Anda di halaman 1dari 14

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Etika dan Prinsip Dalam Pemeriksaan Psikologi


B. Siapa yang berhak melakukan diagnose psikologi
C. Siapa yang bertanggung jawab untuk mengamankan perangkat tes
D. Bagaimana seharusnya seorang diagnostikus bersikap dan bertingkah laku dalam
suatu pemeriksaan psikologi
E. Psinsip tes psikologi
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
F. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.1 Adapun pengertian
Prinsip adalah kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.2

Perkembangan yang cepat, hubungan yang dekat dengan beberapa profesi seperti
psikiatri, pendidikan, manajemen, serta sulitnya mengontrol praktik psikologi mengarah
kepada suatu masalah yang penting yang harus segera ditanggulanggi, yaitu kurangnya
kode etik profesional, khususnya malpraktik.

Etika tersebut seharusnya dapt menjelaskan hal-hal terkait pertanyaan: siapa yang
berhak mengadministrasikan tes psikologis? Apakah psikiater, konselor, pendidikan, dan
atau manajer personalia berhak untuk mengadministrasikan tes psikologis? Selayaknya
bidang-bidang profesional lainnya, seperti kedokteran, Hukum, atapun lainnya, maka
dalam ranah Psikologi juga terdapat pembahasan atau juga memiliki kode etik yang
mengatur Etika dan Prinsip, hal ini digunakan untuk mengatur berbagai hal terkait dalam
praktek Psikologi. Dalam Materi ini hal tersebut salah satunya untuk memperjelas dan
sekaligus menjawab pertnayaan-pertanyaan diatas.

B. Rumusan Masalah

1
Adnan murya, Etika dan tangggung jawab profesi, Yogyakarta : Deepublish, 2018. Hlm. 3-4.
2
Dr.H Yarsadin, S.H. M.Hum, Asas kebebasan berkontrak syariah, Jakarta : Prenada Media, 2018. Hlm.
70.
1. Bagaimana etika dan prinsip dalam pemeriksaan psikologi?

2. Siapa yang berhak melakukan diagnose psikologi?

3. Siapa yang bertanggung jawab untuk mengamankan perangkat tes?

4. Bagaimana seharusnya seorang diagnostikus bersikap dan bertingkah laku dalam


suatu pemeriksaan psikologi?

5. Apa saja prinsip tes psikologi?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Etika dan Prinsip Dalam Pemeriksaan Psikologi

Seorang diagnostikus tidak bebas dalam menyelenggarakan pemeriksaan psikologi,


artinya banyak persyaratan yang dituntut dan dipertimbangkan. Tes psikologi tidak akan
ada manfaatnya ditangan yang tidak ahli atau bila salah penyelenggaraan dan interpretasi
berdampak besar karena itu semua menyangkut dalam kehidupan manusia. Masalah etika
dalam pemeriksaan psikologi berhubungan erat dengan etika bidang psikologi pada
umumnya.

Seorang diagnostikus tidaklah bebas begitu saja dalam menyelenggarakan suatu


pemeriksaan psikologi, meskipun ia sudah cukup kompeten dan ahli dalam menggunakan
seperangkat tes. Dampaknya akan sangat besar bila tes ini salah diselenggarakan dan
diinterpretasikan, karena menyangkut kehidupan manusia. Di Indonesia, masalah etika
psikologi (kode etik psikologi) masih terus dijajaki kemungkinan dan pelaksanaannya.

Meskipun belum ada suatu keputusan yuridis formal mengenai hal itu, tetapi telah
diperoleh suatu konsensus di kalangan para ahli psikologi dan ahli bidang lainnya yang
bekerja sama dengan ahli psikologi (misalnya ahli pendidikan, ahli medis, ahli sosial),
guna memperlancar penyelenggaraan pemeriksan psikologi dan kewenangannya. Secara
ideal dan teoritis, hanya ahli psikologi dan mereka yang telah mendapat pelatihan khusus
yang berhak dan berwenang untuk menyelenggarakan pemeriksaan psikologi dan
psikodiagnostik.
Ditinjau dari jenis penyelenggaraan tesnya sendiri terdapat berbagai perbedaan
kewenangan dan kompetensi. Hal ini kadang-kadang agak mengaburkan arti etika
pemeriksaan psikologi, karena seolah-olah terdapat kelonggaran penyelenggaraan untuk
jenis kasus-kasus tertentu. Yang menjadi permasalahan dalam etika pemeriksaan
psikologi biasanya mencakup hal berikut ini :3

1. Siapa yang berhak melakukan diagnosis psikologi (menyelenggarakan tes psikologi


dan menginterpretasikannya).

