Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“AKAD JUAL BELI (AL-BUYU’)1”

Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur dalam mata kuliah

FIQIH MUAMALAH II

Disusun oleh :
DELVIA : 3219311

Dosen Pembimbing :
ZULFIKRI MA

Kelas : EI – 4H
Jurusan Ekonomi Islam
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam (FEBI)
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kegiatan berbisnis adalah salah satu kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
sehari-hari, dalam hal ini adalah jual beli.Hampir setiap hari, manusia tidak bisa lepas dari yang
namanya jual beli.

1. Islam menganjurkan untuk memproduksi barang yangbermanfaat yang dapat dirasakan


oleh masyarakat luas. Barang baik merupakan penamaan umum untuk segala sesuatu
yang baik,berupa jasa ataupun barang konsumsi. Barang itu secara umumdapat berupa
makanan pokok, tempat tinggal, pakaian, dan produksi barang jadi yang jelas
kehalalannya.
2. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang jual beli yang berprinsip syariatsangat diperlukan.
Salah satu contoh real dari konsep ini adalah dibolehkannya beberapa akad yang banyak
terjadi dikehidupan masyarakat sebagai sebuah bentuk hukum atau syariat oleh Allah
SWT. Ketetapan hukum diambil, dengan tujuan memberikan kemudahan bagi
masyarakat dalam mengaplikasikan kepentingan mereka dan menjawab kebutuhan
yang dibolehkan syari’at. Jual beli barang merupakan transaksi paling kuatdalam dunia
bisnis, bahkan itu adalah bagian paling terpentingdalam sebuah usaha.Dalam
pemenuhan kebutuhan tersebut diantaranyaadalah dengan cara jual beli yang terjadi
dalam masyarakat. Dalam jual beli terdapat unsur kesepakatan antara penjual dan
pembeli.

Jual beli terdiri dari dua macam, yaitu jual beli tunai dan jual beli secara DP (down
payment). Jual beli secara tunai adalahtransaksi yang sistem pembayarannya langsung tanpa
adanya cicilan. Sedangkan jual beli secara DP (down payment) adalah transaksiyang dilakukan
secara hutang dengan sistem pembayarannya berupa cicilansesuai kesepakatan antara pembeli
dan penjual. Jual beli dengan sistem tangguh terbagi menjadi tiga, yaitu jual beli murābaḥah,
Salām dan Istiṣna῾. Jual beli Salām dan Istiṣna῾sebenarnya jual beli yang serupa, perbedaannya
terletak pada keberadaan barang yang dijadikansebagai objek akad dan sistem pembayaran
yang sedikit berbeda.

Jual beliSalām (Bai’ Salām ) merupakan jual beli barang yang disebutkan sifatnya dalam
tanggungan atau memberi uang di depan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian untuk
waktu yang ditentukan.

Sedangkan jual beli Istiṣna’(Bai῾ Al-Istiṣna῾) adalah jual beli barang dan jasa yang disebutkan
sifatnya, dengan sistem pembayaran di muka, dicicil, dan di akhir.7 Jual beli ini boleh dilakukan
dalam semua yang biasa dibuat sesuai dengan pesanan. Salah satu sistem jual beli di
masyarakat yang berkembang pesatialah sistem pesan barang yang tidak ada di tempat (inden).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan akad jual beli.

2. Menjelaskan rukun akad jual beli.

3. Menjelaskan syarat-syarat sah jual beli.

4. Menjelaskan pengertian akad

5. Menjelaskan rukun dan syarat akad

6. Menjelaskan macam-macam akad

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui apa itu akad jual beli.

2. Untuk mengetahui apa saja rukun akad dalam jual beli.

3. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat sah dalam akad jual beli.

4. Untuk mengetahui pengertian dari akad

5. Untuk mengetahui rukun dan syarat akad

6. Untuk mengetahui macam-macam akad


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN JUAL BELI


Jual beli secara istilah syara’ adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang
yang mempunyai nilai secara ridha diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-
benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah
dibenarkan syara’ dan disepakati.
Didalam fikih muamalah jual beli diartikan sebagai Pertukaran (‫ م‬sesuatu dengan
sesuatu yang lainnya).1 Sedangkan menurut Hanafiah pengertian jual beli (al-bai’) yaitu tukar
menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara
tertentu yang bermanfaat.2 Sedangkan menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa
jual beli (al-bai’) yaitu tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik
dan kepemilikan.3
Berdasarkan dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli merupakan
suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang dengan barang, uang dengan barang yang
mempunyai nilai dengan pemindahan kepemilikan benda tersebut yang dilakukan secara
sukarela diantara kedua belah pihak dan sesuai dengan aturan hukum di dalam Islam. 4

