Anda di halaman 1dari 29

2.1.

Konsep Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang berdampak pada peradangan parenkim
paru (Djojodibroto, 2007).
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang menyerang organ paru
yang disebabkan oleh oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini juga
dapat menular ke bagian tubuh lainnya seperti ginjal, nodus limfe dan meningen
(Irman Somantri, 2007).

2.1.2 Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut
mempunyai ukuran panjang 0,5 – 4 mikron dan tebal 0,3 – 0,6 mikron dengan
bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai
selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama
asam mikolat) dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA) (Widoyono, 2008).
Ada dua macam mikobakteria tuberkulosis yaitu tipe human dan tipe bovin.
Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis usus.
Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari
penderita tuberkulosis dan orang yang rentan terinfeksi tuberkulosis bila
menghirup bercak ini.
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 60°C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab
dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar matahari
(Gillespie & Bamford, 2009).

2.1.3 Klasifikasi
Menurut American Thoracic Society (1981) dalam Padila (2013), tuberkulosis
diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, diantaranya:
1. Kategori 0
Tidak pernah terpapar/terinfeksi, riwayat kontak negatif, hasil tes tuberkulin
negatif, tidak menderita TB.
2. Kategori 1
Terpapar kuman TB tetapi tidak terbukti adanya infeksi, riwayat kontak
negatif, tes tuberkulin negatif.
3. Kategori 2
Terinfeksi kuman TB, tes tuberkulin positif, tetapi tidak menderita TB.
Tidak ada gejala TB, hasil pemeriksaan radiologi dan sputum negatif.
4. Kategori 3
Terinfeksi kuman TB dan hasil pemeriksaan putum positif.

2.1.4 Patofisiologi
Infeksi awal disebabkan karena seseorang menghirup bakteri
Mycobacterium tuberculosis melalui jalan napas menuju ke alveoli dan mealukan
proses perkembangbiakan (Irman Somantri, 2007).
Pada suatu titik bakteri akan melakukan implantasi juga akan melakukan
proses penggndaan diri atau yang sering diebut dengan istilah multiplying. Dalam
proses ini akan menghasilkan lesi primer atau fokus ghon. Setelah terinfeksi dan
menghasilkan fokus ghon, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui
berbagai jalan, yaitu prcabangan bronkus, saluran limfe, dan aliran darah menuju
ke tulang, ginjal dan otak. Jika pertahanan tubuh dari penderita kuat, maka infeksi
tidak akan menyebar tetapi bakteri bakteri tersebut akan tertidur atau menjadi
dorman dan akan aktif kembali ketika daya tahan tubuh penderita melemah
(Muttaqin, 2008).
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
(neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit spesifik tuberkulosis
melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini
mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli yang menyebabkan terjadinya
penebalan membran alveolar kapiler dan kolaps pada alveoli sehingga
menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas (Smeltzer & Bare, 2016).
Pada saat terjadi infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, maka proses
inflamasi yang terjadi pada rongga alveoli akan menyebabkan rongga alveoli
menghasilkan banyak sputum yang menyebabkan konsolidasi paru dan akan
berdampak pada proses difusi dan juga pertukaran gas yang tidak maksimal.
Akibat adanya gangguan tersebut, maka akan muncul masalah keperawatan
Gangguan Pertukaran Gas. Saat terjadi gangguan pertukaran gas maka
suplai oksigen ke seluruh tubuh juga akan mengalami penurunan, hal ini akan
ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi pernapasan, penurunan saturasi
oksigen, sianosis pada bibir dan Clubbing finger (Irman Somantri, 2007).
Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh
melalui berbagai jalan, salah satunya adalah melalui percabangan bronkus,
penyebaran infeksi melalui percabangan bronkus dapat mengenai area paru atau
melalui sputum menyebar ke area laring yang dapat menyebabkan Ulserasi laring,
kondisi ini akan menyebabkan terjadinya sumbatan pada jalan napas akibat
adanya penumpukan sekret (Muttaqin, 2008).

2.1.5 Penatalaksanaan
1. Pengobatan

Kemenkes (2016) pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan


pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti
Tuberkulosis (OAT).
Jenis, sifat dan dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang akan
dijelaskan pada bab ini adalah yang tergolong pada lini pertama. Secara ringkas
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Pengelompokan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Golongan dan Jenis Obat
Golongan-1 Obat Lini 1. Isoniazid (H) 1. Pyrazinamide (Z)
Pertama 2. Ethambutol (E) 2. Rifampicin (R)
3. Streptomycin (S)
Golongan-2 / Obat 1. Kanamycin (Km) 1. Amikacin (Am)
Suntik / Suntikan lini 2. Capreomycin (Cm)
kedua
Golongan-3 / Golongan 1. Ofloxacin (Ofx) 1. Moxifloxacin
Floroquinolone 2. Levofloxacin (Lfx (Mfx)
1. Ethionamide (Eto) 1. Para amino salisilat
2. Prothionamide (Pto) (PAS)
3. Clycoserine (Cs) 2. Terizidone (Trd)
Golongan-5 / Obat yang 1. Clofazimine (Cfz) 1. Thioacetazone (Thz)
belum terbukti 2. Linezolid (Lzd) 2. Clarithromycin (Clr)
efikasinya dan tidak 3. Amoxilin-Clavulanate 3. Imipenem (Ipm)
direkomendasikan oleh (Amx-Clv)
WHO
Sumber : (Kemenkes, 2016a)

Table 2.2 Jenis, Sifat dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama
Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat
Harian 3 x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4 - 6) (8 - 12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8 - 12) (8 - 12)
25 35
Pyrazinamide Bakterisid
(20 - 30) (30 - 40)
(Z)
15 15
Streptomycin Bakterisid
(12 - 18) (12 - 18)
(S)
15 30
Ethambutol Bakteriostatik
(15 - 20) (20 - 35)
(E)
Sumber : (Kemenkes, 2016a)
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi
beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Jangan gunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
tunggal (monoterapi). Pemakaian Obat Anti
Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1) Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
a) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
b) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan
a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.

Berdasarkan Kemenkes (2016) pengobatan tuberkulosis paru menggunakan


obat antituberkulosis (OAT) dengan metode Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS) yaitu :
1. Kategori I (2 HZRE / 4 H3R3) untuk pasien TB baru.
2. Kategori II (2 HRZES / HRZE / 5 H3R3E3) untuk pasien ulangan
(pasien yang pengobatan kategori I-nya gagal atau pasien yang kambuh).
3. Kategori III (2 HRZ / 4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-) negatif
dan Ro (+) positif.
4. Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaan
akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori II
ditemukan BTA (+) positif.
1. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Lini Pertama dan Peruntukannya
Menurut Kemenkes (2016) ada beberapa kategori paduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) lini pertama dan peruntukannya, diantaranya :
1. Kategori I (2HRZE/ 4H3R3)
a) Pasien baru TB BTA positif
b) Pasien TB BTA negatif foto toraks positif
c) Pasien TB ekstra paru
d) Tahap permulaan diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE) :
INH (H) : 300 mg – 1 tablet

Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 kaplet @ 500 mg

Etambutol (E) : 750 mg – 3 kaplet @ 250 mg


Obat tersebut diminum setiap hari secara intensif sebanyak 56 kali.
Regimen ini disebut KOMBIPAK II.
e) Tahap lanjutan diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan (4
H3R3):
• INH (H) : 600 mg – 2 tablet @ 300 mg
• Rifampisin (R): 450 mg – 1 kaplet
Obat tersebut diminum 3 kali dalam seminggu (intermiten) sebanyak
48 kali. Regimen ini disebut KOMBIPAK III.

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) untuk Kategori 1
Tahap Lanjutan 3 kali
Berat Tahap Intensif tiap hari
seminggu selama 16 minggu RHZE
Badan selama 56 hari RHZE
(150/75/400/275)
(150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber : (Kemenkes, 2016a)

Tabel 2.4 Dosis Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kombipak


Kategori I
Dosis per hari / kali Jumlah
hari /
kali
menela n
obat
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet

Pengobatan Pengobata Isoniasid Rifampisi Pirazinami Etambuto

n @ 300 n @ 450 d @ 500 l @ 250


mg mg mg mg
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48
Sumber : (Kemenkes, 2016a)

2) Kategori II (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ini diberikan untuk pasien BTA
positif yang telah diobati sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default).

Tabel 2.5 Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) untuk Kategori II

Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari Tahap Lanjutan 3 kali


Berat Badan RHZE (150/75/400/275) + S seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275)
Selama 56 hari Selama 28 Hari Selama 20 Minggu
2 tablet 4KDT + 500 2 tablet 2KDT + 2 tablet
30 – 37 kg mg Streptomisin inj. 2 tablet 4KDT Etambutol
3 tablet 4KDT + 750 3 tablet 2KDT + 3 tablet
38 – 54 kg mg Streptomisin inj 3 tablet 4KDT Etambutol
.
4 tablet 4KDT + 1000 4 tablet 2KDT + 4 tablet
55 – 70 kg mg Streptomisin inj. 4 tablet 4KDT Etambutol
Sumber : (Kemenkes, 2016a)

Tabel 2.6 Dosis paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kombipak untuk Kategori
II
Tablet Tablet Tablet Etambutol Streptom Jumlah
Tablet @ Tablet
Tahap Lama Isoniasi Rifampisi Pirazinamid isin hari /
250mg @
pengobatan Pengoba d @ n @ @ 500mg injeksi kali
400
tan 300mg 450mg menelan
mg
obat
Tahap
intensif 2 bulan 1 1 3 3 - 0, 75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian)
Tahap
lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 -
(dosis 3 kali 60
se-minggu)
Sumber : (Kemenkes, 2016)

3) Kategori Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.7 Dosis Kombinasi Dosis Tetap (KDT) untuk Kategori Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE
(150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Sumber : (Kemenkes, 2016a)

Tabel 2.8 Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kombipak Kategori Sisipan
Jumlah hari /
Tablet Kaplet Tablet Tablet kali menelan
Tahap Lama
Isoniasid Rifampisi Pirazinami Etambuto obat
@ 300 n @ 450 d @ 500 l @ 250
Pengobatan Pengobata
mg mg mg mg
n
Tahap intensif
(dosis 1 Bulan 1 1 3 3 28
harian)
Sumber : (Kemenkes, 2016a)

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk


paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk
satu pasien dalam satu masa pengobatan.
Kombinasi Dosis Tetap (KDT) mempunyai beberapa keuntungan
dalam pengobatan TB yaitu :
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep.
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien (Kemenkes,
2016a)

2. Pengobatan TB pada Anak (Kategori Anak 2RHZ / 4RH)


Menurut Kemenkes (2016), prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal
3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap
lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 2.9 Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kombipak pada Anak
Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 – 19 BB 20 – 32
kg kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg
Sumber : (Kemenkes, 2016)

Tabel 2.10 Dosis Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)
pada Anak
2 bulan tiap hari RHZ 4 bulan tiap hari
Berat Badan (kg)
(75/50/150) RH
(75/50)
5–9 1 tablet 1 tablet
10 – 14 2 tablet 2 tablet
15 – 19 3 tablet 3 tablet
20 – 32 4 tablet 4 tablet

Sumber : (Kemenkes, 2016a) Keterangan :

a) Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


b) Anak dengan BB 15 – 19 kg dapat diberikan 3 tablet
c) Anak dengan BB >33 kg, dirujuk ke rumah sakit
d) Obat harus diberikan secara utuh, tiak boleh dibelah.