2. Siapa yang bertanggung jawab untuk menggunakan perangkat tes (termasuk masalah
penggandaannya, pendistribusiannya dan sebagainya).

3. Bagaimana seharusnya seorang diagnostikus bersikap dan bertingkah laku dalam


menegakkan suatu diagnosa psikologi.

B. Siapa Yang Berhak Melakukan Diagnosa Psikologi

Telah dikatakan bahwa dilihat dari penyelenggaraan tes, ada diagnosis psikologi yang
dapat dilakukan oleh bukan ahli psikologi, atau orang yang tidak mendapat pelatihan dan
pendidikan khusus untuk itu. Tetapi ada yang benar-benar harus dilaksanakan oleh ahli
yang kompeten untuk hal itu dan mereka mendapat pendidikan khusus. Seharusnya
pemeriksaan psikologi ini dilaksanakan di bawah pengawasan seorang ahli atau oleh ahli
yang diperiksa (Sumadi Suryabrata, 1971).

Ditinjau dari segi penggunaannya, diagnosa psikologi dan penyelenggaraannya dapat


dikelompokkan sebagai berikut :

1. Diagnosa untuk keperluan pelatihan/pendidikan Diagnosa untuk tujuan ini


diselenggarakan khusus untuk bidang pendidikan psikologi untuk memperoleh
keterampilan diagnostik. Masalahnya tidak hanya sekedar tahu atau tidak tahu, tetapi
lebih daripada itu, juga masalah bisa atau tidak bisa menyelenggarakannya. Karena itu
latihan untuk tujuan ini sangat penting.

2. Diagnosa mengenai prestasi belajar Diagnosa untuk tuuan ini diselenggarakan untuk
melihat sejauh mana penyelenggaraan pendidikan telah mencapai hasil seperti yang
diharapkan. Untuk tu diperiukan pengujian dengan melalui seperangkat tes prestasi.
Para pendidik dapat merancang dan menggunakannya untuk kepertuan ini. Tetapi bila
3
Esty Aryani Safithry, Asesmen Teknik Tes Dan Non Tes, Purwokerto : Cv IRDH, 2018. Hlm. 93.
dalam pemeriksaan nampak adanya gejala kelainan/penyimpangan, maka seyogyanya
kasus ini diserahkan kepada ah yang lebih berwenang untuk menanganinya Kasus
semacam ini banyak ditemukan dalam ruang lingkup bimbingan dan konseling dalam
dunia pendidikan.

3. Diagnosa dengan menggunakan tes psikologi Untuk tujuan ini penyelenggaraan tes
Tidak diperkenarkan dilakukan oleh sembarangan orang melainkan harus dikerjakan
cleh ahli psikologi atau mereka yang mendapat pendidikan dan pelatihan khusus
untuk Itu. Tes psikologi sebagal alat diagnostik manfaatnya sangat tergantung dari
siapa yarng menggunakan dan bagaimana tes tersebut digunakan. Di tangan seorang
ahli yang berwenang untuk itu, tes psikologi akan sangat bermanfaat. Tetapi jika
tangan mereka yang bukan ahli tes ini mungkin akan mendatangkan bahaya.

Kouwer membatasi kewenangan menyelenggarakan tes psikologi berdasarkan tiga


fungsi pemeriksaan psikologi, yaitu:4

1. Pemeriksaan dengan tujuan memprediksi Syarat utama untuk pemeriksaan ini adalah
pelaksanaan yang eksak dan terkontrol. Pada prinsipnya semua orang yang
mengetahui prinsip ini dapat menyelenggaraken tes untuk tujuan ini. Jadi dilakukan
oleh administrator tes, tetapi untuk interpretasi tes sebaiknya dilakukan oleh ahli
psikologi.

2. Pemeriksaan dengan tujuan mendeskripsikan. Nilai dari tes ini terletak sepenuhnya
pada interpretasinya artinya terletak pada analisis psikologi tentang hasil tes. Oleh
karena itu, syarat yang esensial adalah menguasai sepenhnya teari kepribadian dan arti
diagnostik dan materi tes yang digunakan. Untuk tujuan ini seorang ahli psikologi- lah
yang berkompeten menyelenggarakan pemeriksaan tersebut.

3. Pemeriksaan dengan tujuan terapi. Syarat untuk memakai material tes dalam tujuan
ini harus dilatarbelakangi oleh pengetahuan psikologi yang khusus dan pengetahuan
tentang terapi. Untuk berhasil dalam tujuan tes ini ahli terapi harus mengerti secara
mendalam tentang arti, syarat-syarat dan sifat-sifat materi tes tersebut. Beberapa jenis
tes dalam penyelenogaraannya tidak terlalu menuntut keahlian psikologi tertentu, jadi
dapat diselenggarakan oleh administrator tes yang cukup cekatan melalui pelatihan
yang sederhana. Tetapi cukup banyak pula tes psikolagi yang tidak dapat

4
Esty Aryani Safithry, Asesmen Teknik Tes Dan Non Tes, Purwokerto : Cv IRDH, 2018. Hlm. 94-95
dilaksanakan oleh administrator tes, seperti misalnya jenis tes dengan teknik projektit
(Sumardi Suryabrata, 1971).

4. Kompetensi penggunaan alat tes berkaitan erat dengan tingkatan atau level
kompleksitas pada alat tes itu sendiri. American Psychological Association (APA)
telah mengkategorikan alat tes psikologi ke dalam tiga level sebagai berikut:

a. Level A :

Level ini mencakup alat tes yang dapat di administrasikan, diskor dan
diinterpretasikan dengan bantuan manual. Tes jenis ini dapat dipergunakan dan
diinterpretasikan oleh nonpsikolog yang memiliki rasa tanggung jawab, seperti
eksekutif business dan kepala sekolah.

Penggunaan tes-tes level A memerlukan kursus tingkat advance ataupun


lulusan sarjana dari universitas terakreditasi, atau pelatihan yang setara di bawah
pengarahan supervisor atau konsultan yang qualified. Contoh dari alat tes ini
adalah tes vocational dan pencapaian akademik, sebagian besar inventori minat,
dan tes-tes pilihan ganda yang menggunakan pengukuran sederhana dalam
penginterpretasiannya, baik individual maupun kelompok.

b. Level B :

Penggunaan alat tes level ini memerlukan latar belakang training khusus
dalam pengadministrasian, skoring, dan interpretasi. Alat-alat tes pada level ini
lebih kompleks daripada level A dan memerlukan pemahaman tentang
prinsipprinsip psikometri, sifat-sifat yang diukur, dan bidang keilmuan dimana
alat tes tersebut digunakan (misalnya pendidikan, klinis, konseling). Alat tes ini
dapat dipergunakan oleh mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat
lanjut dalam bidang testing dari universitas atau institusi yang terakreditasi, atau
telah memperoleh training yang setara dibawah pengawasan psikolog.

Paling tidak, pengguna alat tes ini harus telah mengikuti pelatihan yang tepat
tentang prinsip-prinsip psikometri (reliabilitas, validitas, konstruksi tes) dan
memiliki pengalaman yang terkontrol dalam pengadministrasian, penyekoran, dan
penginterpretasian alat-alat tes tersebut. Tes-tes level B umumnya mencakup
sebagian besar tes prestasi atau minat individual atau kelompok, inventori
screening, dan tes personal. Contoh alat tes kategori ini adalah tes bakat dan tes
inventory kepribadian untuk populasi normal.

c. Level C :

Level C merupakan kategori yang paling ketat dan mencakup tes-tes dan alat
bantu yang membutuhkan pelatihan dan pengalaman dalam pengadministrasian,
penyekoran, dan penginterpretasian. Alat tes kategori ini memerlukan pemahaman
yang substansif tentang testing. Penggunaan alat tes kategori ini membutuhkan
pelatihan dalam bidang profesional khusus dimana tes ini digunakan (misalnya
psikologi sekolah, klinis, atau konseling).

