Disusun Oleh :
Nama : Milla Sakinah Alfithriyya
NIM : P3.73.24.1.20.023
Dosen Pembimbing :
Aticeh SST, M. Keb
Seperti pelayanan bidan di belahan dunia ini, pada awalnya bidan hanya mempersiapkan ibu
hamil agar dapat melahirkan secara alamiah, membantu ibu dalam masa persalinan dan merawat
bayi, namun demikian karena letak geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan
sehingga banyak daerah yang sulit dijangkau oleh tenaga medis dan banyaknya kasus risiko
tinggi yang tidak dapat ditangani terutama di daerah yang jauh dari pelayanan kesehatan
mendorong pemberian wewenang kepada bidan untuk melaksanakan tindakan kegawatdaruratan
pada kasus-kasus dengan penyulit terbatas misalnya manual placenta, forsep kepala letak rendah,
infus dan pengobatan sederhana. Kewenangan bidan untuk saat ini diatur dalam Permenkes
No.1464/Menkes/PER/2010, namun sebelumnya kita lanjutkan dulu mengikuti perkembangan
pelayanan bidan.
Pada tahun 1952 diperkenalkan pelayanan kesehatan ibu dan anak di Balai Kesehatan Ibu dan
Anak (BKIA). Pada tahun 1960, Kesehatan Ibu dan Anak menjadi program layanan bidan di
seluruh Puskesmas. Selanjutnya pelayanan Keluarga Berencana dikembangkan secara Nasional
pada tahun 1974 dan bidan diizinkan memberikan layanan Keluarga Berencana (KB) dengan
metode sederhana, metode hormonal (KB pil, suntik, Implan) dan IUD (Intra Uterine Device).
Pada tahun 1990 perkembangan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) mengarah pada keselamatan
keluarga dan pelayanan bidan berkaitan dengan peningkatan peran wanita dalam mewujudkan
kesehatan .keluarga. Sidang Kabinet tahun 1992 Presiden Suharto mengemukakan perlunya
dididik bidan untuk bidan desa. Adapun tugas pokok bidan desa adalah pelaksana layanan KIA,
khususnya layanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan Bayi Baru Lahir termasuk pembinaan
dukun bayi, KB, pembinaan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu, dan mengembangkan pondok
bersalin.
Pada tahun 1994 dengan adanaya ICPD, pelayanan bidan di Indonesia juga terpengaruh yaitu
pelayanan bidan lebih menekankan pada kesehatan reproduksi dan memperluas area pelayanan
bidan yang meliputi Safemotherhood (program penyelamatan selama masa reproduksi), Family
Planning (Keluarga Berencana), Penyakit Menular Sexual termasuk infeksi saluran reproduksi,
kesehatan reproduksi remaja dan kesehatan reproduksi lanjut usia (lansia). Saat ini dengan adanya
Millenium Development Goals (MDG’s) pelayanan kebidanan lebih difokuskan untuk mencapai
MDG’s pada tahun 2015 terutama pencapaian tujuan nomor 4 yaitu penurunan angka kematian
anak dan nomor 7 yaitu peningkatan derajad kesehatan ibu.
Beberapa peraturan – peraturan pemerintah yang mengatur tentang tugas, fungsi dan
wewenang bidan: 15
Pada tahun 1935/1938 pemerintah Belanda mulai mendidik bidan lulusan MULO
(SMP bagian B), dan hampir bersamaan didirikan sekolah bidan di beberapa kota besar
antara lain di RS Bersalin Budi Kemuliaan, RSB Padang Dua di Jakarta dan RSB Mardi
Waluyo Semarang. Pada tahun yang bersamaan dikeluarkan sebuah peraturan yang
membedakan lulusan bidan dengan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar
pendidikan MULO dan kebidanan 3 tahun disebut bidan kelas satu (Vroedvrouw Cerste
Klas) dan Bidan dari lulusan perawat (mantri) disebut bidan kelas dua (Vroedvrouw Tweede
Klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan.
Pada tahun 1950 1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batar usia
minimal 17 tahun dan lama pendidikan 3 tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk
menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut
Konsep Kebidanan dan Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan 16 penjenang kesehatan E atau
pembantu bidan yang dilanjutkan sampai dengan tahun 1976 dan setelah itu ditutup.
