Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN SGD

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN BPH”

Mata Kuliah: Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh Kelompok 2 :

1. Tri Wahyu Noviyanti


2. Refi Indah Noor
3. Yuni Retno Santi
4. Nur Alifah
5. Iffa Nurus Shobikhah
6. Mufida

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN (LINTAS JALUR)


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN AJARAN 2021
Skenario:

Seorang laki-laki umur 64 th dirawat diruang bedah RSDK Semarang sejak


pagi ini dengan diagnosa medis BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) Grade III.
Sebelumnya kontrol ke poliklinik dan sempat dipasang kateter 1 minggu namun 2
hari lalu kateter dilepas. Pasien mengeluh tidak bisa kencing, kencing tidak tuntas,
kencing menetes, harus mengejan saat kencing, sering kecing di celana sehingga
sering terganggu saat ibadah. Pasien rencananya akan menjalani operasi TURP
minggu ini. Pasien mengatakan cemas dan takut, sesekali bertanya tentang bagaimana
proses operasi dan kemungkinan keberhasilannya..

Perintah kelompok:

1. Diskusikan definisi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, komplikasi, px


penunjang & penatalaksan BPH
2. Diskusikan masalah keperawatan pasien dan diskusikan data fokus yang 
perlu dilengkapi 
3. Diskusikan pathways keperawatan yang dapat disusun pada kasus scenario
4. Diskusikan rumusan diagnosa keperawatan (SDKI atau NANDA) pada kasus
pasien
5. Diskusikan luaran keperawatan  yang dirumuskan (merujuk SLKI atau NOC)
6. Diskusikan rencana keperawatan (SIKI atau NIC) yang dapat di rumuskan
pada pasien
7.  Jelaskan edukasi yang perlu diberikan pada pasien pre dan pasca operasi
TURP
8.  Diskusikan komplikasi TURP Syndrome (pengertian, patofisiologi,
manifestasi, pencegahan)

Jawaban :
1. Konsep BPH

a. Definisi

Zitoun, Osama A. Farhat (2020) menjelaskan bahwa BPH


adalah suatu keadaan dimana kelenjar ptostat mengalami pembesaran
dan memanjang ke dalam kandung kemih sehingga mengakibatkan
terjadinya penyumbatan aliran urin yang dimana meutup orifisium
uretra.

Benigna Prostat hiperplasia adalah keadaan kondisi patologis


yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling
sering ditemukan untuk intervensi medis pada pria di atas usia 50
tahun (Wijaya. A & Putri. Y, 2013).

Menurut Tanto (2014) Hiperplasia prostat jinak (benign


prostate hyperplasia-BPH) merupakan tumor jinak yang paling sering
terjadi pada laki-laki. Insidennya terkait pertambahan usia, prevelensi
yang meningkat dari 20 % pada laki-laki berusia 41-50 tahun menjadi
lebih dari 90% pada laki-laki berusia lebih dari 80 tahun.

Beningn Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi


yang sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian
hormone prostat (Yuliana Elin, 2011).

b. Etiologi

Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003)


menjelakan bahwa terdapat banyak faktor yang berperan dalam
hiperplasia prostat, seperti usia, adanya peradangan, diet, serta
pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi prostat
untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian memicu
proliferasi sel prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat
disebabkan karena berkurangnya proses apoptosis. Roehrborn (2011)
menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar bukan hanya karena
meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya
kematian sel.

Beberapa yang diduga sebagi penyebab timbulnya hyperplasia


prostat adalah 1 teori dihidrotestosteron dan proses aging (penuaan), 2
tidak seimbang antara estrogen – testosteron, 3 interaksi sel stoma dan
sel epitel, 4 kematian sel apoptosis, 5 sel stem (Purnomo. B, 2011).

Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan


keseimbangan testosteron esterogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi esterogen pada
jaringan adipose diperifer. Karena proses pembesaran prostat terjadi
secara perlahan-lahan, efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan
(Wim de Jong).

c. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang


terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan
bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat
(2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa
pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron,
yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-
RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek
terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-
lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat
sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor.
Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis,
sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada
tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat.
Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan
kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal.
Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-
buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.
Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi
dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-
putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada
akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,
miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko
urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan
intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga
terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal,
maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus
urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid.
Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang
dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

d. Tanda dan Gejala

Menurut Tanto (2014) pada umumnya pasien BPH datang


dengan gejala-gejala truktus urinarius bawah (lower urinari tract
symptoms -LUTS) yang terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi.