Secara khusus, tes kategori ini hanya dapat dipergunakan oleh mereka yang
memperoleh pendidikan minimum, master di bidang psikologi atau bidang-bidang
yang berkaitan. Juga diperlukan verifikasi tentang ijin atau sertifikat sebagai
psikolog. Tes-tes level C umumnya mencakup beberapa tes diagnostik klinis,
kepribadian, bahasa, atau bakat, baik kelompok maupun individual. Sebagai
contoh, yang termasuk instrumen kategori ini adalah tes kecerdasan individu, tes
proyektif, dan tes battery neuropsikologi.5

C. Siapa Yang Bertanggung Jawab Untuk Mengamankan Perangkat Tes

Betapa sulit dan bukan pekerjaan yang mudah untuk mengkonstruksi suatu tes
psikologi. Karena itu, bila suatu tes telah dikanstruksi dan telah terbukti manfaatnya
untuk keperluan diagnostik. sangat perlu untuk mengamankannya dan menjaga
keobjektifanmya. Hal ini menjadi tanggung jawab para ahli yang selalu menggunakan
materi tes tersebut. Cronbach (1969). Memberikan pendapat tentang siapa yang berhak
menggandakan dan mendistribusikan material tes psikologi.

Dalam hal ini, penggandaan materi tes hanya diperkenankan oleh penerbit yang
memiliki kualifikasi untuk itu. serta terbatas adanya. Semakin sulit tes tersebut delam
interpretasinya, semekin terbatas badan yang dapat menerbitkannya. Untuk prinsip sistem
kendali pendiatribusian ini lihat Ethical Standards of Paychologist dari American
Psycological Association 1986 (dalam Cronbach, 1969). Sebagaimana telah dijelaskan di
atas, terdapat tiga kategori tes dilihat dari kompleksitasnya. yaitu level A level B. dan

5
Esty Aryani Safithry, Asesmen Teknik Tes Dan Non Tes, Purwokerto : Cv IRDH, 2018. Hlm. 98-98.
level C. Berdasarkan level tersebut, dapat diterapkan siapa yang bertanggung jawab untuk
pengendalian dan pendistribusiannya disamping penggunaannya.

D. Bagaimana Seharusnya Seorang Diagnostikus Bersikap dan Bertingkah Laku


dalam Suatu Pemeriksaan Psikologi

Hal ini menyangkut etika pengetesan, relasi antar pemeriksa dan subjek yang
diperiksa melalui suatu good raport. Kouwer memberi gambaran tentang sikap dan
tingkah laku pemeriksa dalam pemeriksaan psikologi berdasarkan bahasan fungsi dan
tujuan tes. Secara ringkas hal itu dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Etika dalam tes meramalkan/memprediksikan Pembatasan dalam pengetesan ini


hanya pada aspek-aspek yang dapat dikuantifikaskan, Yang diukur adalah bukan
kliennya sendiri, tetapi fakta objektif yang berhubungan denganrya. Jadi manusia
berada diluar hasil objektif yang dihasikannya. Karena itu, sikap pemeriksa adalah
sikap teknis, praktis dan pragmatis dalam membahas hasilnya. Bahasan hasil adalah
rasional dan aspek emosional harus dilupakan.

2. Etika dalam tes mendeskripsikan Yang diperhatikan bukan klien atau subjek, tetapi
karakternya. sifatsifatnya yang khas, yang dianggap sebagai sebab dari tingkah
lakunya. Pada umumnya persyaratan etika tes meramalkan berlaku juga disini.
Pemeriksa memberikan saran sesuai dengan hasil pemeriksaan terhadap subjek dan
noma yang berlaku. Pendapat pribadi adalah sentral. pemeriksa tidak melakukan
pendekatan teknik, tetapi mencari peryelesaian yang menurut dirinya baik.

