Anda di halaman 1dari 12

Gudang Pengetahuan

memberikan makalah-makalah atau artikel yang bberkaitan dengan pengetahuan

Sabtu, 30 November 2013

HUBUNGAN ETIKA, MORAL, NORMA DAN KESUSILAAN

HUBUNGAN ETIKA, MORAL, NORMA DAN KESUSILAAN

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu

Disusun Oleh :

Ahmad Sofwan Qudsy

Syifa
JURUSAN ILMU AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2012

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah.

Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya, sedangkan moral pada dasarnya
adalah petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia. Hasil-hasil kegiatan keilmuan
memberikan alternative untuk membuat keputusan politik dengan berkiblat kepada pertimbangan
moral.

Ilmuwan juga memikul tanggung jawab profesional, yang meliputi etika, moral, norma, dan
kesusilaan. Ilmuwan dalam menyampaikan ilmu atau pengetahuan harus melihat sisi etika cara
penyampaiannya. Norma tidak kalah pentingnya karena menyangkut pengetahuan kepada
masyarakat harus melihat norma yang ada.

Untuk dari itu pembahasan ini difokuskan hanya membahas etika, moral, norma dan kesusilaan
dalam keilmuwan. Komponen yang disebutkan diatas merupakan unsur yang saling berkaitan.

B.     Tujuan Penulisan

1.      Untuk memahami etika, moral, norma dan kesusilaan dalam keilmuan di filsafat ilmu.

2.      Untuk menambah wawasan pengetahuan di dalam filsafat ilmu.

C.    Rumusan Masalah.

1.      Bagaimana pengertian etika, moral, norma, dan kesusilaan dalam filsafat ilmu.

2.      Bagaimana hubungan antara etika, moral, norma dan kesusilaan dalam etika keilmuan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Etika

Secara bahasa etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti adat istiadat
( kebiasaan ), kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan[1]. Secara terminologi etika
adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang
meyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Adapun motif,
watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan
kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat
dinilai baik buruk.

Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskritif dan etika normatif. Etika
deskritif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan
penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun
etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan
dan yang tidak.

Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan
prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya.
Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam
pekerjaan dan sebagainya. (Sunoto, 1982, hlm. 6)

1.      Etika Deskritif

Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa
yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika
deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan
perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya.
Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam
suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat
bertindak secara etis.
2.      Etika Normatif

Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh
manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam
hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan normanorma yang dapat menuntun agar manusia
bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma
yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi
tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:

a.       Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang
nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.

b.      Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya
perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada
keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu
yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik.

c.       Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan
evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini
tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan.
Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.

B.     Moral

        Dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat
kebiasaan.[2] Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakanbahwa moral adalah penetuan
baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.[3] Dari segi istilah, moral adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, kehendak, pendapat atau perbuatan yang
secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.

Moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral
dan moralitas dipakai untuk perbuatanyang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk
pengkajian sistem nilai yang ada.

Frans Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran,
wejangan, khutbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai
orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat
dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral tetapi filsafat
atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah
ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama.
Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melaikan ajaran moral. Etika mau
mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung
jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.[4]

C.    Norma

Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat
perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai
pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur
sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau
keburukan suatu perbuatan.

Jadi secara terminologi kiat dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, norma
menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua makna tersebut lebih
kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang kita perlukan adalah norma yang
bersifat prakatis, dimana norma yang dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret

Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan
tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat
senonoh. Maka dengan itu dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara
bahasa norma agak bersifat normatif akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan
pelaksanaannya harus bersifat praktis

Berikut ini adalah macam-macam norma:

a.       Norma agama, yaitu peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, larangan, dan anjuran
yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Para pemeluk agama mengakui dan mempunyai
keyakinan bahwa peraturan-peraturan hidup berasal dari Tuhan dan merupakan tuntutan hidup ke
arah jalan yang benar, oleh sebab itu harus ditaati oleh para pemeluknya. Pelanggaran terhadap
norma agama akan mendapatkan hukuman di akhirat nanti.

b.      Norma hukum, yaitu peraturan yang dibuat oleh negara dengan hukuman tegas dan
memaksa sehingga berfungsi mengatur ketertiban dalam masyarakat. Norma hukum digunakan
sebagai pedoman hidup yang dibuat oleh badan berwenang untuk mengatur manusia dalam
berbangsa dan bernegara. Hukuman yang dikenakan bagi pelanggarnya telah ditetapkan dengan
kadar hukuman berdasarkan jenis pelanggaran yang telah dilakukan.

c.       Norma kesopanan, yaitu peraturan hidup yang timbul dari pergaulan manusia. Peraturan
itu ditaati dan diikuti sebagai pedoman tingkah laku manusia terhadap manusia lain di sekitarnya.
Hukuman terhadap norma kesopanan berasal dari masyarakat yaitu berupa celaan, makian,
cemoohan, atau diasingkan dari pergaulan di masyarakat tersebut.

d.      Norma kesusilaan, yaitu peraturan hidup yang datang dari hati sanubari manusia. Peraturan
tersebut berupa suara batin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai pedoman sikap
dan perbuatan. Hukuman bagi pelanggaran terhadap norma kesusilaan berupa penyesalan diri
dan rasa bersalah.