3. Pengobatan Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS


Menurut Kemenkes (2016) penatalaksanaan pengobatan TB pada orang
dengan HIV-AIDS (ODHA) adalah sama seperti pasien TB lainnya. Pada
prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan pengobatan atro
retroviral (ARV) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil CD4. Penting
diperhatikan dari pengobatan TB pada orang dengan HIV- AIDS (ODHA) adalah
apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan atro retroviral (ARV) atau
tidak.
Bila pasien tidak dalam pengobatan atro retroviral (ARV), segera mulai
pengobatan TB. Pemberian atro retroviral (ARV) dilakukan dengan prinsip
(Kemenkes, 2016a):
1. Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai
pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4
turun dibawah 200/mm3.
2. Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan CD4
< 350/mm3 harus dimulai pengobatan atro retroviral (ARV).
3. Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa
memandang nilai CD4.
Bila pasien sedang dalam pengobatan atro retroviral (ARV),
sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.

Tabel 2.11 Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB

Obat ARV lini pertama/ Panduan pengobatan Pilihan obat ARV


lini kedua ARV pada waktu TB
didiagnosis

Lini pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2


NRTI + EFV

2 NRTI + NVP * Ganti dengan 2 NRTI +


EFV atau ganti dengan
2 NRTI = LPV / r

Lini kedia 2 NRTI + PI Ganti kea tau teruskan


(bila sementara
menggunakan) panduan
mengandung LPV / r

Sumber : (Kemenkes, 2016a)

*) Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur
dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin), yang perlu dimulai
ART bila tidak ada alternatif lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester
I kehamilan (risiko kelainan janin).
Setelah pengobatan dengan rifampisin selesai dapat dipikirkan untuk
memberikan kembali NVP. Waktu mengganti kembali dari EFV ke NVP
tidak diperlukan lead in dose. Jika seorang ibu hamil trimester ke 2 atau ke
3 menderita TB, paduan ART yang mengandung EFV dapat
dipertimbangkan untuk diberikan.
4. Pengobatan Tuberkulosis Resisten Obat
Pengobatan TB resisten obat khususnya TB dengan Multiple Direct
Resistance (MDR) adalah sebagai berikut :
a) Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.
b) Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan
silang (cross-resistance).
c) Membatasi pengunaan obat yang tidak aman.
d) Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis sesuai
potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada
pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan
kondisi program.
e) Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama
minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
f) Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan.
g) Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari.
h) Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan
PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan
(Kemenkes, 2016a)
Pilihan paduan baku Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pasien TB
dengan MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment) yaitu :
Km - E - Eto - Lfx - Z - Cs / E - Eto - Lfx - Z – Cs. Paduan ini diberikan pada
pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan dapat
disesuaikan bila :
1. Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan
sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap
etambutol.
2. Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
a) Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan. Rapid test, kemudian
hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.
b) Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya
sehingga dicurigai telah ada resistensi.
c) Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat
diidentifikasi penyebabnya.
d) Terjadi perburukan klinis.
e) Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus
Menurut Kemenkes (2016) pengobatan tuberkulosis pada keadaan
khusus, diantaranya :
1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda
dengan pengobatan TB pada umumnya. Hampir semua Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin.
Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat
permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran
dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu
dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat
penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi
yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.
2. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita
TB harus mendapat paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara
adekuat. Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada
bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat
terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi
tersebut sesuai dengan berat badannya
3. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas
kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan
kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen
dosis tinggi (50 mcg).
4. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada pasien TB dengan
hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya
mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB sangat
diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol
(E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
5. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan
faal hati sebelum pengobatan Tb. Jika SGOT dan SGPT meningkat lebih
dari 3 kali Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tidak diberikan dan bila telah
dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari
3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan
pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak
boleh digunakan. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang dapat
dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
6. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak
toksik. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jenis ini dapat diberikan dengan
dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal.
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu
hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila
fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin
tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) yang paling aman untuk pasien dengan gagal
ginjal adalah 2HRZ / 4HR.
7. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti
diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol
gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti
diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi
retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian
etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.
8. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti:
a. Meningitis TB
b. TB milier dengan atau tanpa meningitis
c. TB dengan pleuritis eksudativa
d. TB dengan perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari,
kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan
dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.

2.2 Konsep Kepatuhan


2.2.1 Definisi
Kepatuhan merupakan perilaku positif yang dilakukan oleh penderita dalam
mencapai tujuan pengobatan dan juga terapi (Suparyanto, 2010). Menurut Sarfino
(1990) dalam Suparyanto (2010), kepatuhan adalah suatu tingkatan seorang
penderita dalam melaksanakan yang dianjurkan atau disarankan oleh tenaga
kesehatan.
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis (OAT)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erni Erawayningsih, dkk (2009)
didapatkan hasil bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat
anti tuberkulosis meliputi: pendidikan, pengetahuan dan pendapatan keluarga.
Faktor kepatuhan pengobatan tuberkolosis antara lain adalah komunikasi,
pengetahuan, fasilitas kesehatan dan juga motivasi. Motovasi dari individu dapat
mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam mempertahankan kesehatannya
sehingga program pengobatan berjalan dengan optima;. Motivasi ini diperlukan
untuk mendorong semangat dan meningkatkan kedisiplinan agar seseornag patuh
terhadap program pengobatannya sebab pengobatan tuberkolosis sebab
ketidakpatuhan akan menyebabkan kesembuhan yang rendah, kematian yang
tinggi, kekambuhan meningkat, penularan kuman pada seseorang yang meningkat
dan terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkolosis sehingga
tuberkolosisi sulit disembuhkan (Febriyanto, D & Ngampiyem R. 2016)

2.3 Motivasi
2.3.1 Pengertian Motivasi
Motivasi adalah proses batin dari dalam diri individu yang membentuk
kekuatan internal yang memberikan energi untuk mengarahkan individu untuk
memilih perilaku yang disukai dan mencoba memenuhi tujuan yang telah
ditetapkan (Xu, 2009). Motivasi adalah kekuatan dalam diri seseorang untuk
mendapatkan sesuatu yang di inginkan (Ball, 2012). Suatu kondisi yang
membuat seseorang untuk melakukan tindakan dalam suatu situasi (Burton,
2012). Motivasi adalah keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk
melakukan kegiatan-kegiatan tertentu (Herri Zan Pieter dan Lubis, 2013 dalam
Purdiyanti, 2019). Dari beberapa pengertiann di atas dapat disimpulakn bahwa
motivasi adalah kekuatan dalam diri individu yang membuat individu
melakukan prilaku sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Motivasi


Menurut Kasten dkk., (2019), beberapa faktor yang mempengaruhi
motivasi adalah:
1. Pengetahuan
Pengetahuan dalam hal ini didefinisikan sebagai pemahaman mengenai
informasi faktual mengenai aktivitas fisik maupun pengetahuan mengenai
informasi untuk melakukan prilaku tertentu. Misalkan, melakukan aktivitas
fisik 150 menit perminggu.
2. Kesadaran Prilaku
Kesadaran akan prilaku adalah kesadaran seseorang tentang prilaku
kesehatannya sendiri. Memahami perilaku kesehatan seseorang sendiri
adalah langkah penting dalam proses perubahan prilaku serta perkembangan
motivasi untuk berubah.
3. Persepsi
Persepsi terbentuk dari kerentanan yang dirasakan dan tingkat keparahan
ancaman kesehatan. Kerentanan mengacu pada persepsi individu tentang
kemungkinan terkena penyakit sedangkan keparahan merujuk pada persepsi
individu tentang keseriusan konsekuensi dari suatu penyakit. Hal ini akan
membantu individu untuk berperilaku sehat.
4. Isyarat
Isyarat dalam hal ini diartikan sebagai petunjuk atau sinyal yang dirasakan
oleh seseorang dalam lingkungannya (eksternal) maupun dalam diri
(internal) yang memicu tindakan yang terkait dengan prilaku kesehatan.

