digunakan beserta bagi hasil yang telah
disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul).
b. Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh lembaga
keuangan Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga
keuangan tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya
kepada pemegang saham perusahaan.4
2. Al Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi)
Al Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dengan
ketentuan pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, dan keuntungan usaha dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Aplikasi Al
Mudharabah dalam pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah adalah
berbentuk: Pembiayaan Modal Kerja, seperti modal kerja perdagangan dan
jasa. Dan Investasi Khusus, disebut juga “mudharabah muqayyadah”,
adalah pembiayaan dengan sumber dana khusus, di luar dana nasabah
4
Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 41.

7
penyimpan biasa, yang digunakan untuk proyek-proyek yang telah
ditetapkan oleh nasabah investor (shahibul maal).5
3. Al Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh)
Al Murabahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati dengan ketentuan penjual harus
memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat
keuntungan (margin) sebagai tambahannya
Dalam transaksi Al Murabahah harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.
b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan.
c. Kontrak harus bebas dari riba.
d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli jika terjadi cacat atas barang
setelah pembelian.
e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.
Aplikasi Al Murabahah pada Lembaga Keuangan Syariah adalah untuk
pembiayaan pembelian barang-barang investasi. Al Murabahah adalah
kontrak untuk sekali akad (one short deal), sehingga kurang tepat jika
digunakan untuk pembiayaan modal kerja.
4. Bai’ As Salam (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka)
Bai’ as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah
ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan sebelum barang diterima. Dalam transaksi Bai’ as Salam harus
memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual,
modal (uang), barang, dan ucapan (sighot). Bai’ as Salam berbeda dengan
ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang
secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung
kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat.
Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya

5
Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.
105.

8
dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang
relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga Keuangan dapat menjual kembali
barang yang dibeli kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog,
Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan kembali kepada pembeli
kedua ini dikenal dengan istilah “Salam Paralel”.
5. Bai’ Al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan)
Transaksi Bai’ al Istishna merupakan kontrak penjualan antara
pembeli dan pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang
berkewajiban memenuhi pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang
telah disepakati. Pembayaran dapat dilakukan di muka, melalui cicilan,
atau ditangguhkan sampai batas waktu yang telah ditentukan. Dalam
sebuah kontrak Bai’ al Istishna, pembeli dapat mengizinkan pembuat
barang menggunakan sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut.
Dengan demikian, pembuat barang dapat membuat kontrak istishna kedua
untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak seperti ini
dikenal sebagai “Istishna’ Paralel”
6. Al Ijarah (Sewa/ Leasing)
Al Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa
melalui pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(Ownership) atas barang itu sendiri. Dalam perkembangannya kontrak Al
Ijarah dapat pula dipadukan dengan kontrak jual-beli yang dikenal dengan
istilah “sewa-beli” yang artinya akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang oleh si penyewa pada akhir periode penyewaan.
Dalam aplikasi, Al Ijarah dapat dioperasikan dalam bentuk operating lease
maupun financial lease, namun pada umumnya Lembaga Keuangan
biasanya menggunakan Al Ijarah dalam bentuk sewa-beli karena lebih
sederhana dari sisi pembukuan, dan Lembaga Keuangan tidak direpotkan
untuk pemeliharaan asset, baik saat leasing ataupun sesudahnya.
7. Qard Al Hasan (Pinjaman Kebajikan)
Qard adalah akad yang dikhususkan pada pinjaman dari harta yang
terukur dan dapat ditagih kembali serta merupakan akad saling Bantu-

9
membantu dan bukan merupakan transaksi bisnis secara komersial. Salah
satu fungsi Lembaga Keuangan Syariah adalah ikut serta dalam kegiatan
sosial, yang diaplikasikan dengan menyalurkan dana dalam bentuk qard
dari dana yang dihimpun dari hasil zakat, infaq, dan sadaqah. Qard al
Hasan adalah produk perbankan syariah untuk nasabah yang
membutuhkan dana untuk keperluan mendesak dengan kriteria tertentu
dan bukan untuk tujuan konsumtif. Pengembalian pinjaman ditentukan
dalam jangka waktu tertentu dan dapat dikembalikan sekaligus atau
diangsur tanpa tambahan atas dana yang dipinjam.

Dengan demikian, dapat kita lihat, bahwa dalam sistem ekonomi syariah
mempunyai produk yang jauh lebih lengkap dari Lembaga Keuangan yang
berdasarkan ekonomi Konvensional, karena semata-mata hanya menggunakan
akad pinjam meminjam dan mengandalkan pendapatannya dari nilai waktu atas
uang yang dipinjamkannya kepada nasabah (debitur) bank tersebut.

D. Rukun dan Syarat Akad


1. Rukun Akad.

Beberapa hal yang dipandang sebagai rukun akad oleh jumhur ulama’ yaitu:

1. Al aqidain

Al aqidain, atau pihak-pihak yang melakukan akad harus memenuhi


persyaratan kecakapan bertindak hukum (Mukallaf). Apabila pemilik objek
adalah orang yang tidak cakap bertindak hukum seperti orang gila, syafih,
anak kecil yang belum mumayyis, maka akadnya harus dilakukan oleh
walinya. Agar aqidain dapat dianggap cakap melakukan perbuatan hukum,
harus memenuhi prinsip kecakapan (ahliyatul aqid) melakukan akad untuk diri
sendiri, atau karena mendapat kewenangan melakukan akad (al wilayatul aqid)
menggantikan orang lain berdasarkan perwakilan (wakalah).

2. Mahallul aqad (objek akad)

10
Mahallul ‘aqad dapat menerima hukum akad, artinya pada setiap akad
berlaku ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan objeknya, apakah
dapat dikenai hukum akad atau tidak. Syarat umum mengenai objek adalah:
(a)Berbentuk harta, (b)dimiliki oleh seseorang, dan (c)bernilai harta dalam
pandangan syara’.

3. Maudhu’ul akad (tujuan akad)

Yang dimaksud dengan maudhu’ul akad adalah tujuan dan hukum yang
mana suatu akad disyariatkan untuk tujuan tersebut. Untuk satu jenis akad
tujuan yang hendak dicapainya satu, dan untuk jenis akad lainnya berlaku
tujuan yang berbeda.

4. Sighat akad (ijab dan qabul)

Sighat akad adalah ungkapan yang menunjukkan kesepakatan dua belah


pihak yang melakukan akad dan kesepakatan tersebut lazimnya terjadi melalui
formula akad (sighat al aqd). Nah, disini dia sebagai unsur akad yang paling
penting, bahkan dalam pandangan fuqaha’ hanafiyah suatu akad adalah identik
dengan sighatnya. Sighat akad yang terdiri dari ijab dan qabul sesungguhnya
merupakan ekspresi kehendak (iradah) yang menggambarkan kesepakatan dan
kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari
perikatan akad.

2. Syarat-syarat Akad
a. Syarat terjadinya akad

Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk


terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad
menjadi batal. Syarat ini terbagi atas dua bagian:

1. Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.


Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah:
a. Pelaku akad cakap bertindak (ahli).
b. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

11
c. Akad itu diperbolehkan syara' dilakukan oleh orang yang berhak
melakukannya walaupun bukan aqid yang memiliki barang.
d. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap
imbangan amanah.
e. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh
karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum
adanya kabul.
f. Ijab dan kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab
berpisah sebelum adanya qabul, maka akad menjadi batal.
2. Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak
disyaratkan pada bagian lainnya. Yakni syarat-syarat yang wujudnya wajib
ada dalam sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi
(tambahan yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti
syarat adanya saksi dalam pernikahan).
b. Syarat sah akad

Adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak


keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak. Ada kekhususan
syarat sah akad pada setiap akad. Ulama’ hanafiyah mensyaratkan
terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu kebodohan,
paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsure kemadharatan, dan syarat-
syarat jual beli rusak

c. Syarat Pelaksanaan Akad

Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan


kekuasaan. Maksud kepemilikan adalah sesuatu yang dimilki oleh seseorang
sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilkinya sesuai dengan
aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam
bertasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan
oleh dirinya, maupun sebagai penggantian (menjadi wakil seseorang).Dalam
hal ini, disyaratkan antara lain: Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan

12
orang yang akad, jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin
pemiliknya yang asli. Dan Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan
kepemilikan orang lain

d. Syarat kepastian Hukum

Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-beli
adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat,
khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum tampak, maka akad batal atau
dikembalikan. Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada 2.

1. Sahih atau sah, yang artinya semua rukun kontrak beserta semua kondisi
nya sudah terpenuhi.
2. Batil, apabila salah satu dari rukun kontrak tidak terpenuhi maka kontrak
tersebut menjadi batal atau tidak sah, apa lagi kalau ada unsur Maisir,
Gharar dan Riba di dalamnya.

Akad yang efektif dibagi lagi menjadi 2 , Yaitu :

1. Lazim – mengikat. Akad lazim adalah akad yang tidak dapat dibatalkan
oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak yang lainnya. Contohnya:
perceraian dengan kompensasi pembayaran properti dari istri yang
diberikan kepada suami.

2. Ghayr al –lazim – tidak mengikat. Akad ghayr al-lazim dapat dibatalkan


oleh salah satu pihak tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya contohnya
dalam transaksi partnership (musyarakah), agency (wakalah), wasiat
(wassiyyah), pinjaman (arriyah), dan penitipan (wadiah).

E. Macam-macam Syarat Akad

Syarat adalah sesuatu yang menyebabkan terwujudnya sesuatu namun syarat


tidak termasuk dalam bagian dari sesuatu tersebut atau sesuatu yang diluar hakikat
sesuatu tersebut. Syarat Akad ada empat (4) macam, yaitu:

13
1. Syarat In’iqad (‫ )شروط اإلنعقاد‬adalah syarat yang menentukan terlaksananya
suatu akad. Bila salah satu saja syarat ini tidak terpenuhi maka akad nikah
batal. Contoh, orang yang berakad harus cakap hukum.
2. Syarat Shihah (‫ )شروط الصحة‬adalah syarat yang menentukan dalam suatu
akad yang berkenaan dengan akibat hukum, dalam artian jika syarat
tersebut tidak dipenuhi maka menyebabkan tidak sahnya suatu pernikahan.
Contoh, mahar dalam pernikahan, tidak sah pernikahan tanpa adanya
mahar.
3. Syarat Nifaadz (‫ )شروط النفاذ‬adalah syarat yang menentukan kelangsungan
suatu akad, jika syarat ini tidak terpenuhi maka menyebabkan fasa¬d-nya
pernikahan. Contoh, wali nikah adalah orang yang berwenang untuk
menikahkan.

4. Syarat Luzum (‫زوم‬‰‰‫روط الل‬‰‰‫ )ش‬adalah syarat yang menentukan kepastian


suatu akad dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya
suatu akad sehingga dengan telah terdapatnya syarat tersebut tidak
mungkin akad yang sudah berlangsung itu dibatalkan. Hal ini berarti
selama syarat itu belum terpenuhi akad dapat dibatalkan, seperti suami
harus sekufu dengan istrinya.

F. Pembagian Macam-macam Akad

Diantara macam-macam aqad adalah:

1. Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya


a. Akad munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu
selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksaan akad
adalah pernyataan yang disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula
ditentukan waktu pelaksanaan adanya akad.
b. Akad mu'alaq adalah akad yand di dalam pelaksaannya terdapat syarat-
syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan
barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
2. Dilihat dari segi ditetapkan atau tidaknya oleh syara:

14
a. Aqad musamma, adalah aqad yang telah ditetapkan oleh syara dan diberi
hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijarah, syirkah dan lain-lain.
b. Aqad ghaira musawwa, adalah aqad yang belum ditetapkan istilah, hukum
dan namanya oleh syara.
3. Dilihat dari segi disyariatkan atau tidaknya:
a. Aqad musyaraah, aqad yang dibenarkan oleh syara seperti jual beli, hibah,
gadai, dan lain-lain.
b. Aqad mamnuah, aqad yang dilarang oleh syara seperti menjual anak
binatang yang masih dalam kandungan.
4. Dilihat dari segi sah atau tidaknya aqad:
a. Aqad shahihah, aqad yang cukup syarat-syaratnya. Misalnya, menjual
sesuatu dengan harga sekian jika kontan dan sekian jika hutang.
b. Aqad fashihah, aqad yang cacat misalnya menjual sesuatu dengan harga
yang ditentukan tapi pembayarannya ditangguhkan.
5. Dilihat dari segi sifat bendanya:
a. Akad ainiyah, aqad yang diisyaratkan dengan penyerahan barang-barang
seperti jual beli.
b. Akad ghaira ainiyah, aqad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-
barang, karena tanpa penyerahan barang-barang pun aqad sudah akan
berhasil, seperti aqad amanah.
6. Dilihat dari bentuk atau cara melakukannya:
a. Dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu ada saksi seperti pernikahan.
b. Aqad ridhaiyah, tidak memerlukan upacara tertentu dan terjadi karena
keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya.
7. Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad
a. Akad nafidzah , yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-
penghalang akad
b. Akad mauqufah , yaitu akad –akad yang bertalian dengan persetujuan-
persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah disetujui
pemilik harta)
8. Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan

15
a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat
dipindahkan seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti bersetubuh,
tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah bisa
diakhiri dengan dengan cara yang dibenarkan syara'.
b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan
dapat dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain.
c. Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak, seperti rahn, orang yang
menggadai sesuatu benda punya kebebasan kapan saja ia akan melepas
rahn atau menebus kembali barangnya.
d. Akad lazim yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu
persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang
menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan atau yang
menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada
yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.
9. Dilihat dari tukar menukar hak:
a. Akad mu’awadlah, akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual
beli.
b. Akad tabarru’at, akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan
seperti hibah.
c. Akad yang tabarru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadlah pada
akhirnya seperti qaradh dan kafalah.
10. Berdasarkan harus dibayar dan tidaknya
a. Akad dhaman yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua
sesudah benda-benda itu diterima seperti qaradh.
b. Akad amanah yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan
oleh yang memegang barang, seperti titipan.
c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan
dhaman, menurut segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn(gadai).
11. Dilihat dari segi tujuan aqad:
a. Yang tujuannya tamlik, seperti Ba’I mudarabah.
b. Yang tujuannya mongokohkan saja, seperti rahn dan kafalah.

16
c. Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah,washayah.
d. Yang tujuannya pemeliharaan, yaitu aqdul’ida.
12. Berdasarkan Fautur dan Istimrar
a. Akad fauturiyah yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak
memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja,
seperti jaul beli.
b. Akad istimrar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus
berjalan, seperti i’arah.
13. Berdasarkan asliyah dan tabi'iyah
a. Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya
sesuatu yang lain seperti jual beli dan I'arah.

b. Akad tahi'iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti
akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.

G. Berakhirnya Akad

Berakhirnya akad berbeda fasakh dan batalnya akad. Berakhirnya akad karena
fasakh adalah rusak atau putusnya akad yang mengikat antara muta’aqidain
(kedua belah pihak yang melakukan akad) yang disebabkan karena adanya kondisi
atau sifat-sifat tertentu yang dapat merusak iradah. Para fuqaha berpendapat
bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:

1. Telah jatuh tempo atau berakhirnya masa berlaku akad yang telah
disepakati.
2. Terealisasinya tujuan daripada akad secara sempurna. Misalnya pada akad
tamlikiyyah yang bertujuan perpindahan hak kpemilikan dengan pola akad
jual beli.
3. Barakhirnya akad karena fasakh atau digugurkan oleh pihak-pihak yang
berakad.
4. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

18
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hamper sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah,
dan Hanabilah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan,
dan gadai. Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh dan ketat
semua etika bisnis yang ditata oleh Al Quran pada saat melakukan semua
transaksi, yakni:

1. Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang
melakukan transaksi.
2. Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah.
3. Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai.
4. Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar.
5. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika
mendapatkan kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan
(Khiyar Ar-Ru’yah).
6. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam
jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar
Asy- Syarth).

Adapun rukun akad meliputi al Aqidain, mahallul aqad, maudhu’ul aqad, dan
sighat aqad.

B. Saran

Sebagai umat islam sudah semestinya kita mempelajari perihal akad dalam
bsinis syari’ah guna saat berbisnis kita tetap dalam nilai-nilai islam yang syar’i.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Asuransi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.


Firdaus, Muhammad. 2005. Cara Mudah Memahami Akad-Akad Syariah. Jakarta:
Renaisan.

19
Nasution, Mustafa Edwin. 2006. Pengenalan Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.
Wirdyaningsih. 2006. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana.

20

Anda mungkin juga menyukai