D.    Kesusilaan.

Leibniz seorang filsuf pada zaman modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu
“menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Yang dinamakan kesusilaan ialah keseluruhan aturan,
kaidah atau hukum yang mengambil bentuk amar dan larangan. Baik hukum sepuluh amar,
maupun kitab hukum Hammurabi, serangkaian ajaran kesusilaan yang berasal dari Jaman Kuno,
ajaran moral yang diberikan kepada anak, senantiasa mengatakan berbuatlah begini atau
seharsnyalah berbuat begini atau hendalkah berbuat begini dan tidak berbuat
begitu atausingkirkanlah hal itu. Dengan kata lain kesusilaan menanamkan wajib dan darma.
Secara demikian kesusilaan mengatur perilaku manusia serta masyarakat, yang di dalamnya
manusia tersebut ada. Behubung dengan itu manusia tidak boleh semaunya sendiri berbuat atau
tidak berbuat sesuatu. Perilakunya diatur atau ditentukan oleh norma kesusilaan.

Dapat juga dikatakan bahwa manusia dibentuk oleh kesusilaan. Ini berarti bahwa kehidupan
alaminya, seperti nafsunya, kecenderungan, cita-cita, dan sebagainya, seolah-olah disalurkan
atau tertuang ke dalam bentuk tertentu. Demikianlah, umpananya, perwujudan seksualitas, suatu
keadaan alami, mendapatkan pembatasan, disalurkan atau dibentuk oleh aturan-aturan yang
mengatakan bahwa bagaimana seharusnya seorang laki-laki dan perempuan yang sudah masak
ditinjau dari segi seksual berperilaku terhadap seseorang dari lawan jenisnya, syarat-syarat
apakah yang harus dipenuhi yang membolehkan wanita dan pria bergaul dan sebagainya. Aturan-
aturan ini secara keseluruhan dinamakan moral seksual.

Kumpulan aturan semacam ini berlaku juga dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Dengan
demikian aturan-aturan tersebur sudah mengandaikan suatu kehidupan alami atau katakanlah
kehidupan hewani, namun menetapkan syarat-syarat tertentu bagi perwujudannya. Manakala
seseorang memenuhi syarat-syarat kesusilaan itu, maka perilakunya dan dia sendiri disebut baik
(dari segi kesusilaan), dalam hal yang sebaliknya dikatakan buruk (dari segi kesusilaan).

Norma-norma kesusilaan kadang- kadang bersifat tertulis dan kadang- kadang tidak. Di atas
telah diberikan contoh mengenai ketentuan-ketentuan moral yang dikodifikasikan dan yang tidak
dikodifikasikan. Sistem-sistem kesusilaan yang berasal dari para pendiri agama yang besar atau
para pembentuk hokum kesusilaan yang besar, biasanya bersifat tertulis. Lazimnya yang
demikian itu bersangkutan dengan hal-hal pokok belaka, meskipun dapat saja terjadi bahwa
kitab-kitab hukum keagamaan bersifat agak panjang lebar.

Norma-norma yang lebih terjabar misalnya tidak ditetapkan secara tertulis kecuali kadang-
kadang dalam buku-buku pegangan mengenai moral. Bahkan karya tulis yang paling panjang
lebar sekalipun tidak akan dapat memberikan segenap peraturan khusus. Dalam bidang
kesusilaan banyak yang tetap dihayati di dalam keinsyafan kesusilaan manusai-manusia yang
bersangkutan. Jelaslah kiranya tidak ada moral tunggal yang diterima oleh segenap manusia,
melainkan terdapat banyak moral yang berbeda-beda menurut waktu, tempat dan keadaan

BAB III

KESIMPULAN

Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang
meyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya.

Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan
tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat
senonoh.

Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada
ditingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melaikan ajaran
moral.

Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan)
manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana
manusia harus bertindak.

Sistem-sistem kesusilaan yang berasal dari para pendiri agama yang besar atau para pembentuk
hokum kesusilaan yang besar, biasanya bersifat tertulis. Lazimnya yang demikian itu
bersangkutan dengan hal-hal pokok belaka, meskipun dapat saja terjadi bahwa kitab-kitab hukum
keagamaan bersifat agak panjang lebar.
DAFTAR PUSTAKA

Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara

Suseno, Frans Magnis. 1987.  Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius

Asmaran As. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Rajawali Pers

[1], Drs. Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak , M.M.Si,( hal.43)

[2] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers,1992),cet.I,hlm.8.


[3] W.J,S.Poerwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia,op.cit.,hlm.654.

[4] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 14

Unknown di 05.16

Berbagi

1 komentar:

Unknown29 Agustus 2014 04.34

kalau hubungan etika dan moral itu apa ya ??

mohon jawabanya.

Balas

Beranda

Lihat versi web

Mengenai Saya
Unknown

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai