Anda di halaman 1dari 10

BAHAN AJAR

KONSEP DASAR PIDATO/KHUTBAH

A. Pengertian Pidato, Khutbah, dan Fungsinya


1. Pengertian pidato dan khutbah.

Pidato dan khutbah, keduanya merupakan bentuk


pelaksanaan dakwah. Pidato dan Khutbah analog dengan
Tablig, yang berarti “menyampaikan atau penyampaian”.
Walaupun pidato terdiri dari pidato resmi dan tidak resmi,
tetapi berdasarkan tujuan mata kuliah ini maka yang akan
dipelajari adalah pidato keagamaan (Islam). Karena itu, yang
dimaksud dengan pidato di sini adalah penyampaian ajaran
Islam di hadapan orang banyak untuk dimengerti dan
dilakasanakan, agar mereka mendapatkan kebahagiaan dan
keselamatan di dunia dan di akhirat. Sedangkan khutbah
diartikan sebagai usaha menyampaikan ajaran Islam kepada
umat Islam menurut syarat dan rukunnya pada waktu
tertentu, agar dimengerti dan dilaksanakan sehingga
mereka mendapatkan kebahagian dan keselamatan di dunia
dan di akhirat.
Berdasarkan pengertian pidato dan khutbah di atas,
keduanya mengandung makna “motivatif” terhadap apa
yang seharusnya dilakukan dan tidak boleh dilakukan
menurut ajaran Islam, bagaimana melakukan atau
mininggalkan sesuatu yang harus ditinggalkan. Perlu
diketahui bahwa pidato dan khutbah, tujuan utamanya
adalah menyelesaikan masalah, bukan menimbulkan
masalah. Karena itu muballig yang isi pidato atau
khutbahnya hanya menimbulkan masalah, maka “ia tidak
layak disebut muballig”, lebih tepat disebut sebagai
“propokator”. Itulah sebabnya sehingga menjadi muballig
yang baik tidaklah mudah, sebab memerlukan pemahaman
dan latihan yang cukup.
Walaupun pidato dan khutbah memiliki kesamaan,
tetapi keduanya memilki perbedaan yang mendasar.
Khutbah memiliki sayarat-syarat dan rukun yang ditetapkan
oleh syari’at, sehingga jika syarat atau rukunnya tidak
terpenuhi maka khutbah itu tidak sah, dan dilaksanakan
pada waktuwaktu tertentu dan jamaah tertentu (umat
Islam), seperti khutbah jum’at dan khutbah ‘Id. Sedangkan
pidato tidak memiliki syarat dan rukun, dan dapat dilakukan
kapan saja dan ke-pada siapa saja.
Syarat khutbah yaitu dilakukan oleh laki-laki yang
mukallaf, tidak berhadats, dan mengerti syarat dan rukun
khutbah, disampaikan di hadapan jamaah muslim atau
muslimah pada waktu dan tempat yang disyariatkan. Rukun
khutbah ada 6 (enam), yaitu: (1) membaca hamdalah pada
dua khutbah, (2) membaca syahadatain pada dua khutbah,
(3) membaca selawat pada dua khutbah, (4) berpesan
tentang takwa pada khutbah pertama, (5) membaca ayat
pada khutbah pertama (6) membaca do’a pada khutbah
kedua.

2. Fungsi pidato dan khutbah.

Walaupun orang atau manusia tidak pernah akan


berubah kalau bukan orang itu mengubah dirinya sendiri,
tetapi tidak sedikit orang tidak berubah hidupnya karena
mereka tidak mengerti arti perubahan pada dirinya. Banyak
juga orang mengerti tentang arti perubahan tetapi mereka
tidak memiliki kesadaran untuk melakukan perubahan, dan
ada juga orang yang memiliki kesadaran akan pentingnya
perubahan tetapi tidak memiliki pengetahuan untuk
melakaukan perubahan. Karena itulah pidato dan khutbah
mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia
seperti itu.
Dalam hal ini, pidato dan khutbah setidaknya memiliki
4 (empat) fungsi:
1) Pidato dan khutbah berfungsi untuk memberikan
pengertian. Misalnya, banyak orang tidak mau shalat kare-
na tidak mengerti apa itu shalat, maka pidato dan khutbah
mempunyai fungsi untuk memberikan pengertian apa itu
shalat.
2) Pidato dan khutbah berfungsi untuk membangkitkan
kesadaran. Misalnya, banyak orang tidak melaksanakan
shalat bukan karena mereka tidak mengerti, tetapi mereka
belum menyadari tentang pentingnya shalat. Keadaan
seperti ini, pidato dan khutbah mempunyai fungsi untuk
membangkitkan kesadaran dengan menjelaskan dan
menunjukkan bahwa shalat bukan sematamata kewajiban,
tetapi lebih dari pada itu, shalat merupakan kebutuhan
bagi manusia di dunia dan di akhirat.
3) Pidato dan khutbah berfungsi untuk mengaktualisasikan
dalam tingkah laku. Misalnya, banyak orang ingin
melaksanakan shalat karena mereka sudah mengerti
tentang shalat, sudah sadar akan pentingnya shalat, tetapi
mereka belum mengetahui bagaimana caranya
melaksanakan shalat. Maka situasi seperti ini, pidato dan
khutbah berfungsi untuk memberi tuntunan agar mereka
dapat mengetahui cara melaksanakan shalat. Jika mereka
harus belajar tentang shalat, pidato dan khutbah berfungsi
untuk menjelaskan bagaimana caranya belajar shalat dan
dimana mereka harus belajar.
4) Pidato dan khutbah berfungsi untuk melestarikan ajaran
Islam dalam kehidupan. Misalnya, orang sudah
melaksanakan shalat tetapi suatu ketika bisa saja berhenti
melaksanakan shalat karena berbagai faktor. Kerena itu,
pidato dan khutbah berfungsi untuk melestarikannya
melalui tiga langkah, pertama melakukan tindakan
preventif dengan menjelaskan kepada jamaah akan hal-hal
yang dapat meneyebabkan seseorang berhenti
melaksanakan shalat untuk dihindari, kedua melakukan
tindakan edukatif sehingga kesadaran jamaah semakin
meningkat akan pentingnya shalat sebagai suatu
kebutuhan, dan ketiga melakukan tindakan rehabilitatif,
yaitu bagi orangorang yang telah meninggalkan shalat,
harus dibangkitkan kesadarannya untuk dapat
melaksanakan shalat kembali.

B. Seni Berpidato dan Khutbah.

Gaya atau seni dalam menyajikan materi yang timbul


dari luapan emosi, dapat berwujud dalam bentuk pene-kanan
suara pada saat mengucapkan katakata, mengacung-
acungkan tangan, menggeleng-gelengkan kepala,
mengepalkan tangan, dan sebagainya. Semua itu apabila
dilakukan secara tepat dan wajar (tidak berlebihan) akan
sangat membantu pidato dan khutbah menjadi komunikatif.
Berikut ini ada beberapa hal yang perlu Anda perhatikan
sebagai seni berpidato atau khutbah.

1. Menuju dan Berdiri di Podium/-Tempat yang


Disediakan.

Setelah Anda dipersilahkan oleh pemandu acara,


berjalanlah ke mimbar atau tempat yang disediakan dengan
penuh percaya diri dan tidak tergesah-gesah. Berikan senyum
jika memang menjadi pembawaan Anda, tapi jangan
dipaksakan.
Pada saat Anda berada di podium atau tempat yang
disediakan, perbaikilah cara berdirinya terutama jika
tempatnya terbuka (bukan podium) Anda akan terlihat mulai
ujung rambut sampai ujung kaki, gunakan waktu beberapa
detik untuk membuat kontak batin dengan memandang
jamaah secara merata, pandanglah mereka dengan ceria dan
ikhlas. Tujuannya adalah untuk meraih perhatian kepada
jamaah dan menyakinkan mereka bahwa pidato Anda akan
berguna bagi mereka. Pandanglah secara merata kepada
jamaah, lakukanlah sepanjang Anda menyajikan materi.