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan bersamaan dengan guru perawat dan
perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya pendidikan ini berlangsung satu
tahun, kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal
tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi sekolah guru perawat (SGP). Pendidikan
ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan. Pada tahun 1974
Sekolah bidan ditutup dan dibuka sekolah perawat kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya
tenaga multi purpose di lapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan
normal. Pada tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) di
dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan, dibuka pendidikan diploma I
kesehatan ibu dan anak. Pada tahun 1975 - 1984 tidak ada pendidikan bidan. Kemudian pada
tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan (PPB) yang menerima lulusan Sekolah
Pengatur Rawat (SPR) dan SPK. Pada saat itu dibutuhkan bidan yang memiliki kewenangan
untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana di
masyarakat. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang
mengirim.
Pada tahun 1989 dibuka crash programm pendidikan bidan secara nasional yang
memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program
ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan satu tahun dan
lulusannya ditempatkan di desa-desa. Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan
Program B, yang peserta didiknya dari lulusan Akademi Perawat (Akper) dengan lama
pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar
bidan pada Program Pendidikan Bidan A.
Pada tahun 1996 berdasarkan surat keputusan menteri kesehatan RI Nomor 4118
tahun 1987 dan surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 009/U/1996
dibuka program D-III Kebidanan dengan institusi Akademi Kebidanan (AKBID) di enam
propinsi dengan menerima calon peserta didik dari SMA. Pada tahun 2001 tercatat ada 65
institusi yang menyelenggarakan pendidikan Diploma III Kebidanan di seluruh Indonesia.
Tahun 2000 dibuka program diploma IV Bidan Pendidik yang diselenggarakan fakultas
kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saat ini Program pendidikan D-IV Bidan
telah berubah karena semua Institusi Poltekkes di seluruh Indonesia menyelenggarakan
program D-IV Bidan. Hal ini didukung dengan adanya Undang Undang Dikti no 12 tahun
2012 disebutkan bahwa Politeknik boleh menyelenggarakan Profesi, sehingga saat ini ada
beberapa Poltekkes yang sedang persiapan untuk menyelenggarakan Pendidikan Profesi
Bidan dari program D-IV Bidan. Program Pendidikan S1 Bidan dengan Profesi di beberapa
universitas yaitu Universitas Airlangga (UNAIR) dan Universitas Brawijaya (UNBRAW)
serta Universitas Andalas (UNAND). Bahkan saat ini Universitas Padjajaran (UNPAD)
sudah menyelenggarakan sampai ke jenjang S2 dan lulusannya diberikan gelar Magister
Kebidanan. Dengan adanya UU Dikti no 12 tahun 2012 Program pendidikan Vokasi semakin
berkembang dengan dibukanya Magister Terapan yang sejak tahun 2014 sudah
diselenggarakan oleh Poltekkes Semarang bahkan Pendidikan vokasi diberi peluang untuk
berkembang kearah Doktor Terapan.
Tahun 1824 , James Blundell dari Inggris menjadi orang pertama yang
berhasil menangani pendarahan postpartum dengan menggunakan tranfusi darah .
Jean Lubumean dari Prancis (orang kepercayaan Rene Laenec , penemu Stetoskop
pada tahun 1819) pertama kali mendengar bunyi jantung janin dengan stetoskop pada
tahun 1920.Jhon Charles Weaven dari Inggris (1811-1859) , pada tahun 1843 , adalah
orang pertama yang tes urin pada perempuan hamil untuk pemeriksaan dan
menghubungkan kehadirannya dengan eklamsipsia .
Abad 20
Postnatal care sejak munculnya hospitalisasi untuk persalinan telah berubah dari
perpanjangan masa rawatan sampai 10 hari, ke trend “Modern” ambulasi diri. Yang pada
kenyataannya, suatu pengembalian pada “cara yang lebih alami”.
Selama beberapa tahun, pemisahan ibu dan bayi merupakan praktek yang dapat diterima
di banyak rumah sakit, dan alat menyusui bayi buatan menjadi dapat diterima, dan
bahkan oleh norma! Bagaimanapun, alami sekali lagi “membuktikan dirinya “rooing-in”
dipraktekan dan menyusui dipromosikan menyusui disemua rumah sakit yang sudah
mendapat penerangan.
Perkembangan teknologi yang cepat telah monitoring anthepartum dan intrapartum yang
tepat menjadi mungkin dengan pengguraan ultrasonografi dan cardiotocografi, dan telah
merubah prognosis bagi bayi prematur secara dramatis ketika dirawat di neonatal
intersive acara urits, hal ini juga memungkinkan perkembangan yang menakjubkan.