1) Gejala obtruksi :
a) Miksi terputus
b) Hesitancy: saat miksi pasien harus menunggu sebelum urin
keluar
c) Harus mengejang saat mulai miksi
d) Kurangannya kekuatan dan pancaran urine
e) Sensasi tidak selesai berkemih
f) Miksi ganda (berkemih untuk kedua kalinya dala waktu ≤ 2
jam setelah miksi sebelumnya )
g) Menetes pada akhir miksi

2) Gejala Iritasi:
a) Frekuensi sering miksi
b) Urgensi : rasa tidak dapat menahan lagi, rasa ingin miksi
c) Nokuria : terbangun dimalam hari untuk miksi
d) Inkotenensia: urine keluar di luar kehendak

e. Komplikasi

Menurut Andra dan Yessie (2013), komplikasi yang dapat


terjadi pada hipertropi prostat adalah :

a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter,


hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal
b. Peoses perusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada
waktu miksi
c. Hernia/Hemoroid
d. Hematuria
e. Sistitis dan Pielonefritis

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi


kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Statis urin dalam vesiko urinaria
akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, statis urin dalam vesika urinaria menjadikan
media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonephritis (Sjamsuhidajat &
De Jong, 2005).

f. Pemeriksaan Penunjang

1) Urinalisa

Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat


adanya sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila
terdapat hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti
keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih,
walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.

Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan


informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini
keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan
bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat.
Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian
pula bila nilai PSA > 10 ng/ml

2) Pemeriksaan darah lengkap


Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca
operatif maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi
jantung dan pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena
usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan
harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung
jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN,
kreatinin serum.
3) Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan
volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari
foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi
osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena
dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan
hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria,
residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal
apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP
untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis.
Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan
sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk
melihat adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding
cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin. Sesudah
kencing adalah untuk menilai residual urin.

4) Prostatektomi Retro Pubis


Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih
tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat
diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
5) Prostatektomi Parineal
Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui
perineum.

g. Penatalaksanaan
Menurut Sjamsuhidajat (2013), pembagian besar prostat
digunakan derajat I-IV untuk menentukan cara penanganan benigna
prostat hyperplasia dan dapat juga dengan tindakan invasive minimal
dengan Transurethral Microwave Thermoterapy (TUMT),
Thransurethral Ultrasuond Guided Laser Prostatectomy (TULIP),
Thransurethral Ballon Dilatation (TUBD), Open Prostatectomy.
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas
hidup pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada
derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan
pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya (Ikatan Ahli Urologi
Indonesia).
Dalam terapi intervensi dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yakni teknik abiasi jaringan prostat atau pembedahan dan teknik
instrumentasi alternative. Termasuk abiasi jaringan prostat adalah :
Pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP dan laser prostatektomi.
Sedangkan teknik instrumentasi alternative adalah interstitial laser
coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretra (AUA &
Ikatan Ahli Urologi Indonesia & Roehrborn CG).

2. Masalah Keperawatan Yang Muncul Dan Data Fokus


a. Gangguan eliminasi urin

Data Fokus : Pasien mengeluh tidak bisa kencing, kencing tidak


tuntas, kencing menetes, harus mengejan saat kencing, sering kecing
di celana sehingga sering terganggu saat ibadah.

b. Cemas

Data Fokus : . Pasien mengatakan cemas dan takut, sesekali bertanya


tentang bagaimana proses operasi dan kemungkinan keberhasilannya.

c. Distress Spiritual

Data Fokus : Pasien mengeluh sering kecing di celana sehingga sering


terganggu saat ibadah.

d. Resiko Infeksi

Data Fokus : Pasien rencananya akan menjalani operasi TURP minggu


ini

3. Pathway Keperawatan

4. Diagnosa Keperawatan Menurut SLKI atau SDKI

5. Luaran Keperawatan  Menurut SLKI atau SDKI


6. Rencana Keperawatan (SIKI Atau NIC)

7.  Edukasi Pada Pasien Pre Dan Pasca Operasi TURP

8. Komplikasi TURP Syndrome 

Komplikasi TURP Syndrome yang mungkin terjadi pada


pasien ada 2 yaitu komplikasi jangka pendek dan jangka panjang:

1. Komplikasi Jangka Pendek

a. Perdarahan

Komplikasi tersering pasca TURP adalah perdarahan.