3. Etika dalam tes menemukan diri sendiri Pemerikaa tidak boleh mengambil sebagian
dari problematika subjek yang diperiksa. Tidak boleh mengambi/mengalihkan
tanggung jawab probiematika subjek yang diperiksa. Pemeriksa mempunyai
pandangan bahwa subjek dapat memecahkan problemnya sendiri serta bertanggung
jawab atas altermatit pemecahan problem yang telah dipilihnya. Pertolongan yang
diberikan pemeriksa hanya terbatas pada memberi kemungkinan untuk suatu
permecahan masalah.

Secara umum hubungan yang terjalin antara pemeriksa dengan subjek yang diperiksa
haruslah tetap hubungan antar manusia yang saling menghormati, saling menjaga dan
saling menghargai (Sumardi Suryabrata, 1971). Dari dasar ini dapat ditarik suatu sikap
hubungan seperti :
1. Tidak menganggap subjek sebagai pasien atau penderita yang membutuhkan
pertolongan, melainkan sebagai manusia yang mempunyai harga diri, keinginan-
keinginan tertentu dengan menghargai juga latar belakang agama, politik dan
lingkungan sosialnya

2. Menjaga rahasia pribadi subjek.

3. Membuat diagnosa dengan penuh hati-hati.

4. Dengan penuh simpati berusaha memahami kesulitan-kesulitan subjek

5. Menciptakan rasa aman bagi subjek yang diperiksa selama pemeriksaan


berlangsung6.

E. Prinsip Tes Psikologi

Prinsip Kode Etik menurut APA (American Psychological Association)

Prinsip 1 : Mengenai Tanggung jawab Diutarakan, bahwa dalam komitmennya terhadap


pemahaman atas perilaku manusia, psikolog menghargai obyektivitas dan integritas, dan
dalam menyediakan pelayanannya, mereka memelihara standar profesi yang tertinggi.
Mereka menerima tanggung jawab untuk konsekuensi pekerjaannya dan membuat setiap
usahanya bahwa pelayanan mereka digunakan sesuai keperluannya.

Prinsip 2: Mengenai Kompetensi Terpeliharanya standar kompetensi professional yang


tinggi merupakan tanggung jawab yang disumbangkan semua psikolog. Psikologi
memahami lingkup kompetensi dan keterbatasan teknik-tekniknya dan hanya
menyediakan pelayanan menggunakan teknik atau pendapat secara professional yang
menghargai standar-standarnya. Psikologi menjaga pengetahuan informasi ilmiah dan
professional mutakhir berhubungan dengan pelayanan yang diberikannya.

Prinsip 3: Mengenai Standar Moral dan Hukum Dalam hal perilaku yang menyangkut
moral dan etik, serta legal psikolog mengakuinya sebagai masalah pribadi yang sama
dengan warga lainnya.

6
Esty Aryani Safithry, Asesmen Teknik Tes Dan Non Tes, Purwokerto : Cv IRDH, 2018. Hlm. 100-101.
Prinsip 4: Mengenai Pertanyaan Publik Pertanyaan public pengumuman mengenai
pelayanan dan aktivitas promosional untuk membantu public pelanggan dalam membuat
pilihan dan penilaian dilandasi informasi yang memadai.

Prinsip 5: Mengenai Konfidensialitas Perlindungan atas informasi mengenai seseorang


yang telah didapat psikolog dari proses mengajar, praktik, atau investigasi merupakan
kewajiban utama psikolog. Informasi semacam itu tidak dikomunikasikan kepada orang
lain, jika memang tidak penting.7

Prinsip 6: Mengenai Kesejahteraaan Pengguna Psikolog menghargai Integrasi dan


melindungi kesejahteraan dan kelompok yang bekerjasama dengannya. Jika terdapat
konflik kepentingan antara klien dna institusi tempat psikolog bekerja, para psikolog
menjelaskan keadaan dan arah loyalitas dan tanggung jawab mereka dari memegang
teguh setiap hal yang dinyatakan mengenai komitmennya. Psikolog secara penuh
menginformasikan tujuan dan hakekat prosedur evaluasi, penanggulangan, pendidikan,
dan pelatihan. Mereka secara bebas memberitahu bahwa klien, mahasiswa, atau
partisipasi dalam riset memiliki kebebasan untuk memilih sebelum berpartisipasi.

Prinsip 7: Mengenai Relasi Profesional Psikolog bertindak dengan anggapan yang jelas
mengenai kebutuhan kompetensi khusus, dan kewajiban kolega-koleganya dalam
psikologi dan profesi lain. Psikolog menghormati prerogative, kewajiban institusi dan
organisasi tempat mereka bergabung.

Prinsip 8: Mengenai Penggunaan Teknik-Teknik Asesmen Dalam pengembangan,


publikasi, dan penggunaan teknik-teknik asesmen psikologis, psikolog mempertahankan
standar APA yang relevan. Orang-orang yang diperiksa mempunyai hak untuk
mengetahui hasil, penafsiran dan jika diperlukan, data asli yang menjadi dasar
penilaian/keputusan. Penggunaan tes menghindari informasi yang tidak diperlukan, tetapi
menyediakan informasi yang menerangkan dasar keputusan.

Prinsip 9: Mengenai Pencarian Dalam Aktivitas Riset Keputusan untuk melakukan riset
harus didasarkan pertimbangan8 psikolog secara individual tentang sumbangannya pada
ilmu psikologi dan kesejarteraan manusia. Para psikolog melaksanakan investigasi
dengan menghargai orang-orang yang terlibat dan dengan kepedulian atas harga diri dan
kesejahteraannya.
7
Esty Aryani Safithry, Asesmen Teknik Tes Dan Non Tes, Purwokerto : Cv IRDH, 2018. Hlm.102.
8
Esty Aryani Safithry, Asesmen Teknik Tes Dan Non Tes, Purwokerto : Cv IRDH, 2018. Hlm.103.
The Canadian Guidance and Counseling Association (1982), mempublikasikan
sebelas prinsip khusus yang mencakup etika cara pemakaian tes psikologis, yaitu :

1. Guru pembimbing atau konselor harus mengakui batas kompetensinya dan tidak
memberikan layanan testing atau menggunakan teknik-teknik di luar persiapan
dan kompetensinya atau yang tidak memenuhi standar professional yang
ditetapkan.

2. Guru pembimbing atau konselor harus mempertimbangkan atau menetapkan


dengan cermat dan teliti validitas, rebilitas, dan ketetapan tes tertentu sebelum
memilih untuk digunakan pada klien tertentu.

3. Pada umumnya,hasil-hasil tes hanya memberikan satu macam factor yang tepat
bagi keputusan staf bimbingan dan konsling.

4. Apabila hasil tes dan data penilaian lainnya digunakan untuk menilai komunikasi
dengan orang tua individu atau orang lain yang tepat maka mereka harus disertai
dengan interpretasi yang adekuat.

5. Skor tes psikologi (sebagai pembanding dengan interpretasi hasil- hasil tes)

6. Apabila memberikan beberapa sistemen pada umum tentang tes dan testing, maka
diperlukan ketelitian untuk memberikan informasi secara adekuat dan menghidari
terjadinya kesalahpahaman.9

7. Tes harus dilaksanakan sebagaimana yang ditetapkan dalam manual (buku


petunjuk) pelaksanaan tes.

8. Tes psikologi dan alat-alat lainnya, yang penilaiannya sebagian besar dapat
dipercaya apabila orang yang mengambilnya adalah terbatas dengan minat
professional dan kompetensi seseorang sehingga mereka akan berupaya
melindungi penggunaannya.

9. Guru pembimbing atau konselor memiliki tanggung jawab untuk memberitahukan


kepada peserta testing tentang tujuan testing.

9
Esty Aryani Safithry, Asesmen Teknik Tes Dan Non Tes, Purwokerto : Cv IRDH, 2018. Hlm. 104.
10. Guru pembimbing atau konselor harus bekerja dengan teliti dalam menilai dan
menginterpretasikan minoritas anggota kelompok atau orang lainnya yang tidak
menyajikan norma-norma kelompok terhadap pembekuan instrument.

11. Konselor tidak pantas mereproduksi atau memodifikasikan susunan tes itu tanpa
memperoleh izin dan mengenal kemampuan pengarang penerbit dan pemegang
hak cipta.

Sedangkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)


mengemukakan sebagai berikut :

1. Suatu jenis tes hanya boleh diberikan oleh petugas yang berwanang menngunakan
dan menafsirkan hasilnya. Konselor harus selalu memeriksa dirinya apakah ia
mempunyai kewenangan yang dimaksud.

2. Testing diperlukan bila dibutuhkan data tentanng sifat atau ciri lebih luas,
misalnya, taraf intelegensi, bakat,minat, dan kecenderungan pribadi
seseorang.Data yang diperoleh dari hasil testing itu harus diintegrasikan dengan
informasi lain yang telah diperoleh dari klien sendiri atau sumber lain.10

3. Data hasil testing harus dilakukan setara dengan seperti data atau informasi lain
tentang klien.

4. Konselor harus memberikan orietasi yang tepat kepada klien mengenai alasan
digunakannya tes dan apa hubungannya daengan masalahnya.

5. Hasil testing hanya dapat diberitahukan kepada pihak lain sejauh pihak yang
diberitahu itu ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada klien dan tidak
merugikan klien.

6. Pemberian sesuatu jenis tes harus mengikuti pedoman atau petunjuk yang berlaku
bagi tes yang bersangkutan.

10
Esty Aryani Safithry, Asesmen Teknik Tes Dan Non Tes, Purwokerto : Cv IRDH, 2018. Hlm. 105.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berkaitan dengan materi etika dan prinsip dalam pemeriksaan psikologi diketahui
bahwa tes psikologi tidak akan ada manfaatnya ditangan yang tidak ahli atau bila salah
penyelenggaraan dan interpretasi berdampak besar karena itu semua menyangkut dalam
kehidupan manusia. Masalah etika dalam pemeriksaan psikologi berhubungan erat
dengan etika bidang psikologi pada umumnya.

Lalu yang berhak melakukan diagones psikologi telah dikatakan bahwa dilihat dari
penyelenggaraan tes, ada diagnosis psikologi yang dapat dilakukan oleh bukan ahli
psikologi, atau orang yang tidak mendapat pelatihan dan pendidikan khusus untuk itu.
Tetapi ada yang benar-benar harus dilaksanakan oleh ahli yang kompeten untuk hal itu
dan mereka mendapat pendidikan khusus.
Bila suatu tes telah dikanstruksi dan telah terbukti manfaatnya untuk keperluan
diagnostik. sangat perlu untuk mengamankannya dan menjaga keobjektifanmya. Hal ini
menjadi tanggung jawab para ahli yang selalu menggunakan materi tes tersebut.

Singkatanya bagaimana seharusnya seorang diagnostikus ebrsikap dan bertingkah


laku dalam suatu pemeriksaan psikologi yaitu dengan tidak menganggap subjek sebagai
pasien atau penderita yang membutuhkan pertolongan, melainkan sebagai manusia yang
mempunyai harga diri, keinginan-keinginan tertentu dengan menghargai juga latar
belakang agama, politik dan lingkungan sosialnya. Beberapa prinsip tes psikologi juga
perlu diperhatikan sebagai bagian dari kode etik menurut APA (American Psychological
Association).

B. Kritik dan Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnan. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari teman-teman yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.Penulis juga menyarankan pembaca untuk banyak membaca
buku-buku yang berkaitan guna mengurangi kesalahpahaman jika terjadi kesalahan dalam
penulisan.

DAFTAR PUSTAKA

Murya, Adnan. 2019. Etika Dan Tanggung Jawab Profesi. Yogyakarta : Deepublish.

Safithry, Esty Aryani. 2018. Asesmen Teknik Tes Dan Non Tes. Purwokerto : Cv Irdh.

Yarsadin. 2018. Asas Kebebasan Berkontrak Syariah. Jakarta : Prenada Media.

Anda mungkin juga menyukai