Sekitar tahun 1700, para ahli sejarah memprediksikan bahwa angka kematian ibu
di AS sebanyak 95%. Salah satu alasan mengapa dokter banyak terlibat dalam persalinan
adalah untuk mengjhilangkan praktik sihir yang masih ada pada saat itu. Dokter
memegang kendali dan banyak memberikan obat-obatan tetapi tidak mengindahkan
aspek spiritual, sehingga perempuan yang menjalani persalinan selalu dihinggapi
perasaan takut terhadap kematian.
2) Pendidikan Kebidanan di Amerika
Tahun 1765, pendidikan formal untuk bidan mulai di buka pada akhir abad ke 18.
Banyak kalangan medis yang berpendapat bahwa secar emosi dan intelektual, perempuan
tidak mampu belajar dan menerapkan metode obstetrik. Pendap[at ini digunakan untuk
menjatuhkan profesi bidan, sehingga bidan tidak mempunyai pendukung. Pada
pertengahan abad antar tahun 1770 dan 1820, para perempuan golongan atas di kota-kota
Amerika, mulai meminta bantuan para dokter. Sejak awal tahun 1990 setengah persalinan
di AS ditangani oleh dokter; bidan hanya menangani persalinan perempuan yang tidak
mampu mebayar dokter.
Tahun 1915, Dokter Joseph de lee mengatakan bahwa kelahiran bayi adalah
proses patologis dan bidan tidak mempunyai peran didalamnya, serta diberlakukannya
protap pertolongan persalinan di AS, yaitu : memberikan sedatif pada awal inpartu,
membiarkan serviks berdilatasi memeberikan ather pada kala II, melakukan episiotomi,
melahirkan bayi dengan forceps ekstraksi plasenta, memberikan uteronika serta menjahit
episiotomi.
Hambatan-hambatan yang dirasakan oleh bidan Amerika saat ini antara lain :
– Walau ada banyak undang-undang yang baru, direct entri midwives masih
dianggap ilegal di beberapa negara bagian.
– Lisensi praktik berbeda pada setiap negara bagian, tidak ada standar nasional
sehingga tidak ada definisi yang jelas tentang bidan sebagai seseorang yang telah
terdidik dan memiliki standar kompetensi yang sama.
– Kritik tajam dari profesi medis kepada direct entry midwives ditambah dengan
isolasi dari sistem pelayanan kesehatan telah mempersulit sebagian besar dari
mereka untuk memperoleh dukungan medis yang memadai bila terjadi keadaan
gawat darurat.
Pendidikan kebidana biasanya berbentuk praktik lapangan. Sampai saat ini
mereka bisa menangani persalinan dengan pengalaman sebagai bidan. Bidan
adalah seseorang telah menyelesaikan pendidikan 4 tahun dan praktik lapangan
selama 2 tahun, yang mana biayanyan yang sangat mahal. Kebidanan memiliki
sebuah organisasi untuk membentuk standar, menyediakan sertifikat dan
membuat ijin praktik. Saat ini AS merupakan negara yang menyediakan
perawatan maternitas termahal di dunia, tetapi sekaligus merupakan negara
industri yang paling buruk dalam hasil perawatan natal di negara-negara industri
lainnya.
Astrid Limburg mengatakan : Seorang perawat yang baik tidak akan menjadi seorang
bidan yang baik karena perawat dididik untuk merawat orang yang sakit, sedangkan bidan
untukkesehatan wanita.Maria De Broer yang mengatakan bahwa kebidanan tidak memiliki
hubungan dengan keperawatan; kebidanan adalah profesi yang mandiri.
Bila ada masalah, mahasiswa baru akan berkonsultasi dengan Ahli kebidanan dan
seperti di rumah, wanita di kirim ke ruang bersalin patologi. Mahasiswa diwajibkan
mempunyai pengalaman minimal 40 persalinan selama pendidikan. Ketika mereka lulus
ujian akhir akan menerima ijazah yang didalamnya tercanbtum nilai ujian.
1. Pelayanan Antenatal
Bidan menurut peraturan Belanda lebih berhak praktek mandiri daripada perawat. Bidan
mempunyai ijin resmi untuk praktek dan menyediakan layanan kepada wanita dengan resiko
rendah, meliputi antenatal, intrapartum dan postnatal tanpa Ahli Kandungan yang menyertai
mereka bekerja di bawah Lembaga Audit Kesehatan. Bidan harus merujuk wanita
denganresiko tinggi atau kasus patologi ke Ahli Kebidanan untuk di rawat dengan
baik.