2.3.3 Macam-macam Motivasi


Menurut Legault (2017), beberapa macam motivasi sebagai berikut:
1. Motivasi Intrinsik
Motivasi merupakan kecenderungan alami dari manusia untuk secara aktif
berjuang untuk melakukan hal-hal yang menurut mereka menarik atau
menyenangkan. Namun, agar motivasi dapat berkembang, lingkungan sosial
harus memupuknya. Motivasi intrinsik membuat orang melakukan sesuatu
tanpa dorongan dari luar seperti hanya sesuatu yang berhubungan dengan
kesehatan, seperti kepercayaan akan kesehatan, nilai kesehatan, dan self
efficacy kesehatan (Xu, 2009)
2. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi Ekstrinsik mengacu pada perilaku yang dikendalikan oleh faktor-
faktor eksternal misalnya, waktu, penghargaan, arahan, hukuman. Jenis
perilaku ini berfungsi untuk memenuhi tuntutan eksternal, sehingga sumber
motivasi untuk perilaku adalah eksternal. Yang termasuk kedalam motivasi
ekstrinsik adalah hubungan sesama manusia, serta lingkungan sekitar (Donsu,
2017 dalam Lukman, 2018). Motivasi Ekstrinik adalah dorongan dari luar
untuk melakukan pekerjaan maupun tidak melakukan pekerjaan (Muslih,
2017). Sumber eksternal lain yang memunculkan motivasi eksternal
diantaranya fasilitas, dan cuaca. Sebagai contoh, jika seseorang percaya
bahwa melakukan aktivitas fisik dapat mempertahankan atau meningkatkan
kesehatannya dan mencegahnya dari penyakit, ia dapat mencoba temukan
cara untuk terlibat dalam aktivitas fisik. Jika seseorang ibu mendorongnya
untuk melakukan kegiatan fisik, dia mungkin berusaha untuk melakukan itu
(Xu, 2009).

2.3.4 Teori Motivasi


1. Hirarki Kebutuhan Maslow
Menurut Abraham Maslow berpendapat pada dasarnya manusia itu baik
serta menunjukkan bahwa individu mempunyai dorongan yang tumbuh serta
memiliki potensi besar. Sistem hirarki kebutuhan yang dikembangkan oleh
Maslow, merupakan pola untuk menggolongkan motif manusia. Sistem hirarki
kebutuhan Maslow terdiri dari lima kategori motif yang dibuat berdasarkan
kebutuhan yang harus dipenuhi terlebih dahulu yaitu berada paling bawah
hingga kebutuhan yang tertinggi (Andjarwati, 2015). Kelima kebutuhan yang
telah dibuat ditunjukkan dalam tingkatan berikut:
a. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang harus dipenuhi untuk
keberlanjutan hidup seperti makan, minum, istirahat, oksigen, dan
berlindung. Kebutuhan ini sebagai dorongan fisiologis sebagai awal
terbentuknya teori motivasi (Uysal dkk., 2018).
b. Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan akan rasa aman merupkan kebutuhan tentang perasaan aman dari
gangguan fisik, gangguan sosial maupun gangguan keselamatan di
lingkungan manusia (Aruma dan Hanachor, 2017).
c. Kebutuhan sosial
Orang berusaha mengatasi perasaan kesepian dan keterasingan dengan
memberi dan menerima cinta, kasih sayang dan rasa memiliki dari
lingkungan sosialnya (Jerome, 2013).
d. Kebutuhan harga diri
Kebutuhan harga diri adalah kebutuhan akan kemandirian dan kebebasan
dalam hal ini contohnya yaitu kebutuhan akan prestasi, kekuasaan,
kecukupan, dan kebebasan.
e. Kebutuhan Aktualisasi diri
Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk menyadari
kemampuan seseorang dalam kelanjutan pengembangan diri dan keinginan
untuk menjadi lebih.

Kategori dari kebutuhan yang pokok dan sinergis dengan teori motivasi
yang dikemukakan Maslow adalah aktualisasi diri .Keyakinan tentang hal ini
merupakan dasar asumsi teori dari Y.McGregor tentang motivasi yang
didasarkan pada pengaturan diri, motivasi, pengendalian diri dan kematangan
(McGregor, 2000:47 dalam Anjarwati, 2015).