Perdarahan dapat disebabkan oleh spasme prostat maupun pergerakan.
Teknik hemostasis saat pembedahan yang baik dan pemasangan
kateter serta inflasi balon yang cukup dapat mengontrol perdarahan
yang terjadi. Sumber perdarahan umumnya berasal dari pembuluh
darah vena. Tindakan yang dapat dilakukan pada pasien dengan
komplikasi ini adalah pemeriksaan tanda-tanda vital setiap 4 jam,
observasi jumlah dan warna urine setiap 2 jam,tingkatkan irigasi dari
kandung kemih untuk mencegah terjadinya obstruksi.

Pasien dapat diminta untuk tetap berbaring atau separuh duduk.


Hal ini dikarenakan posisi duduk dapat mengakibatkan peningkatan
aliran balik dan tekanan kandung kemih sehingga mengakibatkan
terjadinya perdarahan. Tatalaksana yang dilakukan adalah penggantian
darah yang terbuang dapat dengan transfuse atau cairan intra vena
lainnya. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya syok
hipovolemik.

Perdarahan dapat pula terjadi setelah selang beberapa hari


hingga minggu pasca operasi. Hal ini dapat terjadi akibat aktivitas fisik
yang berat atau kontraksi dari vesika urinaria. Untuk mencegahnya,
pasien diinstruksikan untuk meminum air minimal 12 gelas per hari
dan menghindari mengkonsumsi alcohol, kafein dan makanan pedas
yang dapat menstimulasi kandung kencing. Pasien hendaknya tidak
melakukan aktivitas yang berat selama paling tidak 2 minggu. Dan
juga pasien hendaknya diminta untuk kembali ke dokter apabila
perdarahan yang terjadi tidak berhenti dalam 1 jam setelah
penghentian aktivitas maupun peningkatan frekuensi minum.

b. Infeksi Bakteri

Bakteri yang ada di saluran kencing dapat memasuki sirkulasi


sistemik melalui pembuluh darah prostat yang terbuka saat
pembedahan. Pasien-pasien berkateter memiliki resiko 50% lebih
tinggi. Semakin lama kateter terpasang, semakin besar pula resiko
terjadinya infeksi. Dilaporkan bahwa terdapat bakteri pada urine
pasien yang telah 10 hari dipasang kateter. Kejadian infeksi saluran
kemih ini biasanya terjadi pada saat 2 minggu pasca operasi. Bila
pemasangan kateter jangka panjang diperlukan pasca TURP, maka
perlu dilakukan perawatan dengan seksama dan hati-hati. Komplikasi
terberat adalah berupa syok septik yang terjadi pada saat bakteri
berhasil memasuki sirkulasi sistemik. Bakterimia dapat diatasi dengan
pemberian antibiotic aminoglikosida sebelum pembedahan. Irigasi dari
kateter harus selalu menjadi perhatian. Tanda-tanda dari syok septik
yang perlu diwaspadai antara lain adalah : menggigil, hipotensi yang
mendadak, takikardia dan hipertermia.

c. Obstruksi kateter

Kateter urine dapat tersumbat oleh tekanan darah atau sisa-sisa


jaringan. Untuk mengatasinya dapat dilakukan irigasi untuk
membuaang bekuan dan debris. Pembersihan bekuan juga dapat
dilakukan dengan memindah-mindahkan posisi berbaring pasien.
Irigasi dapat dilakukan secara berkala (intermitten dan irrigation) atau
terus menerus (continuous blader irrigation). Cairan yang digunakan
adalah normal salin. Irigasi dilakukan hingga didapatkan cairan yang
keluar berwarna jernih atau merah terang.