2. Cara Memegang Mikrofon

Menurut Helena Olii (2007: 46) bahwa cara memegang


mikrofon harus dibedakan dengan yang memiliki standar,
tidak memiliki standar, dan jaraknya dari mulut.
Mikrofon yang ada standarnya, berhati-hatilah
menyentuhnya apa lagi jika Anda ingin mengatur posisinya
atau memindahkannya, sebab ada beberapa kemungkinan
bisa terjadi, seperti terjatuh, menimbulkan suara
mendengung sehingga dapat mengacaukan suasana. Kalau
hanya sekedar utuk meyakinkan apakah mikrofon sudah “on”
atau belum janganlah ditiup, cukup diketuk dengan pelan.
Mikrofon yang tidak memiliki standar, peganglah secara
wajar. Kabelnya jangan dimainkan dan dipakai bergaya
seperti penyanyi dipanggung, sebab Anda akan dinilai oleh
jamaah tidak sopan dan bermain-main.
Jarak mikrofon dengan mulut jangan terlalu dekat atau
terlalu jauh, idealnya maksimal 20 cm. Jarak yang terlalu
dekat akan mengakibatkan suara menjadi tidak jernih.
Sebaliknya, jarak yang terlalu jauh maka suara menjadi tidak
kedengaran dengan jelas.

3. Cara Berpakaian

Penampilan yang menawan dapat dinilai dari cara


berpakaian yang bersih, rapi, dan sesuai dengan suasana.
Pakaian yang mahal dan perhiasan yang berlebihan dapat
menimbulkan kesan pamer. Sebaliknya berpakaian seadanya,
dapat dinilai tidak menghargai jamaah. Jenis dan warna
pakaian harus disesuaikan dengan tempat, waktu, dan jenis
acara. Karena itu, perlu diketahui kapan acaranya, dimana
dilaksanakan, dan bagaimana situasinya (Olii, 2007).

4. Bahasa Isyart

a. Mengacung-acungkan tangan secara wajar, sebagai isyarat


untuk menyakinkan apa yang diucapkan.
b. Menggeleng-gelengkan kepala secara wajar, sebagai isyarat
ketidak setujuan akan sesuatu.
c. Mengepal-ngepalkan tangan secara wajar, sebagai isyarat
untuk diikuti.
d. Raut wajah ceriah – marah,
e. Tatapan mata tajam – sayup.
5. Kosa Kata

Pidato/khutbah yang disajikan secara lisan,


perbendaharaan kosa kata yang banyak sangat penting,
terutama sinonim dari setiap kata sebaiknya diperbanyak
(sinonim kata contoh: misalnya, umpama, seperti), untuk
digunakan secara bergantian sehingga penyajian materi tidak
terkesan kaku.

6. Intonasi

Intonasi adalah alunan suara dalam bentuk penekanan


pada kalimatkalimat tertentu yang muncul dari dorongan
emosi sebagai suatu isyarat tertentu. Misalnya, kata ”tidak”,
akan berbeda maknanya apabila diucapkan dengan nada
marah dengan diucap-kan dengan nada tidak marah. Intonasi
juga dapat berarti naik-turunnya suara ketika berbicara.
Misalnya, kalimat “apakah anda setujuuuu” (nada tinggi) ,
kalau kalian tidak setuju, kita tidak bisa berbuat apa-apa”
(nada rendah).
Intonasi dalam sebuah pidato atau khutbah, dapat
diterapkan melalui beberapa gaya, di antaranya sebagai
berikut:

1) Gaya Datar

Gaya ini tidak variatif, hampir tidak ada penekanan


suara pada kalimat-kalimat tertentu, suaranya tidak naik
turun. Gayab ini kebanyakan dipakai ketika orang
berkhutbah, atau berpidato dengan membaca teks.
Penyajian materi dengan suara datar akan terdengar
monoton, jika dilakukan di ruang terbuka atau di depan
jamaah yang banyak maka akan mengurangi daya tarik bagi
jamaah untuk mendengarkan.

2) Gaya Patah-Patah

Gaya ini sifatnya lamban, sesekali berhenti, terkadang


diantarai dengan nada seperti “em, ee”. Karena gayanya
lamban dan patah-patah, apabila dilakukan dengan penuh
penjiwaan maka materi akan mudah dipahami. Gaya ini tidak
cocok digunakan di ruang terbuka dengan jumlah jamaah
yang banyak (massa).

3) Gaya Lancar

Gaya ini sifatnya profokatif, dibawakan dengan penuh


semangat dengan suara yang lantang, titik koma hanya
sekedar digunakan untuk bernapas. Gaya ini akan banyak
mengeluarkan energy, dan gaya ini sangat cocok digunakan
untuk jamaah yang jumlahnya banyak untuk membakar
semangatnya, apalagi jika dilakukan di ruang terbuka.

4) Gaya Rekreatif

Gaya rekreatif (the speech to intertain) ini tujuan


utamanya adalah untuk menggembirakan atau menghibur,
melepaskan ketegangan, menggairahkan suasana. Gaya ini
hanya pada tahap perhatian, tidak mengikuti urutan bermotif
lengkap. Berhentilah ketika jamaah Anda masih
menginginkan Anda berpidato. Gaya ini dapat dilakukan
dengan bentuk pujian, humor, dan disampaikan dengan
wajah ceria, riang, gembira dan santai. Gaya ini cocok dipakai
di tempat-tempat perjamuan, kelompok kecil (Olii, 2007).

5) Gaya Variatif

Gaya variatif adalah gabungan dari beberapa gaya,


nadanya naik turun, pada kalimat-kalimat tertentu
diungkapkan dengan suara yang lantang, melengking dan
penuh semangat, disusul dengan nada rendah, datar dan
lembut dengan penuh perasaan, dan sesekali berhenti. Pada
saat berhenti Anda dapat melakukan komunikasi nonverbal
dengan menyesuaikan atau memaknai kata-kata yang baru
saja diungkapkan, seperti menggeleng-gelengkan kepala,
membuang muka, menampakkan raut wajah yang ceriah
atau sebaliknya. Gaya ini cocok diberbagai situasi dengan
jumlah jamaah yang tidak terlalu sedikit.

C. Langkah-langkah Berpikir Menyusun Pidato dan Khutbah.

Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam


menyusun sebuah pidato atau khutbah, antara lain sebagai
beriut:
1. Mengenal Jamaah

Materi pidato atau khutbah yang baik adalah materi


yang bersesuaian dengan kebutuhan, situasi dan kemampuan
kecerdasan penerimanya. Sebab boleh jadi sebuah materi
sangat cocok dan disukai oleh kelompok atau jamaah pada
situasi tertentu, tetapi tidak cocok dan tidak disukai oleh
kelompok atau jamaah tertentu lainnya pada situasi tertentu.
Jamaah adalah sejumlah orang yang dalam kesempatan
tertentu akan menjadi objek bagi seorang muballig. Karena
itu, seharusnya mereka dikenal. Apabila Anda mengenal
mereka, maka akan memudahkan Anda untuk menentukan
materi yang sesuai. Hal penting yang perlu Anda kenal bagi
jamaah, antara lain (1) Jumlahnya berapa dan tempatnya di
mana, apakah tempat terbuka atau tertutup, (2) Usia-nya,
apakah khusus remaja, khusus orang dewasa/orang tua, atau
gabung-an dari keduanya, (3) Jenis kelamin-nya, apakah
khusus laki-laki, khusus perempuan, atau gabungan dari ke-
duanya, (5) Pekerjaannya, apakah khusus pelajar, khusus
pengajar, pe-tani, pedagang, pejabat atau politisi,
pengangguran, atau gabungan dari mereka (6) Pendidikannya
(7) Lang-gam keagamaannya, apakah penga-nut aliran
tertentu, aktivis organisasi keagamaan seperti NU,
Muhammadiyah dan sebagainya (8) Adat dan budayanya (9)
Narapidana, tuna susila atau kecacatan, dan sebagainya
(Amrullah Ahmad:1983). Intinya adalah seorang muballig
harus mengenal segala bentuk permasalahan yang sedang
dialami dan dihadapi oleh masyarakat yang akan dijadikan
objek pidato/khutbah.

2. Materi Pidato/Kutbah

Materi pidato atau khutbah, sumber utamanya adalah


Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW., yang terdiri dari
“keimanan, ibadah atau syari’ah, dan pengalaman hidup
manusia atau akhlak”. Karena itu, materi pi-dato/khutbah
dapat berbentuk pesan-pesan tentang kesehatan, ekonomi,
pendidikan, teknologi, budaya, hukum, politik, dan segala
yang melingkupi kehidupan manusia.
Dalam hal memilih materi, sangat terkait dengan kondisi
jamaah seperti yang telah dikemukakan di atas. Karena itu,
memilih materi harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Materi pidato/khutbah tidak cukup hanya sekedar
diketehui, tetapi lebih dari pada itu materi yang akan
disampaikan harus dimengerti dari berbagai aspeknya.
2) Materi hendaknya bersifat konsumtif, yaitu materi harus
betulbetul dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang
sangat mendesak untuk disampaikan kepada jamaah.
Misalnya, jika jamaahnya adalah pelajar maka kebutuhan
mereka yang mendasar adalah mendapatkan ilmu
pengetahuan, jadi materi yang tepat adalah “cara belajar
yang efektif”.
3) Materi hendaknya bersifat up to date, yaitu materi yang
diplih hendaknya faktual, kondisional. Misalnya, ketika
banyak kejadian baik yang bersifat positif atau negatif,
maka materi yang tepat adalah “memberikan penjelasan
terhadap kejadian-kejadian seperti itu”.
4) Hendaknya materi itu bersifat sensetif metter, yaitu
materi yang di-pilih hendaknya bersifat menuntun.
Misalnya, ketika disampaikan bahwa setiap muslim dan
muslimah wajib melaksanakan shalat, maka harus diberi
tuntunan bagaimana caranya shalat, harus ditunjukkan di
mana harus belajar kalau jamaah perlu belajar, dan
seterusnya.
5) Hendaknya materi itu mempunyai faktor yang lebih,
setidaknya bersifat penyegaran. Artinya, setelah materi
itu disampaikan maka jamaah akan mendapatkan nilai
tambah dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti
menjadi mengerti, dan seterusnya. Minimal memperkuat
apa yang telah diketahui oleh jamaah. Ingat, jangan
sampai ma-teri yang disajikan justru jamaah lebih tahu
daripada Anda.

3. Menetapkan Judul dan Pokok-pokok Bahasan

Tema seringkali dikacaukan pengertiannya dengan judul


(topik), Tema merupakan jiwa dari sebuah pidato, sedangkan
judul merupakan nama yang diberikan yang diambil dari
tema itu. Karena itu, sebuah tema dapat melahirkan
beberapa judul, dari judul melahirkan beberapa pokok
bahasan.
Sebuah tema biasanya diambil dari peristiwa bersejarah,
seperti hari kemerdekaan, peringatan hari-hari besar
keagamaan, dan lain sebagaimana. Karena itu lahirnya
sebuah tema, pada hakikatnya dilatar belakangi oleh sebuah
peristiwa, demikian halnya dengan sebuah judul.
Bedasarkan apa yang dijelaskan di atas, maka sebuah
judul harus mencerminkan peritiwa atau keadaan yang akan
dijawab, kemudian disusun secara singkat, padat dan jelas
sehingga mudah diingat (singkat artinya tidak panjang, padat
artinya semuan apa yang dikehendaki sudah tercakup di
dalamnya, jelas artinya mudah di-mengerti).
Menurut Jalaluddin Rahmat (2000), Judul ukurannya
harus sesuai dengan pengalaman Anda, menarik minat
pendengar, sesuai dengan pengetahuan pendengar, harus
jelas ruang lingkupnya, sesuai dengan waktu dan situasi,
dapat ditunjang dengan bahan yang lain.
Sering kali kita mendengarkan sebuah pidato/khutbah
tanpa judul, sehingga pembahasannya melebar kemana-
mana, kita tidak tahu dari mana ia memuliai dan dimana ia
akan berakhir, sulit memahami apa sebenarnya yang ia
bicarakan. Karena itu, dalam sebuah pidato sebaiknya diberi
judul agar muballig fokus dan terarah pembicaraannya dan
jamaah mempunyai pegangan untuk mengikuti alur
pembahasan.
Walaupun dalam sebuah pidato/khutbah memiliki judul,
tetapi seringkali tidak disertai dengan pokok bahasan,
sehingga uraiannya melebar, melantur dan berulang-ulang
(tidak sistimatis).
Pokok bahasan dalam sebuah pidato atau khutbah
sebaiknya disebutkan lebih dari satu secara ideal (tidak
terlalu banyak). Hal ini sangat berguna untuk :

1) Membantu Anda untuk menguraikan isi materi scara


sistimatis, fokus dan terarah.
2) Dengan menyebutkan pokok-pokok bahasan satu persatu,
akan membantu jamaah meperoleh gambaran
menyeluruh tentang isi materi yang akan diuraikan,
sehingga membuat jamaah penasaran untuk
mendengarkan penjelasannya masingmasing.
3) Apabila waktunya terbatas, Anda dapat memilih salah
satu diantaranya yang nampak paling diminati oleh
jamaah untuk dijelaskan. Selebihnya, jamaah sudah ada
pengetahuan awal untuk mereka diskusikan pokok
bahasan yang belum dijelaskan walaupun tanpa kehadiran
Anda. Anda dengan mudah menarik kesimpulan pada
akhir uraian materi, karena pokok-pokok bahasan
merupakan cerminan dan intisari dari sebuah judul.

Pokok bahasan yang baik dalam sebuah pidato/khutbah


harus memenuhi tiga syarat (Jalaluddin Rahmat, 2000): (1)
Relevan, artinya ada hubungan dengan masalah yang dibahas
(judul), (2) Provokatif, yaitu menimbulkan hasrat ingin tahu
dan antusiasme pendengar, (3) Singkat, yaitu mudah
ditangkap maksudnya, pendek kalimatnya dan mudah
diingat.

4. Sistimatika Pidato dan Khutbah

Salah satu kriteria pidato dan khutbah yang baik adalah


yang disusun dengan menggunakan sistimatika yang baik dan
benar. Karena itu, langkah ini hendaknya tidak diabaikan.
Sistimatika sebuah pidato atau khutbah, jika dirinci,
terdiri dari pendahuluan atau mukaddimah, isi atau tubuh,
kesimpulan, dan penutup. Hal penting yang perlu diketahui
dari unsur-unsur pidato dan khutbah tersebut adalah apa
isinya dan bagaimana menguraikannya agar jelas dan mudah
dipahami oleh jamaah, berapa waktu yang dapat digunakan
pada setiap bagian itu.
Misalnya, pada pendahuluan apa saja yang harus ada di
dalamnya dan bagaimana menguraikannya, berapa waktu
yang maksimal dapat digunakan, sebab jangan sampai waktu
yang disediakan untuk berpidato hanya 20 menit tetapi pada
pidato pendahuluan sudah menghabiskan waktu 10 menit,
sehingga waktu untuk menyajikan isi materi, kesimpulan dan
menutup pidato sisa 10 menit. Karena itu, waktu yang
disediakan harus dialokasikan secara proforsional pada setiap
bagian, tentu saja bagian isi atau tubuh pidato dan khutbah
yang harus men-dapat porsi waktu yang banyak di banding
dengan yang lain. Perlu diketahui bahwa “pidato atau
khutbah yang pendek adalah ceminan orang yang cerdas”,
demikian peringatan Rasulullah dalam Sabda-Nya:

ِ ‫فِ ْق‬
‫ه ِه (رواه مسلم‬ ْ‫ص َر ُخ ْطبَتِ ِه َمئِنَّةً ِمن‬ َ ‫اِنَّ طُ ْو َل‬
ِ َ‫صالَ ِةال َّر ُج ِل َوق‬
)‫وأحمد‬
Artinya: Sesungguhnya panjang shalat seorang laki-laki dan
ringkas khutbahnya itu merupakan pertanda
kecerdasan/keahliannya.

RANGKUMAN:

1. Baik pidato maupun khutbah keduanya memiliki tujuan


motivatif dan fungsi yang sama, yaitu memberi pengertian,
membangkitkan kesadaran, mengaktualisasikan dalam
tingkah laku, dan melestarikan dalam kehidupan.
2. Penyajiam pidato dan khutbah, keduanya memerlukan
gaya dan seni yang sesuai dalam penyampaiannya untuk
menarik perhatian jamaah.
3. Pidato dan khutbah yang baik adalah yang disusun dengan
sistimatika yang baik dan benar. Selanjutnya,
menggunakan cara berpikir yang sistimatis, yaitu
bagaimana mengenal permasalahan yang sedang dialami
dan yang akan dihadapi jamaah, tempat dan situasinya,
memilih materi yang sesuai, menetapkan judul dan pokok
bahasan dengan tepat.

Anda mungkin juga menyukai