2.3.5 Proses Motivasi Berorientasi Tujuan


Proses motivasi berorientasi tujuan menurut Xu, (2009), mencakup
beberapa tahapan berurutan:
1. Pertama, individu menghasilkan kecenderungan motivasi terhadap tujuan
tertentu berdasarkan pribadi tertentu atau faktor lingkungan.
2. Kedua, di antara kecenderungan ini, individu membuat rencana untuk yang
paling penting bagi mereka.
3. Ketiga, kecenderungan-kecenderungan yang menonjol itu memotivasi
individu untuk mengambil tindakan untuk mencapainya.
4. Tahap terakhir adalah tahap kemauan. Individu bertahan dalam tindakan
dan upaya mereka menuju titik akhir dari kecenderungan motivasi
mereka.

2.4 Hubungan motivasi dengan kepatuhan minum obat anti tuberculosis


Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widianingrum, T (2017)
didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara motivasi dengan kepatuhan
berobat. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa suatu kondisi akan menimbulkan
suatu keinginan, dorongan perilaku tertentu yang mengarah pada kondisi tersebut.
Perilaku dan respon intrinsik akan mengarahkan mengarah pada perilaku. Dalam
penelitian ini didapatkan hasil bahwa motivasi klien TB dalam melaksanakan
program pengobatan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal yaitu meliputi keinginan dalam diri sendiri, pengetahuan
individu, tingkat pendidikan, pengelolaan diri dan juga usia. Sedangkan untuk
faktor eksternal meliputi faktor ekonomi, agama faktor pendukung keluarga dan
perawat.
Motivasi untuk penderita TB dipengaruhi oleh dua hal tersebut yaitu dari
dalam diri penderita itu sendiri dengan adanya dorongan, keinginan untuk berobat,
keinginan untuk melakukan hal yang baik guna mencapai kesembuhan dan
dukungan dari keluarga, masyarakat dan petugas kesehatan dalam menangani
penyakit tersebut. Motivasi seorang penderita TB dikatakan baik apabila penderita
TB tersebut dapat mengendalikan dirinya untuk mencapai kebaikan dirinya yaitu
keembuhan dengan cara rutin minum obat. Untuk meningkatkan motivasi
penderita TB diperlukan adanya penyuluhan tentang penyakit dan bahayanya
penyakit tersebut (Prasetya, 2009).
didirikan pada tahap pertama. Individu mungkin dapat memenuhi tujuan
mereka pada tahap ini.

2.1.1 Alat Ukur Motivasi

Alat ukur untuk mengukur motivasi pasien yaitu berupa kuesioner yang
dikembangkan oleh Hae-Ra Han et al (2013). Skala dalam penelitian ini
dikembangkan dalam penelitian selama di Universitas Jhons Hopkins pada tahun
2014. Format kuesioner HBP-SCP Motivation scale didasarkan pada 2
pendekatan teoritis yaitu model perawatan diri orem dan motivational interview.
Kuesioner ini terdiri dari 3 sub skala diantarannya, behaviour scale, motivation,
dan self efficacy yang dapat digunakan secara bersamaan maupun terpisah, Hae-
Raa Han menggunakan HBP-SCP behaviour scaale untuk membuat skala
motivasi dengan mengubah kalimat instruksi “seberapa sering anda melakukan
hal berikut?” menjadi “ seberapa penting bagi anda untuk melakukan hal
berikut?”. Dalam hal ini peneliti menggunakan kuesioner HBP-SCP Motivation
scale untuk mengukur motivasi pasien. Instrumen ini terdiri dari 20 pertanyaan
dengan menggunakan skala likert. Kuesioner ini juga telah diuji validitas dan
reliabilitasnya dan didapatkan nilai alfa cronbach 0,93 serta dinyatakan valid
dan reliabel (Han, 2014).
2
5

Anda mungkin juga menyukai