2. Komplikasi Jangka Panjang

Sebagian besar pasien tidak mengalami masalah jangka


panjang setelah menjalani TURP. Namun, beberapa efek jangka
panjang yang dapat dialami setelah menjalani TURP antara lain :

a. Ejakulasi Retrograd

Salah satu komplikasi pasca operasi TURP adalah “dry


orgasm” atau ejakulasi retrograde. Kondisi ini terjadi pada 65%
pasien. Saat ejakulasi terjadi, semen yang diproduksi justru akan
dikeluarkan kea rah kandung kemih bukannya kea rah penis
seperti sebagaimana mestinya. Kondisi ini tidak berbahaya, semen
akan dikeluarkan saat pasien buang air kecil. Gairan dan
pencapaian orgasme tidak terganggu.

b. Disfungsi Ereksi

Nervus yang mengendalikan ereksi secara anatomis terletak


di dekat kelenjar prostat. Nervus ini bias saja rusak saat operasi
dilakukan. Namun, banyak penelitian menyatakan bahwa TURP
tidak mengakibatkan gangguan ereksi. Beberapa trial justru
menyatakan bahwa fungsi ereksi justru membaik pasca
dilakukannya TURP.

c. Kelenjar Prostat yang membesar lagi

Komplikasi lainnya adalah terbentuknya jaringan fibrotic.


Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya struktur uretra atau
kontraksi dari leher kandung kemih. Kurang dari 7% pasien yang
mengalami komplikasi ini. Intervensi bedah diperlukan untuk
mengatasi komplikasi ini. Selain itu, kelenjar prostat juga dapat
mengalami pembesaran kembali setelah dilakukannya operasi.
Hal ini terjadi pada 5% pasien yang menjalani TURP. Hal ini
dapat mengakibatkan seorang pasien dapat menjalani TURP lebih
dari satu kali. Dan hasil penelitian didapatkan hanya 15% pasien
yang memerlukan pembedahan lagi pasca ditangani dengan
TURP.

d. Inkontinensia

1 dari 50 pasien yang mengalami TURP mengalami


inkontinensia. Inkontinensia dapat terjadi bila otot sphincter di
leher kandung kemih rusak saat operasi dilakukan.

A. Pengertian

Sindrom TURP. Sindrom ini merupakan komplikasi yang


terjadi pada pasien post operasi TURP yang didefinisikan dengan
kelebihan volume cairan selama irigasi yang menyebabkan
hiponatremia dan hipervolemia (Gravenstein, 1997; Moorthy, 2002;
Hawary, 2009; dan Hawary, 2009)

B. Patofisiologi
C. Manifestasi

Sindrom TURP dapat terjadi kapanpun dalam fase


perioperative dan dapat terjadi beberapa menit setelah pembedahan
berlangsung sampai beberapa jam setelah selesai pembedahan.
Penderita dengan anastesi regional menunjukkan keluhan-keluhan
sebagai berikut :

a. Pusing
b. Sakit kepala
c. Mual
d. Rasa tertekan di dada dan tenggorokan
e. Napas pendek
f. Gelisah
g. Bingung
h. Nyeri perut
i. Tekanan sistolik dan diastolic meningkat
j. Nadi menurun

(Wasson, 2006)

Bila penderita tidak segera di terapi maka penderita menjadi sianotik,


hipotensif dan dapat terjadi cardiac arrest. Beberapa pasien dapat
menunjukkan gejala neurobgis. Mula-mula mengalami latergi dan
kemudian tidak sadar, pupil mengalami dilatasi. Dapat terjadi kejang
tonik klonik dan dapat berakhir dengan koma. Bila pasien mengalami
anastesi umum, maka diagnosa dari sindrom TURP menjadi sulit dan
serig terlambat. Salah satu tanda adalah kenaikan dan penurunan
tekanan darah yang tidak dapat diterangkan sebabnya. Perubahan
ECG dapat berupa irama nodal, perubahan segmen ST, munculnya
gelombang U, dan kompleks QRS yang melebar. Pada pasien yang
mengalami sindrom TURP, pilihnya kembali kesadaran karena
anastesi dan khasiat muscle relaxant dapat terlambat (Wasson, 2006).

D. Pencegahan

Anda mungkin juga menyukai