Untuk memperbaiki pelayanan kebidanan dan ahli kebidanan dan untuk meningkatakan
kerjasama antar bidan dan ahli kebidanan dibentuklah dafatar indikasi oleh kelompok kecil yang
berhubungan dengan pelayanan maternal di Belanda.
1. Pelayanan Intrapartum
Pelayanan intrapartum dimulai dari waktu bidan dipanggil sampai satu jam setelah lahirnya
plasenta dan membrannya. Bidan mempunyai kemampuan untuk melakukan episiotomi tapi
tidak diijinkan menggunakan alat kedokteran. Biasanya bidan menjahit luka perineum atau
episiotomi, untuk luka yang parah dirujuk ke Ahli Kebidanan. Syntometrin dan Ergometrin
diberikan jika ada indikasi. Kebanyakan Kala III dibiarkan sesuai fisiologinya. Analgesik tidak
digunakan dalam persalinan.
1. Pelayanan Postpartum
Di Kebidanan Belanda, pelayanan post natal dimulai setelah.
Pada tahun 1988, persalinan di negara Belanda 80% telah ditolong oleh bidan, hanya 20%
persalinan di RS. Pelayanan kebidanan dilakukan pada community – normal, bidan sudah
mempunyai indefendensi yuang jelas. Kondisi kesehatan ibu dan anak pun semakin baik, bidan
mempunyai tanggung jawab yakni melindungi dan memfasilitasi proses alami, menyeleksi kapan
wanitya perlu intervensi, yang menghindari teknologi dan pertolongan dokter yang tidak penting.
Pendidikan bidan digunakan sistem Direct Entry dengan lama pendidikan 3tahun.
Jepang merupakan sebuah negara dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju
serta kesehatan masyarakat yang tinggi.Pelayanan kebidanan setelah perang dunia II, lebih lebih
banyak terkontaminasi oleh medikalisasi. Pelayana kepada masyarakat masih bersifat
hospitalisasi. Bidan berasal dari perawat jurusan kebidanan dan perawat kesehatan masyarakat
serta bidan hanya berperan sebagai asisten dokter. Pertolongan persalinan lebih banyak
dilakukan oeh dokter dan perawat.
Jepang melakukan peningkatan pelayanan dan pendidikan bidan sert mulai menata dan
merubah situasi. Pada tahun 1987 peran bidan kembali dan tahun 1989 berorientasi pada siklus
kehidupan wanita mulai dari pubertas sampai klimaktelium serta kembali ke persalinannormal.
Bagi orang jepang melahirkan adalah suatu hal yang kotor dan tidak diiinginkan maa
banyak wanita yang akan melahirkan diasingkan dan saat persalinan terjadi di tempat kotor gelap
seperti gedung dan gudang.
Pendidikan kebidanan di Jepanbg diawali dengan terbentuknya sekolah bidan pada tahun
1912 didirikan oleh Obgyn, dan baru mendapatkan lisensi pada tahun 1974. Kemudian pada
tahun 1899 lisensi dan peraturan-peraturan untuk seleksi baru terbentuk.
Tahun 1987, pendidikan bidan mulai berkembang dan berada dibawah pengawasan
obstretikian. Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan bidan terdiri dari ilmu fisika, biologi,
ilmu sosial, dan psikologi. Ternyata hasil yang diharapkan dari pendidikan bidan tidak sesuai
dengan harapan. Bidn-bidan tersebut banyak yang bersifat tidak ramah dan tidak banyak
menolong persalinan dan pelayanan kebidanan.
Yang mengikuti pendidikan bidan yaitu para perawat yang masuk pendidikan saat umur
20 tahun. Pendidikan berlangsung selama 3 tahun. Tingkat Degree di universitas terdiri dari 8-16
kredit, yaitu 15 jam teori, 30 jam lab, dan 45 jam praktik. Pendidikan kebidanan tersebut
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan obstetri dan neonatal, serta meningkatkan
kebutuhan masyarakat karena masih tingginya angka aborsi di Jepang. Masalah-masalah yang
masih terdapat di Jepang antara klain masih kurangnya tenaga bidan dan kualitas bidan yang
masih belum memuaskan.
Saat ini pendidikan bidan di Jepang bisa setelah lulus dari sekolah perawat atau perguruan tinggi
2 tahun atau melalui program kebidanan yang ditawarkan oleh perguruan tinggi 4 tahun.