B. LANDASAN HUKUM JUAL BELI


Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai
landasan yang kuat, baik landasan tersebut bersumber dari dalil naqli (Al-quran dan hadis)
maupun dalil aqli.
1. Al-quran, diantaranya; Terdapat beberapa jumlah ayat Al-quran yang berbicara
mengenai jual beli, di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 275:

Artinya; Orang-orang yang Makan mengambil riba tidak dapat berdiri melainkan
sepertiberdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.Keadaan
1
Rachmat Syafei, Fiqih muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 73
2
Al-Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: dar al-Fikr, 2005), 112.
3
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah: Figh Muamalah (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2013), 101.
4
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta:
Kencana, 2009), 15.
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya. 5

Di dalam surat al-Baqarah juga disebutkan:

Artinya: ‚Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain dengan jalan berbuat dosa,
padahal kamu mengetahui.‛ (al-Baqarah 2: 188)6

2. As- sunnah

Hal ini sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rosulullah saw;

Artinya: ‚Rasulullah saw melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.‛9 Maksudnya
dalam hadis di atas adalah Rasul melarang melakukan jual beli al-hashah dan jual beli
gharar yang mengandung unsur ketidakjelasan dan penipuan, serta dapat merugikan
orang lain.

Artinya: ‚Jual beli harus dipastikan harus saling meridai.‛ (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah).

3. Ijma’
Ulama’ telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan
mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan
atau barang milik orang lain yang sudah dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya
yang sesuai.

D. SYARAT DAN RUKUN JUAL BELI


5
Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemah (Jakarta: Mikraj Khazanah Ilmu, 2010), 25
6
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, 16.
Menurut ulama Hanafiyah rukun jual beli ialah ijab (ungkapan membeli dari pembeli)
dan qabul (ungkapan menjual dari penjual) yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha,
baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Adapun rukun jual beli menurut jumhur Ulama
ada empat yaitu :7
1. Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
2. Shighat (ijab dan qabul)
3. Ma’qud alaih (Benda atau barang)
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Adapun syarat dari jual beli yang sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan oleh jumhur
Ulama di atas adalah sebagai berikut :
1. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
a. Berakal Orang yang berakad haruslah berakal, artinya jika dia gila atau bodoh maka
tidak sah jual belinya. Orang berakal dapat membedakan atau memilih mana yang
terbaik bagi dirinya dan orang lain. Apabila salah satu pihak tidak berakal maka jual beli
yang diadakan tidak sah.
b. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.
c. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa) Maksudnya, dalam jual beli tidak terdapat
unsur paksa yang dapat merugikan, baik bagi si penjual maupun pembeli. Sehingga
pihak yang lain tersebut melakukan perbuatan jual beli bukan lagi disebabkan
kemauannya sendiri, tapi disebabkan adanya unsur paksaan.
d. Baligh atau dewasa Anak kecil tidak sah melakukan jual beli. Dikatakan dewasa dalam
hukum Islam ialah apabila telah berumur 15 tahun, atau telah bermimpi (bagi anak laki-
laki) dan haid (bagi anak perempuan)

2. Syarat Benda atau Barang yang Menjadi Obyek Akad


a. Suci
Suci adalah syarat yang harus ada pada benda tersebut untuk melakukan transaksi.
b. Ada manfaatnya
7
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. II, 2007), 115.
surat al-Isra’ ayat 2713 yang berbunyi;
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudara setan,‛. Jual beli seperti serangga, ular,
dan tikus tidak diperbolehkan kecuali untuk dimanfaatkan”. Juga, boleh menjual belikan
kucing, lebah, singa, dan binatang lainnya yang berguna untuk berburu atau
dimanfaatkan kulitnya. Demikian pula memperjual belikan gajah untuk mengangkut
barang, burung merak, burung beo yang bentuknya indah sekalipun tidak untuk
dimakan tetapi dengan tujuan menikmati suara dan bentuknya.
c. Barang itu dapat diserahkan
Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli,
misalnya ikan di dalam laut, barang rampasan yang masih ada ditangan yang
merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya
atau gharar.
d. Milik sendiri Objek dari jual beli haruslah milik sendiri. Tidak dapat dikatakan jual beli
yang sah apabila barang tersebut miik orang lain. Jikalau jual beli berlangsung sebelum
ada izin dari pemilik barang, maka jual beli seperti itu dinamakan bai’ fudul. 8
3. Syarat ijāb dan qabul
Para Ulama fikih sepakat bahwa unsur utama dari jual beli yaitu kerelaan dari kedua belah
pihak. Apabila ijab dan qabul telah diucapkan dalam akad jual beli maka pemilikan barang
atau uang telah berpindah tangan dari pemilik semula. Barang yang dibeli berpindah tangan
menjadi milik pembeli, dan nilai/ uang berpindah tangan menjadi milik penjual. Para Ulama
fikih mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu adalah sebagai berikut:
a. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b. Qabul sesuai dengan ijab.
c. Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis atau satu tempat.
d. Ijab dan qabul dinyatakan di satu tempat. Konkritnya, kedua pelaku transaksi hadir
bersama di tempat atau transaksi dilangsungkan di satu tempat dimana pihak yang absen
mengetahui terjadinya pernyataan ijab

E. AKAD dalam JUAL BELI


8
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, 76.
1. Pengertian
Akad (adalah ikatan, perjanjian, dan pemufakatan.) Menurut istilah, akad adalah suatu ikatan
antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-
akibat hukum pada objeknya.23 Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan
yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab dan
qabul itu diadakan dengan maksud untuk menunjukkan adanya sukarela timbal balik terhadap
perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan. Dari pengertian tersebut, akad
terjadi antara dua pihak dengan sukarela dan menimbulkan kewajiban atas masing-masing
secara timbal balik.
2. Rukun dan syarat akad
Rukun-rukun akad ialah sebagai berikut:9
a. Aqid (orang yang berakad)
b. Ma’qud alaih (benda-benda yang diakadkan)
c. Maudu’ al aqd (tujuan atau maksud pokok mengadakan akad)
d. Sighat al aqd ialah ijab dan qabul.
3. Macam-macam Akad
Menurut Ulama fikih akad dapat dibagi dari berbagai segi. Apabila dilihat dari segi
keabsahannya menurut syara’, maka akad dibagi dua macam, yakni:
a. Akad sahih Yang dinamakan dengan akad yang sahih yaitu akad yang telah memenuhi
syarat dan rukun. Dengan demikian segala akibat hukum yang ditimnbulkan oleh akad itu
berlaku kepada kedua belah pihak.
b. Akad yang tidak sahih Tidak akan sahih akad tersebut jika terdapat kekurangan pada
rukun atau pada syaratnya, sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang
melakukan akad itu.

F. HAL –HAL DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI


Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan berinteraksi.
Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi yang dilakukan sah atau tidak,
lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB, yaitu Maisir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.
9
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, 45.
1. Maisir : Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir
berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan
perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan
cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi. Padahal
islam mengajarkan tentang usaha dan kerja keras. Larangan terhadap maisir / judi sendiri sudah
jelas ada dalam AlQur’an (2:219 dan 5:90)
2. Gharar : Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Terdapat juga mereka yang
menyatakan bahawa gharar bermaksud syak atau keraguan. Setiap transaksi yang masih belum
jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli
gharar.
3. Haram : Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi nya
menjadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
4. Riba : Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran. Ayat-ayat
mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap. Tahapan-tahapan turunnya ayat dimulai
dari peringatan secara halus hingga peringatan secara keras.
5. Bathil : Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada
kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama rela dan adil
sesuai takarannya.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam pembahasan makalah ini, saya dapat menyimpulkan bahwa muamalah ialah
tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang
ditentukan. Hal yang termasuk muamalah yaitu:
1. Jual beli yaitu penukaran harta atas dasar saling rela. Hukum jual beli adalah
mubah, artinya hal tersebut diperbolehkan sepanjang suka sama suka.
2. Menghindari riba.
Dalam pelaksanaan jual beli juga ada rukun jual beli yaitu:
1. Penjual dan pembeli
2. Uang dan benda yang dibeli
3. Lafaz ijab dan Kabul

B. SARAN
Kita sebagai umat muslim agar memperhatikan hukum muamalah dan tata cara
jual beli yang sah menurut agama islam. Dan kita juga harus memperhatikan riba yang
terkandung didalam hal jual beli tersebut, karena terdapat hadist yang mengharamkan
riba dalam islam.

DAFTAR PUSTAKA

Haroen ,Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. II, 2007).

Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemah (Jakarta: Mikraj Khazanah Ilmu, 2010).

Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah: Figh Muamalah (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2013).
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (Jakarta: Kencana, 2009).

Syafei , Rachmat, Fiqih muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001).

Zuhaily , Al-Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: dar al-Fikr, 2005).

PERTANYAAN!!!

1. Bagaimana Hukumnya Memasukkan Mobil di Pasar Lelang dan Menawarkannya Kepada


Para Pengunjung, Namun Tidak Untuk Menjualnya Hanya Untuk Mengetahui Harga
(Pasarnya)?
2. Apa pendapat kalian tentang alat tukar jual beli yg digunakan di Indonesia sudah sesuai
dgn rukun/syarat jual beli? Beserta alasannya!
3. Bagaimana hukum jual beli online dalam ajaran islam?

Anda mungkin juga menyukai